Mata Renata menyipit menembus ke dalam pekat. Ia tidak salah lihat, itu memang para penjual jiwa, jumlah mereka dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.
“Ada apa, Kak?” tanya Shiny melihat wajah Renata yang menegang
“Para penjual jiwa, mereka datang lagi,” sahut Renata sambil mengulurkan telapak tangan ke arah buffet di mana pedang giok perak tersimpan. Dalam sekejap pintu buffet terbuka, pedang melesat ke dalam genggamannya.
“Ya ampun, pantang menyerah sekali. Apa mereka tidak tahu ini kediaman pangeran peri samudera? Jangan-jangan mereka tahu kalau Pangeran Biru sedang tidak ada, Kak?” cerocos Shiny sambil mengikuti Renata yang melompat ke halaman.
“Entahlah, yang jelas ini akan jadi malam yang panjang.”
“Sial, mereka merusak malam pertamaku di mansion cantik ini,” keluh Shiny sebal.
Renata tak menimpali, fokus mencari keberadaan Ratansa.
“Ratansa, para penjual ji
Lintang Timoer menahan tubuh Renata yang hampir membentur ubin. Dengan cepat membopongnya terbang menjauhi mansion.Ratansa yang melihat menggeram, memutus leher empat penjual jiwa yang mengeroyok dalam sekali tebas lantas melesat mengejar, namun dihadang oleh lelaki tinggi besar bertopeng.Sementara itu Shiny yang terluka tampak menjadi bulan-bulanan.“Ck, tak kusangka umurku hanya sampai malam ini,” decak gadis itu sambil menatap nanar para penjual jiwa yang serempak menghunus pedang ke arahnya.Shiny memejamkan mata, pasrah pada nasib yang akan menimpa. Namun sepertinya maut masih enggan menyambangi karena selarik sinar merah berhawa panas tiba-tiba membabat para penjual jiwa.Potongan tubuh mereka menggeliat-geliat di ubin seperti belatung.Shiny membuka mata, menatap punggung pahlawannya dengan terbelalak.“Ke ... Ken.”Pemilik sinar merah yang ternyata Kenzio menoleh. Menatap iba Shiny
Kenzio menatap sosok ringkih di depannya dengan perasaan campur aduk.“Kakek,” lirihnya.“Dia bukan kakekmu lagi, anak muda,” tukas Hyang Sagara cepat.Kenzio mendengus. Ia juga paham jika lelaki tua di depannya hanyalah kakeknya secara jasad tapi secara kesadaran dia adalah iblis bernama Ramangga Kala. Ia hanya kaget, setahun tak bertemu fisik Handoyo Timoer berubah seekstrem itu.Dan yang jelas sebenci apa pun, lelaki tua itu tetaplah kakeknya. Ia tak bisa melepaskan ikatan emosi di antara mereka begitu saja.Mata sang lelaki tua perlahan terbuka. Semua yang ada di sana semakin tercekat saat melihat warnanya yang semerah darah.Berbanding terbalik dengan tubuhnya yang ringkih mata itu tampak begitu trengginas dan menyiratkan kekuatan besar.“Tikus-tikus kecil, berani sekali kalian mengganggu semediku,” ucap Handoyo Timoer alias Ramangga Kala dengan suara yang terdengar dalam dan seberat napasnya.
Renata mengerang ketika kesadarannya perlahan kembali. Ia membuka mata, mendapati dirinya terbaring di ranjang besar berkelambu putih.Saat berusaha bangkit tubuhnya terasa begitu lemas."Kau sudah sadar?”Renata berjengit mendengar suara itu. Penggalan-penggalan ingatan terakhirnya serentak berkumpul tanpa diminta.“Kau,” desis Renata dengan kemarahan membuncah saat melihat sosok Lintang Timoer yang mendekat.“Maaf, aku terpaksa,” ucap lelaki itu sambil tersenyum.“Jangan sentuh aku.” Renata menepis lengan Lintang Timoer yang merengkuh bahunya.Lintang Timoer menatap sekilas lengan yang ditepis lantas kembali merengkuh dengan lebih bertenaga.Renata mendengus ketika lelaki itu membantunya duduk, dengan lembut menyandarkan tubuhnya ke hulu ranjang, sementara ia sendiri duduk di depannya dengan wajah inocent seperti biasa.“Aku menyesal harus membuatmu seperti ini Renata, su
