Share

Bertemu Yadi

Author: Yhantlies92
last update Last Updated: 2025-05-02 21:00:32

Hidup ini memang melelahkan, amat sangat melelahkan. Akan tetapi, jika kita memandang dari sudut yang berbeda. Ujian dan cobaan yang datang bertubi-tubi, sejatinya adalah proses kehidupan untuk membentuk insan yang kuat, tegar, dan selalu bersyukur. Meski terkadang sangat sulit untuk menjalaninya.

Riyanti sudah mengalami banyak rintangan dalam hidup. Ujian dan cobaan tak pernah berhenti dari kehidupannya. Seakan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Setiap selesai satu cobaan datang lagi ujian lainnya. Apakah Takdir sedang mempermainkannya?

Entahlah, yang jelas Riyanti harus memutar otak bagaimana uang pesangon dari pabrik cukup untuk kebutuhan rumah tangganya. Mengingat pesangon yang diberikan jumlahnya tidak seperti gaji yang selalu dia terima.

“Uang ini harus cukup untuk makan sehari-hari, jangan sampai Mas Hendra tahu, atau uang ini habis dia pakai untuk berjudi lagi,” ucapnya berbicara sendiri sambil menatap amplop cokelat di hadapannya.

Pagi ini Riyanti memutuskan untuk belanja ke pasar. Beberapa hari yang lalu, salah satu rekan kerja Riyanti dari pabrik berkunjung ke rumahnya sekedar memberi amplop cokelat itu kepada ibu satu orang anak itu.

Mereka bercengkrama sejenak melepas rindu setelah mereka di PHK. Tentunya saat itu Hendra tidak berada di rumah, entah kemana perginya.

“Kamu serius, Mbak?” tanya Mira, teman Riyanti. Raut wajahnya tampak tidak percaya dengan apa yang Riyanti ceritakan.

Riyanti mengangguk, enggan sebenarnya untuk menceritakan kisah rumah tangganya. Tapi, Mira membuka obrolan tentang Hendra. Mau tidak mau dia terpaksa menceritakannya.

“Ya Allah, Mbak. Mbak kok masih saja bertahan sama laki-laki kayak gitu? Kalau Mira pasti sudah pulang ke rumah Emak.”

“Kalau aku bisa juga aku pasti lakuin kayak gitu juga, Mir. Tapi, aku mikirin Putri. Kasihan dia kalau melihat kami berantakan seperti ini.”

“Terus? Mbak mau sampai kapan seperti ini?” tanya Mira lagi. Dia mulai gemas melihat mantan rekan kerjanya.

“Sampai Mas Hendra berubah,” jawab Riyanti datar.

Mira menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, sesekali dia memijat keningnya. Jawaban Riyanti benar-benar membuat gemas hatinya. Akhirnya Mira membuang napas cepat.

“Terserah kamu saja, Mbak. Oh, ya. Aku bawain titipan dari Pak Warso, ini uang pesangon Mbak Riyanti,” kata Mira mengeluarkan amplop cokelat berisi uang pesangon setelah dia di PHK.

“Alhamdulillah, terima kasih, Mir. Aku memang sangat membutuhkan uang ini.” Binar-binar kebahagiaan muncul dari bola mata indahnya saat menerima amplop cokelat itu.

Akan tetapi, pancaran kebahagiaan itu tidak lama. Wajah Riyanti kembali ditekuk. Amplop cokelat itu diletakkannya kembali ke atas meja.

“Kenapa?”

“Aku bingung dengan uang ini, Mir. Aku bingung mau diapakan. Mengandalkan uang pesangon untuk makan sehari-hari saja nggak cukup,” jawab Riyanti bingung.

Mereka berdua kompak menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Hidup memang terlalu keras. Entah kapan semua ini berakhir. Dua wanita itu berada di titik lelah dalam mencari kerja. Seperti dunia sudah tidak memihaknya lagi.

“Bagaimana kalau Mbak jualan makanan matang keliling? Masakan Mbak enak-enak lho. Mbak ingat nggak pas kita buka puasa di rumahnya Mbak Yul? Semua orang muji masakan Mbak, lho.”

Riyanti melirik sekilas lalu menatap nanar amplop cokelat di atas meja itu. Kening perempuan berhati baja itu mengkerut tanda berpikir, menimbang-nimbang usulan Mira berjualan lauk matang.

“Baiklah, aku akan coba.”

***

Suasana pasar sangat ramai seperti biasanya. Beberapa penjual sayuran sedang menata barang dagangannya. Riyanti melangkah pelan menyusuri jalan kecil dan terhenti di lapak penjual sayur mayur.

