Rian menyandarkan tubuhnya di tembok depan kelas Raina. Cowok itu menunggu Raina keluar dari kelasnya.
Tak lama kemudian, Raina pun keluar dari kelasnya bersama Luna dan Risa.
"Na, lo jadi temenin gue ke mall, kan?" tanya Luna.
"Ja---"
"Raina sama gue," potong Rian membuat ketiganya langsung menoleh pada cowok itu.
"Enak aja lo. Gue duluan yang udah janjian sama Raina. Iya kan Rain?"
Raina melirik Rian yang tampaknya tidak ingin dibantah.
"Sorry, Lun, bukannya gue gak mau nemenin lo, tapi gue gak bisa. Soalnya Rian udah duluan ngajak gue pergi."
Wajah Luna tampak kecewa. "Terus gue pergi sama siapa dong?"
"Sama Risa aja. Sa, mau temenin Luna, kan?"
Risa menggeleng cepat. "Gak. Malas gue ke mall. Mendingan gue tidur di rumah."
"Sa, jangan gitu lah sama Luna. Sekali-kali temenin Luna. Lagian kalau gue bisa aja pasti gue udah temenin Luna."
"Ya udah oke. Gue mau." Raina dan Luna tersenyum lebar karena Risa mau menemani Luna.
"Makasih Risa. Kalau gitu gue sama Risa pergi dulu, ya. Bye, Rain."
"Bye."
"Yan."
"Hm."
"Kenapa lo tiba-tiba datang ke kelas gue? Rian yang gue kenal gak mungkin nunggu gue di depan kelas." Raina cukup heran karena Rian yang menunggunya di depan kelas. Apalagi cowok itu tidak pernah menunggunya. Mereka tidak pernah pulang bersama. Katanya, Rian malas mengantar Raina pulang karena jarak rumah Raina dan rumah cowok itu cukup jauh. Jadi ia tidak mau membuang terlalu banyak tenaga hanya demi cewek itu. Rian tidak seperti cowok lain yang perhatian pada pacarnya. Apalagi pacar yang tidak ia cinta.
"Gue mau ngajak lo pergi."
"Pergi? Ke mana? Rumah lo? Mau nyuruh gue bersihin rumah lo lagi? Duh, Yan, please deh gue itu capek baru selesai belajar masa lo udah nyuruh gue buat bersihin rumah lo? Gak ada hati nurani banget ya lo."
"Bawel banget sih lo." Rian memilih berjalan duluan meninggalkan Raina.
"Eh, Yan. Tunggu!"
*****
Raina mengernyitkan keningnya saat Rian memberhentikan motornya di dekat sebuah toko mainan.
"Yan, lo udah gede. Ngapain sih pakai beli mainan segala? Masa kecil lo kurang bahagia?"
"Mau diam atau gue gunting mulut lo?"
"Kayak lo berani aja." Raina tersenyum mengejek.
"Lo pikir gue gak berani?" Rian membuka tasnya membuat Raina sedikit ketakutan.
"Eh, jangan. Gue cuma bercanda kok. Lo mau beli mainan apa? Gue bantu cariin deh."
Tanpa menjawab pertanyaan Raina, cowok itu berjalan masuk ke dalam toko mainan tersebut.
Raina berdecak. Merasa kesal karena Rian yang meninggalkannya. Ia pun segera masuk ke dalam toko menyusul Rian.
"Sebenarnya lo mau cari mainan buat siapa? Cewek lo, ya?" Rian yang sedang menatap beberapa mainan yang dipajang di rak pun menoleh pada Raina ketika mendengar pertanyaan cewek itu. Wajahnya tampak datar.
"Ngapain gue cari mainan buat lo? Emang masa kecil lo kurang bahagia?"
"Bukan. Maksud gue cewek lo yang lain."
Rian melayangkan tatapan tajamnya pada Raina. "Lo pikir gue cowok macam apa yang pacarin banyak cewek?" sinis Rian.
"Sorry, gue pikir lo punya cewek gitu selain gue. Gue tahu lo pacarin gue biar supaya ada yang bisa lo suruh-suruh, kan? Kalau emang niat lo pengin bikin gue jadi babu lo, harusnya lo itu suruh gue jadi babu bukan cewek lo."
"Bacot mulu lo daritadi. Mendingan lo bantuin gue cari mainan buat keponakan gue."
"Iya, iya."
"Keponakan lo umur berapa?" tanya Raina.
"Kenapa nanya-nanya?"
"Biar bisa cocokin seleranya kayak gimana."
"Empat," jawab Rian singkat.
"Empat apaan? Jawab yang jelas. Empat itu ada banyak. Ada empat detik, empat menit, empat jam, empat hari, empat minggu, empat---"
"Empat tahun."
