Share

3. Siapa Dia?

Malam makin menua. Rade dan Ferdi masih berbincang. Banyak kata yang mereka ungkapkan tentang perasaan di masa lalu. Mereka saling jujur dan terbuka. Namun, ada sesuatu yang disembunyikan Ferdi. Sesuatu yang kelak akan membuat Rade terluka.

"Mulai sekarang, kita seperti dulu lagi ya?" tanya Ferdi

Rade mengangguk lalu tersenyum. Gemintang memandikan mereka dengan kerlip kemilau. Cahayanya menembus hingga ke relung hati Rade.

"Kita pulang sekarang? Sudah larut."

"Okeh."

*****

Keesokan pagi, Rade tiba di kantor lebih awal. Ia ingin segera bertemu Rafly. Ia meminta office boy untuk membuatkan secangkir kopi pahit. Ia duduk di meja Redaksi kemudian membaca headline dari beberapa media. Koran cetak dan berita online semua menjadi sarapan Rade.

"Selamat pagi," suara berat Rafly menyapa seisi ruangan redaksi.

"Selamat pagi juga, Bang," jawab Rade.

"Bagaimana kencannya semalam?" pertanyaan Rafly pada Rade menyulut perhatian seisi ruangan.

"Siapa yang kencan? Abang sama Rade?" seloroh Koko spontan.

"Bukanlah. Itu Rade semalam kencan sama pacarnya, " terang Rafly.

"Ih, Bang Rafly ni, kayak netizen julid. Kok bisa tahu sih," Rade merajuk manja.

"Wah, ini Rade ngeremehin Abang nich. Masalah dalam lubang semut aja Bang Rafly bisa tahu, apalagi cuma soal kencannya kamu, De, " Koko tertawa kecil sambil melirik menaikkan sebelah alisnya pada Rafly.

"Yoi, donk."

Pertanyaan Rafly diterjemahkan Rade sebagai bentuk perhatian tak biasa. Namun, ia belum mampu menafsirkan lebih jauh. Ia hanya tersenyum tipis. Ada kepuasan menjamah-jamah relung hatinya.

Rade bersiap untuk melakukan liputan bersama Riska. Kali ini, mereka akan meliput profil atlet berprestasi. Di perjalanan, Rade mencoba mengorek tentang Rafly dari Riska.

"Riska, Bang Rafly itu tinggal di kantor ya?"

"Enggak lah. Ada rumah yang disediakan kantor untuk redaktur. Tapi Bang Rafly memang sering tidur di kantor di kamar khusus buat istirahat para kru kalau lagi lembur. Kamar yang di lantai atas itu lho."

"O, emang kenapa Bang Rafly sering tidur di kantor?”

"Mungkin Bang Rafly gak mau kesepian di rumah. Kalau di kantor kan bisa ngerjain apa gitu. "

"Kesepian? Memangnya Bang Rafly tinggal sendiri?" tanya Rade sembari berharap akan mendengar jawaban bahwa Rafly belum menikah.

"Bang Rafly tinggal jauh dari istrinya. Istrinya di kota D. Anaknya udah dua."

"O... . " Rade menjawab pelan.

Entah darimana datangnya rasa kecewa menyusup dalam hati Rade. Ia merasa tidak senang mendengar bahwa Rafly sudah memiliki istri. Ketidaksenangannya itu mungkin saja karena perasaannya kadung menerjemahkan perlakuan Rafly padanya sebagai sebuah rasa.

Rade bingung, karena kekecewaannya terhadap status Rafly ternyata memengaruhi mood-nya. Ia menjadi tidak begitu fokus  melakukan liputan. Padahal awalnya ia sangat bersemangat. Ia lalu menulis pesan pada Ferdi untuk mengajak makan siang bersama. Entah itu sebagai bentuk pelampiasan atau apapun namanya, tapi Rade ingin   bertemu Ferdi. Ferdi membalas pesan Rade dan mengatakan bahwa ia tidak bisa makan siang di luar karena sedang ada pekerjaan.

Rade memutuskan untuk membeli makan siang dan makan bersama di kantor Ferdi. Ferdi terkejut ketika Rade mengatakan bahwa ia sudah berada dekat kantornya. Ferdi bergegas menemui Rade. Wajah paniknya tidak dapat disembunyikan dari tangkapan mata Rade.

"Kamu gak seneng aku datang ke sini?" tanya Rade.

"Bu... Bukan begitu. Aku seneng kok. Cuma aku kaget aja kamu datang tiba-tiba. Aku jadi gak enak ngerepotin kamu."

