Share

RD. SEIYA SEKATA
RD. SEIYA SEKATA
Penulis: Lan Terie

Nama yang Unik

BAB I

NAMA YANG UNIK

            Sudah sepuluh menit Rade mematung di depan lemari baju. Ia bingung, baju harus ia kenakan pagi ini. Baju yang tepat untuk sesi wawancara kerja. Ini adalah wawancara kerja pertamanya. Ia merasa kesan pertama yang ditampilkan harus maksimal. Namun, ia bingung penampilan seperti apa yang kiranya akan memukau pewawancara.  Ia ingin menggunakan blazer hitam resmi, tapi rasanya tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilamarnya, wartawan. Ia juga ragu untuk mengenakan kaus dan celana jeans saja seperti wartawan kebanyakan. Tidak sopan, pikirnya.

            “Rade, ini sudah hampir pukul 08.00 WIB, mau berangkat jam berapa lagi kamu,” teriak mamanya.

“Iya, Ma. Ini Rade lagi bingung, mau pakai baju apa. Nanti terlalu formal atau terlalu santai,” jawab Rade.

Mama mendatangi Rade ke kamar. “Rasa-rasanya, kalau mau jadi wartawan gitu, jangan yang terlalu formal deh. Kamu kan juga nanti bakalan jadi orang lapangan tuch. Liputan di luar,” kata Mama.

“Iya juga sih, Ma. Tapi kan harus tetep jadi kece. Gak selalu kan wartawan itu kesannya kumel,” goda Rade.

Udah cepet, nanti telat lagi. Gak lucu banget kan, baru wawancara udah telat.”

            Rade bergegas setelah memutuskan menggunakan blazer semi formal berwarna kream, dipadu dengan celana celana jeans biru muda.

            “Ma, Redi udah bangun belum? Rade mau minta antar nich ke kantor tabloidnya.”

Udah. Kalau mau diantar cepetan bilang, nanti keburu Redi berangkat ke kampus.”

Rade menuju kamar Redi dengan tergesa. Ia juga mengambil kunci mobil.

“Dek, antar kakak ya ke kantor Tabloid WeekNews, Kakak mau wawancara kerja,” pinta Rade.

“Aduh, Kak. Belum mandi nich. Lagian kenapa gak pakai motor aja sih, orang deket juga kantornya.”

“Adikku, RD. Selalu Bersama, ini tuh hari pertama wawancara. Kebayang gak naik motor angin-anginan. Ini rambut yang udah distylish bisa rusak tau. Gak perlu mandi lah kamunya, kan yang wawancara Kakak, bukan kamu. Gosok gigi, cuci muka juga oke. Mau ya, ya...,” Rade merayu adiknya dengan manja.

Oke deh, tapi aku gak nungguin ya, Kak. Pulangnya naik ojol aja.”

“Iya deh, beramal nanggung nich, kamu Dek.”

“Mau dianterin Gak nich. Udah sana, aku mau ganti baju dulu, Kak.”

Redi mengendarai mobil dengan kecepatan sedang karena pada waktu ini orang-orang sedang beradu cepat untuk tiba di kantor masing-masing.

“Kak, beneran ini mau jadi wartawan,” celoteh Redi sambil melihat ke arah sepatu highheels Rade.

Ya, iyalah. Ngapain kalau gak beneran. Kak rasa jadi wartawan itu seru. Jam kerja gak terikat. Gak melulu ada di kantor. Kita juga bisa banyak relasi. Kan keren tu, Dek.”

Gak takut kulit gosong tuch, kan kerjanya liputan di lapangan.”

“Yeay, gampang itu mah. Hari gini banyak skincare dari yang murah ampe yang mahal. Bisa untuk menyelamatkan wajah dari kegosongan.”

“Oke deh, kalau memang udah bulat tekad. Jangan sampe aja ya, baru sehari kerja udah nangis-nangis karena kepanasan.”

“Tenang, Dek, kalau Kak protes dengan kerjaan ini, Kakak bayar denda deh ke Adek. Mau minta traktir di mana, oke aja.”

“Asyik, beneran ni. Jangan boong ya.”

Rade dan Redi tiba di kantor Tabloid WeekNews. Kantor itu terletak di jalan utama kota P. Mudah untuk menemukan lokasi kantor tersebut. Kantor tiga lantai itu sangat mencolok dengan cat warna abu-abu kombinasi merah darah.  Tulisan berukuran besar yang juga berwarna merah “Tabloid WeekNews” terpampang jelas pada bagian atas gedung kantor. Dari luar orang dapat melihat meja resepsionis karena pintu utamanya dari kaca transparan. Halaman parkir gedung cukup luas dan memadai sehingga orang yang datang ke kantor tidak sampai parkir di jalan.

Rade melangkah dengan pasti masuk ke kantor. Suara hak sepatunya membuat beberapa orang menoleh. Rade pun melambatkan langkahnya agar suara hak sepatunya tidak membuat heboh. Setelah mendapat kartu tanda pengunjung dari satpam kantor, Rade menuju resepsionis dan mengatakan bahwa ia salah seorang yang akan diwawancarai. Resepsionis lalu mengantar Rade menuju sebuah ruangan bertuliskan “Ruang Rapat Redaksi”. Di ruangan berukuran 4x6 meter tersebut sudah menunggu lima pelamar lain.

