Suasana jalanan tiba-tiba mencekam. Belasan perampok berdiri melingkari kereta, tawa bengis mereka menggema di antara pepohonan. Burung-burung beterbangan dari dahan, seolah merasakan darah yang akan segera tertumpah.
“Hehehe… tampaknya rezeki pagi ini lumayan,” salah satu perampok yang tampaknya pemimpin maju sambil menepuk-nepuk pedangnya. Wajahnya kotor penuh bekas luka, matanya liar. “Kereta sederhana, tapi membawa gadis cantik. Serahkan harta dan perempuan itu kepada kami, mungkin kami akan membiarkan kalian hidup.” Liu Shan menggenggam kendali kuda dengan tangan bergetar. “K-kalian ini berlebihan! Aku hanya pedagang kecil! Tidak ada harta yang kalian inginkan.” Para perampok saling bertatapan, lalu tertawa terbahak-bahak seakan perkataan itu adalah lelucon terbesar. Hiro yang sejak tadi duduk tenang akhirnya berdiri. Pandangan matanya dingin, suaranya tenang namun penuh tekanan. “Kalau ingin hidup, enyahlah sebelum aku kehilangan kesabaran.” Suara itu membuat udara seakan berhenti sejenak. Para bandit sontak terdiam, lalu kembali meledak dalam tawa. “Anak muda, kau kira siapa dirimu?!” salah satu dari mereka meludah ke tanah. “Beraninya bicara sombong di hadapan kami, hahaha!” Liu Mei menatap Hiro dengan cemas. Jemari gadis itu meremas rok yang ia kenakan, wajahnya pucat. “Tuan Hiro… mereka berbahaya, jangan gegabah.” Namun Hiro hanya melangkah maju. Pedang Serigala Hitam yang ter sarung di punggungnya perlahan ia cabut. Bilahnya yang hitam berkilau dingin, seolah menyerap cahaya pagi. “Aku butuh latihan… dan kebetulan, kalian sudah mendaftar jadi kelinci percobaan ku.” Pemimpin bandit berteriak lantang. “Bunuh dia!” Tiga bandit langsung menyerbu dengan cepat, pedang karatan mereka terhunus. Hiro bergerak santai dan ringan. Sekejap saja tubuhnya lenyap dari pandangan, lalu— SWOOSH! Tiga kepala terpisah dari tubuh, darah muncrat membasahi tanah. Liu Shan membelalakkan mata, sementara Liu Mei terdiam dengan wajah pucat pasi. Nafas mereka tercekat, tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Bandit-bandit lain terpaku, kaki mereka gemetar. Pemimpin mereka berteriak geram, “Dasar bajingan! Bunuh dia bersama-sama!” Delapan orang langsung mengepung Hiro dari segala arah. Namun, tubuh Hiro bergerak seperti bayangan. Pedangnya menari, setiap ayunan meninggalkan jejak hitam di udara. CRASH! SPLAT! Dalam hitungan detik, tubuh demi tubuh terjatuh. Ada yang terbelah, ada yang tanpa kepala, jeritan kesakitan memenuhi udara lalu perlahan menghilang bersama nyawa yang tercabut. { +800 Poin Sistem } { +2200 Poin Pengalaman } Notifikasi berdentum di kepala Hiro, namun matanya tidak kehilangan kilatan liar. Kini hanya pemimpin bandit yang tersisa, tubuhnya gemetar hebat tak karuan. “K-kau… monster…” suaranya parau penuh ketakutan. Hiro melangkah perlahan, menodongkan pedangnya ke leher pria itu. Senyumnya tipis. “Kau benar. Aku memang monster. Dan monster sepertiku… tidak memberi ampun.” SLASH! Kepala pemimpin bandit terpisah, tubuhnya jatuh lemas, darah menyembur liar. Jalan kembali sunyi, hanya suara burung yang sesekali terdengar. Tanah kini penuh darah dan mayat. Hiro mengibaskan pedangnya, membersihkan bilahnya dari noda merah yang menetes. Ia menoleh ke arah Liu Shan dan Liu Mei. Keduanya masih terpaku, wajah mereka campuran antara takut dan kagum. “Jangan