Share

KEINGINAN IBU

Setelah makan, anak-anak bermain dengan Ibu. Kak Sinta menidurkan si kecil Liona. Aku mengambil alih bagian beres-beres peralatan bekas makan. Di rumah ini sebenarnya juga ada pembantu yang menginap, namanya Siti tetapi sekarang sedang pulang kampung. Walaupun di rumah Mama dan Papa selalu ada pembantu, tidak lantas membuatku manja dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi, kalau hanya cuci piring seperti ini sudah biasa untukku.

Beres di dapur aku bergabung ke ruang tamu, ikut menemani anak-anak bermain. Kebahagiaan jelas terpancar di wajah tua Ibu saat bergurau dengan Raya adiknya. Walaupun Ibu sudah tidak selincah dulu, tetapi beliau masih bersemangat ketika diajak Bella bermain petak umpet di dalam. rumah. Ah, Ibu semoga Allah memberimu kesehatan dan usia panjang agar bisa mengiringi pertumbuhan cucu-cucumu.

"Enggak kerasa ya, Raya dan Bella udah besar. Rasanya baru kemarin ibu menggendong bayinya," kata Ibu seraya mengelus puncak kepala Bella yang berbaring dengan batalan pangkuan mertuaku.

Keduanya berbaring menyaksikan siaran kartun di televisi setelah lelah bermain menyusun puzzle bersama.

"Gimana sekolahnya anak-anak?" tanya ibu kemudian.

"Alhamdulillah. Lancar, Bu. Mereka semangat terus setiap pagi, rajin belajar, hapalannya sudah bertambah, dan nurut kalau di bilangin sama gurunya," terangku menyampaikan perkembangan dua putri kecilku.

"Kamu enggak pengen kasih adik lagi untuk Raya, Nduk?" Hampir saja aku tersedak ludah sendiri mendengar pertanyaan yang Ibu lontarkan.

Rasanya ada yang mengganjal di tenggorokan hingga aku kesulitan untuk melontarkan sebuah jawaban.

"Tambah satu lagi, laki-laki biar lengkap," sambung Ibu yang membuatku meneguk saliva, getir.

Aku paham maksud Ibu. Secara tidak langsung, beliau memintaku untuk hamil lagi. Ibu memang sangat menginginkan cucu laki-laki. Aku dan Kak Sinta sama-sama melahirkan dua putri. Saat pertama kali tahu Kak Sinta hamil anak ke dua, harapan Ibu bayi yang dikandung iparku itu berjenis kelamin laki-laki. Namun, ternyata Allah menganugrahi bayi perempuan lagi pada keluarga Kak Sinta.

Sebenarnya aku juga ingin memberi Ibu cucu satu lagi. Aku bahkan sudah lepas KB sejak lima bulan yang lalu tanpa sepengetahuan suami dan mertua, niatnya ingin memberi kejutan untuk Ibu dengan kehamilan ke tiga. Akan tetapi, sudah lima bulan ini juga Mas Bima tidak menyentuhku. Dia mengabaikan urusan yang satu itu. Suasana hatiku jadi tidak nyaman bila mengingat hal itu. Sedih, kecewa dan merasa tidak dibutuhkan lagi.

"Pasti lucu kalau Bella momong adiknya, dia suka, tuh cium-cium kakak kecilnya. Diajakin ngobrol kayak paham, aja bahasa bayi," lanjut Ibu sambil terkekeh.

Bella memang suka pada anak kecil, bertemu dengan siapapun kalau menggendong anak bayi pasti putri kecilku akan langsung sok akrab dan bertingkah manis. Pamrihnya dia ingin mencium adik bayi.

"Mumpung usiamu belum tiga puluh, Nduk. Anak-anak juga udah agak besar, kamu enggak seberapa repot kalau hamil lagi."

Bagaimana aku bisa hamil kalau anak Ibu selalu menolak saat aku memintanya memberi nafkah batin. Mas Bima menghindar setiap kali aku menginginkannya. Sebaliknya dia tidak pernah meminta. Mas Bima laki-laki normal, rasanya ada yang menggnjal bila sekian lama dia sama sekali tidak ingin menyalurkan has*at. Sedih sekali rasanya mendapat penolakan. Bukan hanya sekali, tetapi berulang kali.

Seandainya aku punya keberanian, ingin sekali menceritakan yang sebenarnya mengenai Mas Bima yang sudah berubah pada ibu. Namun, lagi-lagi walaupun sudah muncul keberanian itu, aku harus menahan diri. Aku tidak mau membuat Ibu kefikiran atau malah menuduhku lebai sebab berkata tanpa bukti dan alasan yang jelas.

"Ibu do'akan saja, kalau Allah masih memberi kepercayaan pada kami supaya secepatnya." Akhirnya hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Aamiin allahuma aamiin. Ibu pasti mendo'akan kalian. Semua anak-anak ibu do'akan."

Apa ini tujuan Ibu memintaku datang ke rumahnya? Untuk menyampaikan keinginanya akan kehadiran cucu lelaki? Ya Allah, aku sungguh ingin mengabulkan keinginan Ibu, tetapi kenapa harus di saat bersamaan aku juga menaruh keraguan atas kesetiaan Mas Bima. Bagaimana aku bisa melakukannya sedangkan bayang-bayang tubuh Mas Bima yang bercampur dengan perempuan lain selalu hadir setiap malam. Astagfirullah.

Setiap hari aku dihantui bayang-bayang gelap. Aku tidak bisa menepis kecurigaan. Rasanya aku belum siap bila saat ini harus mengandung lagi, setidaknya sampai mendapat kepastian kalau Mas Bima tidak menghianati pernikahan ini.

Kami pulang dari rumah ibu ketika hari sudah masuk waktu sore. Ibu menginginkan kami menginap, tetapi aku tidak bisa menurutinya sebab besok anak-anak sekolah. Dan lagi, Mas Bima tidak ikut dengan kami. Perasaanku jadi kerap tidak nyaman setelah menemukan video di ponselnya, apalagi gelagat Mas Bima yang mencurigakan semakin terlihat.

Aku yakin ada sesuatu antara Mas Bima dan Fina. Aku harus menanyakan langsung pada Fina. Ah, tidak, tidak. Mana mungkin Fina mengaku kalau aku bertanya secara langsung. Pasti dia akan menutupi dan beralasan macam-macam. Di dunia ini mana ada maling yang mengakui perbuatannya.

Aku juga harus mulai memikirkan langkah yang harus kuambil kalau Mas Bima benar berkhianat. Banyak yang masih menjadi teka-teki, tetapi bukankah perasaan seorang istri cukup kuat. Aku harus memikirkan masa depan bersama anak-anak bila nanti kemungkinan buruk antara aku dan Mas Bima terjadi.

"Mama lihat itu, Ma. Ada Ayah!"

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status