Rafael memasuki ruangan tempat Kiana berada. Mencari keberadaan wanita itu di sana, namun sayangnya, dia sama sekali tidak menemukan siapa pun. Ruangan itu kosong. Terlihat selimut yang bahkan ada di lantai, membuat Rafael yang melihat hal tersebut segera kembali keluar. Berjalan dengan langkah tegap dan lebar. Matanya tampak memerhatikan sekeliling.
Kiana, di mana wanita itu? Sudah beberapa hari ini, Kiana tidak lagi mau keluar ruangan. Wanita itu bahkan dengan tak tahu dirinya, meminta makanan dibawakan ke ruangannya. Menyuruh ini itu pada setiap perawat yang datang ke ruangannya. Rafael tentu tidak keberatan, tapi sekarang, ke mana perginya wanita itu? Rafael sama sekali tidak menemukan keberadaan Kiana di ruangan mana pun. Tempat kegiatan yang biasanya pasien lain lakukan untuk melatih diri. Memberi mereka semangat untuk sembuh. Di tengah kebingungan yang melandanya, sebuah tempat tiba-tiba terlintas begitu saja da"Halo, Dokter Ken? Apa kau ada di dalam?" seru Kiana sembari mengintip ke dalam ruang kerja Ken. Melihat sekeliling ruangan laki-laki itu yang terbuka. Anehnya, di sana Kiana sama sekali tidak menemukan siapa pun. Sang pemilik, tidak ada di sana. Lantas, kenapa pintunya bisa terbuka? Hal tersebut membuat Kiana berpikir ulang untuk masuk. Dia bisa dituduh mencuri sesuatu jika ketahuan, meski saat ini sedang jam istirahat. Alhasil, karena tidak mau seseorang melihatnya, Kiana memilih untuk kembali ke ruangannya saja, tanpa bisa bertemu dengan Ken. Sayang sekali, padahal ada sesuatu yang ingin Kiana bicarakan dengan laki-laki itu. Firasatnya mengatakan, kalau Ken adalah laki-laki baik, jauh berbeda dengan Rafael yang sering kali membuatnya susah. Katanya psikiater? Tapi, laki-laki itu justru terlihat lebih seperti seorang tukang jagal. Auranya sangat menyeramkan dan kadang, bisa membuat Kiana takut sekaligus tak nyaman. &n
PRANG .... Gelas yang tengah dipegang Kiana tiba-tiba terjatuh dan pecah, bersamaan dengan dia yang mendengar berita kalau ternyata Andrew dipukuli serta terluka. Untuk sementara waktu, kakinya tidak bisa berjalan. Berita itu disampaikan oleh Ken yang mencari tahu tentang kondisi Andrew, setelah Kiana terus merengek meminta bantuannya. Tentu saja, itu dilakukan tanpa sepengetahuan Rafael. "Apa? Lalu, bagaimana keadaannya? Apa sekarang dia baik-baik saja?" tanya Kiana sembari menatap Ken dengan mata berkaca-kaca. Dia cukup terguncang dan tak menyangka kalau sesuatu yang buruk terjadi pada temannya. Kiana tidak pernah secemas ini dulu, tapi sekarang Andrew adalah satu-satunya orang yang paling penting untuk hidupnya. Dia sangat tidak ingin melihat laki-laki itu terluka. Spontan, tangannya menggenggam erat kedua tangan Ken. Air mata yang keluar, membuat pandangan Kiana menjadi sedikit kabur. "Kumohon, kat
"Kapan aku akan keluar? Aku sudah normal. Kaulihat? Aku tidak gila, 'kan?" tanya Kiana usai sesi psikoterapi yang dilakukan oleh Rafael berakhir. Kali ini, semuanya berjalan lancar. Tidak ada lagi perdebatan antara keduanya, atau mungkin, baru akan dimulai? Kiana sebenarnya sudah cukup muak bertatap muka dengan Rafael. Dia malas, meski wajah laki-laki itu memang sangat tampan. Namun karena Rafael penanggung jawabnya, Kiana tidak bisa berbuat banyak. Dia akan mendapat masalah jika harus membantah perkataan Rafael. Ya, walaupun hal itu sering kali dia lakukan saat sudah lupa diri. "Tidak. Kau tidak terlihat baik-baik saja," balas Rafael saat merasakan, betapa tertekannya Kiana selama ini. Masih ada hal lain selain masalahnya dengan Arkan. Ada trauma mendalam yang cukup sulit untuk Rafael gali, karena Kiana tetap tidak mau membukanya. Wanita itu justru menutupnya rapat-rapat. Alam bawah sadar Kiana, seperti berusaha untuk menghilangkan se
"Kiana, kenapa kau terus melamun? Kau tidak senang aku datang?" tanya Andrew saat keduanya duduk di bawah pohon. Seperti kata Ken beberapa hari lalu, Andrew akhirnya datang. Lebam di wajah laki-laki itu sudah menghilang dan Andrew sudah bisa berjalan seperti biasa. Tentu tidak menimbulkan rasa khawatir berlebih pada Kiana ketika melihatnya. Mungkin, karena rasa khawatirnya yang berkurang, Kiana justru terkesan seperti mengabaikan Andrew. Entah mengapa, pikirannya tertuju pada kejadian memalukan kemarin. Saat dia dan Rafael terjatuh, saling bertindih dalam posisi yang begitu intim. Menggelikannya lagi, Kiana tidak sengaja membuat 'sesuatu' milik Rafael terbangun. Tentu saja hal itu sama sekali tidak disengaja. Dia tidak berniat menggoda Rafael. Itu diluar dugaan. "Kiana? Kau sedang melamunkan apa?" Andrew menepuk pundak Kiana secara spontan saat melihat wanita itu terus-menerus melamun, sampai Kiana terkejut.