khawatir,” kata Hiro dengan tenang. “Aku ada di pihak kalian.” Liu Mei menelan ludah, lalu perlahan mengangguk. Meski masih gemetar, matanya menyiratkan sedikit rasa lega. Liu Shan mencoba tersenyum meski wajahnya pucat. “Hahaha… Tuan Hiro, ternyata kau bukan orang biasa. Kalau begitu… mungkin perjalanan kita akan lebih aman bersama.” Hiro menyunggingkan senyum tipis, lalu kembali duduk di kereta dengan santai. “Ya... perjalanan baru saja di mulai, anggap saja ini pemanasan.” Kereta kembali bergerak. Namun, bagi Liu Mei dan Liu Shan, bayangan Hiro kini bukan sekadar penumpang biasa—melainkan sesuatu yang jauh lebih menakutkan dan misterius. 👉 Bersambung…Kabut malam menutup Paviliun Pedang Langit seperti tirai raksasa. Bulan hanya tampak samar, seolah enggan menatap dunia yang bersiap ke jurang pertempuran. Hiro berdiri di pelataran utama, angin dingin menyapu jubahnya.Di balik kesunyian, ia merasakan denyut halus energi liar. Bukan sekadar insting; getaran itu menyusup lewat tulang.{Peringatan awal: aktivitas spiritual tak dikenal mendekat dari arah timur. Sumber tidak terklasifikasi.}Suara sistem itu tidak lagi terdengar seperti bunyi logam kaku. Kini ia mendengar nada seperti bisikan, tenang namun mendesak. Hiro mengerutkan alis. Malam ini tidak biasa.Elder Qiu bergegas ke pelataran, wajahnya serius. “Semua murid, bentuk formasi pertahanan. Kita tidak menunggu tamu malam ini.”Belum sempat formasi selesai, kabut di depan gerbang mendidih. Dari balik kegelapan, ratusan sosok berjubah hitam bermunculan seperti bayangan air yang pecah. Pedang mereka memantulkan cahaya kehijauan—racun yang menetes di ujung bilah.“Pasukan Sekte Bay
Langit pagi Paviliun Pedang Langit masih diselimuti kabut tipis ketika rombongan akhirnya kembali. Embun menempel di pakaian dan pedang, membawa aroma tanah basah bercampur darah yang mulai mengering. Hiro berjalan paling depan, langkahnya tenang meski semalam mereka menantang maut di Lembah Jiwa Malam.{Prestasi Dikonfirmasi: Penakluk Roh Penjaga Jiwa Malam} {Hadiah Utama: Teknik Analisis Racun Korosif – Diaktifkan} {Bonus Prestasi: 300 Poin Esensi Pertarungan ditambahkan ke inti roh}Hiro berhenti sesaat di ambang gerbang batu. Cahaya samar dari panel sistem melintas di sudut pandang, hanya bisa dilihat olehnya.“Akhirnya kau memberi hadiah lagi,” gumamnya dalam hati.{Sistem menilai keberhasilan Anda melampaui perkiraan. Peningkatan kekuatan diperlukan untuk menghadapi ancaman internal Paviliun.}Aliran energi hangat menyebar dari inti dantian, menyalakan jaringan meridian bagai kilatan halus. Otot-ototnya yang sempat tegang sehabis pertempuran tiba-tiba terasa ringan, seolah sis
Fajar baru saja menyingkap langit ketika rombongan menjejak halaman Paviliun Pedang Langit. Embun masih menggantung di atap genting, memantulkan cahaya merah keemasan. Para murid yang berjaga terdiam melihat luka-luka di tubuh mereka, lalu saling berbisik—antara kagum dan ngeri.Elder Qiu melangkah ke depan, menyerahkan kantong batu giok berisi Tanaman Jiwa Malam kepada seorang penjaga senior. “Simpan di Aula Obat Roh. Hanya Kepala Paviliun yang boleh menyentuhnya,” ujarnya tegas.Tatapan murid-murid lain diam-diam mengarah ke Hiro. Dalam perjalanan pulang, cerita tentang pertarungannya dengan Roh Penjaga sudah menyebar. Beberapa penuh kekaguman, lebih banyak lagi yang menampakkan ketakutan samar—seolah mereka menyaksikan sesuatu yang melampaui batas manusia.Zhang Wei berjalan agak di belakang, wajahnya kaku. Dari sudut mata, Hiro dapat merasakan bara kebencian yang berusaha disembunyikan di balik ketenangan palsu.{Tuan, detak jantung Zhang Wei meningkat setiap kali tatapannya menga
