Share

Bab 4. Membantu Orang Lain

Ia menghampiri para rakyat jelata, tanpa diminta oleh mereka Ajeng langsung membagikan setiap keping secara merata.

"Sungguh mulia hatimu nak, belum pernah ada seorang bangsawan turun secara langsung untuk memberi kepada rakyat seperti kami, terimakasih." Kata seorang Kakek tua memuji kebaikan Ajeng Adiwidya.

"Jangan berterimakasih kepadaku, melainkan kepada yang Maha Kuasa." Balas Ajeng sambil tersenyum menatap pria tua yang sudah tidak berdaya itu.

"Terimakasih, Nona."

"Terimakasih, Nona."

"Terimakasih, Nona."

Ada begitu banyak kata terimakasih yang Ajeng dengar dari setiap rakyat yang ia beri, bahkan ada sebagian dari mereka sampai menangis karena melihat perlakukan Ajeng begitu baik.

"Dengan Kepeng tadi kalian bisa membeli makanan, minuman, dan pakaian yang layak. Jangan tinggal dipinggiran seperti ini, ini terlalu berbahaya apalagi disaat ada kuda atau tandu yang lewat kalian bisa celaka, terutama untuk anak kecil itu tidak baik." 

Ia memberi beberapa arahan kepada mereka, para prajurit dan dayang sampai dibuat kagum dengan perlakuan baik dari Ajeng Adiwidya.

"Ada apa dengan Nona, semenjak ia jatuh kedalam kolam dia banyak berubah." Bisik Dayang kepada yang lain, hal itu didengar langsung oleh Rahadi Byakta.

"Apapun yang terjadi biar lah berlalu, karena aku lebih menyukai Nona Ajeng sekarang ini!" Tukas Rahadi Byakta, menatap tajam kepada dayang.

Setelah selesai Ajeng masuk kembali kedalam tandu, untuk segera pulang karena hari sudah malam. Ia pulang tanpa membeli sesuatu.

"Tunggu... Tuan, tolong berhenti!!" 

Disaat tandu sudah cukup jauh meninggalkan daerah pasar, terdengar ada suara teriakan anak laki laki dari belakang.

"Hei, siapa kau?! Katakan apa mau mu!!" Rahadi Byakta mengacungkan sebuah pedang keleher anak itu, membuatnya ketakutan.

"Tu-tuan, aku ingin meminta tolong kepada Kakak yang berbaik hati waktu dipasar tadi."

Mendengar keributan, Ajeng langsung keluar untuk melihatnya. Ia terkejut begitu melihat Rahadi Byakta mengacungkan pedang ke leher anak kecil. 

"Rahadi Byakta, apa yang sedang kau lakukan?!" Teriak Ajeng begitu ketakutan.

"Maaf Nona, aku tidak tahu apa maksud anak ini mengejar tandu Nona. Bisa saja dia suruhan dari seorang penjahat, karena itu aku sedang mengintrogasi nya." Jelas Rahadi Byakta, menurunkan sedikit pedangnya ke arah perut anak laki laki itu.

"Turunkan pedangmu, kau membuat anak itu ketakutan!!" Titah Ajeng, bernada tegas.

"Baik, Nona."

Ajeng maju beberapa langkah kearah anak itu, namun masih dalam pengawasan para prajurit dari belakang untuk berjaga jaga.

"Emh, ada apa sampai kau mengejar tandu ku sejauh ini?" Nada suara Ajeng sedikit melembut ketika berbicara.

"Sebelumnya izinkan anak petani memperkenal diri, Putri namaku adalah Cayapata. Aku tinggal diatas gunung, belakang ini keluargaku tidak bisa menanam padi karena Ibu ku sedang jatuh sakit. Aku tidak punya uang untuk membawa Ibu ke Tabib, karena semuanya sudah digunakan untuk membayar pajak kepada Prabu... Nona, tolong selamatkan Ibu ku, hanya dia lah yang ku punya saat ini tidak ada yang lain." Anak bernama Cayapata memohon pertolongan kepada Ajeng untuk kesembuhan sang Ibu.

Entah mengapa Ajeng langsung menangis mendengar kata akhir dari Cayapata, "Nona, ada apa?" Tanya Rahadi Byakta menepuk pelan pundaknya.

Ajeng tidak menggubris perkataan Rahadi, ia malah berpaling kearah Cayapata. "Dimana keberadaan Ibu sekarang?" 

"Aku meninggalkan nya digubuk, karena demi mengejar tandu Nona." Ucap Cayapata

"Baiklah, mari kita jemput Ibu mu agar dibawa ketabib." 

"Nona, kita tidak bisa melakukan ini. Lebih baik kita pulang saja, ini demi keselamatanmu." Jelas Rahadi Byakta

"Keselamatan Ibu anak ini, jauh lebih penting. Bagaimana jika kalian berada di posisi seperti dia?"

Seluruh para prajurit berserta dayang tertunduk malu mendengar ucapan Ajeng, akhirnya mereka mengikuti kemauan sang gadis...