“Wah tumben belanjaannya banyak, Yan. Ada acara, ya?” tanya Bude penjual sayur. Rata-rata para penjual di pasar ini mengenal Riyanti.

“Nggak Bude, saya mau coba jualan lauk dan sayur matang,” jawab Riyanti sambil tersenyum.

“Bagus itu. Oh, ya. Bude dengar sekarang Hendra juga berjualan sayuran keliling?” tanya Bude.

“Iya, Bude. Alhamdulillah hari ini sudah berjualan ke komplek perumahan dekat sini.”

“Syukurlah kalau kalian sama-sama kerja. Anak Bude juga belum dapat pekerjaan setelah di PHK waktu itu. Sekarang malah ngurung di kamar terus.” Bude sibuk menceritakan masalah anaknya sambil membungkus sayur.

Setelah dari lapak sayur mayur, Riyanti melangkah menuju lapak ayam dan ikan. Namun saat dia hendak berbelanja, seseorang menghentikan langkahnya.

“Mbak! Mbak Yanti!”

“Yadi?” Riyanti heran melihat seorang laki-laki menghampirinya dengan langkah yang tergesa-gesa.

“Ternyata Mbak di sini. Aku tadi ke rumah tapi nggak ada orang disana.” Laki-laki muda bernama Yadi itu memegang lututnya mengatur napas. Keringat membanjiri dahinya, sepertinya dia berlari untuk menemui Riyanti.

“Tumben kamu cari Mbak. Ada apa?”

“Ada sesuatu yang harus Mbak tahu.”

“Apa maksudmu, Tadi?”

Yadi mengajak Riyanti berbicara di gerobak es cendol tak jauh dari pasar. Raut wajah Yadi tak sesegar es cendol yang mereka pesan. Riyanti pun bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan sang adik?

“Ada apa? Kenapa kamu diam begitu? Katanya ada yang mau kamu bicarakan?”

Yadi mengangkat dagunya, memandang sekilas wajah cantik sang Kakak. Senyum tipis tipisnya terukir sesaat. Rasa kasihan memenuhi relung hatinya. Tak tega rasanya melihat kondisi kakaknya seperti itu. Terlebih setelah tahu kenyataan yang dialami Riyanti.

“Kenapa Mbak nggak jujur kalau selama ini Mbak nggak bahagia?”

Pertanyaan Yadi membuatnya berhenti menyendok es cendol ke dalam mulutnya. Apa maksudnya? Apa dia sudah tahu apa yang terjadi?

“Aku sudah tahu, Mbak.”

“Tahu apa?”

“Mbak dan Mas Hendra. Hubungan kalian nggak baik-baik saja, kan?”

Lagi-lagi, pertanyaan menohok seakan menusuk jantungnya. Yadi sudah tahu hubungan kakaknya dengan Hendra memang sedang tidak baik-baik saja. Riyanti sudah mengira Yadi mengetahuinya dari omongan orang. Bukankah tembok bisa berbicara?

Riyanti menarik napas panjang, rasa perih di hati begitu terasa. Mau tidak mau dia harus mengatakan sejujurnya kepada Yadi. Dia tahu kalau Yadi adalah anak yang berani dan sangat membela keluarganya. Pasti setelah mengetahui kebenarannya Yadi tidak segan menghadapi Kakak Iparnya sendiri.

“Putri. Aku tidak sengaja bertemu anak itu malam-malam di pinggir jalan sambil menangis.” Yadi memberi jeda sesaat, tidak tega untuk menceritakannya. “Untung saja aku tidak sengaja lewat. Mbak tahu apa yang Putri katakan?”

Riyanti menggeleng. Sedari tadi wanita itu hanya menunduk tidak berani untuk menatap wajah sang adik.

“Putri bilang kalau Ayahnya membanting piring dan pergi meninggalkan rumah. Putri juga menyusul untuk memarahi Ayahnya,” kata Yadi datar. Tapi, gelas es cendol yang dipegangnya bergetar menahan emosi.

Mata Riyanti terbelalak lebar. Jadi, itu alasan Putri kenapa dia pergi malam-malam?

“Tolong, jangan beritahu Bapak dan Ibuk, ya?” pinta Riyanti memohon.

Setelah menikah dan Hendra membawanya tinggal di desanya, Riyanti sudah jarang pulang ke rumah meski jarak rumah mereka hanya berbeda desa saja. Riyanti tidak ingin orang tuanya tahu tentang masalah ini.