Lintang Timoer menatap kaget sosok bertopeng yang keluar dari dalam dinding. Tak menyangka jika lelaki itu dengan mudah menemukan keberadaanya.Ya, ia memang mengingkari kesepakatan mereka. Tak membawa Renata ke tempat yang sudah ditentukan. Tempat di mana jiwa lotus Renata akan diekstraksi. Alasannya apa lagi selain karena tak tega.“Ah, maaf Tuan. Saya memang sengaja membawanya ke sini. Saya ingin membujuknya dulu agar bersedia bergabung ke pihak kita.”Lelaki bertopeng berdecih.“Kau menyukainya bukan?”Lintang Timoer terdiam namun beberapa detik kemudian tersenyum. Sadar tak ada gunanya berbohong.“Anda benar, saya menyukainya.”Lelaki bertopeng mendengus.“Dengar, aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi kita tidak punya banyak waktu. Saat ini Samudera Biru sudah kembali.”“Hm, cepat sekali,” gumam Lintang Timoer dengan nada sedikit cemas. Ia menatap&nb
“Tidak, jangan, Ibundaaa!!!”“Biru!! Hei, Biru!!”Samudera Biru membuka mata dengan napas memburu. Di sampingnya Renata yang baru terbangun menatap penuh khawatir.“Mimpi buruk?” tanya gadis itu sembari mengelap keringat yang terhampar seperti jejak gerimis.“Hem,” jawab Samudera Biru memijit dahi yang terasa berdenyut. “Jam berapa sekarang?”“Dua belas siang.”Samudera Biru menghembuskan napas kemudian menoleh.“Masih sakit?”“Sudah lebih baik.”“Syukurlah,” Samudera Biru bergumam lega mengingat betapa cemasnya ia karena selama berjam-jam Renata demam tinggi dan terus mengigau meski semua lukanya telah menghilang dan tulang-tulang patahnya sudah tersambung kembali.Efek semakin terbukanya segel jiwa lotus rupanya tidak main-main. Beruntung Renata memiliki ketahanan tubuh cukup baik, jika
Renata menatap pintu kamar Samudera Biru yang baru ditinggalkannya. Ia menarik napas, mencoba mengusir resah yang menggerogoti hati seperti rayap. Berjalan lunglai menuju ruang makan di lantai bawah.“Kak Renata!!!”Teriakan Shiny membuat Renata mengangkat wajah. Tersenyum ketika gadis dedemit itu melayang, menghambur memeluk dirinya yang baru sampai di pertengahan tangga.Semua mata yang ada di ruang makan sontak menoleh, menatap dengan berbagai ekspresi yang rata-rata terlihat lega.“Syukurlah kau baik-baik saja, Kak,” Shiny menggamit lengan, menggosok kepala pada bahu dengan manja seperti kucing.Sementara Renata sendiri hanya tersenyum, mengelus kepala Shiny lembut lantas mengangguk pada mereka yang mengisi meja makan.“Bagaimana kondisi Anda, Nona Renata?” tanya Panglima Kuning yang entah kapan tiba di mansion. Di sampingnya, Leon, ikut menatap ingin tahu.“Saya baik-baik saja, Panglima,&
“Berikan lengan kananmu sebagai kompensasi.”Suara Samudera Biru terdengar tegas sekaligus bengis. Matanya yang biasanya penuh daya pikat berubah menjadi penuh bahaya.Seisi ruang tamu menahan napas. Tak menyangka dengan permintaan yang terdengar tak manusiawi tersebut.“Pangeran, jangan bercanda,” Renata berusaha mencairkan suasana dengan tertawa kecil.“Aku tidak sedang bercanda,” ucap Samudera Biru dingin membuat Renata seketika menarik tawa konyolnya. “Bagaimana?” Samudera Biru kembali fokus pada Lintang Timoer.“Hamba bersedia."Desah tertahan memenuhi ruangan. Kenzio sontak bangkit, menentang keputusan gila kakaknya.“Duduklah, Zio,” gumam Lintang Timoer tenang.“Tidak, sebelum kau menarik ucapanmu.”“Ini keputusanku, tidak ada hubungannya denganmu.”“Dasar bodoh. Kenapa kau bertindak sejauh ini. Kak
Samudera Biru menatap Renata yang menunduk. Kecewa, sedih, bingung dan amarah bercampur di bola mata cemerlangnya.“Baiklah,” ucap lelaki itu sembari melepas pelukan perlahan.Wajah Renata seketika terangkat. Apa ini? Kenapa Samudera Biru menyetujui begitu cepat?Renata ingin bertanya tetapi kelu. Lagi pula ia yang meminta, memalukan jika sekarang kecewa dengan responnya yang terlalu cepat setuju.Apa ia ingin lelaki itu bersikap impulsif? Berteriak tak terima atau merayu sedemikian rupa? Hah, mimpi.Dia seorang pangeran dengan visual, kekuasaan dan kekayaan luar biasa. Kehilangan satu wanita biasa sepertinya hanya seperti kehilangan koin receh, tak berarti.Ya, pasti seperti itu.Renata menarik napas, menyimpulkan sepihak dengan otak wanitanya yang kompleks.“Mengenai ayahku, kau tak ....”“Jangan khawatir, aku akan tetap membebaskannya.”“Tapi ....”&l