Share

2. Bunga-Bunga Kenangan

    "Jadi gini ya Rade, setiap media itu punya ciri khas masing-masing. Coba deh baca media-media besar . Itu gaya penulisan mereka identik banget, " terang Rafly. 

    "Iya juga ya Bang. Kadang satu berita yang sama bisa ditulis dari berbagai sudut."

    "Nah, tu pinter. Kalau untuk tabloid kita ini, sejak awal kita ingin mengarahkan dengan gaya jurnalisme sastrawi. Pemberitaan tapi bergaya sastra gitu. Bahasa yang mengalir. Kebayang kan, kita yang cuma terbit seminggu sekali mengangkat berita yang sama dengan koran harian. Bisa kegilas kita kalau gak punya ketajaman penulisan. "

    "Iya, Bang. Saat satu momen mungkin udah basi, nah kita bari terbit. "

    "Yups. Makanya kita harus beda. Udah sini kita evaluasi dulu di mana ini tulisan kamu bisa diperbaiki. "

    Rade tersenyum kemudian dengan semangat meraih mouse. Sedetik berselang, tangan Rafly pun meraih mouse tersebut. Tangan Rafly tepat  berada di atas tangan Rade. Hening sejenak. Rafly tidak melepaskan tangannya, Rade pun tertegun. Keduanya ada dalam gelombang yang sama. Bergetar dan berdebar. 

    Handphone Rade berdering, di layar kontak tertulis "yang nakal". Dering itulah yang membuat Rade dan Rafly tersadar dan melepaskan sentuhan tangan mereka. 

    Rade mengangkat telepon dan mengatakan sebentar lagi akan pulang. 

"Yang nakal? Lucu banget nama kontaknya, " canda Rafly. 

"Eh, iya Bang. Itu.... "

"Pacar, " sambar Rafly. 

"Eh, anu Bang... Pernah jadi pacar. Baru mau jadi pacar lagi. "

"O.... "

    Suasana menjadi kaku. Diam sejenak. Mereka berdua salah tingkah. Rade merasa seperti sedang dipergoki melakukan kesalahan. Padahal tidak ada yang salah. Sah saja Ferdi meneleponnya. 

"Rade kalau mau pulang silakan, besok kita bahas lagi ya soal tulisan. Besok, Rade jalan lagi dana Riska, " ucap Rafly. 

    Rade tak mau terlalu dini menilai ekspresi Rafly, karena ia tak mau merasa kegeeran. Namun, hati kecilnya berkata Rafly tidak nyaman mengetahui tentang Ferdi. 

    "Gak mungkin, gak mungkin Rade. Jangan halu. Masa iya Bang Rafly cemburu. Kenal aja baru. Jangan sok kecakepan deh Rade," Rade mengomeli dirinya sendiri sambil menyentuh keningnya dengan telunjuk. 

******

"Kakak mau ke mana udah cantik begitu?" Mama menyapa Rade. 

"Mau jalan sama Ferdi, Ma."

"Ini, kamu beneran balikan sama Ferdi? Udah cek and ricek belum dia punya pacar atau enggak? "

"Udah,Ma. Ferdi bilang dia belum punya pacar. "

"Kakak yakin?"

"Yakin bingits, Mommy. Heheh dari dulu Ferdi gak berubah Mam, tetep penyayang dan kocak. "

"Nah, kamu beneran yakin masih sayang Ferdi?"

"Gak jelas juga sih, Ma. Tapi sementara ini, Rade merasa cocok aja sama Ferdi."

"Mudah-mudahan bukan cuma karena kamu masih baperan masa SMA. Inget kak, kamu udah dewasa bukan ABG lagi."

    Ferdi tiba di rumah Rade. Setelah menyapa ramah Mama Rade. 

"Hari ini gak naik motor?" tanya Mama. 

"Enggak, Tan. Hari udah malam, kasihan nanti Rade kedinginan jadi bawa mobil aja deh."

"Okeh, tapi tetap hati-hati ya, dan jangan pulang larut."

"Siap, Tan," Ferdi tersenyum sumringah. Deratan giginya rapi dan bersih meskipun ia seorang perokok. 

     Mobil Ferdi membelah keramaian kota di malam hari. Terdengar alunan tangga lagu terkini dari radio mobilnya. Mereka bernyanyi bersama beberapa lagu yang liriknya mereka hapal kemudian. 

