MITA
Kalau terus mengulur begini, bisa-bisa uang sudah ludes dikuras mas Dodi. Namanya transfer di ATM tak butuh waktu lama., hanya beberapa menit saja.Kalau saldo rekening habis, bisa stress aku. Mana uang tunai hanya sedikit di rumah. Gawat, ini gawat!Agar muncul ketenangan hingga bisa berpikir jernih, aku duduk dulu sebentar. Kuhirup udara dalam-dalam agar kesesakan dengan dada berkurang.Semenit, dua menit ketenangan mulai datang. Benar saja, setelah pikiran dijalankan dengan tepat, teringatlah di mana ponsel itu berada.Ya, di kamar anak! Tadi siang dimainkan sebelum pergi ke rumah neneknya. Tanpa menunda lagi, aku lari menuju kamar Naila. Ternyata benar sedang ada di kasurnya.Cepat-cepat kucari m-bankingnya. Tak butuh waktu lama untuk ditemukan. Langsung saja cari layanan blokir kartu.Ya, ampun, ini sinyal ngajak gelut. Buka aplikasi m-bankingnya aja muter-muter. Dipikir kenapa jadi kayak main petak umpet gini.Sabar, ini ujian!Benar juga, kalau panik sesuatu yang mudah jadi sulit. Apa-apa selalu salah atau lupa. Tenang, Ta, makanya tenang. Kalau masih rezeki, uang takkan dikuras olehnya.Ketika sinyal on, aku langsung cari fitur memblokir kartu lewat fitur m-banking. Dulu pernah dikasih tahu caranya, tapi karena tak pernah melakukan, harus otak-atik dulu.sepertinya.Tapi, sebelum memblokir, aku masuk dulu ke informasi saldo. Dengan jantung dagdigdug kubuka aplikasi M-Banking. Langsung masuk bagian cek saldo. Sialan, lemas tubuh ini saat melihat mutasi. Lima belas menit lalu, mas Aldo sudah mentransfer uang ke rekeningnyaMemang, tadi jedaku cukup lama dari kepergiannya. Hanya tersisa sepuluh juta sebab sudah masuk batas limit transfer harian. Mungkin jika bisa diambil, akan diambil juga.Jahat banget kamu, Mas! Awas kamu, akan kubalas kelakuan buruk ini.Tubuhku langsung meluncur ke lantai kamar. Uang hasil jerih payah dari penjualan tanah, rumah, kendaraan orang dan berbagai jenis barang amblas begitu saja.Ini sudah masuk pencurian. Tak bisa dibiarkan!Yang mengerikan di sana tak hanya uang pribadi. Hampir setengahnya milik orang lain. Rencananya mau disetor minggu ini. Bisa-bisa aku dikejar utang. Kalau yang sepuluh juta disetorkan, aku tak punya pegangan. Uang tunai hanya ada satu juta di laci. Setor sepuluh juta pun masih kurang. Ke mana harus cari tambahan. Mana belum ada orderan besar lagi.Sisa uangku di rekening memang segitu sebab habis buat renovasi rumah, beli motor mas Aldo yang baru. Bagi-bagi ke keluarganya, juga memenuhi kebutuhan dapur.Sekarang, harus kucari ke mana mas Dodi untuk meminta uang itu lagi. Pasti ia akan sembunyi sebab takut kugugat.*Aku putuskan untuk mencari mas Dodi ke rumah mertua dan ipar. Kemungkinan besar dia di sana. Bisa jadi mereka berkonspirasi untuk mengambil uangku.Sesampainya di rumah bercat white barley, aku langsung diberi pertanyaan. Padahal belum sempat cium tangan dan menanyakan kabarnya."Eh, Mita, tumben ke sini sendiri? Dodi mana?""Mita ke sini justru mau cari mas Dodi. Mah.. Dari kemarin tak pulang. Apa mas Dodi nginep di sini.Wanita yang rambutnya sebahu itu menyipitkan mata, mulutnya agak sedikit terbuka. Mungkin tak menyangka akan jawaban yang keluar dari bibir menantunya."Loh, kok, bisa? Sudah satu minggu Dodi tak ke sini. Mungkin ada kerjaan tambahan kali. Ayo, minum dulu, kayaknya kamu cape banget."MITADari gaya bicara mertua, kelihatannya tidak sedang berbohong. Dan memang tipe mertuaku bukan pembohong. Baik malah. Apalagi sejak aku suka memberinya uang bulanan yang cukup banyak."Mita buru-buru, Mah. Ada urusan penting sama mas Dodi."Mama tak bisa mencegah kepergian menantunya. Ia hanya menjawab dalam dan mengucapkan kata-kata agar aku berhari-hari di jalan. Dari rumah mama mertua, aku pergi ke rumah ipar. Kakak mas Dodi ini yang pinjam motor gak dibalik-balikin. Sekarang, aku malah pakai yang paling buruk rupa.Rumah kakak ipar letaknya satu kelurahan dengan rumah mama mertua. Jadi tak perlu waktu lama untuk sampai ke sana.Di rumah yang pagarnya berwarna silver, aku bertanya hal sama pada kakak ipar. Kataku apakah mas Dodi menginap di sini semalam. "Dodi sebulan ini gak ke rumah Mba. Udah sombong dia, jadi gak mau nengok ke sini lagi."Jawaban mba mas Dodi membuatku harus kembali kecewa. Rasanya jalan keluar atas masalah ini sulit sekali ditemukan. Mencari mas Dodi sudah
