Share

Kekacauan

    PRANG!!!

    

    Suara pecahan kaca terdengar saat sebuah piring melayang ke lantai. Makanannya pun ikut berhamburan. Mengotori keramik putih dan membuatnya tampak berantakan. Siapa lagi yang melakukannya selain Kiana? Wanita yang kini malah membuang makan siangnya sendiri.

    

    "AKU TIDAK MAU MAKAN! AKU MAU BEBAS!" teriak Kiana pada seorang perawat wanita yang membawakan makan siang untuknya. Kedua tangannya yang dilepas sementara, membuatnya mudah memberontak. Menatap perawat itu dengan sengit hingga Kiana tiba-tiba menarik lengannya tanpa sang perawat sempat menghindar.

    

    "BEBASKAN AKU! Bawa aku pergi dari sini!"

    

    "Awww ...."

    

    Cengkeraman tangan Kiana begitu kuat dan sedikit melukai sang perawat hingga terdengar rintih kesakitan. Berusaha melepaskan diri dari Kiana, meski semua itu tentu adalah percuma. "Lepaskan aku, wanita gila!"

    

    "A-apa? Apa yang baru saja kauucapkan?" Mata Kiana menyipit. Dia tidak tampak marah mendengar perkataan perawat yang menyebutnya sebagai 'wanita gila'. Sudah Kiana katakan, dia tidak gila! "AKU TIDAK GILA! BERANI SEKALI KAU MENGATAIKU GILA!"

    

    Perawat wanita yang ketakutan melihat ekspresi marah Kiana, berusaha melepaskan diri, namun entah karena tarikan Kiana yang cukup kuat atau bagaimana, perawat itu malah harus menjadi sasaran kemarahannya. Sampai saat Kiana menjambak rambut wanita itu dengan bringas. Tidak peduli jika kakinya masih dirantai. Kemarahannya semakin menjadi karena wanita itu terus mengatainya gila. "Rasakan ini! Rasakan kau! Dasar berdebah sialan!"

    

    "Aakhhhhh ... tolong ...."

    

    Tanpa peduli teriakan kesakitan perawat itu, Kiana terus menjambak kuat rambutnya. Siapa pun yang melihat, tentu akan berpikir kalau Kiana memang sudah gila. Dia malah tertawa keras saat sang perawat menangis. "Bodoh! Dasar bodoh! Kau harus menerimanya. Dengar, aku bukan orang gila. Kaulah yang gila!"

    

    "TOLONG ... SIAPA PUN TOLONG ...."

    

    Segala daya upaya untuk melepaskan diri dari kebrutalan Kiana sudah perawat itu lakukan. Mulai dari menekan tombol yang berguna memanggil seseorang sambil mendorong tubuh Kiana. Sayang, saat rasa panik tengah melandanya, Kiana tanpa aba-aba malah menggigit lengan perawat tersebut. Membuatnya semakin berteriak kencang meminta pertolongan.

    

    Darah tampak keluar lengannya saking kencang gigitan yang Kiana lakukan. Bahkan suara jeritan itu tidak cukup untuk menutupi rasa sakit yang dirasakan sang perawat. Hingga di saat perawat itu hendak pasrah, terdengar suara-suara langkah kaki yang berjalan terburu-buru ke ruangannya.

    

    Sayangnya, Kiana yang terlanjur marah karena ucapan perawat itu, tidak begitu memerhatikan siapa yang datang. Dia terus menggigit lengannya kuat, hingga dengan serentak, kedua tangannya tiba-tiba ditarik paksa oleh dua orang yang berada di sisi kanan dan kirinya.

    

    Dua laki-laki datang dan memegangi Kiana. Seorang wanita lainnya ikut membantu perawat yang menjadi korban keganasan Kiana sementara satu laki-laki yang datang terakhir, hanya menatap Kiana dengan pandangan dingin.

    

    "APA-APAAN INI! LEPASKAN AKU! KALIAN TIDAK BISA MELAKUKAN INI!" Kiana kembali memberontak, namun kedua tangannya ditahan kuat oleh dua laki-laki yang saat ini berusaha kembali memborgolnya.

    

    "Sepertinya kita tidak bisa membiarkannya di sini. Dia membahayakan orang lain," celetuk salah seorang laki-laki yang berhasil memborgol kembali kedua tangan Kiana. Membuat Kiana semakin tak henti memberontak.

    

    "BEBASKAN AKU! AKU MAU PULANG! BEBASKAN AKU!"

    

    "Tidak bisa. Dia harus di sini. Wanita ini sakit," ucapnya. Dengan langkah yang tenang, dia berjalan mendekati Kiana yang terus meronta meminta dilepas. Sampai wanita itu tiba-tiba terdiam ketika melihat siapa orang yang ada di depan matanya dan hanya sekejap mata, tatapan kemarahan kembali menyelimuti sorot matanya.

    

    "KAU! KAU DOKTER SIALAN! Cuih!" Tanpa basa-basi, Kiana langsung meludahi laki-laki yang tersenyum menatapnya itu. Membuat dua orang laki-laki yang tadi membantu menenangkan Kiana, terkejut bukan main.

    

    "Dokter Rafael--"

    

    Orang yang diludahi Kiana adalah Rafael. Laki-laki itu tampak tenang dan tak tersinggung sedikit pun dengan perlakuan Kiana. Rafael malah menghentikan ucapan laki-laki tadi dengan memberi tanda melalui gerakan tangannya dan meminta mereka untuk pergi. Membiarkan dirinya sendiri bersama Kiana. "Jangan khawatir, pergilah. Aku yang akan bertanggung jawab atas pasien ini."

