Bahagia Kelima
***
Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.
Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.
Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.
Lalu bagaimana malam ini?
“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.
Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Mataku mengedari seluruh isi ruangan, kamar lelaki ini lebih luas dibanding kamarku. Lelaki yang telah lama ku kenal, yang kini berlabel sebagai suamiku. Oh Tuhan, mimpi apa aku hari ini, aku seorang gadis yang bersuami, apa artinya aku bukan gadis lagi? Padahal nilai ujian nasionalku saja belum keluar.Aku belum berani beranjak dari balik pintu. Sedangkan lelaki itu sudah melepas jasnya, tak peduli tentang kehadiranku. Sejujurnya aku tertarik mencuri pandang pada tubuhnya yang idaman para gadis itu. Aku pun kerap melirik-lirik perut roti sobeknya saat ia berenang dengan kakakku. Maklum hubungan persepupuan kami kian dekat saat kakakku sudah menikahi adiknya dan ia menanti waktu untuk mempersuntingku. Lalu kini susunan perut sempurna itu disuguhkan di hadapan kedua mataku? Hanya kedua mataku..Sepertinya ini rezeki dari Tuhan? Toh Aku tidak berdosa jika memantenginya terus-terusan, aduh kotor otakku!Suamiku adalah kakak
Gadis berseragam SMA itu turun dari ojekonline, berlari kecil lalu berhenti sebentar untuk memastikan nama tempat yang akan dimasukinya, sebuah restoran Jepang yang sudah terkenal. Ia tergopoh-gopoh, segera masuk ke dalam mencari meja yang dituju.Dina berdiri sejenak sebelum mengambil duduk di depan lelaki yang menikmati secangkirlatte. Ia kemudian memilih duduk berhadapan, terpisah meja, sesaat setelah Elan meletakkan cangkirnya."Su.. Sudah lama?" Dina gugup memulai pembicaraan."Ada perlu apa meminta bertemu?" Tak berniat menjawab basa basi Dina, Elanto the point.Dina segera membuka isi tas punggungnya, mencari secarik kertas yang menentukan nasibnya. Kemudian menyodorkan kertas yang berisi perjanjian pranikah itu pada Elan."Sebulan lagi kita menikah, setelah aku ujian nasional. Kita sama-sama tahu aku menik
Tubuhku melorot di balik pintu kamar. Ke mana semua orang? Mengapa tak ada satu pun yang bisa menolongku? Kak Raka, satu-satunya harapanku ternyata lebih memilih istrinya dari pada aku.Ku remas bagian dada bajuku, menahan segala kepelikan hidup yang seolah baru dimulai. Semua baru dimulai, lalu kapan berhenti? Sedangkan aku sudah kehilangan segalanya.Ku kira kesepakatan itu cukup tapi..Aku bodoh! Bodoh sekali! Ku edarkan pandanganku di seluruh ruangan mencekam ini. Seumur hidup tak akan terlupa di mana aku diperlakukan sangat rendah oleh orang lain, yang tak lain suamiku sendiri.Tok tok tokAku beranjak dari balik pintu, membukakan ketukan lemah itu karena ku yakin lelaki kasar itu tidak akan mengetuk selembut ini. Kak Asya yang ku lihat. Ia membawa nampan berisi makanan, ku rasa untukku. Aku berjalan ke sisi ranjang, lalu duduk di tepinya.Kak A
Asya bersandar punggung ranjang sembari masih sesenggukan. Ia terpukul atas segala penuturan dan tuduhan Dina. Merasa bersalah telah menjadi sumber masalah. Raka mengusap air matanya perlahan. Lembut penuh kasih sayang. "Sayang.. Kalau kamu banyak pikiran begini kasihan mereka.. Lupakan yang Dina ucapkan, dia hanya sedang emosi." Raka membelai punggung tangan istrinya, mengecupnya hingga terasa basah. Ia tidak mau istrinya tertekan oleh hal-hal yang mengganggu pikirannya. "Kak Raka harus bantu Dina hiks.. Dia sudah banyak berkorban untuk kita, dan semua.. Semua gara-gara aku lemah hiks.." Raka mengangkat wajah Asya. Tersenyum menenangkan. Ia mengecup bibir istrinya lembut, hanya mengecup bibir sensual istrinya yang selalu membangkitkan gairah. "Siapa bilang istriku lemah? Dina belum tahu saja kalau istriku sangat kuat hmm.., buktinya kuat menghadapiku, kuat juga jadi calon ibu
Elan berlari ke balkon kamarnya, nafasnya mengendur kala menemukan tubuh Dina duduk meringkuk di sudut dalam balkon, di dekat pintu. Ia memejamkan mata sejenak, lega. Pikirannya sudah terlanjur kacau membayangkan Dina akan loncat dari balkon untuk mengakhiri hidupnya. Ternyata gadis ini tidak selemah itu. Elan mendekati Dina yang termenung, melamun tak tahu di mana arah matanya berlabuh. Ia mengulurkan tangan. "Ayo masuk.." Ajak Elan datar. Dina merendahkan pandangan, respons tak nyaman pada lelaki yang berdiri congkak di depannya. "Ada yang ingin aku bicarakan." Dina masih diam. Ia tak tertarik. Balkon ini lebih menjanjikan kenyamanan daripada di dalam kamar yang mencekam. "Ini tentang perceraian." Dina mengangkat wajahnya, tapi menahan diri untuk melihat wajah lelaki itu. Ia tertarik kemudian berdiri dan mengekori Elan yang masuk ke dalam kamar. Perasaannya tak tenang, hanya bisa berdoa semoga Elan mengabulkan permintaannya.