Share

RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM
Penulis: Adellin Nazura

Rintihan Daniella

"Aaa!!!! Sakit! Papa! Sakittt!" rintihku tanpa henti sembari memegangi tubuhku.

Rasanya, seperti ada benda tajam semacam jarum jahit di sana. Dalam posisi berbaring, kakiku terus kuhentak-entakan ke ranjang. Aku sudah tak sanggup lagi, ingin lekas mengakhiri hidup daripada menahan nyeri, dan lara menyayat ini. Rasa sakit di organ itu belumlah lenyap, kini bertambah lagi sensasi panas, seakan membakar sekujur tubuhku.

Air mataku tak bisa berhenti mengalir, sementara Papa yang panik, hanya mengusap-usap lembut puncak kepalaku. Sesekali mengusap linangan air mata yang menggenangi pipinya.

Sesaat rasa nyeri mereda, beralih ke rasa gatal di seluruh wajahku yang dipenuhi banyak bisul berisi dar*h juga nan*h. Kugaruk-garuk kedua pipiku, tanpa memedulikan bagaimana sekarang rupaku di cermin. Begitu kulihat, kedua tanganku sudah dipenuhi dar*h hasil dari garukan pipi barusan.

"Papa! Rasanya lebih baik aku mati aja! Daripada kayak gini terus Papa!" keluhku terisak-isak.

Rengkuhan Papa kian erat, kedua matanya telah sembab menangisiku, rengkuhan itu terasa nyaman, dan sedikit meredakan kegelisahan ini.

"Papa! Di sana, Pa! Di tembok ada banyak kalajengking banyak, Pa! LIHAT PA!!" pekikku lagi, menahan rasa takut, dan kian merengkuh erat tubuh Papa.

Ratusan kalajengking sedang menyerbu dinding rumahku, mereka merayap turun dari dinding menuju ke lantai kamar.

"Nak! Nggak ada kalajengking, Nak! Mana?"

"Itu, Papa!" Jari telunjukku mengarah ke dinding. Saat Papa menoleh ke dinding belakang, ia kembali mengusap lembut puncak kepalaku, dan berucap, "nggak ada apa-apa, Nak! Nggak ada kalajengking di sini! Kamarmu bersih!"

"Ada apa lagi sih, Mas!?" sergah ibu tiriku yang baru datang memasukki kamar.

Seperti biasa, tampak wajah seringai nan kecut memandang penuh kebencian padaku. Kehadirannya selalu membawa hawa suwung yang membuat bulu kudukku meremang.

"Pergi kamu! Jangan mendelik terus!" seruku saat melihat nenek-nenek berwajah setengah hancur yang terus melotot ke arahku. Nenek berambut serba putih nan kusut berantakan, dengan pakaian khas gembel itu, hadir bersamaan dengan ibu tiriku.

Nenek tua yang ada di belakangnya itu terus memelototiku seolah geram, ingin mengutuk, juga menerkamku.

"Daniella! Siapa yang mendelik-mendelik ke kamu! Nggak sopan banget jadi anak!" omelnya sembari mengerucutkan bibir, dan menyilangkan tangan. Kurasa, dialah orang yang paling bahagia melihat derita bertubi yang kurasa ini.

"Bukan ... bukan Tante! Itu Tante! Di belakang Tante ada nenek-nenek lampir! Dia ngikuti Tante terus!"

"Ini anak bicaranya makin melantur, kebanyakan halusinasi. Udah, Mas. Apa Mas mau repot ngurusi dia terus. Dia udah nggak waras fisik sama jiwanya juga Mas. Bawa aja dia ke RSJ!" pekik Tante Liana.

"Eggak, Papa! Aku nggak gil*! Beneran di sana ada kalajengking banyak! Di belakang Tante juga ada Nenek Lampir!" seruku meyakinkan. Tapi tak sedikitpun mereka ada yang mau mempercayai ucapanku.

"Aaaaaa!!!!! Sakit!" Air mataku meluruh lagi di tengah perdebatan ini. Kali ini, rasa sakitnya beralih ke perutku yang seperti ditus*k-tus*k duri.

"Liana! Lebih baik kamu keluar panggil Si Mbok! Aku mau hubungi dokter. Kamu di sini dulu ya, Nak! Papa mau ambil Hape dulu." Papa mengusap lembut punggungku. Kemudian beranjak, dan menyeret Tante Liana dengan kasar keluar dari kamarku.

Tak seberapa lama, datang Si Mbok tergopoh-gopoh menghampiriku yang kesakitan, sendiri di dalam kamar.

"Mbok! Sakit, Mbok! Sakiiit!" aduku tak tahan lagi menahan ini. Tangisku kian pecah, sedu-sedan di hadapan wanita baya yang telah merawatku sejak aku ditinggal oleh ibuku kembali pada Ilahi.

"Non! Yang sabar ya, Non!"

"Mbok, itu ada kalajengking di bawah kaki Mbok!" Spontan aku berdiri di atas ranjang ini.

"Mana Non? Ndak ada kalajengking. Itu perasaan Non aja. Non lagi sakit. Kalau misalnya Bapak sama Ibuk Liana ndak sanggup lagi merawat Non, dan Non mau ditaruh RSJ. Lebih baik, Non ikut Mbok aja ya Non. Mbok siap, ngerawat Non. Selama ini, Non sudah Mbok anggap seperti anak Mbok sendiri."