"Gak apa-apa, kita makan yuk. Ini aku bawain soto dari tempat kesukaan kamu. Sekalian ni ada juga mi ayam pangsit. Siapa tau kamu lagi gak pengen makan nasi. Nah, ini juga ada jus alpukat," Rade menunjukkan makanan yang dibawanya.

Ferdi mengajak Rade ke taman kantor. Di sana ada meja dan kursi yang memang biasa dipakai para karyawan untuk bersantai. Ferdi menatap semua makanan yang dibawa Rade. Ia berpikir bagaimana menghabiskannya. Tidak mungkin juga ia mengatakan kenyang karena sebelumnya di telepon ia mengatakan belum makan siang.

"Gileeee, udah dianterin makanan lagi ya. Aseeek," teriak salah seorang rekan Ferdi saat melihat Rade dan Ferdi makan bersama.

Olokan itu terang saja membuat Ferdi kikuk.

"Dianterin lagi? Emangnya tadi ada yang anterin kamu makanan?" cecar Rade.

"Ya, ada. Tadi kang ojol nganterin makanan," jawab Ferdi tanpa menatap Rade.  

Ferdi berusaha keras untuk menghabiskan makanan yang dibawa Rade meskipun perutnya teramat kenyang. Ia mengunyah lalu menelannya perlahan. Ia merasakan seperti akan muntah, tapi ia menahannya sekuat tenaga. Benar apa yang dikatakan temannya tadi, ada seseorang yang juga mengantarkan makan siang padanya. Pastinya itu bukan kang ojol seperti yang Ferdi katakan.

****

Di kantor, Rade sibuk berkutat di depan komputer. Ia berusaha merangkai kata demi kata agar menjadi artikel yang "mengalir" seperti yang Rafly katakan. Di sela-sela menulis, sesekali Rade membaca contoh-contoh tulisan lain sebagai referensi.

"Bagaimana tadi, makan soto sama mi ayam pangsitnya, enak?" suara Rafly memecah konsentrasi Rade.

Rade berbalik seketika dan hampir saja ujung hidungnya menyentuh pipi Rafly. Rafly memang menyapanya dengan mencondongkan tubuhnya dari arah kanan Rade. Lagi-lagi mata mereka bersirobok. Rade mengalihkan wajahnya beberapa sentimeter dari Rafly.

"Abang kok tau sih aku makan soto sama mi pangsit. Abang kayak spionase nih," ujar Rade untuk menyurutkan pikirannya yang meronta-ronta.

Dugaan ganda merajai pikiran Rade. Banyak pertanyaan muncul dalam benaknya. “Bagaimana Rafly bisa tahu? Mengapa Rafly tahu? Apakah Rafly mencari tahu tentang dirinya?”

Ah, Rade tak mau lagi menerka-nerka. Ia ingat bahwa Rafly bukanlah seorang pria lajang. Namun, semakin Rade menghalau pikirannya, ia semakin penasaran untuk menemukan jawabannya.

"Abang tahu apa saja tentang kamu, Rade," sahut Rafly sejurus kemudian.

Terang saja, pernyataan Rafly mengacak-acak pikiran  Rade yang memang sudah mengembara ke berbagai prediksi tentang sikap Rafly.

 “Kamu gabung aja lah sama kita,” pinta Arif kepada seseorang yang duduk di depannya.

“Belum dulu, Bang. Aku masih betah di Harian Realita.”

“Kamu masih betah bertahan dengaan orang seperti pimpinanmu itu? Sudah bukan rahasia lagi, Harian Realita bakal keok.”

“Aku gak mau jadi kayak kutu loncat, Bang. Aku gak mau oportunis. Aku ikut membangun Harian Realita, dan tentu aku tidak akan biarkan tumbang begitu saja.”

“Sebenarnya kami butuh orang seperti kamu di sini, Den. Kita kekurangan SDM. Apalagi wartawan kita rata-rata anak baru, masih perlu bimbingan,”Arif melanjutkan.

“Enak dong wartawan baru, masih idealis. Abang tahu kan gimana perangai teman-teman kita yang udah punya banyak relasi. Tikung sana sini, makan teman sendiri kadang-kadang,” ujar Aden.

“Ya, seperti seniormu itulah. Dengar-dengar mereka 86 dengan pengusaha tambang ilegal?” Arif memelankan suara.

“Hahaha, udah rahasia umum, Bang. Alasanku bertahan di sana karena kawan-kawan yang lain, Bang. Aku masih punya ekspektasi ke depan, ideologi media bakal balik lagi.

“Ini soal cuan, Bung. Kalau kamu sendiri udah gak satu ideologi dengan mereka, untuk apa bertahan. Sayang donk skill kamu.”