Rade tersenyum pada pelamar lain kemudian duduk di kursi paling depan. Hanya kursi paling depan yang kosong, karena lazimnya orang Indonesia suka duduk di kursi belakang. Tak berapa lama, masuk seorang perempuan bertubuh semampai, kulit putih dengan rambut model bob berwarna chesnut. Ia mengenakan kemeja formal warna tosca dan rok pendek 5cm di atas lutut. Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Nuning, sekretasi redaksi Tabloid WeekNews.

“Selamat datang para pelamar. Sebelum memulai sesi wawancara. Kami meminta kawan-kawan semua yang ada di sini menjawab mengerjakan tes yang sudah kami sediakan,” ujarnya dengan nada formal.

            Sekretaris Redaksi membagikan tes yang akan dikerjakan. Tes tersebut seputar mater jurnalistik dan pemberitaan. Tidak sulit bagi Rade untuk mengerjakan tes tersebut karena ia sudah mempersiapkan dengan matang. Dua jam berselang, semua pelamar telah menyelesaikan tes. Mereka kemudian diminta menunggu untuk panggilan wawancara.

            Rade menjadi pelamar ke dua yang dipanggil untuk wawancara.

“RD. Seiya Sekata, silakan menuju ruang wawancara. Dari sini lurus saja, kemudian belok ke kanan, ruangan ke dua ya,” ujar Nuning dengan cepat.

            Rade kemudian berjalan ke arah yang disebutkan. Namun, Rade lupa ruangan ke dua atau ke tiga. Rade lalu berhenti sejenak di depan pintu ruangan, kemudian memutuskan masuk ke ruangan ke tiga. Di atas ruangan itu tertulis “Ruang Redaktur”. Rade membuka pintu dengan perlahan. Ketika pintu terbuka, semua mata memandang Rade hingga ia pun kikuk.

            “Cari siapa Mbk?” tanya salah seorang yang ada di ruangan itu.

            “Maaf, Bang. Saya pelamar yang mau wawancaara,” ujar Rade malu-malu.

“Oh, salah ruangan Mbak! Wawancara di sebelah ya. Di ruangan pimpinan redaksi,” katanya lagi.

            Rade kemudian sedikit menundukkan kepala tanda permisi. Saat hendak membalikan badan, pandangan Rade bersirobok beberapa detik dengan sesosok pria di ruangan itu. Pria berkaca mata itu lantas tersenyum tipis. Itulah kali pertama Rade bertemu Rafly yang akan menjadi sosok penting dalam kehidupannya.

            Di ruangan pimpinan redaksi. Rade bertemu Arif. Dari perawakannya, terlihat jelas bahwa Arif sosok yang serius. Melihat itu, Rade mulai tegang. Ia mengatur nafas agar tetap tenang.

“Silakan duduk, Mbak RRDD Seiya Sekata? Benar ini namanya?” tanya sang pimred dengan mengeja nama Rade.

“Iya, Pak, benar.”

“Di sini jangan panggil bapak ya, panggil Abang saja,” katanya tersenyum.

Melihat senyum itu, ketegangan Rade sedikit berkurang. Ia lantas menjawab, “Iya, Bang.”

“Namanya unik ya, RD itu semacam gelar bangsawan atau apa?”

“Bukan, Bang. Itu singkatan nama orang tua saya, Ranto dan Dewi.”

“Keren. Berarti orang tua kamu  ingin agar selalu seiya sekata ya, hehehe.”

“Iya, Bang. Adik saya juga namanya RD. RD. Selalu Bersama,” sambung Rade yang kemudian menyadari bahwa tidak penting untuk membahas itu saat wawancara kerja.

Setelah berdehem dan tersenyum, Arif melanjutkan dengan berbagai pertanyaan. Di antaranya tentang motivasi melamar pekerjaan, keunggulan dan kelemahan Rade, bagaimana kesiapan bekerja dalam tim, dan hal-hal lain terkait kode etik jurnalistik serta aplikasinya di lapangan.

            Rade menjawab semua pertanyaan dengan tenang dan pasti. Sebagai sarjana komunikasi, jelas saja kemampuan bicara Rade tak perlu diragukan lagi. Rade merasa puas dengan wawancaranya kali ini. Ia yakin akan diterima bekerja.

            Rade keluar ruangan dengan sumringah. Satu ketegangan telah berkurang. Ia tinggal menunggu hasil akhir. “Bang Arif bilang tadi, kalau diterima akan ditelepon sore ini juga. Mudah-mudahan diterima, aamiin,” gumam Rade dalam hati.

            Rade masih duduk di lobi kantor. Ia membuka dan memesan taksi melalui aplikasi online. Sembari menunggu, ia kembali bertemu Rafly. Rafly hanya tersenyum.

            “Bang Rafly mau ke mana?” panggil Nuning yang tiba-tiba muncul.

            “Mau ngopi dulu lah, pusing,” katanya.

            “Kan di kantor ada kopi, Bang. Biar Nuning bikinkan,” goda Nuning.

“Mau cari susana beda. Ning. Abang ini kerja di kantor, tidur di kantor, masa iya sih ngopi juga di kantor,” kata Rafly sembari terkekeh lalu membuka pintu kantor.

Sebelum keluar, Rafly melemparkan senyum kepada Rade yang mendengar pembicaraan mereka. Lagi-lagi Rade menjadi kikuk karena merasa menguping pembicaraan orang lain.

“Aduh, bego-bego, kok malah melongo sih dengerin omongan orang lain,” ujar Rade sambil memukul-mukul keningnya karena malu tertangkap basah menguping pembicaraan Nuning dan Rafly.