Hari ini, perasaan Kiana menjadi lebih baik setelah bertemu dengan Andrew dua hari yang lalu. Dia bahkan lebih sering tersenyum dan mengerjakan semuanya dengan semangat. Tidak ada omelan atau perdebatan yang keluar dari mulut Kiana. Dia juga menghiraukan saat pasien lain berlari dan tak sengaja menyenggol tubuhnya hingga nyaris jatuh. Benar-benar tenang tanpa keributan. Wajahnya bahkan menjadi lebih cantik dan bercahaya. Membuat heran para perawat akan tingkah tenang Kiana. Sampai saat Kiana mengikuti kegiatan menanam yang membuat tangannya kotor pun, wanita itu tidak menolak. Kiana tidak menolak seperti biasanya, dia malah dengan senang hati mengikutinya. Meski setelahnya, Kiana harus mencuci tangannya yang kotor. Tanah yang juga ternyata tanpa sengaja mengotori cincin pemberian Andrew. "Astaga, bagaimana mungkin dia melupakan itu?" Kiana memekik ketika melihat cincin yang terpasang di jari manisnya menjadi kotor. Merutuki kebod
"Rafael, akhh ... lagi, lebih dalamhh ...." Seorang wanita terus mendesah dan melenguh saat laki-laki di belakangnya menggerakkan pinggulnya. Menarik sejumput rambutnya ke belakang seperti memacu kuda. Bergerak semakin cepat dan membuat tubuh wanita itu terhentak-hentak. Gairah yang menggebu dan permainan kasar sang lelaki, membuatnya terlena. Rafael menyukainya. Dia menyukai setiap desahan yang keluar dari mulut Kiana. Menolak tentu tidak bisa wanita itu lakukan. Satu-satunya pilihan adalah menikmati setiap sentuhannya. Untuk saat ini, Kiana harus melayaninya. Wanita itu harus jatuh dalam kuasanya, karena demi apa pun, Rafael tidak bisa berhenti. Tubuh Kiana terlalu sayang untuk dia biarkan begitu saja. Kulit lembut dan halus, membuat siapa pun laki-laki akan bergairah jika melihatnya. Apalagi bagian-bagian tubuh yang menonjol di area tertentu. Pantas saja Andrew tergila-gila pada wanita ini. "Kau memang wanita
"Kiana alergi terhadap udang dan makanan yang tadi sempat dia makan, mengandung udang," papar Ken setelah dia selesai memeriksa Kiana. Wanita itu kini terbaring dalam kondisi tak sadarkan diri. Sementara dia sedang berbicara dengan Rafael yang duduk di sofa. Masih di ruang rawat Kiana. "Udang?" Rafael sama sekali tidak tahu soal itu. Ternyata Kiana tidak bisa makan makanan laut tersebut. "Iya, tapi sebenarnya, ada satu hal lagi yang membuatku penasaran." Ken menatap Rafael dengan tatapan serius. "Kenapa aku menemukan sejenis obat yang dicampur ke dalam makanan itu?" Ken sudah melihat dan menganalisis sisa makanan yang telah Kiana makan. Dia menemukan suatu keanehan karena melihat sejenis obat yang dicampur ke dalam sana. Obat yang cukup berbahaya dan Rafael pasti tahu mengenai obat ini. Obat yang tentunya terlarang digunakan karena seringnya disalahgunakan. Obat sejenis psikedelik. Obat yang da
Kiana bermalas-malasan di ruangannya. Dia menikmati waktunya di ranjang dengan Rafael yang duduk di sampingnya sambil mengupas sebuah apel. Membuat laki-laki itu mengerjakan apa yang dia mau. Ya, Kiana menjadikan Rafael pelayannya dengan dalih kalau dia tidak mau dilayani perawat yang sempat memberikannya makanan yang menyebabkan dia terkena alergi. Tujuannya bukan karena Kiana ingin dekat-dekat dengan Rafael. Jelas itu sangat salah. Salah besar. Kiana hanya mau, jika terjadi sesuatu yang buruk padanya, Rafael lah orang yang akan bertanggung jawab dan disalahkan. Dia sangat ingin memberi dokter sombong itu pelajaran. "Bisakah kau mengupasnya lebih lembut dan rapi?" tanya Kiana dengan nada sinis sembari menguyah apel yang sudah dikupas dan dipotong oleh Rafael. "Aku bukan pelayan. Kalau kau tidak senang, aku bisa panggilkan ahlinya," ucap Rafael seraya meletakkan pisau dan apel di atas piring kecil. Sungguh sebuah kesia