"Mencintaimu sepanjang waktu..., " Ferdi menyanyikan lirik lagu. 

"Bukan sepanjang waktu, tapi setulus hati, " Rade mengoreksi. 

"Sepanjang waktu."

"Setulus hati."

"Apapun deh, yang pasti aku mencintaimu sepanjang waktu setulus hati," Ferdi menatap nakal ke arah Rade. 

"Apaan sih, gombal."

"Tapi suka kan?"

"No," balas Rade manja. 

Sejenak Rade mengingkari diri sendiri. Logikanya mengatakan Ferdi gombal, hatinya berbunga-bunga. 

    Setalah 45 menit berkendara, mereka tiba di resto dengan konsep terbuka. Kerlip lampu menghadirkan suasana romantis. Alunan instrumen jazz melengkapi syahdunya malam. 

"Jauh banget kita sampai di sini."

"Iya, De. Aku ingin ngobrol sama kamu di tempat yang romantis kayak gini. Aku udah pesan tempat di situ," Ferdi menunjuk ke satu arah. 

Saat menuju meja yang dipesan, Ferdi menggandeng tangan Rade. Mukanya kaget, tapi Rade membiarkan saja. 

"Kamu inget kan, waktu kamu belum balik ke sini, aku pernah bilang bahwa ingin melanjutkan lagi hubungan kita?"

"Iya. Salah satu alasan aku balik ke sini selain karena permintaan Mama, ya karena kamu."

"Sejak kita bertengkar lalu putus kemudian kamu kuliah di luar, kita hilang komunikasi. Aku gak pernah berhubungan dengan siapapun. Sulit banget buat ngelupain kamu. Aku belajar. Belajar untuk ngelupain. Tapi makin pengen aku ngelupain makin aku inget kamu. "

Rade tertegun mendengar pengakuan Ferdi. Ia tak menyangka Ferdi akan bicara seserius itu. 

"Kalau memang kamu gak bisa ngelupain aku, kenapa kamu gak minta balikan lagi waktu kita putus?"

"Waktu itu aku gengsi. Aku menganggap kamu yang salah. Kamu ego. Kamu melarang aku gaul bareng dengan teman bandku. Kamu posesif. Padahal aku gak pernah membatasi kamu dengan teman teatermu."

"Aku kira waktu itu kamu benar-benar benci sama aku. Sebagai cewek aku juga gengsi kalau harus ngajak balikan duluan. Padahal, hampir setiap kamu sama bandmu manggung aku selalu hadir. Diam-diam mengambil fotomu lalu memandangnya dan bicara sendiri."

"Rade, waktu itu, kita adalah dua orang bodoh yang tidak mau jujur pada diri sendiri bahwa kita masih saling sayang. Kalau saja waktu itu ada di antara kita yang mau memulai lebih dulu, tidak mungkin kita seperti ini. Sekarang aku gak mau menyia-nyiakan kesempatan dan waktu. Waktu memang gak bisa diputar balik, tapi peristiwa yang sama bisa kita tulis lagi."

    Rade terpaku menatap mata Ferdi. Ia yakin benar, Ferdi mengungkapkan perasaannya dengan serius. Bagaimana bisa ia melawan gejolak hatinya. Terbayang masa ketika ia mengurung diri di kamar, menangis hingga  matanya bengkak ketika ia menyatakan putus pada Ferdi. Kala itu, ia menyesal. Namun gengsinya terlalu tinggi untuk menarik kembali kata itu. Setiap hari ia menanti Ferdi menelepon untuk meminta maaf dan mengajak berbaikan. Namun, telepon yang ditunggj tak juga ada. 

    Teringat pula kala ia menulis berpuluh puisi galau di belakang buku sekolahnya. menulis nama Ferdi dengan tulisan indah. Melamun saat jam belajar hingga yang muncul di papan tulis bukan lagi materi  belajar tetapi nama Ferdi. 

    Kini, sosok yang pernah membuatnya patah hari kala remaja itu mengungkapkan isi hatinya. Lelaki itu mengatakan kata-kata yang pernah ditunggunya 6 tahun lalu. Rade tak kuasa menahan gejolak. Ingin sekali memeluk Ferdi. Namun, ia mengurungkan niatnya karena tak mau terlalu agresif.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status