“Kasih aku waktu sedikit, Bang. Sambil aku lihat-lihat dulu kondisi di sini.”

Sip, kabari kalau mau gabung. Kamu boleh main ke sini. Kita diskusi sambil ngopi di sini. Kalau gak mau di ruangan, kita ke rooftop. Dari sana pemandangan mantap.”

Saat pembicaran masih serius, Rade masuk ke ruangan Arif. Arif menyilakan Rade duduk di sebelah Aden. Mulanya Rade risih. Ia menatap Aden penuh tanda tanya. Aden, lelaki bertubuh tinggi kurus dan urakan itu menatap Rade sinis. Sudut matanya melancip seperti tidak menyukai Rade. Padahal tidak demikian sebenarnya, memang sudah tabiat Aden yang cuek pada perempuan.

“Tadi Koko bilang Abang manggil saya, ada apa, Bang?” tanya Rade.

“Iya, Abang mau ngobrol bentar ni terkait rubrik baru sama kamu. Tapi nunggu Rafly dulu lah. Rafly minta kamu yang jadi wartawan untuk menanganinya,” kata Arif.

“O, gitu ya, Bang. Saya tunggu di luar saja, Abang masih ada tamu,” seloroh Rade.

Gak usah, biar saya saja yang pergi. Lagipula saya juga sudah selesai urusan dengan Bang Arif,” Aden memotong.

Rade tidak menjawab dan membiarkan Aden berpamitan kepada Arif. Rade terus memperhatikan Aden hingga ia keluar ruangan. “Cowok kok berantakan banget,” bisik Rade dalam hati.

Arif, Rade, dan Rafly membahas rubrik baru yang akan mereka garap. Rade diminta meliput sebuah perusahaan yang ingin membangun citra melalui media massa. Perusahaan itu menjalin kerjasama dengan Tabloid WeekNews dengan memesan halaman khusus untuk pemberitaan tentang perusahaan mereka.  Rafly mengajukan Rade sebagai wartawan khusus untuk meliput rubrik tersebut. Terang saja Rafly ingin punya alasan bisa lebih dekat dengan Rade karena ia yang akan menjadi redaktur rubrik tersebut.

“Bang Rafly, itu siapa yang tadi di ruangan Bang Arif?”

“Sepupunya Bang Arif, wartawan Harian Realitas. Tadinya mau diajak gabung ke sini, tapi dia menolak. Kenapa nanya? Naksir?”

Gak gitu juga kali, Bang,” Rade berucap manja sambil memukul pelan lengan Rafly.

Kalimat dan gerakan tubuh Rade menggetarkan Rafly. Ada yang mendesak-desak dalam dada Rafly, ia sangat ingin memeluk gadis itu, tetapi ia menahannya.

“Rade, ke ruangan Abang yuk. Kita bahas rubrik yang tadi,” ajak Rafly.

Tanpa penolakan, Rade mengikuti Rafly masuk ke ruangan. Ia merasa salah tingkah hanya berdua saja dalam ruangan bersama Rafly. Mereka duduk berhadapan di meja kerja Rafly. Rafly menatap tajam pada Rade. Sesekali ia membasahi bibirnya sambil menatap Rade. Rade malu-malu, tetapi ia tak bisa berbohong diam-diam ia menyukai tatapann Rafly.

“Bang, nanti aku sendirian aja liputan ke sana?”

“Kenapa? Mau ditemenenin? Abang siap nemenin.”

“Ih, enggak, Bang. Gak enak donk sama yang lain, masa iya redaktur nemenin wartawan liputan?”

“Kenapa gak enak, Abang bisa nemenein kamu gak sebagai redaktur?”

“Maksudnya?” tanya Rade.

“Anggap aja Abang sopir kamu.”        

“O, Abang ini ada-ada saja,” jawab Rade bernapas lega karena ia mengira Rafly akan mengatakan sesuatu yang di luar dugaan.

Rafly tersenyum puas. Ia telah merasa telah mendapatkan “kartu AS” Rade. Ia tahu bahwa Rade mulai salah tingkah karena kata-katanya. Ia yakin bahwa pelan-pelan Rade telah menyimpannya dalam hati.

“Ya udah, sekarang kita baca sekilas profil perusahaan itu ya supaya kita gak kayak kertas kosong pas liputan ke sana,” ajak Rafly.

