"Aaa!!!! Sakit! Papa! Sakittt!" rintihku tanpa henti sembari memegangi tubuhku.
Rasanya, seperti ada benda tajam semacam jarum jahit di sana. Dalam posisi berbaring, kakiku terus kuhentak-entakan ke ranjang. Aku sudah tak sanggup lagi, ingin lekas mengakhiri hidup daripada menahan nyeri, dan lara menyayat ini. Rasa sakit di organ itu belumlah lenyap, kini bertambah lagi sensasi panas, seakan membakar sekujur tubuhku.
Air mataku tak bisa berhenti mengalir, sementara Papa yang panik, hanya mengusap-usap lembut puncak kepalaku. Sesekali mengusap linangan air mata yang menggenangi pipinya.Sesaat rasa nyeri mereda, beralih ke rasa gatal di seluruh wajahku yang dipenuhi banyak bisul berisi dar*h juga nan*h. Kugaruk-garuk kedua pipiku, tanpa memedulikan bagaimana sekarang rupaku di cermin. Begitu kulihat, kedua tanganku sudah dipenuhi dar*h hasil dari garukan pipi barusan."Papa! Rasanya lebih baik aku mati aja! Daripada kayak gini terus Papa!" keluhku terisak-isak.Rengkuhan Papa kian erat, kedua matanya telah sembab menangisiku, rengkuhan itu terasa nyaman, dan sedikit meredakan kegelisahan ini."Papa! Di sana, Pa! Di tembok ada banyak kalajengking banyak, Pa! LIHAT PA!!" pekikku lagi, menahan rasa takut, dan kian merengkuh erat tubuh Papa.Ratusan kalajengking sedang menyerbu dinding rumahku, mereka merayap turun dari dinding menuju ke lantai kamar."Nak! Nggak ada kalajengking, Nak! Mana?""Itu, Papa!" Jari telunjukku mengarah ke dinding. Saat Papa menoleh ke dinding belakang, ia kembali mengusap lembut puncak kepalaku, dan berucap, "nggak ada apa-apa, Nak! Nggak ada kalajengking di sini! Kamarmu bersih!""Ada apa lagi sih, Mas!?" sergah ibu tiriku yang baru datang memasukki kamar.Seperti biasa, tampak wajah seringai nan kecut memandang penuh kebencian padaku. Kehadirannya selalu membawa hawa suwung yang membuat bulu kudukku meremang.
"Pergi kamu! Jangan mendelik terus!" seruku saat melihat nenek-nenek berwajah setengah hancur yang terus melotot ke arahku. Nenek berambut serba putih nan kusut berantakan, dengan pakaian khas gembel itu, hadir bersamaan dengan ibu tiriku.Nenek tua yang ada di belakangnya itu terus memelototiku seolah geram, ingin mengutuk, juga menerkamku.
"Daniella! Siapa yang mendelik-mendelik ke kamu! Nggak sopan banget jadi anak!" omelnya sembari mengerucutkan bibir, dan menyilangkan tangan. Kurasa, dialah orang yang paling bahagia melihat derita bertubi yang kurasa ini."Bukan ... bukan Tante! Itu Tante! Di belakang Tante ada nenek-nenek lampir! Dia ngikuti Tante terus!""Ini anak bicaranya makin melantur, kebanyakan halusinasi. Udah, Mas. Apa Mas mau repot ngurusi dia terus. Dia udah nggak waras fisik sama jiwanya juga Mas. Bawa aja dia ke RSJ!" pekik Tante Liana."Eggak, Papa! Aku nggak gil*! Beneran di sana ada kalajengking banyak! Di belakang Tante juga ada Nenek Lampir!" seruku meyakinkan. Tapi tak sedikitpun mereka ada yang mau mempercayai ucapanku."Aaaaaa!!!!! Sakit!" Air mataku meluruh lagi di tengah perdebatan ini. Kali ini, rasa sakitnya beralih ke perutku yang seperti ditus*k-tus*k duri."Liana! Lebih baik kamu keluar panggil Si Mbok! Aku mau hubungi dokter. Kamu di sini dulu ya, Nak! Papa mau ambil Hape dulu." Papa mengusap lembut punggungku. Kemudian beranjak, dan