Entah apa sebabnya, Rade merasa risih dengan percakapan Nuning dan Rafly. Rade merasa Nuning bukan sosok yang menyenangkan. Mungkin hal itu muncul karena sebagian perempuan memang tidak terlalu menyukai perempuan lain yang bertindak sok genit.

Lebai deh. Ups,” ujar Rade lirih kemudian menutup mulutnya.

Radar pada aplikasi di handphone Rade menunjukkan bahwa pengemudi taksi yang dipesan Rade sudah hampir tiba. Rade memutuskan untuk menunggu di parkiran kantor. Usai mengucapkan terimakasih kepada Resepsionis, Rade menuju parkiran dan menunggu di sana.

Mobil Honda Mobilio tiba di depan Rade. Ia tersenyum dan mengangguk kepada pengemudi mobil kemudian masuk.

“Di antar sesuai peta, Mbak?” tanya sang sopir.

“Iya, Mas.”

“Mbaknya kerja di kantor itu ya?”

“Baru melamar, Pak. Mudah-mudahan keterima.”

“Amiin. Emang enak sih, Mbak, jadi wartawan. Banyak kenalannya,” cerocosnya lagi.

“hmm iya, Pak.”

“Mbk ini penumpang pertama saya. Saya baru keluar Mbk. Soalnya lagi sepi banget.”

“Oh, gitu ya, Pak. Kenapa sepi,” Rade terus memberondong Pak Sopir dengan berbagai pertanyaan.

“Sekarang harga barang-barang pada naik. Pendapatan gak naik-naik. Jadi orang-orang juga pada gak jalan-jalan. Gak ada yang jalan-jalan berarti gak ada yang sewa taksi online,” Pak Sopir terus berikisah.

“Lumayanlah, latihan wawancara narasumber,” bisik hati Rade.

Perjalanan selama 20 menit tidak terasa karena Rade asik berbincang dengan Pak Sopir. “Bayarannya udah ya, Pak,” Rade memastikan bahwa pembayarannya dilakukan nontunai.

“Okeh, makasih Mbak. Jangan lupa kasih bintang lima ya, Mbak.”

Ashiiiap,” jawab Rade sembari membuka pintu mobil kemudian berlari kecil menuju rumah karena gerimis.

Di rumah, Mama menyambut Rade penuh senyum.

“Kakak udah makan? Gimana tadi wawancaranya?”

“Belum makan, Ma. Mau makan masakah Mama aja. Alhamdulillah, lancar, Ma. Doain ya. Sore ini kalau keterima, Rade dikabari.”

Di meja makan, Rade menceritakan peristiwa wawancara. “Seperti biasa, Ma, orang-orang pada heran dengan nama Rade. Katanya unik.”

“Bagus donk, entar kamu bisa viral gara-gara nama.”

“idih, Mama. Viral kok gara-gara nama sih.”

“Tapi, Ma. Emang sih orang-orang sering heran dengan nama Rade. Rade suka. Rade merasakan banget cinta Mama dan Papa,” ujar Rade terharu.

“Ma. Mama kan cantik. Kenapa Mama tidak menikah lagi. Padahal Papa sudah meninggal 10 tahun lalu.”

“Mama mau fokus sama kalian berdua saja. Mama ingin membesarkan kalian. Menjaga amanah Papa. Lagipula, Mama berharap kelak di hari akhirat Mama bisa dipertemukan kembali dengan Papa. Seperti nama kalian berdua, Seiya Sekata dan Selalu Bersama,” kata mama sembari tersenyum mengenang Papa.

“Kak  Rade, tu ada Bang Ferdi di luar,” Redi datang memecah suasana.

“Ferdi?” Mama melotot ke arah Rade.

“Hehe, iya Ma. Ferdi yang waktu di SMA dulu,” kata Rade.

CLBK sama Ferdi. Udah jauj-jauh kuliah ke luar kota, masa balikan sama mantan sih, Kak,” goda Mama.

“Mamaa. Nanti malam deh, Rade ceritain ya. Puanjaaang banget ceritanya. Bisa dibikin jadi film,” ujar Rade sambil tertawa kecil.

Melihat ucapan itu, Mama menggelengkan kepala. Begitu juga Redi mencibir Rade sambil menyambar minuman dari tangan Rade.

Cie.....ciee...yang CLBK, Cinta Lama Basi Keleeessss,” teriak Redi.

            Rade meletakkan jari telunjuk di bibir Redi dan menyuruhnya diam. Ia lalu bergegas menemui Ferdi di teras. Ferdi sedang memperbaiki bandonya ketika Rade datang. Ya, menurut Rade penampilan Ferdi keren. Rambutnya yang panjang seleher diikat sebagian. Ferdi juga mengenakan bando kecil untuk menaham agar poninya tidak mengenai kening. Rade suka penampilan Ferdi seperti itu. “He is like a badboy,” itu kata Rade dulu kepada temannya tentang Ferdi.

            “Udah lama nunggu?” Rade membuka percakapan.

            “Belum, baru aja kok. Gimana, kita jadi jalan,” katanya.

            “Okeh, tapi pamit Mama dulu ya.”

Mama kemudian mendatangi Rade dan Ferdi di teras.  “Ferdi apa kabar? Gak masuk dulu Nih,” kata Mama.

“Alhamdulillah, kabar baik, Tante. Tante gimana kabarnya?”

“Baik juga. Ini pada mau kemana?”

“Minta izin ya Tante, ajak Rade jalan-jalan,” kata Ferdi.