"Nggak, Mbok! Nggak mungkin! Papa nggak mungkin setega itu bawa aku tinggal di rumah sakit jiwa! Aku nggak gil*, Mbok!"

"Non!" kata Si Mbok lirih, kemudian dia tak lagi berucap. Hanya air mata tanpa tepi, yang sanggup mewakili apa isi hatinya.

"Gatal!!! Gatal! Panas!!!!!" Wajahku kembali memanas, dan rasa gatal itu seolah menggerogoti.

Wajahku mungkin kini sudah seperti monster zombie setelah penyakit aneh ini menjangkit tubuhku. Bahkan dokter pun tak bisa mendiagnosis apa penyakitku sebenarnya.

Beragam alat canggih mendeteksi tubuhku. Namun, tak ditemukan ada gangguan medis berarti di fisik nan muda ini.

Berbagai macam pengobatan, mulai dari medis, pengobatan penyakit fisik hingga jiwa, ditempuh demi kesembuhanku. Aku didagnosa Skizofrenia, karena waham dan delusi. Padahal kurasa tidak. Aku masih waras, dan pikiranku masih jernih.

Saat aku menjerit merasakan sakit, beberapa kali melihat binatang melata di kamarku. Itulah mengapa, mereka menyebutku dengan gangguan halusinasi.

Sungguh, orang tua manapun tak pernah menginginkan anaknya menderita seperti ini.

Obat dari dokter spesialis kulit, cukup berimbas pada kulitku. Namun, setelah obatnya meredam, dan rasa sakit di wajah, dan kulit tubuhku kambuh. Aku seperti kehilangan kendali, terus menggaruk wajah itu tanpa ampun. Ditambah lagi rasa sakit yang amat misterius di perut, dan organ kew*nitaanku. Dokter pun tak bisa menjelaskan dengan spesifik, apa sebenarnya penyakitku ini.

Hingga desas-desus merebak, bahwasannya aku ini adalah korban teluh alias kiriman ilmu hitam.

Sampai pengobatan alternatif pun kulakoni, hingga mendatangi tabib yang konon disebut 'Orang Pintar' pun sudah ditempuh.

Kecurigaanku tertuju pada dua orang yang sangat membenciku.

Pertama pada Bakti, lelaki yang semula sangat mencintai, dan mengagumiku. Betapa tak tahu dirinya yang 'hanya' penjual gorengan pinggir jalan itu, berani-beraninya dia mengungkapan cinta padaku, juga berniat melamarku. Dia tak sadar, siapa dia, dan siapa aku. Dia hanyalah penjual gorengan yang ngemper tempat tinggal di kota besar. Sedangkan aku, adalah Daniella Arnetta Vernandi, putri tunggal Tuan Vernandi Himawan, pemilik ratusan restoran yang tersebar di penjuru negeri.

Saat Bakti mengungkapkan cintanya padaku. Dengan lantang aku menolaknya. Hinaan, cacian, bahkan umpatan lepas begitu saja dari lisanku. Alasanku menolak, tak hanya status kami yang terlampau jauh jika disandingkan. Selain itu, aku juga menjalin kasih dengan Seorang pria bernama Azaska. Kami sederajat, dan Papa merestui. Jadi, tak ada lagi yang boleh menjadi pemisah antara kami.

Saat menolak Bakti, aku sama sekali tak menyesal, merasa bahwa dia layak dihina, dan pantas menerima penolakan dariku.

Adakah itu alasan, dia mengirim penyakit ini?

Namun, selain Bakti, dalam hidupku ada salah satu orang yang sangat menginginkan penderitaanku, dia ... tak lain adalah ibu tiriku. Tante Liana. Wanita muda yang usianya hanya selisih lima tahun denganku itu, baru dua tahun lalu menyandang gelar istri Papaku. Laki-laki yang hampir seusia dengan Bapaknya. Awal menikah dengan Papa, Tante Liana teramat manis. Tapi, semanis apapun dia bersikap, sampai kapanpun tak akan sudi aku memanggilnya Ibu. Karena, dia sudah merebut hati Papaku. Sebelum ada dia, kasih Papa hanya tercurah untukku seorang.

Setelah dia hadir. Cinta Papa jadi terbagi, dan aku benci hal itu. Aku tak pernah menganggapnya ibu, apalagi menghargai keberadaanya. Bahkan karena sikapku yang buruk padanya sampai-sampai membuat Papa pertama kali membentakku. Padahal seumur hidup, Papa tak pernah berucap dengan nada tinggi padaku. Itu semua gara-gara Tante Liana!

Karena sikapku yang buruk, manja, dan kekanakan tentunya Tante Liana sangat membenciku. Mungkin itulah alasannya dia mengirim ilmu hitam ini padaku.

***

"Nak! Maafin Papa, Sayang. Papa yakin ini jalan terbaik yang bisa Papa tempuh untuk kesembuhanmu! Papa janji, sesering mungkin Papa akan mengunjungimu, Nak!"

"Papa! Aku nggak gil*, Papa! Pikiranku masih sehat!"

"Pak, jangan bawa Non ke rumah sakit jiwa, Pak! Saya mohon, Pak. Kasihan, Non. Kalau Bapak ndak sanggup lagi merawat, biar saya saja yang bawa Non Daniella ke kampung!" Si Mbok mengiba memohon dengan setulusnya pada Papa, supaya aku tak dibawa ke Rumah Sakit Jiwa.

-----

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status