    

    "Tapi--"

    

    "Tidak apa-apa."

    

    Rafael memberikan senyum formal yang tak mampu ditolak oleh dua laki-laki yang merupakan bawahannya itu. Tampak mereka dengan patuh berjalan keluar ruangan. Bersama dengan dua wanita yang tadi sempat ketakutan.

    

    "Apa? Kau mau marah? Kau mau memaksaku minum obat itu lagi! Hah!" bentak Kiana tepat di depan wajah Rafael.

    

    Sayangnya, laki-laki itu hanya tersenyum geli dan mengusap bekas ludah Kiana padanya. Kemarahan seperti inilah yang dia inginkan. Dia ingin melihat Kiana seperti wanita gila sungguhan. "Tidak. Aku hanya ingin melihat betapa menyedihkannya dirimu ini. Baru dua hari di sini, kau sudah membuat kekacauan separah ini. Dasar bodoh, kau semakin mempersulit dirimu sendiri."

    

    "A-apa? Apa maksud ucapanmu?" Kiana menatap Rafael penuh kebingungan. Sama sekali tidak mengerti maksud perkataan laki-laki itu. Dia tidak mengerti. Kenapa dokter itu ingin melihatnya yang menyedihkan? Kata-kata kurang ajar apa yang terlontar dari mulutnya? Dia seorang dokter. Apa itu kata-kata yang pantas diucapkan untuk seorang pasien?

    

    Tidak. Bukan Kiana mengakui kalau dia gila, tapi perkataan laki-laki itu menganggu rasa penasaran dan egonya. Perkataannya seolah mengingatkan dia pada tahun-tahun menyedihkannya dulu. Kiana tidak suka! Dia tidak selemah itu sekarang! Dia bukan orang yang pantas diinjak-injak lagi!

    

    Sayangnya, Rafael tidak menanggapi lebih jauh perkataan Kiana. Tatapannya malah beralih melihat ke arah lantai yang kotor karena ulah Kiana. "Karena kau membuang makan siangmu. Sampai nanti sore, kau tidak akan mendapat jatah makan."

    

    Tepat setelah mengucapkan kalimat itu, Rafael berlalu meninggalkan Kiana tanpa memberi obat penenang atau obat yang kemarin diberikannya.

    

    "KAU, AKU BELUM SELESAI! BERHENTI!"

    

    ***

    

    Sendirian.

    

    Malam itu, Kiana benar-benar sendirian di ruangannya. Gelisah dan tidak bisa tidur. Rasa laparnya juga sangat mengusik, membuat matanya tak kunjung mau terpejam. Ucapan Rafael benar-benar dilaksanakan, karena tingkah Kiana yang membuang makanan, wanita itu sampai tidak diberi makan.

    

    Perutnya tak berhenti berbunyi. Rasa lapar itu membuat Kiana semakin gelisah, tapi tidak ada apa siapa pun yang berani mendatangi dan memberinya makan. Kabar penyerangan yang Kiana lakukan pada seorang perawat tadi siang, sudah menyebar dan membuat para perawat lainnya sedikit ketakutan.

    

    Kiana adalah salah satu pasien yang paling sulit dikendalikan di sana. Meski tentunya, mereka juga sudah cukup sering menangani pasien gila seperti Kiana dan biasanya, mereka akan ditempatkan di ruangan-ruangan khusus. Itu jugalah yang menjadi salah satu penyebab kenapa Kiana memiliki ruangan sendiri, tanpa pasien lainnya. Ada kekhawatiran Kiana akan menyerang pasien lain dan menimbulkan kekacauan yang lebih besar.

    

    Walaupun demikian, beruntungnya Kiana sudah sedikit lebih tenang sekarang. Meski memang dia tetap tidak terima kalau harus tinggal di sini, tapi mulutnya sudah tidak lagi berteriak. Tenggorokannya sangat sakit karena teriakan yang percuma. Mereka tidak mau mendengar ucapannya sama sekali.

    

    Pandangan Kiana meredup. Tidak terdengar suara-suara lagi, yang menemaninya hanya kesunyian. "Apa salahku? Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kalian benar-benar jahat. Kenapa semua orang bersikap kejam padaku? Kenapa mereka begitu membenciku? Aku tidak salah. Wanita itu pantas mati. Dia bukan ibu yang baik," lirih Kiana dengan air mata yang tampak mengalir membasahi pipinya.

    

    Dia merasa benar-benar sendirian di dunia ini. Keluarganya sudah tidak ada. Ibunya tewas dia bunuh sementara ayah? Kiana tidak pernah tahu apa ayahnya masih hidup atau tidak. Dia tidak pernah tahu siapa pria yang menanamkan benih hingga dia harus terlahir ke dunia ini.

    

    Jalang. Ibunya hanya seorang jalang yang menjajakan tubuh untuk mendapat uang. Bukan tidak mungkin, dia adalah anak yang tidak 'disengaja' harus ada di dunia ini.

    "Lebih baik aku mati dari pada hidup seperti ini," ratapnya. Tanpa diketahui dan tidak Kiana sadari, di tempat lain, seseorang tengah memantaunya lewat sebuah kamera kecil di sudut ruangan. Menatap Kiana yang tertidur dan meratap dengan pandangan yang sulit diartikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status