“Boleh, tapi jangan jauh-jauh ya, sekarang lagi musim hujan, jalanan licin.”

“Iya, Tante. Cuma ajak nongkrong di kafe saja.”

Setelah berpamitan, Rade dan Ferdi pergi mengendari sepeda motor. Pukul 14.00 WIB memang tak banyak orang di jalan. Sepeda motor yang dikendarai Ferdi membelah jalanan tanpa hambatan.

“Kamu masih inget kan, kita seing lewat jalan sini?” kata Ferdi.

“Iya, inget. Tapi waktu itu gak naik motor. Kita jalan kaki dari sekolah,” Rade mengenang.

“Iya, tapi rasanya tetep asyik kan?”

“Asyik, karena sama kamu. Tapi kalau sekarang ogah ah,” goda Rade.

Lagian siapa juga yang mau ngajak jalan kaki.”

“Kita nongkrong di situ aja yuk. Di situ kopinya enak. Kopi susu Aceh Gayo mantap,” Ferdi berpromosi.

“Aku ikut ajalah. Tapi aku gak ngopi ya. Karena keseringan ngopi dulu, sekarang kalau minum kopi asam lambung kumat.”

“Okeh, jus buah juga ada di sana.”

            Usai memarkirkan motor, Ferdi dan Rade memilih duduk di tempat “No Smoking Area”. Selain lebih privat, Rade memang agak terganggu dengan asap rokok. Lagipula di “Smoking Area” banyak laki-laki. Tidak nyaman berbincang di antara para lelaki, menurut Rade.

            Mereka lalu memesan minuman dan kentang goreng. Mata Rade berkeliaran memperhatikan interior kafe. “Mantap juga ya temanya. Industrial gitu. Jadi asyik. Kamu sering ke sini?” tanya Rade.

“Lumayan sering. Menurutku kopi di sini paling enak. Tempatnya juga asik. Lihat kan, jarak antar mejanya jauh. Jadi kita gak khawatir pembicaraan kita dikupingin orang,” ucap Ferdi.

“Iya juga ya. Tempatnya juga luas. Parkirannya juga,” timpal Rade.

Pesanan datang. Obrolan mereka pun mengalir seperti air. Suasana  sangatcair.

“De, kamu masih inget gak pertama aku lihat kamu dulu waktu SMA.”

“Iya, inget. Waktu itu kamu menghina aku kan. Kamu bilang aku kayak orang gila. Padahal waktu itu aku kan lagi akting, uji coba buat masuk ekskul teater sekolah.”

“Hahaha, iya. Lagian itu aneh-aneh aja. Masa sih kudu jadi orang gila buat masuk jadi anggota teater.”

“Namanya juga akting. Kan mau dites dulu, kita bisa akting apa gak? Sama juga lah kayak kamu, waktu mau bentuk band sekolah, kan nyari yang bisa main musik.”

“Aku gak nyangka, setelah gak jadi orang gila lagi, ternyata kamu manis banget. Sekarang lebih manis lagi.”

Rade tersipu mendengar ucapan Ferdi. Kenangan masa pacaran saat remaja melintas-lintas di benak Rade. Ferdi yang selalu melakukan hal-hal unik untuk menarik perhatiannya.

“Ferdi, kamu masih inget kan, waktu aku sakit dan pengen banget makan asinan buah. Waktu itu buah yang aku mau sulit di dapat. Kamu cari sampai ketemu. Waktu itu kamu bilang sama temen aku, kamu mau ditukar sakitnya. Biar kamu aja yang sakit, jangan aku. Sejak itu, aku jadi baperan deh.”

“Bener. Aku gak bisa lihat kamu sakit. Rade. Sekolah rasanya hampa kalau kamu gak ada. Belajar juga gak konsen, mendingan bolos.”

“Kalau urusan bolos, bukan gara-gara aku tahu. Itu sih memang kamunya suka bolos.”

“Ih, beneran. Aku tanpamu, butiran debu,” Ferdi tertawa kecil.

Apaan Sih. Itu dulu. Kalau sekarang, kamu pasti sudah punya pacar kan?” pancing Rade.

“Aku gak bisa ngelupain kamu. Dari lulus SMA kemudian kamu kuliah di luar kota, aku gak dekat dengan siapapun. Makin aku coba buat ngelupain kamu, makin aku teringat sama kamu. Aku bahkan nyiptain lagu sama bandku yang inspirasinya itu dari kamu.”

Siapapun pasti merasa berbunga-bunga mendengar pernyataan itu. Begitu juga Rade. Ia tersenyum lalu meminum jus mangga yang dipesannya. Tak ada yang bicara, mereka hanya saling menatap. Benak mereka dipenuhi kenangan masa SMA. Dua tahun berpacaran dengan kenakalan dan kelucuan khas remaja. Mereka tersipu seolah pikiran mereka terkoneksi satu sama lain dalam frekuensi yang sama.

“Kayaknya mau hujan deras ni. Kita pulang Yuk,” ajak Rade.

“Biarin aja hujan. Kita hujan-hujanan sekalian kayal film India.”

“Terus maksudnya, kita nyanyi-nyanyi gitu, Chaiya Chaiya. Udah ah, pulang yuk. Nanti keburu hujan. Dingin.”

