LOGINLangit pagi itu cerah — terlalu cerah untuk sebuah hari yang akan mengubah segalanya.Udara lembap masih terasa dari sisa embun di dedaunan, sementara suara ayam dan sepeda motor warga desa bersahut-sahutan.“Sudah siap semua?” suara ibu Seira terdengar dari teras, menatap tiga sosok yang berdiri di depan rumah.Leo memanggul tas hitam besar, wajahnya datar seperti biasa.Seira mengenakan kemeja putih dan rok panjang, membawa tote bag berisi buku dan bekal.Sedangkan Lucan berdiri di antara mereka — masih memakai pakaian pinjaman Leo, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin.“Terima kasih atas sarapannya, Bibi,” ucap Lucan sopan.Ibu Seira tersenyum hangat, menepuk bahu pemuda itu. “Hati-hati di jalan, Nak.”Mereka pun melangkah. Jalan setapak dari tanah menuju halte kecil di pinggir desa tampak lengang. Di kejauhan, langit kota sudah terlihat — gedung-gedung menjulang samar, tertutup kabut pagi.Seira berjalan di depan, Leo di belakangnya, dan Lucan di tengah.Suasana awalnya ten
Angin malam di luar berhembus lembut, Elyon yang malam itu sudah memulai pencarian merasakan beratnya udara itu.Bau asin laut, lembab tanah, dan aroma kehidupan manusia bercampur menjadi sesuatu yang asing baginya. Kini tubuhnya telah kembali menggunakan tubuh Seraphine nya.Sudah semalam penuh sejak ia dan pasukan Seraphine-nya menembus batas langit dan turun ke dunia fana ini.Namun hingga kini, jejak Lucan belum juga mereka temukan.Cahaya Lumeris di tubuh mereka telah meredup — berganti menjadi bentuk manusia yang sepenuhnya tampak nyata di mata manusia lain.Tidak ada sayap. Tidak ada kilau di kulit.Namun di tengkuk mereka, tersisa satu tanda halus berbentuk sigil yang kadang memancarkan cahaya redup saat energi ilahi mereka terusik.Elyon berdiri di atas tebing yang menghadap laut.Ombak pecah di bawah kakinya, sementara beberapa Seraphine berdiri tak jauh di belakang, masing-masing menatap cakrawala dengan mata tajam.“Lucan turun di sekitar wilayah ini,” ucap salah satu Sera
“Lucan…”Langkah Elyon terdengar pelan di dalam kuil cahaya.“Aku tahu kau akan bertahan,” lanjutnya, suaranya tenang.“Jadi lakukan ini untukku.”Di atas altar suci Lumeris, tubuh Lucan terikat rantai ilahi. Sigil di dadanya berdenyut keras, memancarkan cahaya biru yang terasa panas hingga ke tulang.Di sisi altar, Dea Lira tersenyum tipis.“Meski dia menolak,” katanya datar,“Aku, ibumu, akan mengambilnya dari tubuhnya.”Cahaya keperakan menyala di matanya—penuh wibawa, tanpa belas kasihan.“Agghh—! Lepaskan aku, Ibu…!” Lucan menjerit.Namun tatapan Dea Lira justru tertuju pada Elyon, putra sulungnya, yang terbaring lemah di ujung altar lain. Cahaya dari tubuh Lucan mengalir menuju dada Elyon seperti sungai sinar.“Kau pewaris cahaya,” ucap Dea Lira.“Jangan kotori dirimu dengan belas kasihan. Kau mengertikan, sayang?”Elyon mengangguk. Tersenyum.Di atas altar, Lucan tersenyum getir. Darah bercahaya menetes dari sudut bibirnya.“Belas kasihan…” bisiknya.Belum sempat ia melanjutkan
Lucan terdiam. Nafasnya pelan, tapi sorot matanya tajam dan gelap.Kilatan biru di iris matanya perlahan meredup, kembali menjadi biru keabu-abuan.Lucan masih bersandar di dinding, perlahan menunduk. Matanya perlahan kembali normal.“A–apa yang terjadi di sini!?” suara Seira terdengar dari arah dapur.Seira berlari keluar bersama ibunya. Wajah mereka panik melihat Leo, kakak Seira yang terjatuh di lantai.“Kak! Kau kenapa!?”“Apa yang terjadi?” tanya ibunya cemas.Leo menunjuk Lucan dengan tangan bergetar.“Siapa… siapa dia sebenarnya?”“Namanya Lucan,” jawab ibunya lembut tapi tegas. “Dia tersesat. Jadi Ibu menyuruhnya tinggal di sini malam ini. Tadi bajunya basah, jadi Ibu meminjamkan bajumu padanya.”Leo menatap ibunya tidak percaya. “Aku sudah bilang, Bu… jangan asal bawa orang asing masuk rumah.”“Ibu hanya kasihan,” jawab ibunya dengan nada pelan.Seira ikut bersuara, masih kesal. “Aku sudah bilang ke Ibu, Kak. Tapi Ibu tetap ingin menolong dia.”Leo mendengus pelan. Wajahny
Di dunia manusia, suasana malam itu terasa begitu tenang.Lampu di rumah sederhana itu menyala lembut, menyorot wajah hangat keluarga kecil Seira yang kini tengah makan malam bersama. Aroma sayur rebus bercampur dengan wangi kayu dari lantai yang sudah tua.Lucan duduk di antara mereka — untuk pertama kalinya, merasa… tenang.“Makanlah lebih banyak, Nak,” ujar ibu Seira sambil menambah nasi di mangkuknya. “Kau terlihat sangat lapar.”Lucan mengangguk, lalu kembali menyuapkan makanan itu ke mulut. Lucan menyukainya. Perlahan lahan, bunyi asing di perutnya yang sejak tadi berbunyi, tak lagi terdengar.Namun di tengah rasa itu—DZZTTTTT—!!Sendok di tangannya berhenti.Seketika, napas Lucan menegang.Ada sesuatu yang bergemuruh… jauh di dalam tubuhnya. Seperti ribuan sayap yang bergetar di balik kulitnya sendiri.“Lucan?” suara lembut ibu Seira memecah kesunyian. “Ada apa, Nak? Apakah masakanku kurang enak?”Lucan tidak menjawab.Matanya menatap kosong ke arah meja. Tangannya gemetar r
Sekeliling mereka bergetar. Angin surgawi tersedot ke dalam pusaran kecil di lantai kuil. Para Seraphine yang mendengarkan merasakan hawa dingin menggeliat di tulang mereka — janji Dea Lira bukan sekadar ancaman, melainkan hukum.Elyon melangkah mendekat, matanya menyala seperti logam yang dipanaskan. Ia menatap ke bawah, menatap pusaran cahaya yang menandakan tempat-transisi yang sempat terbuka dan menutup.“Ibu, kau bilang kita akan menyisir sampai ke ujung bumi?” Elyon mengulang, suaranya kini mengeras. “Baik. Biarkan kami yang memulai. Kirim barisan pelacak ke laut, ke jalur udara, ke pasar-pasar manusia. Kumpulkan yang kuat; yang lemah jangan kusia-siakan. Kita butuh hasil cepat. Aku tak ingin menunggu sampai sigil itu benar-benar mati. Jika itu terjadi—”Ia memukul meja altar dengan tenaga yang membuat kaca suci berdentang. CRACK! — retakan kecil memanjang.“Kalau aku harus mengorbankan segalanya demi mempertahankan hidupku—aku tak akan ragu.”Dea Lira tersenyum, nada suaranya