menyeret Tante Liana dengan kasar keluar dari kamarku.Tak seberapa lama, datang Si Mbok tergopoh-gopoh menghampiriku yang kesakitan, sendiri di dalam kamar."Mbok! Sakit, Mbok! Sakiiit!" aduku tak tahan lagi menahan ini. Tangisku kian pecah, sedu-sedan di hadapan wanita baya yang telah merawatku sejak aku ditinggal oleh ibuku kembali pada Ilahi."Non! Yang sabar ya, Non!""Mbok, itu ada kalajengking di bawah kaki Mbok!" Spontan aku berdiri di atas ranjang ini."Mana Non? Ndak ada kalajengking. Itu perasaan Non aja. Non lagi sakit. Kalau misalnya Bapak sama Ibuk Liana ndak sanggup lagi merawat Non, dan Non mau ditaruh RSJ. Lebih baik, Non ikut Mbok aja ya Non. Mbok siap, ngerawat Non. Selama ini, Non sudah Mbok anggap seperti anak Mbok sendiri.""Nggak, Mbok! Nggak mungkin! Papa nggak mungkin setega itu bawa aku tinggal di rumah sakit jiwa! Aku nggak gil*, Mbok!""Non!" kata Si Mbok lirih, kemudian dia tak lagi berucap. Hanya air mata tanpa tepi, yang sanggup mewakili apa isi hatinya."Gatal!!! Gatal! Panas!!!!!" Wajahku kembali memanas, dan rasa gatal itu seolah menggerogoti.Wajahku mungkin kini sudah seperti monster zombie setelah penyakit aneh ini menjangkit tubuhku. Bahkan dokter pun tak bisa mendiagnosis apa penyakitku sebenarnya.Beragam alat canggih mendeteksi tubuhku. Namun, tak ditemukan ada gangguan medis berarti di fisik nan muda ini.Berbagai macam pengobatan, mulai dari medis, pengobatan penyakit fisik hingga jiwa, ditempuh demi kesembuhanku. Aku didagnosa Skizofrenia, karena waham dan delusi. Padahal kurasa tidak. Aku masih waras, dan pikiranku masih jernih.Saat aku menjerit merasakan sakit, beberapa kali melihat binatang melata di kamarku. Itulah mengapa, mereka menyebutku dengan gangguan halusinasi.Sungguh, orang tua manapun tak pernah menginginkan anaknya menderita seperti ini.Obat dari dokter spesialis kulit, cukup berimbas pada kulitku. Namun, setelah obatnya meredam, dan rasa sakit di wajah, dan kulit tubuhku kambuh. Aku seperti kehilangan kendali, terus menggaruk wajah itu tanpa ampun. Ditambah lagi rasa sakit yang amat misterius di perut, dan organ kew*nitaanku. Dokter pun tak bisa menjelaskan dengan spesifik, apa sebenarnya penyakitku ini.Hingga desas-desus merebak, bahwasannya aku ini adalah korban teluh alias kiriman ilmu hitam.Sampai pengobatan alternatif pun kulakoni, hingga mendatangi tabib yang konon disebut 'Orang Pintar' pun sudah ditempuh.Kecurigaanku tertuju pada dua orang yang sangat membenciku.Pertama pada Bakti, lelaki yang semula sangat mencintai, dan mengagumiku. Betapa tak tahu dirinya yang 'hanya' penjual gorengan pinggir jalan itu, berani-beraninya dia mengungkapan cinta padaku, juga berniat melamarku. Dia tak sadar, siapa dia, dan siapa aku. Dia hanyalah penjual gorengan yang ngemper tempat tinggal di kota besar. Sedangkan aku, adalah Daniella Arnetta Vernandi, putri tunggal Tuan Vernandi Himawan, pemilik ratusan restoran yang tersebar di penjuru negeri.Saat Bakti mengungkapkan cintanya padaku. Dengan lantang aku menolaknya. Hinaan, cacian, bahkan umpatan lepas begitu saja dari lisanku. Alasanku menolak, tak hanya status kami yang terlampau jauh jika disandingkan. Selain itu, aku juga menjalin kasih dengan Seorang pria bernama Azaska. Kami sederajat, dan