"Oh oke."
Rian menyesal telah mengajak Raina menemaninya membeli mainan untuk keponakannya. Cewek itu sangat cerewet. Dan Rian tidak menyukai cewek yang cerewet seperti Raina. Kalau saja ia tidak membutuhkan Raina sebagai pesuruhnya, Rian pasti tidak akan mau menjadikan Raina sebagai pacarnya.
Karena cewek cerewet seperti Raina bukanlah tipenya."Yan, mainannya boneka teddy bear aja, ya. Gue yakin keponakan lo pasti suka."
"Oke." Rian mengambil alih boneka teddy bear berwarna merah mudah tersebut dari tangan Raina. Lalu ia berjalan ke kasir untuk membayarnya.
Setelah selesai, mereka pun keluar dari toko.
Raina mengusap perutnya yang berbunyi. Cewek itu lapar.
"Lo kenapa?" tanya Rian menyadari ada yang tidak biasa dengan Raina.
"Gak papa. Ayo pulang."
Rian memilih tidak bertanya lagi. Ia melempar helm pada Raina yang langsung ditangkap oleh cewek itu. Selesai memakai helm dan menaiki motor barulah mereka beranjak dari sana.
*****
"Loh, Yan, rumah gue masih jauh kali. Ngapain lo berhenti di warung makan?"
Raina mengusap perutnya. Kenapa Rian harus memberhentikan motornya di depan warung makan? Kalau begini, yang ada Raina tidak bisa menahan rasa laparnya.
"Gak usah banyak nanya. Ikut gue aja." Rian melepas helmnya lalu turun dari motor. Begitu pun dengan Raina. Setelah itu, mereka pun masuk ke dalam warung makan tersebut.
"Eh, Den Rian. Makan yang biasa, kan?" tanya seorang pria paruh baya yang Raina yakini adalah pemilik warung tersebut.
"Iya Pak Anto. Dua ya."
Pria bernama Pak Anto tersebut melirik Raina sejenak lalu tersenyum.
"Pacarnya Den Rian, ya? Gak nyangka ternyata Den Rian punya pacar juga."
"Minumnya es teh sama es jeruk, ya, Pak."
"Oke Den."
"Lo kenal pemilik warungnya?" tanya Raina.
"Iya."
"Btw, kenapa tiba-tiba lo ngajak gue makan?"
"Karena gue lapar."
"Oh gitu." Raina merutuki kebodohannya karena telah salah menduga. Ia pikir Rian mengajaknya ke warung makan karena cowok itu tahu kalau ia lapar, ternyata ia yang terlalu percaya diri.
"Ini Den makanannya. Selamat menikmati."
"Makasih Pak Anto."
Rian melahap makanannya. Namun, Raina tidak melahap makanannya. Cewek itu hanya menatap makanannya membuat Rian menatap bingung cewek itu.
"Makan. Jangan diliatin aja."
"Tapi gue udah gak ada uang lagi buat bayar makanannya." Uang jajan Raina memang tinggal sedikit. Itu pun tidak akan cukup untuk membayar satu porsi nasi ayam.
"Emang gue ada suruh lo bayar?"
"Enggak sih."
"Ya udah dimakan."
"Tapi kan gak enak sama lo. Masa gue makan dibayarin sama lo?"
"Terserah lo. Mau makan atau enggak gue gak peduli."
Raina mengerucutkan bibirnya. Rian memang benar-benar cowok yang sangat cuek.
Raina kembali menatap nasi ayam yang berada di hadapannya. Kalau ia tidak makan dan hanya menonton Rian makan, yang ada ia bisa mati kelaparan. Lagipula, Rian juga mau membayar makanannya, jadi lebih baik ia makan saja. Untuk saat ini, biarlah ia menghilangkan rasa gengsinya daripada rasa laparnya.
*****
Selesai makan, Raina menunggu Rian di motor. Rian masih berada di dalam warung untuk membayar makanan mereka tadi.
Raina mengusap perutnya. Sekarang perutnya sudah tidak berbunyi lagi. Karena ia sudah kenyang. Bahkan sangat kenyang.
Tak butuh waktu lama, Rian pun sudah keluar dari warung makan.
"Makasih, ya, Yan udah bayarin gue makan."
"Lo pikir makasih aja cukup?"
"Besok gue ganti uang lo."
"Gue gak butuh uang."
"Terus lo mau apa?"
"Gue mau nanti malam lo temenin gue ke rumah Tante gue."
"Kalau gue gak mau?"
"Kalau lo gak mau berarti lo udah siap buat terima akibatnya."
Raina menghembuskan napasnya. Untuk pertama kalinya ia menyesal ditraktir makan oleh orang lain.