Dari dulu aku memang suka dagang. Waktu SD saja suka jualan gorengan untuk membantu ibu. SMP jual aksesoris yang diproduksi tetangga. SMU, pulang sekolah suka ikut paman jualan makanan pinggir jalan.Pengalaman itu membuatku tak malu dagang apapun asal halal. Dua tahun ke belakang barulah bertemu jalan dagang lebih menjanjikan. Awalnya ikut teman jadi makelar rumah. Lama-lama punya nama dan jaringan sendiri.Kalau mas Dodi tak punya bakat dagang. Ia lebih pas bekerja pada orang. Jadi kurang berkembang. Tahu sendiri kenaikan gaji juga terbatas. Sudah bertahun-tahun kerja, gajinya baru tembus empat juta. Pokoknya mas Dodi harus ketemu. Aku gak mau dikejar orang-orang gara-gara tak bisa setor. Selain malu, namaku yang sudah cetar bisa amblas karena nila setitik ini. Yang ada, jaringan bisnis hancur berantakan.Salahku sendiri membiarkannya tahu pin ATM, bahkan suka memintanya mengambilkan uang tunai. Sebenarnya aku percaya karena dulu mas Dodi baik banget. Gak mengusik penghasilan istri
Mas Dodi akan takut dengan ancaman rumahnya dijual. Apalagi surat-surat berharga ada di kamar.Ini hanya gertakan sebab akupun tak mau rumah dijual. Selain tempatnya nyaman, nanti uangnya digondol dia semua. Meski aku ikut andil merenovasi, tak punya kekuatan hitam di atas putih bahwa jadi milik berdua. Mengingat karakter mas Dodi sekarang, aku harus segera buat perjanjian soal rumah dan harta lainnya. Jika kami cerai semua harus dibagi dua.. Hingga siang tiba, belum ada tanda-tanda kedatangan mas Dodi. Yang ada malah chat bertanya soal rumah. Tentu saja ini kujadikan postingan baru bahwa rumah sudah ada yang melirik. Tak lupa tag lagi akunnya.Akhirnya orang yang ditunggu pun datang. Takut juga dengan ancaman terselubung itu. Kupikir dia akan marah-marah, nyatanya tidak,malah memasang tampang sangat manis. Kata-katanya juga lembut."Maafkan aku, ya, Say. Uang masih ada, kok. Tapi sebagian sudah masuk ke dealer. Sebagian lagi aku jadikan modal usaha biar ada pemasukan untuk tambahan
Tak bisa dipungkiri, aku senang diperlakukan begini. Tapi, bukan berarti langsung percaya pada kebaikan mas Dodi. Bisa jadi ini hanya strategi agar aku tak marah lagi.Dipikir kenapa lelaki ini berubah banget. Dulu baik, perhatian dan bertanggung jawab. Sekarang jauh sekali dari sifat itu. Sepertinya harus serius menyelidiki pergaulannya saat ini. Kalau tak sempat, bayar orang saja agar dapat informasi. Tapi, nanti kalau sudah ada uang lagi."Bobo yuk.. Mas kangen, nih!"*Meski mas Dodi sudah minta maaf dan bersikap lebih baik, aku belum percaya seutuhnya. Kecurigaan bahwa ini hanya drama masihlah tinggi. Maklum sekarang bukan mas Dodi yang dulu.Laki-laki ini banyak berubah hingga kepercayaanku hilang. Puncaknya saat ia menguras uang di ATM tanpa izin.. Sudah benar-benar punah kepercayaan yang tinggal beberapa persen itu.Untuk menghindari berulangnya kejadian, aku membuka dua rekening baru. Keduanya dirahasiakan dari siapapun. Transfer uang besar akan masuk ke sana, sementara trans
Setelah mas Dodi berangkat kerja, aku bersiap untuk pergi ke bank. Urusan rekening ini harus cepat selesai agar bisa fokus pada urusan lain. Salah satunya penjualan motor. Sudah ada yang mau, tapi baru bisa besok lihat motornya.Aku datang ke bank terdekat lebih dulu untuk ambil rekening dan buku tabungan. Barulah ke bank berikutnya. Karena hanya akan mengambil dua benda itu, gak akan selama yang antri lainnya.Tapi, ketika motor akan dimasukkan ke halaman bank, aku melihat motor suami mba Winda lewat. Buru-buru kuurungkan niat masuk ke sana. Agar tak dicurigai, aku masuk ke halaman mini market yang berada tak jauh dari bank.. Takutnya mas Agus sempat melihatku berhenti di depan halaman bank. Bisa-bisa rahasia ketahuan. Dia pasti kenal motor yang enam bulan dipakai istrinya.Ya, ampun ternyata mas Agus malah balik lagi, terus masuk ke halaman mini market. Terpaksa banget aku harus menyapanya. Kalau dia pergi, baru masuk bank. "Mau belanja, Mas?""Enggak, cuma mau ngomong sama kamu.
