“Bang Rafly udah makan siang?” tanya Rade.
“Abang mau makan siang ini sebentar lagi.”
“Makan bareng mau?” tanya Rade.
“Maaf, Abang makan di rumah ya.”
“Tumben?” tanya Rade.
“Iya, ada calon kakakmu di rumah.”
“Calon kakak?”
“Hehe Iya. Ya udah, Abang pulang duluan ya, nanti kakakmu marah,” ujar Rafly sambil terus beranjak pergi.
Rade masih kebingungan dengan sosok yang disebut Rafly sebagai calon kakaknya. Belum habis kebingungan Rade, ia terperanjat melihat Nining dan Aden makan bersama. Nining sedang berusaha menyuapi Aden. Aden yang melihat Rade terpaku menatapnya dan Nining langsung membuka mulut menerima suapan Nining. Rade yang melihat itu hanya tersenyum sinis.
“Ternyata doyan yang seksi juga,” kata Rade dalam hati.
Sesaat setelah Rade beranjak, Aden menempis tangan Nin
BAB INAMA YANG UNIK Sudah sepuluh menit Rade mematung di depan lemari baju. Ia bingung, baju harus ia kenakan pagi ini. Baju yang tepat untuk sesi wawancara kerja. Ini adalah wawancara kerja pertamanya. Ia merasa kesan pertama yang ditampilkan harus maksimal. Namun, ia bingung penampilan seperti apa yang kiranya akan memukau pewawancara. Ia ingin menggunakan blazer hitam resmi, tapi rasanya tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilamarnya, wartawan. Ia juga ragu untuk mengenakan kaus dan celana jeans saja seperti wartawan kebanyakan. Tidak sopan, pikirnya. “Rade, ini sudah hampir pukul 08.00 WIB, mau berangkat jam berapa lagi kamu,” teriak mamanya.“Iya, Ma. Ini Rade lagi bingung, mau pakai baju apa. Nanti terlalu formal atau terlalu santai,” jawab Rade.
"Jadi gini ya Rade, setiap media itu punya ciri khas masing-masing. Coba deh baca media-media besar . Itu gaya penulisan mereka identik banget, " terang Rafly. "Iya juga ya Bang. Kadang satu berita yang sama bisa ditulis dari berbagai sudut." "Nah, tu pinter. Kalau untuk tabloid kita ini, sejak awal kita ingin mengarahkan dengan gaya jurnalisme sastrawi. Pemberitaan tapi bergaya sastra gitu. Bahasa yang mengalir. Kebayang kan, kita yang cuma terbit seminggu sekali mengangkat berita yang sama dengan koran harian. Bisa kegilas kita kalau gak punya ketajaman penulisan. " "Iya, Bang. Saat satu momen mungkin udah basi, nah kita bari terbit. " "Yups. Makanya kita harus beda. Udah sini kita evaluasi dulu di mana ini tulisan kamu bisa diperbaiki. " Rade tersenyum kemudian dengan semangat meraih mouse. Sedetik berselang, tangan Rafly pun meraih mouse tersebut. Tangan R
Malam makin menua. Rade dan Ferdi masih berbincang. Banyak kata yang mereka ungkapkan tentang perasaan di masa lalu. Mereka saling jujur dan terbuka. Namun, ada sesuatu yang disembunyikan Ferdi. Sesuatu yang kelak akan membuat Rade terluka."Mulai sekarang, kita seperti dulu lagi ya?" tanya FerdiRade mengangguk lalu tersenyum. Gemintang memandikan mereka dengan kerlip kemilau. Cahayanya menembus hingga ke relung hati Rade."Kita pulang sekarang? Sudah larut.""Okeh."*****Keesokan pagi, Rade tiba di kantor lebih awal. Ia ingin segera bertemu Rafly. Ia meminta office boy untuk membuatkan secangkir kopi pahit. Ia duduk di meja Redaksi kemudian membaca headline dari beberapa media. Koran cetak dan berita online semua menjadi sarapan Rade."Selamat pagi," suara berat Rafly menyapa seisi ruangan redaksi."Selamat pagi juga, Bang," jawab Rade."Bagaimana kencannya semalam?" pertanyaan Rafly pada Rade menyulut perhat