Di perjalanan pulang, Ferdi menarik tangan Rade dan melingkarkan di pinggannya. Rade menolak. Ia melepas tangannya lalu melipat di dadanya. Dari kaca spion motor tampak Ferdi tersenyum. Rade membalas dengan gerakan mengepalkan tangan. Ferdi menyambut gerakan itu dengan tertawa terbahak. Ferdi lalu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi kemudian memainkan rem tangan mendadak. Tubuh Rade menabrak Ferdi. Tapi ia telah mengantisipasinya dengan telapak tangan. Rade lalu memukul pundak Ferdi dengan keras. Ferdi makin terbahak.

Apaan sih. Kayak ABG aja begituan. Udah gak zamannya,” ujar Rade cemberut.

Biarin aja. Aku suka lihat kamu cemberut gitu. Gemessssss.”

            Rade memalingkan wajah kemudian mengulum senyum. Ferdi memerhatikan dari kaca spion dan tersenyum puas.

            Mama mendengar suara motor berhenti kemudian membuka pintu dan duduk di kursi teras. Rade membuka pagar dan menyilakan Ferdi masuk. Ferdi masuk dan berdiri sebentar untuk berpamitan pada Mama Rade.

“Saya pamit pulang dulu ya, Tante. Makasih sudah ngizinin saya jalan-jalan sama Rade,” ujar Ferdi.

“Iya. Hati-hati di jalan ya, salam untuk Mama Papa di rumah,” Mama berujar ramah.

Rade melambaikan tangan dan tersenyum. Setelah bayangan Ferdi menghilang, Mama dan Rade masuk ke rumah. Rade tidak banyak bicara dan langsung meninggalkan Mama menuju ke kamarnya.

“Rade mau mandi ya, Ma. Udah sore.”

“Pulang jalan-jalan gak bawa oleh-oleh,” goda Redi yang lewat sambil tetap memainkan game dari gawainya.

Apaan sih, beli sendiri kalau mau. Yeee,” ucap Rade sambil mengejek Redi dengan menjulurkan lidah.

            Rade memeriksa handphonenya berkali-kali. Ia melihat chat WA atau panggilan telepon. Tidak ada tanda-tanda telepon masuk dari Tabloid WeekNews padahal hari sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB.

            “Aduh, sudah sesore ini, belum juga ada telepon. Jangan-jangan gak keterima,” gumam Rade.

“Ada apa Kak, kok ngomong sendiri,” sapa Mama yang melihat Rade kebingungan.

“Ini, Ma. Rade lagi nunggu telepon dari tabloid. Sore udah mau abis nih, tapi belum ada telepon juga.”

“Sabar dong. Tunggu bentar lagi ya. Pasti ada telepon masuk. Mama yakin deh, pasti diterima.”

            Tepat sedetik usai Mamai menyelesaikan kalimatnya, handphone Rade berdering. Benar saja, terdengar suara Nuning. “RD. Seiya Sekata, besok mohon datang ke kantor ya untuk mulai menandatangani perjanjian kerja dan langsugn bisa mulai kerja.”

            Usai telepon dimatikan, Rade bersorak kegirangan sambil memeluk Mama.

            “Mama punya telepati ya sama orang tabloid. Kok bisa pas gitu.”

“Mama hebat banget. Unch unch, sarangheo Mamae,” Rade menggoda Mama dengan kode jari setengah love ala drama Korea.

“Inilah yang disebut kekuatan doa ibu,” ujar Mama bergaya kampanye.

“Kok mirip kayak tulisan-tulisan yang di belakang truk ya, Ma,” Rade mengolok sambil berjalan setengah melompat menuju kamarnya.

            Mama menggelengkan kepala melihat tingkah anak gadisnya yang sudah berusia 23 tahun tetapi masih manja dan kekanak-kanakan. Meski single parent, Mama tetap memberikan perhatian dan kasih sayang penuh kepada kedua anaknya agar mereka tidak kekurangan kasih sayang.

            Malam hari, saat Mama sedang memberishkan wajah, Rade mengetuk pintu kamarnya.

            “Ma, boleh Rade masuk?”

            “Masuk aja sayang.”

Rade duduk di tepi ranjang Mama. Ia menopang dagu dan menatap kagum pada Mama. Mama melihat sikap Rade dari cermin.

“Kok natap ke Mama sampe segitunya sih, Kak? Jadi serem.”

“Mama cantik banget. Rade sampe iri.”

“Kakak juga cantik.”

“Mama tahu gak, orang-orang mengira Mama itu kakaknya Rade lho. Itu Radenya yang ketuaan atau Mama yang awet muda ya.”

“Hehe, kamu. Ada-ada aja. Yang jelas, Mamanya cantik, anaknya lebih cantik.”

            Mama mendekat ke arah Rade. Rade kemudian menyandarkan kepala di pangkuan Mama.

            “Mama pernah ngerasain kesepian gak sejak ditinggal Papa?”

            “Ya, pernah dong. Namanya kita berpisah dari orang yang kita sayangi.”

            “Kalau lagi merasa sepi gitu, biasanya apa yang Mama lakuin?”

“Hmm. Mama melihat foto-foto Papa. Lalu berbicara pada foto Papa seolah-olah Papa ada dekat Mama.”

“Terus, sepinya jadi hilang, Ma?”

Gak langsung hilang juga sih. Mama menyugesti diri saja bahwa Papa sudah bahagia di alam sana. Dan Mama memandang kalian berdua, harta Mama yang paling berharga,” ujar Mama dengan mata berkaca-kaca.

“Makasih ya Ma atas cinta yang begitu besar untuk Rade dan Redi. Kami gak mau Mama kesepian. Kalau sekiranya mama menemukan orang lain yang Mama cintai dan bisa mendampingi Mama, kami gak apa-apa kok kalau Mama nikah lagi.”