“Bagaimana mungkin, Mbak? Kenapa sih hal kayak gini Mbak sembunyiin dari kami?” tanya Yadi, namun Riyanti tidak menjawab, “Lihat dirimu, Mbak! Semakin lama tubuhmu semakin kurus saja. Yadi nggak yakin kalau Hendra memperlakukan Mbak dengan baik.”

Riyanti memilih menunduk saja, rasanya berat sekali lidahnya untuk mengucapkan satu kalimat untuk menjawab semua pertanyaan sang adik.

“Aku nggak bisa jelasin sekarang, Yadi. Mbak seperti ini hanya karena Putri.”

Yadi menarik napas panjang dan membuangnya cepat. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran kakak perempuannya itu. Putri selalu menjadi alasan Riyanti untuk bertahan bersama laki-laki biadab itu.

“Ya sudah kalau memang itu yang Mbak mau. Jujur saja, aku kecewa dengan jalan pikiran Mbak. Aku pamit pulang dulu, kalau Mbak butuh sesuatu kabarin Yadi saja,” ucap Yadi seraya beranjak dari posisi duduknya dan membayar es cendol yang mereka santap.

“Kok kamu yang bayar?”

“Nggak apa-apa, aku tahu Mbak lagi butuh banyak biaya buat sekolah Putri. Lagi pula daganganku lagi untung-untungnya.”

“Terima kasih Yadi, semoga daganganmu selalu lancar dan berkah.”

“Amin Mbak. Jaga kesehatan ya, Mbak. Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Sepeninggal Yadi, Riyanti bergegas untuk pulang. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti oleh sosok wanita.

“Mbak Yanti, ya?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Awal Bertemu Yogi

    “Sepuluh juta? Dari mana aku bisa dapetin uang segitu?” keluhnya sendiri.Riyanti sedang duduk di pohon mangga setelah mengantar anak majikannya sekolah. Kejadian tadi benar-benar membuatnya semakin pusing. Hendra benar-benar tidak tahu diri, pergi meninggalkan hutang sebanyak itu.Waktu masih pukul jam sebelas, tapi matahari terasa begitu membakar. Mungkin sudah memasuki musim kemarau. Keringat mengucur deras membasahi punggungnya. Tukang es teh di depan sana sungguh menggodanya. Namun, dia sama sekali tidak memegang uang. Terpaksa dia harus membasahi kerongkongan dengan air liurnya.“Yanti? Kamu Yanti, kan?” Riyanti menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri dihadapannya. Riyanti tidak bisa melihat jelas wajah pria itu karena silau sinar matahari, ditambah kondisinya yang belum pulih betul.“Siapa ya?” tanya Riyanti lirih.“Masa nggak kenal saya?”Riyanti mengernyit. “Emang siapa, ya?”Pria itu merubah posisi duduk di sebelah Riyanti. Wanita itu refleks bergeser.“Yogi. Kamu lupa

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Di Tagih Utang

    Asap putih mengepul dan memenuhi seluruh penjuru dapur. Pagi-pagi sekali Riyanti bangun untuk membuat sayur dan lauk matang. Tubuh kurusnya masih terasa lunglai, wajahnya masih sebenarnya dia belum pulih betul, tapi hidup harus berjalan. Tidak selamanya dia harus berdiam di kasur saja.Hampir seminggu Hendra tak kunjung pulang. Riyanti tahu bahwa sang suami pasti bersama wanita penggoda itu. Riyanti sudah mati rasa, kejadian malam itu masih dia ingat betul. Bagaimana Hendra menamparnya dengan begitu keras hingga membekas tidak hanya di pipi, melainkan di hati.“Lihat dirimu! Apa yang bisa dibanggakan?!”Riyanti mengambil seember air dari kamar mandi. Saat melintas di depan pintu kamar mandi, dia melihat pantulan dirinya di cermin. Pipi yang tirus, kelopak mata yang menghitam, dan tubuh yang kurus. Sekejap dia mendesah pasrah. Pantas saja kalau Mas Hendra bilang kayak gitu, batinnya.Adzan subuh berkumandang, semua sayur dan lauk sudah matang. Riyanti menatanya dengan rapi lalu mulai m