Papa merestui. Jadi, tak ada lagi yang boleh menjadi pemisah antara kami.Saat menolak Bakti, aku sama sekali tak menyesal, merasa bahwa dia layak dihina, dan pantas menerima penolakan dariku.Adakah itu alasan, dia mengirim penyakit ini?Namun, selain Bakti, dalam hidupku ada salah satu orang yang sangat menginginkan penderitaanku, dia ... tak lain adalah ibu tiriku. Tante Liana. Wanita muda yang usianya hanya selisih lima tahun denganku itu, baru dua tahun lalu menyandang gelar istri Papaku. Laki-laki yang hampir seusia dengan Bapaknya. Awal menikah dengan Papa, Tante Liana teramat manis. Tapi, semanis apapun dia bersikap, sampai kapanpun tak akan sudi aku memanggilnya Ibu. Karena, dia sudah merebut hati Papaku. Sebelum ada dia, kasih Papa hanya tercurah untukku seorang.Setelah dia hadir. Cinta Papa jadi terbagi, dan aku benci hal itu. Aku tak pernah menganggapnya ibu, apalagi menghargai keberadaanya. Bahkan karena sikapku yang buruk padanya sampai-sampai membuat Papa pertama kali membentakku. Padahal seumur hidup, Papa tak pernah berucap dengan nada tinggi padaku. Itu semua gara-gara Tante Liana!Karena sikapku yang buruk, manja, dan kekanakan tentunya Tante Liana sangat membenciku. Mungkin itulah alasannya dia mengirim ilmu hitam ini padaku.***"Nak! Maafin Papa, Sayang. Papa yakin ini jalan terbaik yang bisa Papa tempuh untuk kesembuhanmu! Papa janji, sesering mungkin Papa akan mengunjungimu, Nak!""Papa! Aku nggak gil*, Papa! Pikiranku masih sehat!""Pak, jangan bawa Non ke rumah sakit jiwa, Pak! Saya mohon, Pak. Kasihan, Non. Kalau Bapak ndak sanggup lagi merawat, biar saya saja yang bawa Non Daniella ke kampung!" Si Mbok mengiba memohon dengan setulusnya pada Papa, supaya aku tak dibawa ke Rumah Sakit Jiwa.-----Bersambung ...Bab 2 Pov Daniella Arnetta Vernandi'Sebelum kutukan ini datang. Aku seperti bidadari yang dikagumi. Namun, setelah penyakit ini menggerogoti. Mereka menyebutku Kuntilanak pohon jambu' ------------------"Sudah aku bilang, Papa! Aku nggak gil*! Aku nggak mau ke Rumah Sakit Jiwa!" Aku terus berteriak dan memberang, saat dua orang laki-laki suruhan Papaku mencoba membawaku paksa keluar dari rumah ini. Tega sekali Papa membawa anaknya ke RSJ.Kepada siapa lagi aku harus percaya. Sedang Papaku sendiri saja sudah tak mau mengerti diriku lagi, dan merasa menyerah dengan penyakitku ini. Si Mbok terus menangisiku dan mencoba mencegah kedua pria itu, yang hampir mencengkeram paksa tanganku yang terus kuguncangkan. "Pak! Saya mohon, Pak! Jangan bawa Non ke rumah sakit jiwa! Saya masih sanggup ngerawat Non Daniella! Non Daniella sudah seperti anak saya sendiri!" Si Mbok berlutut di hadapan Papa, dan kedua suruhannya menghentikan penjemputan paksa ini. Air mata tulus itu melukiskan betapa cin
Part 3 ----Gadis angkuh bernama Daniella, harus terisolasi dari ingar-bingar kemewahan orang tuanya, sebab penyakit misterius yang menjangkit fisik, dan mentalnya. Dia terpaksa harus tinggal di desa terpencil hingga warga menyebutnya kuntilanak. Sampai suatu ketika, pertemuannya dengan Ustaz muda bernama Ashrafil Ambiya' dapat mengubah pandangan hidupnya. -----PoV Ashrafil Ambiya----"Ati-ati ada kuntilanak, Pak Ustadz! Pak Ustadz jangan nyari pakan kambing di sana! Di pohon jambu itu ada