Sesampai digubuk, memang terlihat ada seorang wanita parubaya terbaring lemah. Tubuhnya begitu lemah, sampai ia tidak mampu untuk berdiri. Terpaksa para prajurit membopong tubuh wanita itu masuk kedalam tandu Nona besar.

Diikuti oleh Cayapata dari belakang, udara malam memang cukup terbilang dingin apalagi dekat dengan penggunungan. Ajeng secara rela memberikan mantel hangat pemberian Rahadi kepada Ibu Cayapata.

"Ibu, pakailah ini. Agar tubuhmu tetap hangat." Seru Ajeng, melingkarkan mantel ketubuh Ibu Cayapata.

"Terimakasih... Kau gadis cantik, dan baik hati kedepannya kau harus berhati hati ketika memasuki Bhumi." Bisik Ibu Cayapata ketelinga Ajeng, namun ia tidak paham maksud dari ucapan barusan.

Setelah sampai di tempat tabib, Ibu Cayapata langsung diperiksa begitu cepat karena melihat ia datang bersama dengan para bangsawan.

Rahadi Byakta, mengeluarkan sebuah dekrit yang terbuat dari ukiran emas bercampur gio putih. Lalu menunjukkan kepada kepala tabib.

"I-ini, dekrit bawahan Jendral. Dan gadis itu pasti adalah Putri, Tuan Wajendra. Aku tidak boleh melakukan kesalahan kepada mereka, pasti keluargaku akan menjadi imbasnya nanti." Ucap kepala tabib dalam hati, sambil gugup menatap wajah Rahadi Byakta.

"Tabib, tolong periksa keadaan Ibu anak ini dengan teliti!" Seru Ajeng dengan cemas melihat wajah Ibu Cayapata begitu pucat dan lemah.

"Ba-baik, Nona."

Begitu selesai diperiksa, tabib memberikan sebuah minuman ramuan kepada Ibu Cayapata. Tanpa menunggu lama, wanita parubaya itu pun langsung tertidur.

"Tabib, apa yang terjadi pada Ibu ku?!" Tanya Cayapata begitu kaget, melihat sang Ibu langsung menutup mata.

"Ibumu akan baik baik saja, dia hanya sedang beristirahat saat ini. Tolong, agar kita semua segera keluar demi menjaga keamanan beliau sekarang."

Mereka pun mengikuti perkataan tabib, dan memilih menunggu diluar ruangan.

"Dokter bagaimana keadaan nya nanti setelah ini?" Tanya Ajeng

"Nona tenang saja, jika selama 1 minggu beliau bisa beristirahat dengan cukup. Tubuhnya bisa pulih kembali." Jawab tabib, didengar juga oleh Cayapata.

"1 minggu? Padahal disaat itu para prajurit suruhan Prabu akan mengutip kembali sisa uang pajak yang belum bisa kami lunasi." Kata Cayapata 

Hati Ajeng terasa sangat begitu kasihan melihat anak kecil seperti Cayapata sudah harus hidup keras diusia terlalu muda, hampir sama dengan kehidupannya yang dulu. Hanya saja, mental Ajeng sudah kuat berbeda dari Cayapata.

Nona, menarik tangan Rahadi Byakta untuk menjauh dari hadapan tabib. "Emh, apa kau masih memiliki sekantung ke-kepeng lagi?" Tanya Ajeng, malu malu saat menatap pria dihadapannya.

Pria itu ingin tertawa melihat tingkah lucu dari gadis didepannya, tapi dia tidak berani melakukan hal itu karena dia juga harus tahu batasan.

"Ini, Nona." Kata Rahadi Byakta berwajah datar, padahal Ajeng hanya minta 1 kantung tapi dia memberikan 2 kantung.

"Eh, aku hanya meminta satu."

"Berikan saja satu laginya kepada Cayapata, dia lebih memerlukan dari pada saya." Tambah Rahadi Byakta.

"Baiklah..."

Ia memberikan 2 kantung Kepeng kepada Cayapata, sedangkan biaya pemeriksaan tabib sudah ditanggung oleh Dekrit bawahan Jendral.

"Hari sudah hampir larut malam, kami permisi dulu." Kata Rahadi Byakta, menyudahi pembicaraan mereka.

"Terimakasih..." Balas tabib

"Cayapata, kami kembali dulu yah. Jaga Ibu mu dengan baik, agar bisa cepat pulih."

"Terimakasih Nona, suatu saat aku akan membalas kebaikanmu baik dikehidupan ini ataupun selanjutnya." Ucap Cayapata

"Aku menunggunya untuk itu..."

Malam ini, memang terasa sangat begitu melelahkan bagi Ajeng tapi dia senang karena bisa membantu orang lain disaat seperti ini.

---------------------------------------------------------------

Halo semuanya, tetap dukung aku terus yah untuk kedepannya 🙂🙏

Note: 

-Tandu: Sejenis kereta kuda, seperti delman.

-Tabib: Panggilan untuk seorang dokter.

-Gubuk: Rumah terbuat dari kayu

-Dekrit : Tanda pengenal untuk bangsawan ataupun bawahan bangsawan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status