“Tuh, kan bahas ini lagi.”

“Kami tu kadang-kadang geram juga, Ma. Kalau melihat tatapan tetangga-tetangga kita yang penuh curiga pada Mama seolah-olah Mama mau merebut suami mereka hanya karena Mama seorang janda.”

Biarin saja, jangan baperan gitu ah.”

“Bukan baperan, Ma. Kemaren Redi cerita. Tante Restu yang tinggal di ujung jalan itu pernah marah-marah sama Mama lantaran suaminya datang ke sini untuk meminta tanda tangan kuitansi.”

“Oh, itu. Cuma salah paham aja. Suaminya Tante Restu memesan roti sama Mama untuk acara kantornya. Awalnya pesan 200 pcs, kemudian ditambah lagi jadi 300 pcs. Kuitansi awalnya Mama baru membuat untuk yang 200 pcs, kemudian ia datang lagi untuk minta kuitansi baru. Nah, stempel Mama ketinggalan di toko, gak dibawa pulang. Jadi Minta Redi ngambil di toko. Jadinya dia lama dong di rumah kita. Nah, Tante Restu curiga, dikirain Mama ada apa-apa sama suaminya.”

“Kecurigaan yang amat sangat tidak berdasar, Ma. Apa hanya karena Mama janda orang jadi bisa berprasangka buruk sama Mama,” ucap Rade dengan marah.

“Wajar dong. Itu namanya Tante Restu cinta banget sama suaminya. Kalau Mama di posisi Tante Restu mungkin bakalan lebih dari itu bertindaknya.”

“Kok bisa sih Mama sabar begini. Memahami orang lain sampe segitunya.”

“Mama udah tua, Kak. Sudah sepatutnya orang tua itu bijaksana. Mama mau ngasih contoh sama anak-anak Mama.”

Rade mengangkat kepala dari pangkuan Mama kemudian memeluk erat Mama.

“Malam ini, Rade tidur sama Mama ya.”

“Boleh.”

                                                             *****

            Keesokan hari, Rade bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia bersenandung kecil sambil memoles wajahnya dengan make up tipis. Ia mengusahakan agar tampilannya senatural mungkin.

Gak percuma nih, nonton tutorial make up di Youtube, walaupun gak  secantik Tasya Farasya,” Rade bicara sendiri.

“Jadi diri sendiri aja, Kak,” Mama mengejutkan Rade dari belakang.

“Eh, Iya Ma. Rade cuma bercanda saja. Lagian gimana bisa mirip Tasya Farasya. Tasya hidungnya lancip gitu.”

“Anak Mama juga lancip, tapi ke dalam.”

“Ih, Mama. Ini hidung warisan Papa nih. Kalau warisan Mama pasti Mancung.”

            “Udah, buruan make up. Sarapan dulu, baru berangkat.”

            “Siap, Bos.”

Rade menuju meja makan. Di sana Redi sudah rapi. Satu tangan pegang handphone, satu tangan lagi memegang cangkir kopi.

“Dek, kalau minum jangan sambil pegang handpone napa?”

“Ini Kak, lagi ada berita seru.”

“Berita apaan?”

“Presiden mahasiswa kampus kami lagi dialog sama petinggi kampus masalah pemilihan rektor. Presma mewakili kawan-kawan yang gak setuju sama salah satu calon rektor. Menurut kawan-kawan rektor itu gak kompeten gitu. Tapi, petinggi kampus malah memberi ancaman sama presiden mahasiswa.”

“Oh, gitu. Terus, endingnya gimana?”

“Belum tahu sih kan, hari ini katanya ada pertemuan lagi antara perwakilan mahasiswa dengan rektorat. Btw, Kakak hari ini pertama kerja dong.”

“Iya, ntr lagi mau berangkat.”

“Mau dianter gak? Kebetulan gak ada kelas pagi. Nanti rambutnya lecek lagi kalau pakai motor.”

Gak usah deh. Ribet. Nanti juga kan mau liputan. Kakak pakai motor aja lah.”

“Coba deh, Kakak kursus nyetir gitu. Biar bisa bawa mobil. Kan sekarang banyak tuh, pelatih mengemudi yang khusus cewek.”

“Mengemudi itu butuh mental, bukan cuma skill, Dek. Seperti menjalani kehidupan ini yang gak cukup punya kemampuan, tapi harus bermental baja,” kata Rade dengan gaya bersajak.

Aiih mulai deh kelebaiannya.”

Udah ah, Kakak berangkat dulu ya.”

“Ma, Rade berangkat dulu Ya. Doain supaya hari ini sukses dan lancar selalu ya, Ma.”

            Rade mencium tangan Mama kemudian berangkat mengendarai sepeda motor maticnya. Ia menikmati suasana pagi yang cerah. Lampu lalu lintas berwarna kuning, pertanda sebentar lagi merah. Rade ingin mengegas motornya dengan kencang agar tidak terjebak lampu merah. Tapi, ia mengurungkan niatnya, karena ia melihat dari arah yang lain lalu-lalang kendaraan ramai. Setelah 60 detik berlalu, lampu merah berganti hijau. Rade mendengar mobil di belakangnya sudak membunyikan klakson. Rade membuka helmnya dan dengan kesal menoleh ke arah pengemudi mobil di belakangnya.

            “Yang bener aja, emangnya kita harus terbang gitu. Sabar dikit dong,” Rade menggerutu pelan.