kuntilanaknya!" Begitulah kata orang-orang yang sering memperingatkanku. Mereka melarangku untuk tidak mencari rumput di semak nan rimbun dekat pohon jambu itu. Aku orang baru di sini, bukan tak ingin mengindahkan peringatan mereka. Hanya saja, apa mungkin ada makhluk halus yang terang-terangan menganggu banyak warga seperti itu?Bukankah manusia dengan mereka beda dimensi!?Ataukah itu hanya rumor mistis saja agar warga tetap waspada, dan cara paling efektif untuk menakut-nakuti anak-anak supa
Rumah Si Mbok PoV Daniella Arnetta Vernandi----"Tempat macam apa ini, Mbok?! Serius, kita mau tinggal di tempat seperti ini?" Aku celingak-celinguk menatap seksama baangunan rumah yang akan kutinggali ini. Mataku terus memindai, apa Papa bercanda mau menyuruhku tinggal di tempat pelosok yang amat sangat tidak nyaman ini?"Iya, Non! Ini rumah Mbok! Memang agak jauh dari pemukiman, tapi nyaman kok, Non! Bapak juga sudah nyiapin semua barang perkakas Non, biar Non nyaman di sini!" Wanita berdaster abu-abu itu, menepuk-nepuk punggungku. Meyakinkan. "Mbok, lihat datarannya! Rumah ini seperti mau roboh! Trus jarak antara rumah ini sama tetangga lain, jauh banget Mbok! Kayak terisolasi gitu! Trus, pasti di sini susah sinyal!""Non! Si Mbok sebenarnya mau jelasin sejak awal sama Non. Tapi Non udah bersedia tinggal di sini, dibanding di rumah sakit, jadi Mbok merasa, Non lebih baik di sini, Non! Mbok janji bakal bikin Non betah dan nyaman di sini!""Betah apanya, Mbok?"Si Mbok, dan oran
Part 5(Semoga Papa Baik-baik Saja) Pov Daniella ----"Non, abis nangis?! Kok matanya sembab sama mulutnya mecucu gitu, Non?!" tanya Si Mbok begitu aku menjejakkan kaki menuju kamarku. Aku tak dapat lagi menyembunyikan rasa dongkol di hatiku. Setelah melihat kemesraan Azaska dengan gadis lain. Ditambah lagi, saat berjumpa laki-laki berlesung pipit tadi yang terus mengira aku kuntilanak. Rasanya aku benar-benar bukan seperti manusia. "Aku sedih, Mbok." Aku lekas merebahkan tubuhku di kasur. Si Mbok mendekat. Mengelus rambutku yang acak-acakan ini. "Non kenapa, cerita sama Mbok! Jangan pendem sendiri, Non!""Mbok! Azaska, Mbok! Azaska cepet banget move on dari aku, dan dia sekarang udah gandeng cewek lain!""Non! Laki-laki di dunia ini banyak! Bukan cuma Den Zaska! Mbok yakin, nanti kalau Non udah sembuh seperti sedia kala, Den Zaska bangat nyesel udah ninggalin Non! Nanti juga banyak laki-laki yang ngantri buat deketin Non kayak dulu!" "Kapan aku sembuh, Mbok!? Lalu, Papa! Dua ja
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPart 6Meluruskan Prasangka Pov Ashrafil Ambiya'---"Tadi ... tadi rumputnya ketinggalan, Pakde! Sama sabitnya juga! Saya mau ambil sekarang!" kataku pada Pakde. "Ndak usah, Shraf! Ini udah malam. Ndak bakal hilang itu sabit sama rumput di karung. La iya, apa tadi kamu buru-buru pulang gara-gara ketemu kuntilanak jambu? Dasar demit, sering gangguin perjaka!""Bu ... bukan Pakde! Tadi aku ketemu sama perempuan! Tapi bukan kuntilanak! Dia manusia, Pakde!""Manusia?! Wong jelas-jelas suara tangisannya itu bukan kayak orang kok, Shraf! Kalau ada dia, pasti baunya busuk. Bikin merinding! Makanya ndak ada orang berani lewat sana! Sejak lama, tanah kosong itu udah angker, Shraf! Kamu jangan ngambil rumput di sana. Cari di tempat lain!""Tapi, Pakde?!""Tapi apa, Le?!""Dia bukan kuntilanak, Pakde! Wanita itu manusia!""Wes, Shraf! Sekarang mandi sana! Siap-siap ngimami sholat maghrib!"Gegas aku pun mandi, dan bersiap ke Langgar terdekat, tempatku mengaja