Hari ini mobil mas Dodi sampai di rumah. Pantas saja DP dan cicilannya besar,.lah, mobilnya aja yang di atas dua ratus juta. Benar-benar sok gaya. Tak ada uang, berani-beraninya kredit dengan harga segitu.Aku cuma bisa geleng-geleng kepala melihatnya berfoto di seluruh bagian mobil. Emang secara tampang mendukung, tapi keuangan 'kan tidak. Ini kali yang disebut gaya sultan, gaji karyawan. "Kalau kamu ketemu klien, 'kan gak malu-maluiin pakai mobil sekeren ini. Orang itu akan makin yakin dengan penampilan kita. Bilang saja kapan ada pertemuan, mas siap antar!"Benar juga, sih, bagi sebagian orang, penampilan itu yang utama. Mereka akan silau jika aku datang dengan mobil keren. Tapi, dengan tabiat mas Dodi sekarang, membawanya bertemu klien sama saja bunuh diri.Dia akan tahu jumlah uang yang kuterima. Bisa saja ke depan akan melakukan tindakan pencurian lagi.. Karena itu kalau mau bertemu klien, sewa mobil di temanku sajalah. Beres urusan.Tapi, iyakan saja di depan mas Dodi agar tak
Aku tidak perhitungan, hanya ingin mengajarkan arti sebuah tanggung jawab. Akad utang itu mengikat manusia hingga akhirat. Bahkan kalau sudah meninggal pun, tetqp harus dibayar. Mereka bisa renovasi rumah, beli perhiasan dan sering banget rekreasi. Tentu hal tersebut membutuhkan uang besar. Masa mengeluarkan budget sebanyak itu bisa, bayar utang tidak?"Waah, hebat, kamu Dodi, sudeh punya mobil baru. Gila, mobilnya keren banget! Boleh, dong, nanti kita pinjam!" kata mba Winda."Mqkin sultan saja kamu!" puji mas Agus. Kutinggalkan sepasang suami istri yang tengah memuji-muji mas Dodi. Aku akan menyiapkan minuman dan kudapan untuk mereka.Entahlah, kenapa tak mau sekalipun mereka memujiku.. Padahal pasti tahu bahwa yang terjun dalam bisnis itu aku, bukan mas Dodi. Tentu saja sadar kalau uang berlimpah kami berasal dari bisnis tersebut.Kayaknya rugi untuk sekedar memberi satu pujian padaku. Giliran butuh, barulah merengek-rengek minta dikasihani. Menyebalkan memang."Sekarang 'kan Dod
Mba Winda ngomongnya jahat banget. Apakah seperti ini tabiat aslinya? Kalau ada kemauan tak terpenuhi, langsung membunuh karakter orang yang tak mengabulkan keinginannya. Aku sampai harus menghela napas dalam-dalam agar tak terlalu tersulut emosi. Kalau meledak-ledak malah bisa salah langkah. Yang rugi aku juga. "Kalau aku sebagai laki-laki digituin, langsung cerai! Wanita songong kalau didiamkan akan ngelunjak. Harga diri kita bakal rendah, serendah-rendahnya!" timpal mas Agus. Suami istri sama saja, tak tahu diri, egois. Rasanya jadi ingin teriak keras-keras untuk mengusir mereka. "Sebaiknya mas Agus dan mba Winda pulang. Tolong jangan memperkeruh suasana. Jangan hanya karena permintaan kalian tak dipenuhi, lantas mengadu domba aku dan mas Dodi. Dosa itu, Mas, Mba!""Munafik kamu, Ta. Ngomong dosa ke orang, kamu sendiri ngelakuin dosa ngelawan suami!" cerca mba Winda."Sebelum nasehati orang lain, tengok diri sendiri, sudah benar belum? Kalau belum mending diam!" tambah mas Agus.