            Rade merasa heran dengan orang-orang yang seringkali tidak sabar ketika berada di lampu merah. Mereka membunyikan klakson padahal pergantian lampu merah ke hijau baru setengah detik terjadi.

            Masih dalam keadaan kesal, Rade melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Ia tidak ingin terburu-buru demi keselamatan. Tiba di kantor, Rade merapikan diri. Ia mamatut wajahnya di kaca spion motor. Melihat apakah rambut dan wajahnya masih on point. Setelah yakin ia rapi, Rade masuk ke kantor dan bertemu Nuning.

“Mbk RD, mari saya antar ke ruang redaksi. Kita kenalan dengan rekan-rekan di sana,” ajak Nuning.

            Rade mengikuti Nuning dari belakang menuju ruang redaksi. Ia diminta memperkenalkan diri.

“Assalammualaikum. Hallo, Abang-Abang dan kawan-kawan, selamat pagi. Saya RD. Seiya Sekata  biasa dipanggil Rade.”

“Wih, RD. Ini kepanjangannya Raden apa? Kalau Raden Ajeng kan RA. Ini RD?” celetuk Koko, fotografer WeekNews.

“RD kepanjangannya Ranto Dewi, Bang. Nama Ibu dan Ayah saya,” ucap Rade.

“OOO, hehe oke deh. Selamat bergabung Rade,” jawab Koko renyah.

            Saat perkenalan berlangsung dengan anggota redaksi yang lain. Rafly masuk ke ruangan.

            “Bang Rafly, ini kenalin wartawan baru yang keterima kemarin,” kata Koko.

            “O, ini wartawan barunya,” kata Rafly sambil menoleh dan mengulurkan tangan ke arah Rade.

            Rade menyambut uluran tangan Rafly sambil saling menyebutkan nama. Suara Rafly terdengar berat tetapi lembut. Senyumnya manis menggelitik hati Rade. Rafly tak terlalu tinggi, tapi proporsional. Wajahnya tampan dan berkharisma. Rade menebak usianya sekitar 35 atau 37 tahun. Rade merasa segan dan tersihir dengan kharisma Rafly. Kekaguman Rade pada Rafly rupanya terbaca oleh Rafly.

            “Rade sudah kenalan dengan teman lain?” Rafly memecah kebisuan.

            “Sudah, Bang.”

“Okeh, Rade, nanti Abang yang akan jadi redaktur pendamping Rade ya. Selama masih magang. Untuk edisi yang akan cetak minggu ini, Rade belum ambil bagian dulu. Kita belum tahu kualitas tulisan Rade. Nanti Abang lihat dulu tulisan Rade untuk menentukan kira-kira Rade cocoknya liputan di segmen apa,” Rafly menjelaskan.

“Iya, Bang.”

“Oke tim, sekarang kita merapat ke ruang rapat redaksi membahas proyeksi untuk terbitan kita berikutnya ya. Kita juga akan mengevaluasi edisi kita minggu lalu.”

            Rafly dan tim memasuki ruang rapat Redaksi. Begitu juga Rade. Rade merasa senang berada di ruangan ini. Ia semakin merasakan bahwa pekerjaan sebagai wartawan memang cocok untuknya. Ia mendengerkan Rafly mengatur wilayah dan segmentasi peliputan. Rade menyaksikan bahwa tim redaksi sangat menghormati Rafly. Suara dan kata-katanya membius siisi ruangan. Kalimat-kaimat motivasi serenyah Mario Teguh meluncur dari mulut Rafly. Mungkin kata terbius tak cocok lagi menggambarkan situasi saat itu. Lebih tepatnya, orang-orang terhipnotis.

            “Untuk Rade, ikut dulu sama Riska ya. Liputan yang sederhana aja, kuliner.”

            “Baik, Bang,”

            “Riska, anak orang jangan dibawa macem-macem ya,” goda Koko kepada Riska.

            “Plis deh. Aman pokoknya, Bang,” Riska berujar pada Rafly.

“Habis liputan, nanti Rade langsung bikin tulisan ya. Abang yang akan menilai tulisan Rade,” kata Rafly.

            Semua anggota redaksi meninggalkan ruangan rapat. Mereka bersiap untuk melakukan peliputan dan membuat janji dengan narasumber.

            “Mbk Riska, habis ini kita langsung jalan?” tanya Rade.

            “Iya, kita bikin berita acara dulu, wilayah peliputan ke Mbak Nuning,” jelas Riska.

Rade mengikuti Riska untuk melakukan prosedur sebelum peliputan. Ia kemudian dibonceng Riska dengan motor dinas kantor. Sepeda motor bertuliskan Tabloid WeekNews.

“Pakai motor kantor lebih enak, karena orang langsung tau kita dari media apa,” kata Riska membuka percakapan.

            Meski suara Riska terdengar kurang jelas karena terbawa angin, Rade tetap mendengarkan dengan saksama.

            “Kalau liputan kita akan ketemu dengan berbagai tipe orang. Ada yang sulit diwawancarai, ada yang ketagihan diwawancara sampe enggak bisa disetop omongannya. Ada yang minta dipromosiin. Ada yang sinis, ada juga yang keganjenan. Intinya, kita harus bersikap netral deh sama narasumber yang berbagai karakter.”

            “Gitu ya Mbak, bimbing saja ya. Maklum saya baru.”

“Tenang aja, nanti kamu dimentori sama Bang Rafly. Aman itu. Orangnya baik. Aku juga dulu dimentori sama Bang Rafly waktu masih jadi wartawan magang.”