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Putri di Bully

    “Putri!”Gadis kecil itu menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Rupanya Dewi yang memanggilnya. Teman sebangkunya itu terlihat tersengal-sengal seperti habis berlari keliling lapangan sekolah sebanyak sepuluh kali.“Putri! Aku panggil kok nggak jawab? Kamu sakit?”Putri menggeleng.“Apa kamu sudah sarapan?” Dewi seperti peramal, bisa tahu kalau hari ini dia memang belum sarapan. Mendengar Dewi bertanya seperti itu membuat perut bocah kelas lima SD itu langsung keroncongan. Diam-diam Putri memegang perutnya. Tadi sebelum berangkat sekolah, dia hanya minum teh tawar hangat saja. Sudah tiga hari ini sang Ibu terbaring lemah di ranjang. Tubuhnya lemas sekali, akibat pertengkaran dengan sang suami. Keesokan harinya tubuh Riyanti demam sehingga tidak bisa berjualan. Sedangkan Hendra, tidak pulang ke rumah sama sekali.“Hey! Pagi-pagi kok melamun?” Tepukan pelan di pundak Putri membuatnya sadar dari lamunan. “Eh, nggak.” Putri menggeleng samar.“Nah, kebetulan aku juga belum sarapan.

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Tamparan Keras

    “Kamu tega, Mas! Tega!”“Apa? Kamu mau apa? Hah!”“Jahat kamu, Mas! Ternyata omongan orang itu bener, kamu berani selingkuh terang-terangan di depan banyak orang tanpa mikirin perasaan aku.”Hendra tersenyum sinis melihat Riyanti menangis terisak. Malam ini rumah Riyanti heboh karena pertengkaran mereka. Riyanti marah karena mengetahui perselingkuhan Hendra tadi siang di rumah makan Padang. Bukannya merasa bersalah karena ketahuan, justru Hendra bersikap biasa saja. Hendra sibuk bermain ponsel sambil tersenyum tidak jelas. Hal itu membuat Riyanti tidak habis pikir dengan suaminya itu.“Peduli amat sama omongan orang. Lagian kenapa sih kamu rempong banget!”“Aku? Kamu bilang aku rempong? Aku ini istri kamu, Mas! Wajar kalo aku kesel sama kamu!”Prang!!!Gelas aluminium di atas meja seketika terbang dan jatuh di lantai. Membuat Riyanti terlonjak kaget sampai menutup telinganya.Di dalam kamar, Putri mendengar pertengkaran orang tuanya. Gadis mungil itu meringkuk di pojok kamar, memeluk

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Kepergok Riyanti

    Riyanti sangat bersyukur dengan pekerjaan yang dia dapatkan. Pagi berjualan makanan matang lalu sesudahnya mengantar anak tetangga sekolah, kemudian menjadi tukang cuci di rumah orang. Selama pekerjaan itu halal akan Riyanti lakukan demi masa depan Putri.“Mbak Yanti!”“Eh, Retno! Aku pikir siapa. Mau kemana kamu?” tanya Riyanti kepada seorang wanita cantik bernama Retno.“Mau ke rumah Bu Lurah. Katanya lagi ada sembako murah di sana. Kamu mau ikut nggak?” ajak Retno.“Sembako murah? Wah kebetulan sekali sembako di rumah juga menipis. Aku ikut dong!” seru Riyanti.Riyanti bersama dengan temannya itu berjalan bersama menuju rumah Bu Lurah yang sedang mengadakan sembako murah di tengah gempuran harga bahan pokok yang melambung tinggi. Tak hanya mereka saja, ada beberapa ibu-ibu lain ikut membeli sembako murah.Riyanti sangat bersyukur Bu Lurah mengadakan sembako murah. Sekarang dia sedang krisis keuangan. Dulu saat masih kerja di pabrik dia bisa membeli kebutuhan pokok, tentunya sebelum

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Mulai Dagang

    Suara desis nasi yang ditanak di atas tungku api terdengar bagai alunan suara pagi nan indah, asap putih yang mengepul menambah kehangatan di dapur mungil rumah ini. Riyanti bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan sebelum ayam berkokok. Nasi sudah matang dan air panas sudah dituang ke dalam termos. Aroma lauk dan sayur yang sudah matang sungguh menggugah selera, membuat Putri terbangun dari tidurnya.“Eh, anak Ibu yang cantik sudah bangun? Kamu kebangung karena kebrisikan ya?”“Ibu lagi apa? Kok pagi-pagi sudah di dapur?” tanya Putri sambil menggosok kelopak matanya yang sulit terbuka karena masih mengantuk.“Ibu lagi masak lauk dan sayur mateng buat di jual keliling komplek depan sana, Cantik. Kamu mau mandi dulu atau makan dulu? Biar Ibu siapin.”Putri menggeleng pelan. “Nanti saja, Bu. Putri bisa nyiapin sendiri.”Riyanti tersenyum seraya membelai putri semata wayangnya penuh kasih sayang. Kemudian, kembali menata sayur dan lauk matang yang sudah dikemas dalam plastik ke keranjang.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status