Mau menolak pun tidak bisa. Terpaksa ia harus menuruti cowok itu.
******************************Raina menatap pantulan wajahnya di cermin. Memastikan penampilannya sudah baik atau belum. Setelah dirasanya sudah baik, ia pun mengambil tas selempangnya lalu memakainya.Sesuai janjinya pada Rian, malam ini ia akan menemani Rian ke rumah tante cowok itu.Raina turun ke lantai bawah. Ternyata Rian sudah menunggunya di bawah. Cowok itu sedang mengobrol dengan kedua orang tuanya."Jadi kamu mau ngajakin Raina keluar?" tanya Seno."Iya Om. Boleh kan, Om?""Boleh aja. Asal sebelum jam sepuluh kamu udah antarin Raina pulang.""Siap Om.""Em, Pa, Ma, aku pergi sama Rian dulu, ya." Raina mendekati Seno dan Dian lalu mencium tangan keduanya diikuti Rian."Hati-hati, ya."Mereka berdua berjalan keluar dari rumah. Pandangan Rian tidak terlepas dari Raina. Ia cukup kagum karena malam ini Raina terlihat cantik."Kenapa liatin gue kayak gitu? Gue jelek, ya?" Pertanyaan Raina sukses membuat Rian tersadar. Buru-buru cowok
Raina berjalan mendekati Rian yang sedang duduk di tepi lapangan. Cowok itu berkeringat karena baru saja selesai berlari mengelilingi lapangan. Tadi, ia datang terlambat, sehingga ia dihukum."Nih, minumnya." Raina memberikan sebotol air mineral yang ia beli tadi di kantin. Sebenarnya, ia datang ke sini bukan karena ia mau, melainkan karena disuruh oleh Rian.Rian menerima botol minum tersebut lalu meneguknya hingga setengah.o"Mau ke mana?" tanya Rian saat Raina hendak pergi."Ke kantin.""Emangnya gue udah bolehin lo pergi?""Emangnya gue harus butuh izin lo dulu baru gue boleh pergi?""Selama lo jadi cewek gue, lo harus nurutin apa kata gue.""Ngatur banget, ya, lo."Rian kembali meminum airnya tanpa membalas ucapan Raina."Hai Rian. Aduh pasti lo capek banget ya, habis dihukum. Sini gue lap keringat lo." Seorang cewek dengan seragam ketatnya tiba-tiba menghampiri Rian dan Raina. Cewek itu menarik tisu dari bun
Rian duduk di pinggir kolam renangnya sambil termenung. Mengingat kembali Raina yang tadi terlihat begitu akrab dengan Arka membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.Entah kenapa, ia tidak suka Raina didekati oleh cowok lain."Woi." Rian terkejut saat Andi yang menepuk pundaknya cukup keras."Ngapain lo di sini?" Suara Rian terdengar sangat dingin. Bahkan wajahnya tampak datar."Gue mau bersantai di rumah lo. Gak ngerepotin, kan?""Kalau gue bilang ngerepotin lo bakal pergi?""Enggak sih."Rian memutar bola matanya malas. Ia bangkit berdiri membuat Andi menatapnya."Yan," panggilnya."Apa?""Tadi, gue liat Raina sama Arka.""Gak peduli.""Mereka tadi makan berdua di pinggir jalan. Mereka keliatan mesra kayak orang pacaran. Gue jadi iri sama mereka.""Raina cewek gue," ucap Rian dingin.Andi terkekeh pelan. "Iya gue tahu. Gue bukan bilang mereka pacaran, gue kan cuma bilang mereka mesra ka
Rian turun dari motornya. Cowok itu baru saja tiba di sekolah. Seperti biasa, ia selalu menjadi pusat perhatian para cewek di SMA Bina Bangsa. Namun, Rian sama sekali tidak pernah peduli dengan cewek-cewek yang mendekatinya. Ia bahkan mengacuhkan mereka, makanya para cewek tidak berani mendekatinya kecuali Wanda. Itu karena cewek itu terlalu terobsesi dengan Rian."Pagi Rian. Nih, gue ada bekal buat lo. Gue dengar kemarin Raina bawain lo bekal tapi lo buang ke tempat sampah karena gak enak, ya? Emang sih Raina itu benar-benar gak cocok sama lo. Mendingan juga gue ke mana-mana. Udah cantik, seksi, primadona sekolah, bisa masak. Pokoknya lo itu cocok kalau sama gue.""Eh, Rian jangan pergi dulu dong. Terima dulu kotak makannya." Wanda menahan lengan Rian, lalu menyodorkan kotak makan berwarna putih tersebut.Rian melepas tangan Wanda dari lengannya lalu mengambil kotak makan dari tangan Wanda membuat cewek itu tersenyum. Namun, senyumnya itu tidak bertahan lama, k
"RAINA!" teriak Luna membuat seisi kelas menatapnya tajam. Namun, cewek itu tidak peduli. Ia segera berlari mendekati Raina yang sedang mengobrol dengan Risa."Rain, gawat." Wajah Luna tampak panik."Kenapa sih? Teriak-teriak mulu lo," ujar Risa."Apanya yang gawat, Lun?" tanya Raina penasaran."Itu si Rian lagi berantem sama Arka.""Hah? Kenapa bisa berantem?""Gak tahu. Mendingan sekarang lo samperin aja. Mereka sekarang lagi di halaman belakang sekolah."Tanpa menunggu lama, Raina pun segera pergi ke halaman belakang sekolah.Sesampainya di sana, ia cukup terkejut karena banyak murid yang menonton pertengkaran mereka. Yang membuat Raina kesal adalah kenapa mereka tidak ada yang melerai mereka berdua?"Stop! Berhenti!" Raina menyerobot masuk ke dalam kerumunan tersebut untuk menghentikan perkelahian keduanya.Rian yang hendak memukul wajah Arka pun menoleh pada Raina ketika mendengar teriakan cewek itu."
