Sepulang dari pesta Jarek keduanya bercengkerama di sofa. Banyak hal yang mereka dapat dari berbagai obrolan dengan para keluarga muda di sana. Sama-sama belajar, saling berbagi pengalaman.
"Kak.."
"Hmm.."
"Mungil mau diberi nama siapa kalau sudah lahir?" Tanya Dina sembari menyamankan kepala di paha suaminya. Sibuk memain-mainkan kukunya sendiri.
"Masih lama Sayang, nanti saja kalau sudah dekat persalinan kita pilih-pilih nama."
Dina cemberut, mendongak pada suaminya yang masih saja sibuk dengan tablet di tangan. Sepertinya penolakan itu hanya sebuah alasan untuk menghindar.
Lama-lama Dina jengkel karena Elan belum juga berhenti memikirkan pekerjaan ketika di dekatnya. Namun kekesalannya pun gugur oleh ingatan akan penuturan Vio. Bahwa saling terbuka dan melengkapi kekurangan pasangan dengan kelebihan yang kita punya adalah solusi kebahagiaan berumahtangga. Mungkin ini saatnya ia dituntut mengerti arti sebuah kewajiban, ia harus paham
vote dan komentar ya, jangan lupa
Pertanyaan Mematikan *** Harus dengan cara apa aku memberitahunya bahwa Mungil sedang sakit? Dia pasti kecewa karena aku mengabaikan kesehatan buah hatinya. Aku sangat khawatir, tapi aku hanya bisa menyentuh Mungil kami lewat lapisan terluar kulit perutku, selain juga berdoa, meminta pada Tuhan agar senantiasa menjaganya. Terus terang aku sangat bahagia karena Kak Elan rajin menciumi perutku, walau terkadang aku iri melihatnya, andai saja aku bisa mencium perutku sendiri, pasti hari ini sudah ku lakukan tanpa henti. Aku ingin mencium lalu berbisik padanya, betapa kami sangat mencintainya. Mungil sehat-sehat ya Sayang.. Nanti bantu Mommy bicara sama Daddy. Kuat-kuat ya Nak, sebagaimana Daddy sering menyebut Mommy demikian. Mungil tidak boleh berdarah lagi, harus sembuh ya Sayang.. Mommy dan Daddy selalu menyayangimu Nak, sangat menyayangimu.. Malam ini, aku merelakan hati tak ikut sert
Kamu Dimana? *** Lari dari kenyataan, keputusan paling sederhana dari pemikiran paling sempit. *** Elan terbatuk-batuk setelah cairan merah dari gelas ke sekian menelusuri kerongkongaannya, tapi tangannya masih menuang lagi. Ia menyunggingkan senyum sendiri, tertawa lalu tiba-tiba berhenti dan menyesali segalanya. Lehernya yang lunglai membuat kepalanya ambruk di atas meja. Dalam kedipan pelan ia mengingat bagaimana Arya mencumbu bibir istrinya, memeluk pula dengan erat.Menjijikkan! "Harusnya aku membunuhmuBrengsek.. MENCEKIK LEHERMU!!" Emosi Elan benar-benar tidak stabil. Kesadaran yang terus menerus tergerus menghilangkan akal sehatnya. Ia berdiri dengan sebotolwinedi tangan, membuka pintu menyusuri dinding dengan sempoyongan. Ia berhenti di depan pintu kamar Dina. Berseringai, beguman seram, dan mengancam. "Kamu.. Hanya.. Milikku..&
Tugas Berat *** Aku meneliti setiap ruangan, termasuk di dalam lemari, tapiDaisy-ku tak ada. Apakah ia pergi? Pada dini hari seperti ini? Dia bukan gadis lemah, bisa saja nekat dan benar-benar melakukannya. Aku sudah gila! Gila! Apa yang sudah ku lakukan padanya?? Bodoh!! Seharusnya ku tempeleng pipiku sendiri. Bisa-bisanya aku melakukan hal sekotor itu!! Aku memperlakukannya dengan biadab. Ini gara-garawinesialan itu. Sekarang tenggorokanku bahkan terasa seperti dibakar, perutku pun demikian, panas. Aku butuh air dingin di kulkas untuk mengguyur otak panasku. Dan sesuatu yang tak ku duga seolah menugguku di dapur.. Aku menemukan tubuh meringkuk, menggigil kedinginan memeluk lututnya. Tubuhnya bergetar hebat saat aku mendekatinya. Matanya yang sembab merah berkaca-kaca mencoba menghindariku. Ia ketakutan. Aku melihat ada luka di bibirnya, ulahku kah? Bukan hanya bibi