Suasana ruang redaksi Tabloid WeekNews dihebohkan oleh pengakuan Rade bahwa tulisannya telah terbit di media lain. Padahal tulisan itu akan terbit pada tabloid mereka besok. Ia merasa bahwa ada seseorang yang telah mencuri tulisannya.“Bang Rafly, ini bagaimana? Kok bisa tulisanku terbit di media lain?” Rade bersungut-sungut kesal.“Kamu yakin ini sama persis?”“Persis banget, Bang. Ini benar-benar diplagiat tanpa diedit sama sekali. Bagaimana ini, Bang. Mereka sudah terbit hari ini, sedangkan kita besok. Kita yang bakal dibilang ngikutin mereka, Bang,” Rade mulai sedih.Rafly lalu membaca tulisan yang tayang di koran tersebut. Ia kemudian membandingkan dengan tulisan Rade. Ia pun terkejut karena tulisan itu sama persis.“Sungguh keterlaluan, siapa yang mencuri data kita?”“Bang Rafly, memang kita gak ada bukti untuk menuduh siapapun. Tapi coba deh liha
Sejak kejadian “pencurian” tulisan Rade oleh orang dari media lain, tim redaksi semakin waspada. Apalagi mereka masih melihat Aden datang dengan leluasa ke kantor. Mereka merasa percuma mengatakan kepada Bang Arif karena ia tidak percaya bahwa Aden pelakunya. Tiba-tiba pagi itu Bang Arif meminta semua anggota redaksi berkumpul di ruang rapat. “Kita kedatangan anggota baru yang akan bergabung di tim redaksi sebagai wartawan. Ia wartawan senior dan cukup kompeten. Rekan-rekan wartawan dapat belajar darinya,” Bang Arif membuka perkenalan sembari menyilakan Aden masuk ke ruang rapat. Semua mata terbelalak melihat Aden masuk ke ruang rapat sebagai orang yang diperkenalakan menjadi anggota baru tim redaksi. Semua orang menyimpan tanda tanya dalam benaknya masing-masing.&
Malam hari Ferdi menjemput Rade pada jam yang telah dijanjikan. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota karena Rade sedang tidak ingin makan malam. Susana hingar-bingar taman kota begitu kental.Taman yang terletak di pusat kota itu memang memiliki fasilitas yang lengkap. Ada arena bermain untuk anak-anak. Beberapa orang menyewakan mobil-mobilan, sepeda, atau becak mini. Ada juga arena melukis untuk anak-anak, permainan tradisional, dan area untuk bersantai. Di pinggir taman, deretan gerobak penjaja makanan kecil silih berganti didatangi pengunjung.“Ferdi, nanti kamu mau punya anak berapa?” tanya Rade sambil melihat ke arah anak-anak yang asik bermain.“Anak?”“Iya, anak. Coba kamu lihat di sana, orang tua dengan bahagia menemani anak mereka bermain. Aku ingin nanti kita juga seperti itu?”Ferdi tersedak mendengar ucapan Rade. Ia merasa bersalah kepada Rade karena ia tidak memiliki pem
Rade duduk sendiri menikmati kelapa muda. Matanya menatap hampa pada gulungan ombak di pantai. Semilir angin menampar lembut wajahnya. Suara ombak memecah batuan mendesau-desau di telinganya. Gesekan daun pohon kelapa yang dipermaikan angin melengkapi irama pagi. Sementara itu, matahari masih malu-malu muncul ke peraduannya. Menjingga merah merona cahayanya perlahan-lahan memantul dan berkilau di laut. Belum ada siapapun di pantai ini kecuali para pedagang. Mungkin Rade adalah pengunjung pertama di pantai ini. Ia ingin menenangkan diri karena masih belum dapat menerima peristiwa semalam. “Bagaimana mungkin kamu bisa begitu jahat padaku, Ferdi,” Rade bicara sendiri. Rade masih
Aden menyeruput es kopi di kafe tempat biasa. Ia duduk sendiri sembari menggeser-geser layar Hp-nya. Sesekali ia tersenyum dan tertawa kecil. Entah apa yang dibacanya. Tetapi sepertinya ia sangat menikmati sesuatu di layar hp. Ia bersiap berdiri karena ingin segera ke kantor lagi. Saat itu, ia melihat Surya, temannya di Harian Realita baru saja duduk dan memesan kopi. Surya tidak sendiri, ia ditemani seorang perempuan yang dikenal Aden. “Apa kabar, Bro?” Aden menyapa Surya. “Wee, Bang Aden. Baik Bang, udah lama ni kita gak jumpa.” Aden melirik pada teman wanita Surya, “Nining, kamu...,” s