Rian menatap Raina yang baru saja tiba di sekolah. Ekspresi wajahnya kelihatan tidak suka karena melihat Raina yang datang ke sekolah bersama Arka.Rian pun mendekati mereka, lalu tanpa banyak bicara, ia langsung menarik lengan Raina."Sakit Rian," ringis Raina. Ia berusaha untuk melepas tangan Rian, namun Rian semakin mempererat cekalannya.Hingga Arka berhasil menyusul mereka lalu melepas paksa tangan Rian dari Raina."Jangan kasar jadi cowok. Lo itu cowoknya. Gak bisa lembut dikit sama cewek lo?"Rian menatap sinis Arka. Menunjukkan kalau ia memang tidak suka cowok itu."Gak usah ikut campur. Ini urusan gue sama cewek gue." Setelah berucap demikian, Rian kembali menarik lengan Raina. Tidak peduli Raina mengadu kesakitan.Rian melepas cekalannya saat mereka berhenti di lorong kelas dua belas yang cukup sepi karena masih cukup pagi."Lo ngapain sih narik-narik gue? Sakit tahu gak." Raina mengusap tangannya yang sedikit memerah
Raina menatap Rian yang sedang duduk di bangku belakang halaman sekolah. Cowok itu sedang merokok. Raina awalnya pergi ke toilet. Saat ia hendak kembali ke kelas, ia malah tidak sengaja melihat Rian. Tanpa ragu, Raina pun mendekati Rian."Lo ngerokok?" Rian terkejut lalu menoleh ke belakang. Ia menghela napas lega karena orang yang menangkapnya merokok adalah Raina."Jangan berani-berani laporin gue ke guru. Ngerti lo?""Iya. Kenapa lo gak masuk kelas? Kenapa lo ngerokok di jam pelajaran? Kan bisa lo ngerokok waktu pulang sekolah," ucap Raina."Gak usah ikut campur urusan gue," ucap Rian dingin."Gue gak ikut campur, cuma kasih saran aja. Kalau lo gak mau terima ya udah. Gue gak bakal maksa kok."Raina hendak berdiri namun Rian malah menahan lengannya."Kenapa?" tanya Raina namun tidak dijawab oleh Rian.Rian malah mendekatkan tubuhnya pada Raina membuat Raina kebingungan."Lo mau ngapain?"Rian kembali menjauhkan
"Rian Armando!" Rian yang sedang tertidur pulas di atas meja langsung terbangun dari tidurnya."Aduh sakit, Bu," ringis Rian saat Ibu Vina, selaku guru yang mengajar mata pelajaran Matematika menjewer telinga Rian."Berani-beraninya kamu tidur di jam pelajaran saya. Mana tugas kamu?" Wajah Ibu Vina terlihat garang menunjukkan kalau beliau kesal pada Rian."Ada Bu, tapi lepasin dulu kuping saya, Bu. Bisa-bisa kuping saya putus.""Ya sudah cepat kasih tugas kamu." Rian membuka tasnya ketika Bu Vina sudah melepas jewerannya.Rian mengambil buku tugasnya lalu memberikannya pada Bu Vina."Ini Bu tugasnya." Bu Vina menerima buku Rian lalu membukanya. Memeriksa hasil pekerjaan Rian.Lalu ia kembali menatap Rian."Gimana Bu? Benar semua, kan?""Memang benar semua, tapi bukan kamu yang kerjain tugasnya, kan?"Siapapun tahu kalau tugas Rian tidak dikerjakan sendiri olehnya. Karena Rian terkenal tidak pernah mengerjakan tugasn