Tunggu Aku.. *** "Kamu itu diam saja, urus cucu Mama, biar Mama sendiri yang membereskan jamuan.." "Tapi.." "Jangan ngeyel, nurut sama Mama.." Tap... Tap.. Tap.. Ranti maupun Asya menoleh ke belakang, ke arah tangga, dan menemukan langkah tak berenergi milik Dina. Gadis itu turun dan menghampiri mereka. "Kak Asya temani mereka saja, biar aku yang bantu Mama.." Asya terperangah, sejak kejadian mengerikan di rumah sakit, ini pertama kalinya Dina mengajaknya bicara. Mungkin sebagai luapan kekesalan atau kesedihan, sebelumnya setiap kali Asya mengajaknya bicara pun tak ada tanggapan. Tak hanya pada Asya, tapi pada semua orang di rumahnya Dina lebih memilih tak mengacuhkan, mengurung diri di kamar, mengenang kepergian Mungilnya. Sebulan yang lalu, di malam itu baik Raka maupun Elan sama-sama dirundung kecemasan. Istri mereka sama-sama melahirkan tapi dengan masa dep
Cinta Itu Ada *** Lelaki tampan berlesung pipit itu tersenyum seraya mengulurukan tangan pada lawan bicaranya yang sedang duduk di balik meja kerja. Tatapan keduanya bertemu, saling menyunggingkan senyum kemenangan. "Selamat Pak Elan.. Dengan kemenangan kita atas gugatan perdata mereka, perusahaan tidak perlu menjualDNA townbukan?" Elan berdiri, menyambut uluran tangan Ranu. Pertanda terima kasih yang besar. Lelaki itu sangat berjasa baginya, juga bagi kelangsungan rumah tangganya secara tidak langsung. "Itulah gunanya mempekerjakan dirimu di perusahaan ini. Yah sesuai isu yang beredar bahwa kemampuanmu di meja hijau tidak diragukan, cukup tidak memalukan untuk seorangcumlaudedariColumbia University." Ranu hanya tersenyum kecil lalu menuju sofa mengikuti arahan tangan kliennya. "Saya lihat anda lebih bersemangat dari sebelum-sebelumnya." "Jangan t
Pertama – Keempat *** Sesuai janji, Elan datang menjemput pukul delapan tepat. Lelaki itu berusaha kaku terhadap waktu, seolah ingin menunjukkan pada Dina bahwa dirinya sedang tak main-main. "Ma
Mengulang Malam *** Dina menggerakkan kepala ke kanan, membuka bibirnya perlahan kala mencium wangi yang ia kenal. Kelopak matanya mulai tak tenang lalu tak lama kemudian terbuka. Ia tersentak karena ruangan itu tak asing baginya. Mata Dina semakin terbelalak ketika teringat oleh satu hal, pakaiannya. Ia menengok di balik selimut kemudian berhembus lega karena semua utuh. Dina meraba keadaan, apa yang sebenarnya terjadi? Seingatnya terakhir kali berada di bangku taman bermain bersama pemilik ruangan ini,ah kemana dia? Pandangannya menyapu sekeliling, mencari Elan dan mendapati lelaki itu berjalan ke arahnya dengan segelas jus jeruk di tangan. "Kenapa aku di sini?" Tanya Dina ketus. "Minumlah dulu.. Kamu pingsan." Lirikan Dina ke arah Elan yang duduk di tepi ranjang mengandung curiga. Menuduh dalam picingan yang memastikan. "Aku tidak melakukan apapun padamu
Sekuatku, Semampumu *** Dina merasa kulit keningnya lelah saat kedua kelopak mata mulai bergerak lambat. Terbuka sedikit lalu mengernyit oleh cahaya lampu yang tajam menyelinap, menyilaukan dan menyamarkan pandang. Ia menggigit getir bibirnya saat menyadari masih ada di tempat yang sama seperti terbangun sebelumnya. Bahkan yang lebih menyesakkan dada, ada nyeri di lipatan paha, ada sakit yang terulang, ada luka batin menguar oleh kepercayaan yang tergadai. Yah, Dina merasa dibawa kembali ke masa lampau, waktu di mana Elan merenggut kesuciannya. Bayangan akan kenangan itu semakin nyata kala ia mengintip di balik selimut dan menemukan beberapa bekas merah, antara hasil gigitan dan hisapan. Bau peluh yang menyengat menggetarkan mata, menjatuhkan airnya. Ia benci. "Sudah bangun?" Tanya seseorang yang sedang mengucek mata di belakangnya. Dina beringsut, reflek merapatkan selimut pada tubuh telanjangnya. Tak