Rafly memindahkan kursinya ke sebelah Rade. Ia kemudian membuaka laptop lalu mencari profil perusahaan yang akan mereka liput. Rade merasa Rafly duduk terlalu dekat tetapi ia tidak kuasa menghindar. Ada dorongan kuat dari dalam dirinya yang seolah mengatakan agar ia tetap saja di posisinya. Tanpa ia sadari, ternyata ia menikmati aroma parfum Rafly. Melihat sikap Rade yang membiarkan dirinya duduk dekat, Rafly semakin berani. Kali ini, ia mendekatkan wajahnya pada Rade. Ia menatap lekat pada mata Rade. Rade tak berkedip.

“Kamu tambah manis kalau dilihat dari dekat,” ucap Rafly.

Jantung Rade berdebar kencang. Ia dapat merasakan embusan napas Rafly. Wajahnya terasa panas. Ia yakin bahwa saat ini wajahnya pasti memerah. Ia tak mau beranjak dari posisinya tetapi juga tak punya nyali untuk tetap diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia pasrah saja membiarkan Rafly melanjutkan apa yang hendak ia lakukan.

Rafly meletakkan telunjuk di kening Rade kemudian membiarkan jari telunjuknya menjelajahi hidung dan berhenti di bibir Rade.

Gemes banget sih. Ah udahlah, Abang gak tahan kalau begini,” ucap Rafly lirih  kemudian berdiri lalu ke luar ruangan tanpa permisi dan membiarkan Rade yang mematung.

Rade segera keluar ruangan. Ia merasa seisi kantor sedang menatapnya, padahal tidak demikian. Ia merasa sangat malu karena peristiwa yang baru saja terjadi. “Bagaimana bisa aku membiarkan orang itu menyentuh wajahku?” Rade menggerutu.

“Tidak boleh, ini tidak boleh dibiarkan. Gawat. Aku gak mau jadi perusak rumah tangga orang. Ingat Rade, Bang Rafly sudah punya istri,” Rade terus berbicara sendiri.

Ia lalu menuju toilet dan membasuh wajahnya di wastafel. Ia menatap wajahnya di cermin lalu menyentuh bagian wajahnya yang tadi disentuh Rafly. Adegan di ruangan Rafly membayang di cermin.

“Tidak. Tidak. Tidak,” Rade berujar sambil menggeleng-geleng kepala kemudian membasuh kembali wajahnya.

***

Malam ini, semua staf redaksi lembur. Dua hari lagi menjelang naik cetak, redaksi memastikan setiap rubrik sempurna. Selesai dengan tulisannya, tetapi ia masih belum mau pulang. Waktu baru menunjukkan pukul 20.00 WIB. Ia memutuskan untuk pergi ke rooftop untuk melihat pemandangan kota di malam hari.

Rade tidak menyadari bahwa Rafly mengikuti dari belakang. Rade berdiri memandang ke arah penjuru kota. Lampu-lampu tampak meriah. Rade menghela napas panjang sambil menutup matanya. Ia masih memikirkan peristiwa di  ruangan Rafly. Tiba-tiba bayangan Ferdi melintas. Ia berniat menghubungi Ferdi untuk mengajak jalan-jalan.

Saat berbalik, Rade menabrak tubuh seseorang. Kepalanya terbenam di dada orang itu. Bukannya menghidar, orang itu malah menarik tubuh Rade hingga terbenam lebih dalam ke dadanya. Mulanya Rade tak berani menengadah karena ia tahu siapa yang ada di depannya. Ia hapal benar dengan aromanya karena baru siang tadi ia membauinya.

Rade mengangkat wajahnya perlahan. Ia melihat, Rafli menunduk dan menatap matanya. Rafly kembali menyentuhkan telunjuk pada wajah Rade dan mulai memiringkan kepala. Rade tahu apa yang akan Rafly lakukan. Rafly menarik tubuh Rade lebih rapat. Tanpa daya tolak, tubuh Rade begitu ringan mengikuti gerakan Rafly. Tubuh keduanya semakin lekat.  Rade reflek menutup mata, memiringkan kepala, dan menjinjit.

Prak...Terdengar suara seperti benturan benda keras. “Ups, maaf, saya kira di sini tempat ngopi saja. Rupanya bisa jadi tempat kencan juga,” suara seseorang mengejutkan Rade dan Rafly.

Wajah Rade tegang. Ia merasa seperti sedang digerebek saat melakukan perbuatan asusila. Rafly dan Rade tidak tahu persis sudah berapa lama orang itu di situ. Keduanya menduga-duga dalam hati. Rade dapat membaca kekecewaan yang sangat jelas dari wajah Rafly. Matanya tampak bengis menatap sesorang yang memergoki mereka. Meski di keremangan, dan hanya melihat punggungnya, Rade yakin orang itu adalah dia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status