Share

IBU SEKAR 3

Author: Jenar
last update Last Updated: 2022-07-28 20:00:19

"Memangnya Kakak berani bertindak kalau Bang Yudi yang berulah?" kataku sengaja memancing dengan mengumpamakan bila suami iparku yang berbuat neko-neko.

"Harus takut apa? Kalau suami kakak yang macem-macem, Kakak siap mencincang terongnya kalau perlu sampai ke akar-akarnya!" jawab Kak Sinta sembari memperagakan gerakan di udara mencincang dengan tangan kosong.

"His, seyem. Kakak kelihatannya kelem, tapi ternyata ngeri juga. Mainnya cincang-cincang."

"Biar kapok! Pokoknya jadi perempuan jangan nurut-nurut, aja. Cinta boleh, bodoh jangan!" tegas Kak Sinta.

Ah, bahagianya punya kakak ipar yang sefrekuensi. Dengan begini, bila nanti Mas Bima terbongkar kedoknya aku sudah punya satu suara yang mendukung. Ya, kami sama-sama membenci perselingkuhan dan mengharamkan penghianatan.

"Bilang, aja kalau suamimu berulah, Dek!" tegasnya lagi, aku hanya mengangguk. Belum saatnya aku mengatakan sekarang.

"Hmmm. Menurut Kakak kalau suami selingkuh itu sebabnya apa?" tanyaku hati-hati.

Kak Sinta terdiam, kulihat keningnya sedikit berkerut mungkin dia sedang berfikir.

"Macem-macem, sih kalau alasannya. Kalau di film-film ada yang karena dia pengen anak, tapi istrinya belum hamil. Ada yang selingkuh karna belum bisa move on. Ada juga yang selingkuh karena bosan. Ada yang dipaksa selingkuh karena satu hal. Tapi mau apapun alasannya yang namanya selingkuh itu penyakit. Enggak pandang bulu mau menjangkiti siapa. Keluarga yang kelihatannya adem ayem dan bahagia bisa, aja kenak penyakit itu."

Berdesir darahku mendengar ucapan Kak Sinta. Begitukah yang sedang kualami. Kelihatan bahagia di luar, tetapi sebenarnya ada bom yang Mas Bima sembunyikan di dalam. Tinggal menunggu waktu saja bom itu akan meledak dan menghancurkan kebahagiaan kami.

"Memang dasarnya juga yang namanya lelaki tidak pernah puas, udah punya satu masih ingin yang lain. Kata orang perselingkuhan terjadi bukan hanya krena ada kesempatan, tapi karena diinginkan. Walaupun ada kesempatan kalau sama-sama bisa menjaga, bisa saja perselingkuhan di hindari. Tapi, ya itu tadi kembali ke diri masing-masing lagi. Semoga keluarga kita di jauhkan dari yang seperti itu, ya, Dek. Kakak ngeri kalo harus berhadapan sama pelakor begitu. Hih!"

"Iya, Kak. Aamiin. Semoga makhluk sejenis pelakor jangan sampai mendekat ke kita."

“Lho, Ibu kira udah pada makan, Nduk? Ayo panggil anak-anak kita makan siang sama-sama.”

Tiba-tiba Ibu sudah masuk ke dapur dan mengajak kami makan siang. Aku memanggil anak-anak, Kak Sinta juga ikut makan sambil menggendong bayinya. Anak sulung Kak Sinta belum pulang sekolah. Lila nama anak sulung Kak Sinta. Dia menuntut ilmu di sekolah yang menerapkan sistem full day, jadi berangkat jam tujuh pagi pulang jam empat sore setiap hari Senin hingga Jum'at.

“Ibu, lain kali jangan masak banyak-banyak begini. Kita datang malah ngerepotin Ibu jadinya. Ibu, kan enggak boleh capek-capek sekarang,” kataku di sela makan.

“Repot apa, tho cuma masak dikit enggak capek. Kalian juga datang enggak tiap hari.”

Satu tahun belakangan kondisi kesehatan ibu menurun. Saran dari dokter ibu tidak boleh terlalu lelah. Namun, memang dasarnya ibu yang aktif berkegiatan, beliau tetap memaksa melakukan aktifitas di rumah. Seperti menyapu, memasak atau menjemur pakaian, padahal sudah ada pembantu yang dibayar untuk mengerjakan semua tugas itu. Kalau di larang ibu malah mengomel, itu yang membuat Kak Sinta membiarkan saja mertuaku melakukan yang dia mau dan tetap mengawasi dari jauh.

“Ini banyak, lho, Bu!” tukasku karena memang hidangan makanan di hadapan kami banyak jenis dan macamnya.

“Ibu ini kalau dibilangi memang ngeyel, Dek. Kakak enggak capek-capek ngingatinnya tapi tetep, aja begitu,” timpal Kak Sinta.

"Kalian ini berlebihan, dokter bilang ibu enggak boleh kecapekkan bukan enggak boleh melakukan pekerjaan rumah," sangkal Ibu membela diri.

"Bukan enggak boleh, Bu. Tapi dikurangi, biar Siti yang ngerjakan Ibu tinggal bilang saja apa-apa yang harus dia buat," kataku meluruskan.

"Kalau semua Siti yang kerjakan kasihan dia," ujar Ibu lagi.

Aku melihat Kak Sinta menggelengkan kepala keheranan dengan Ibu yang lancar menjawab dan menyangkal kekhawatiran kami. Saat aku hendak berbicara lagi, Kak Sinta memberi isyarat untuk aku diam dengan meletakkan telunjuk tangan di depan bibir. Aku mengangguk samar, mengerti maksudnya. Kalau diteruskan pembicaraan ini memang tidak akan ada ujungnya, Ibu tetap Ibu yang selalu kekeuh pada pendapat dan pendiriannya.

“Kalian do’akan saja Ibu sehat terus. Biar bisa masak untuk cucu-cucu.”

“Aamiin!” ucapku dan Kak Sinta bersamaan.

Kami melanjutkan makan siang sembari ngobrol ringan. Anak-anakku lahap menyantap masakan yang dibuat oleh neneknya. Sesekali Ibu menyuapi Bella yang duduk di kursi sebelahnya. Ah, beruntung sekali anak-anakku memiliki nenek yang perhatian seperti Ibu.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MEMAAFKAN (ENDING)

    Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   LAMARAN

    Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   SEGUMPAL KERTAS

    Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MAAF DARI IBU

    “Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   BAYI ADOKSI (POV BIMA)

    “Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng

  • REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU   MENGAKHIRI KISAH YANG SALAH

    Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status