Kabut kian menebal ketika rombongan menuruni jalur berbatu menuju dasar Lembah Jiwa Malam, lembah yang juga dikenal sebagai Lembah Kabut karena selimut putihnya yang tak pernah lenyap. Udara lembap dan berat; setiap helaan napas terasa seperti menelan embun dingin yang menggantung di udara. Sunyi hanya dipecah oleh tetes air yang jatuh dari dedaunan lebat di atas kepala.Li Feng menatap sekeliling penuh waspada. “Tempat ini… berbeda,” bisiknya.Hiro mengangguk tipis. “Seperti masuk ke perut bumi. Aroma darah lama masih berbekas.”Elder Qiu berhenti di tepi lereng curam. Di bawah, lembah tampak seperti kawah hijau keperakan yang tertutup kabut berpendar. Di pusatnya, cahaya biru berdenyut lembut—tanaman Jiwa Malam, tujuan mereka.“Tanaman itu hanya mekar saat kabut mencapai puncaknya,” kata Elder Qiu. “Kita harus turun sebelum matahari meninggi.”Mereka menuruni jalur licin satu per satu. Setiap batu yang terinjak menimbulkan suara gemeretak yang cepat ditelan kabut. Hiro berjalan pali
Fajar baru merayap ketika rombongan kecil murid Paviliun Pedang Langit berkumpul di gerbang timur. Kabut tipis menggantung di udara, menelan suara langkah kaki dan derap napas menjadi gema samar. Di antara mereka, Hiro berdiri paling belakang, pedang hitam di punggung memantulkan cahaya redup.Li Feng menghampirinya sambil menata sabuk pedang. “Senior, jalur menuju lembah tempat obat langka itu terkenal berbahaya. Banyak binatang roh dan—”“—dan manusia yang lebih berbahaya dari binatang,” potong Hiro ringan. “Aku tahu.”Elder Qiu, pengawas misi, mengedarkan tatapan tajam ke seluruh peserta. “Kalian akan menempuh perjalanan dua hari. Tugas kalian sederhana: membawa pulang Tanaman Jiwa Malam yang tumbuh di dasar Lembah Kabut. Jangan anggap remeh. Kalian adalah perwakilan Paviliun Pedang Langit.”Hiro merasakan tatapan beberapa murid lain menusuk punggungnya. Zhang Wei berdiri tidak jauh, wajahnya tenang tapi matanya menyala seperti bara. Di sebelahnya ada Kang, yang berpura-pura menata
Udara pagi di Paviliun Pedang Langit terasa lebih berat daripada biasanya. Embun masih menempel di dedaunan, namun halaman latihan sudah dipenuhi murid-murid yang sengaja datang lebih awal. Bukan untuk berlatih, melainkan untuk melihat sosok yang kini menjadi pusat perhatian seluruh paviliun—Hiro, orang asing berjubah hitam yang menumbangkan Bai Jian di depan para elder.Tatapan-tatapan itu penuh ragam: kagum, takut, iri, bahkan benci. Namun satu hal yang sama, tak ada yang berani berbuat gegabah. Hiro berjalan di tengah kerumunan itu dengan langkah ringan, seakan sorot mata ratusan murid hanyalah angin lalu.{Tuan, analisis lingkungan menunjukkan tingkat pengawasan terhadap Anda meningkat drastis. Setiap pergerakan Anda kini menjadi bahan pembicaraan.}Sistem kembali bersuara, kali ini dengan nada yang lebih tenang daripada sebelumnya.“Aku tahu,” jawab Hiro dalam hati. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Biarkan mereka menatap. Semakin mereka menaruh perhatian, semakin besar ketakutan