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPart 7 Kambuh Lagi Pov Daniella Arnetta Vernandi----"Mbok pagi ini aku mau nelpon Papa! Feelingku nggak enak, Mbok. Aku nggak pengen Papa kenapa-napa." Aku melangkah mendekati Mbok yang masih fokus menghadap kompor, membolak-balik roti tawar yang sudah diolesi margarin, di atas teflon.Sepertinya si Mbok hendak membuatkanku sandwich Sosis. "Pagi-pagi gini, Non?!" tanyanya keheranan. Sepasang alisnya terangkat sempurna. Kuanggukan kepala. Isyarat mengiyakan. "Nggak papa kan, Mbok?!" pintaku penuh harap. Si Mbok sebenarnya bimbang. Namun, dia tak bisa menolak keinginanku yang kukuh. "Tapi Non, Non pakai penutup kepala, sama masker ya Non. Biar orang-orang ndak neriaki Non kayak kemarin-kemarin.""Pakai topi, Mbok? Aku nggak bawa topi dari sana!""Ndak, Non! Bukan topi, tapi jilbab atau selendang biar Non ndak kelihatan welo-welo! Pakai masker juga Non. Biar wajah Non ndak kelihatan.""Ya udah deh, Mbok!"Seusai menyantap hidangan sarapan lezat
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPart 8 Mimpi Buruk Setiap Malam Pov Ashrafil Ambiya'---"Mbok! Sakit, Mbok! Sakit! Perutku sakit! Kepalaku sakit banget, Mbok!" Di tengah obrolan antara aku, dan Si Mbok. Tiba-tiba Daniella berteriak histeris. Kuteguk ludah, tak tahu harus berbuat apa. Apa mungkin gadis ini sedang mengalami nyeri datang bulan? Aku sungguh tak paham. Apa yang harus kulakukan. "Buk ... Buk, Daniella kenapa, Buk?!" "Non! Sebentar Non, Non minun obat dulu ya! Mbok ambilin. Ayo ke kamar, Non!""Aaaaa!!! Sakit Mbok!" Dia masih terus berteriak tanpa henti, mengaduh dan memohon-mohon. Sepertinya dia menahan nyeri teramat sangat. Si Mbok berusaha memapahnya menuju kamar. Namun, dia menggeleng, isyarat sudah tak sanggup lagi berdiri apalagi melangkah. Dia berbaring di sofa dengan posisi lutut sedikit tertekuk karena panjang sofa lebih pendek dari tubuhnya. "Mbok, masih sakit, Mbok! Perutku sakit! Kepalaku sakit!" Dia menghentak-hentakkan kakinya di sofa. Si Mbok memb
Pov Ashrafil Ambiya'---"Tiap hari aku mimpi buruk, Pak Ustadz! Kadang itu jelas nyata. Ada bayangan hitam, tiap jelang malam mau nyekik leherku. Kadang rasanya seperti ada hewan melata, merayap di tubuhku, Pak Ustadz!" seru Daniella lantang, diikuti suara tangis dan isakan.Ya Allah, aku tak tega melihatnya seperti ini. Dia pasti merasakan sakit yang teramat sangat. Aku tak ingin Su'udzon dulu atas penyebab sakit yang diderita Daniella. Di sini, aku ingin sekali membantunya lepas dari rasa sakit itu. Nurani kemanusiaanku benar-benar tergerak melihat ini. "Pak Ustadz, saya ke dapur dulu, mau nyari obat penurun panas buat Non, sama kompresan!""Iya, Buk. Silakan." Si Mbok gegas ke dapur. Kini, di kamar indah ini hanya ada kami berdua. Ada aku yang cemas akan keadaan Daniella, dan dia yang kini terbaring lemah di kamarnya dengan tatap mata yang kosong. "Daniella, aku mungkin belum bisa mendapatkan solusi secepatnya atas penyakitmu. Hmm ... mohon maaf sebelumnya, kalau memang peny