Share

IBU SEKAR 3

"Memangnya Kakak berani bertindak kalau Bang Yudi yang berulah?" kataku sengaja memancing dengan mengumpamakan bila suami iparku yang berbuat neko-neko.

"Harus takut apa? Kalau suami kakak yang macem-macem, Kakak siap mencincang terongnya kalau perlu sampai ke akar-akarnya!" jawab Kak Sinta sembari memperagakan gerakan di udara mencincang dengan tangan kosong.

"His, seyem. Kakak kelihatannya kelem, tapi ternyata ngeri juga. Mainnya cincang-cincang."

"Biar kapok! Pokoknya jadi perempuan jangan nurut-nurut, aja. Cinta boleh, bodoh jangan!" tegas Kak Sinta.

Ah, bahagianya punya kakak ipar yang sefrekuensi. Dengan begini, bila nanti Mas Bima terbongkar kedoknya aku sudah punya satu suara yang mendukung. Ya, kami sama-sama membenci perselingkuhan dan mengharamkan penghianatan.

"Bilang, aja kalau suamimu berulah, Dek!" tegasnya lagi, aku hanya mengangguk. Belum saatnya aku mengatakan sekarang.

"Hmmm. Menurut Kakak kalau suami selingkuh itu sebabnya apa?" tanyaku hati-hati.

Kak Sinta terdiam, kulihat keningnya sedikit berkerut mungkin dia sedang berfikir.

"Macem-macem, sih kalau alasannya. Kalau di film-film ada yang karena dia pengen anak, tapi istrinya belum hamil. Ada yang selingkuh karna belum bisa move on. Ada juga yang selingkuh karena bosan. Ada yang dipaksa selingkuh karena satu hal. Tapi mau apapun alasannya yang namanya selingkuh itu penyakit. Enggak pandang bulu mau menjangkiti siapa. Keluarga yang kelihatannya adem ayem dan bahagia bisa, aja kenak penyakit itu."

Berdesir darahku mendengar ucapan Kak Sinta. Begitukah yang sedang kualami. Kelihatan bahagia di luar, tetapi sebenarnya ada bom yang Mas Bima sembunyikan di dalam. Tinggal menunggu waktu saja bom itu akan meledak dan menghancurkan kebahagiaan kami.

"Memang dasarnya juga yang namanya lelaki tidak pernah puas, udah punya satu masih ingin yang lain. Kata orang perselingkuhan terjadi bukan hanya krena ada kesempatan, tapi karena diinginkan. Walaupun ada kesempatan kalau sama-sama bisa menjaga, bisa saja perselingkuhan di hindari. Tapi, ya itu tadi kembali ke diri masing-masing lagi. Semoga keluarga kita di jauhkan dari yang seperti itu, ya, Dek. Kakak ngeri kalo harus berhadapan sama pelakor begitu. Hih!"

"Iya, Kak. Aamiin. Semoga makhluk sejenis pelakor jangan sampai mendekat ke kita."

“Lho, Ibu kira udah pada makan, Nduk? Ayo panggil anak-anak kita makan siang sama-sama.”

Tiba-tiba Ibu sudah masuk ke dapur dan mengajak kami makan siang. Aku memanggil anak-anak, Kak Sinta juga ikut makan sambil menggendong bayinya. Anak sulung Kak Sinta belum pulang sekolah. Lila nama anak sulung Kak Sinta. Dia menuntut ilmu di sekolah yang menerapkan sistem full day, jadi berangkat jam tujuh pagi pulang jam empat sore setiap hari Senin hingga Jum'at.

“Ibu, lain kali jangan masak banyak-banyak begini. Kita datang malah ngerepotin Ibu jadinya. Ibu, kan enggak boleh capek-capek sekarang,” kataku di sela makan.

“Repot apa, tho cuma masak dikit enggak capek. Kalian juga datang enggak tiap hari.”

Satu tahun belakangan kondisi kesehatan ibu menurun. Saran dari dokter ibu tidak boleh terlalu lelah. Namun, memang dasarnya ibu yang aktif berkegiatan, beliau tetap memaksa melakukan aktifitas di rumah. Seperti menyapu, memasak atau menjemur pakaian, padahal sudah ada pembantu yang dibayar untuk mengerjakan semua tugas itu. Kalau di larang ibu malah mengomel, itu yang membuat Kak Sinta membiarkan saja mertuaku melakukan yang dia mau dan tetap mengawasi dari jauh.

“Ini banyak, lho, Bu!” tukasku karena memang hidangan makanan di hadapan kami banyak jenis dan macamnya.

“Ibu ini kalau dibilangi memang ngeyel, Dek. Kakak enggak capek-capek ngingatinnya tapi tetep, aja begitu,” timpal Kak Sinta.

"Kalian ini berlebihan, dokter bilang ibu enggak boleh kecapekkan bukan enggak boleh melakukan pekerjaan rumah," sangkal Ibu membela diri.

"Bukan enggak boleh, Bu. Tapi dikurangi, biar Siti yang ngerjakan Ibu tinggal bilang saja apa-apa yang harus dia buat," kataku meluruskan.

"Kalau semua Siti yang kerjakan kasihan dia," ujar Ibu lagi.

Aku melihat Kak Sinta menggelengkan kepala keheranan dengan Ibu yang lancar menjawab dan menyangkal kekhawatiran kami. Saat aku hendak berbicara lagi, Kak Sinta memberi isyarat untuk aku diam dengan meletakkan telunjuk tangan di depan bibir. Aku mengangguk samar, mengerti maksudnya. Kalau diteruskan pembicaraan ini memang tidak akan ada ujungnya, Ibu tetap Ibu yang selalu kekeuh pada pendapat dan pendiriannya.

“Kalian do’akan saja Ibu sehat terus. Biar bisa masak untuk cucu-cucu.”

“Aamiin!” ucapku dan Kak Sinta bersamaan.

Kami melanjutkan makan siang sembari ngobrol ringan. Anak-anakku lahap menyantap masakan yang dibuat oleh neneknya. Sesekali Ibu menyuapi Bella yang duduk di kursi sebelahnya. Ah, beruntung sekali anak-anakku memiliki nenek yang perhatian seperti Ibu.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status