Share

KAMU DI MANA

MITA

Dari gaya bicara mertua, kelihatannya tidak sedang berbohong. Dan memang tipe mertuaku bukan pembohong. Baik malah. Apalagi sejak aku suka memberinya uang bulanan yang cukup banyak.

"Mita buru-buru, Mah. Ada urusan penting sama mas Dodi."

Mama tak bisa mencegah kepergian menantunya. Ia hanya menjawab dalam dan mengucapkan kata-kata agar aku berhari-hari di jalan.

Dari rumah mama mertua, aku pergi ke rumah ipar. Kakak mas Dodi ini yang pinjam motor gak dibalik-balikin. Sekarang, aku malah pakai yang paling buruk rupa.

Rumah kakak ipar letaknya satu kelurahan dengan rumah mama mertua. Jadi tak perlu waktu lama untuk sampai ke sana.

Di rumah yang pagarnya berwarna silver, aku bertanya hal sama pada kakak ipar. Kataku apakah mas Dodi menginap di sini semalam.

"Dodi sebulan ini gak ke rumah Mba. Udah sombong dia, jadi gak mau nengok ke sini lagi."

Jawaban mba mas Dodi membuatku harus kembali kecewa. Rasanya jalan keluar atas masalah ini sulit sekali ditemukan. Mencari mas Dodi sudah seperti mencari buronan korupsi yang lolos terus menerus.

Duh, sepertinya di adiknya pun tak ada. Apa sembunyi ke rumah temannya. Parah banget ini orang. Rahangku sampai memggembung ketika bayangan wajah mas Dodi masuk ke cerukan otak.

"Mba, aku ambil motor, ya. Ada perlu, nih!"

Kebetulan sekali motorku yang dipinjam nangkring di teras. Ini kesempatan untuk mengambii hak yang lama tak didapat. Aku yang beli, orang yang pakai seenaknya. Padahal suaminya punya motor juga.

"Eh, tapi, Mba mau pake, loh! Ini mau jemput Risma!"

Aku tak peduli, terus saja mendesaknya agar menyerahkan STNK dan kunci. Karena aku bersuara tinggi di teras rumah, mau tak mau ia memberi yang dipinta. Pasti bakal malu didengar tetangganya tentang pinjaman motor.

Minjem, kok, udah enam bulan gak dibalik-balikin. Biar belunya udah lama, tapi'kan masih bagus. Beda banget dengan motor jadul itu. Lumayan bisa dijual untuk nambah setoran. Nanti motor mas Dodi yang kupakai.

"Mba boleh pake yang itu untuk jemput Risma, ya!"

Setelah berkata begitu, aku menyalakan motornya. Suaranya juga masih oke ini. Mesin pastilah bagus juga.

"Ta, Mitaaa!"

Suara mba Winda tak terdengar lagi sebab motor sudah melesat membelah jalanan. Aku yakin dia tengah meradang setengah mati. Terserahlah mau marah atau mengadu pada mas Dodi dan mamanya. Yang penting motor ini kembali.

Akan kucari mas Dodi ke rumah teman-temannya. Terserah apa pandangan orang-orang itu, yang penting uang bisa diselamatkan.

Hari ini juga mas Dodi harus ditemukan.. Kalau ditunda sampai besok dan beaok lagi bakal ludes itu uang. Untung ATM nya sudah kublokir kemarin, jadi sisa sepuluh juta itu bisa diamankan. Kalau tidak, kemungkinan besar diambil lagi olehnya.

Bisa jadi 'kan dia menghabiskannya untuk foya-foya. Traktir sana sini, beli ini dan itu. Atau yang paling mengerikan dihabiskan dengan wanita lain.

Jika itu terjadi, aku takkan memaafkannya. Enak saja uangnya dipakai untuk memanjakan wanita lain. Memang aku dianggap apa.

Uang itu hasil jerih payah dari menjualkan tanah, rumah dan kendaraan orang. Juga menjual barang apa saja yang diamanahkan padaku. Masa iya mau diem aja dipakai selingkuh. Aku bukan wanita bodoh yang nerima dizolimi bagaimanapun juga. Lebih baik hidup tanpa suami kalau hanya jadi sapi perah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status