“Tadi aku lihat waktu rapat cuma ada Bang Rafly, redaktur yang lain gak ada.”

“Kalau urusan proyeksi dan bagi wilayah peliputan memang tugasnya Bang Rafly. Nanti rapat pra penerbitan, baru redaktur lain hadir juga untuk pembagian tugas pengeditan gitu,” terang Riska.

Sepanjang perjalanan menuju lokasi liputan. Riska berbagi pengalaman kepada Rade. Rade dan Riska menjadi cepat akrab. Mulanya Rade memanggil “Mbk” kepada Riska, tetapi Riska meminta agar Rade cukup memanggil nama saja, Riska.

Liputan pertama Rade tentang penyakit yang sedang marak kalau musim hujan yaitu malaria dan demam berdarah. Mereka mewawancarai dokter dan tenaga kesehatan. Mereka juga mencari data ke Rumah Sakit Daerah. Setelah data terkumpul, Rade dan Riska kembali ke kantor untuk menulis hasil liputan mereka.

“Riska, beritanya nanti Rade aja yang bikin ya, Abang mau menilainya,” kata Rafly pada Riska.

“Oke deh, Bang. Asik, bisa pulang cepat nih. Bisa pacaran dulu sama doi,” ucap Riska sumringah.

“Pulang cepetnya, hari ini aja ya, besok gak lagi,” kata Rafly.

“Oke deh, See you next ya, Rade. Selamat menulis.”

Rade tersenyum dan dan mengacungkan jempol pada Riska. Rafly lalu menunjukkan meja Rade.

“Kamu bisa nulis berita di komputer ini ya. Karena kamu wartawan magang jadi nulis beritanya dari kantor dulu. Nanti kalau sudah pandai, nulis langsugn dari lokasi liputan juga bisa,” jelas Rafly.

“Oke, Bang.”

“Kalau Abang lihat dari jawaban tes dan hasil wawancara kamu, secara teori jurnalistik kamu oke lah. Aplikasinya juga pasti bagus,” Rafly menyemangati.

“InsyaAllah, Bang. Aku coba yang terbaik.”

Rade mendengarkan rekaman wawancara dengan narasumber dari handphonenya. Dengan saksama poin-poin informasi ia dengar untuk menentukan angel berita. Namun, sudah berulang kali mendengarkan, Rade kesulitan untuk memulai dengan gaya seperti apa. Benar apa yang dikatakan Rafly, ia memang paham dengan teori penulisan berita. Piramida terbalik lah, 5W+1H dan sebagainya. Namun untuk mengaplikasikan teori itu, ia agak kesulitan.

Sekitar 90 menit berlalu. Rade menyelesaikan tulisannya. Ia tidak tahu apakah waktu 90 menit tergolong lama, cepat, atau ideal untuk menulis sebuah berita. Ia hanya berusaha menulis yang terbaik.

            “Bang, beritanya udah selesai,” kata Rade menghampiri Rafly.

            “Oh, wait sebentar ya. Abang nyelesain editing ini dulu.”

            Rade kembali ke depan komputernya. Ia membuka situs-situs berita. Tak lama berselang, Rafly datang mendekat. Rafly mencondongkan badannya dari belakang Rade melihat ke layar komputer Rade. Terlalu dekat menurut Rade sehingga ia bisa merasakan napas Rafly. Rade tak berani berbalik ke belakang karena ia khawatir akan semakin dekat dengan Rafly. Melihat gelagat Rade yang kikuk, Rafly mengubah posisinya. Ia lalu mengambil kursi dan duduk disebelah Rade.

            Rade menarik napas lega. Mengetahui itu, Rafly menoleh dan tersenyum. Rafly tahu apa yang dirasakan Rade. Sebagai pria dewasa yang sudah beristri, tak sulit bagi Rafly untuk memahami sinyal dari perempuan.

            Rade menatap ekspresi datar Rafly saat membaca tulisannya. Ia merasakan ketidakpuasan Rafly.

            “Gimana, Bang?” tanya Rade menghalau kebisuan.

            “Hmm,” Rafly hanya bergumam sembari tetap serius menatap layar komputer.

“Ini tipikal tulisan fres graduate. Tulisan orang yang baru aja nyelesain skripsi. Kaku banget. Ilmiah banget kayak baca makalah bukan berita,” kata Rafly.

Gitu ya, Bang,” ucap Rade lirih.

            Rafly menatap wajah Rade yang cemberut tapi manja dan manis. Awalnya Rafly ingin bersikap keras pada Rade. Namun, melihat ekspresi Rade, ia tak tega. Bahkan ia merasa lucu melihat wajah Rade.

Udah, gak apa-apa. Namanya juga baru pertama kali. Besok, kamu baca tulisan-tulisan di tabloid kita ya supaya  kamu bisa tahu style kita seperti apa. Minta aja sama Nuning, edisi yang lama-lama,” kata Rafly.

“Oke, Bang.”

“Kamu masih punya waktu satu minggu sebelum terjun untuk edisi berikutnya. Cukup kan waktu seminggu untuk mengenali karakter media kita?”

“Cukup, Bang.”

“Besok, kamu ikut Riska lagi ya. Nanti sekalian didampingi sama Koko biar bisa juga tau tentang foto berita yang bagus,” kata Rafly.

Ashiap, Bang,” sorak Rade sambil bergaya hormat.

           

           

           

           

           

           

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status