Share

Gara-gara Sepiring Nasi Goreng

Penulis: Yhantlies92
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-01 21:00:45

“Assalamu’alaikum.”

“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang!” Sosok Hendra berdiri tepat di depan pintu saat Riyanti baru saja sampai di rumah.

“A-aku tadi ….” Tenggorokan Riyanti tercekak, mendadak dia tidak bisa bicara dengan lancar. Hendra menatapnya dengan sorot mata yang tajam seakan hendak mencengkeramnya.

“Apa? Aku tadi apa? Kamu kira aku nggak tahu kamu kemana dan ngapain aja? Kamu di PHK kan?”

Riyanti terkejut dan langsung menoleh ke arah Hendra. “Darimana dia tahu kalau aku di phk? Ah, sudah pasti dari orang-orang.”

Riyanti tidak menjawab dan memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk berganti baju lalu menuju dapur untuk memasak, karena tidak apapun di atas meja makan. Selama ini yang mengurus makan di rumah ini adalah Riyanti.

“Heh! Kalau suami tanya itu dijawab! Bukannya melengos begitu!”

“Mas tadi nyuruh aku cepet-cepet pulang buat masak kan? Ini aku mau masak.”

“Kalau kamu di PHK, siapa yang nyari uang, Yanti?” tanya Hendra. Bukan pertanyaan lebih tepatnya, tapi bentakan.

Riyanti menarik napas panjang membelakangi Hendra. Hendra seperti tidak mengerti kondisinya saat ini.

“Bukannya Mas mau dagang sayur keliling, setidaknya untuk sementara sampai aku mendapat pekerjaan lagi, Mas.”

“Jadi kamu nyuruh aku gitu?” Hendra kembali terbawa emosi.

“Nggak, Mas. Mas salah paham. Maksud aku, kan kemarin Mas bilang mau dagang sayur keliling. Selagi Mas dagang, aku juga nyari-nyari kerjaan.”

“Halah! Bilang aja kamu nyuruh aku! Cepetan masaknya, aku sudah lapar nungguin kamu!” Hendra membanting pintu lalu duduk di teras sambil merokok dan bermain ponsel.

Riyanti menarik napas panjang melihat sikap suaminya itu. Dia tahu, Hendra menginginkan dirinya yang berjualan sayuran keliling sedangkan dirinya bersantai-santai di rumah seperti biasa.

“Bu?”

“Eh, Putri, anak kesayangan Ibu. Kamu lapar, Nak?” tanya Riyanti lemah lembut.

Putri mengangguk pelan. Jari jemarinya sedari tadi memilin ujung kaosnya, bibirnya mengatup rapat, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi urung dilakukan.

“Ada apa, Nak?” tanya Riyanti lagi karena melihat gelagat Putri yang aneh.

“Eum, anu. Besok ujian, Bu Guru bilang kalo mau ikut ujian harus melunasi pembayaran yang nunggak. Sudah tiga bulan Putri belum melunasi uang sekolah, Bu.”

Lagi-lagi Riyanti menarik napas panjang, kali ini hatinya terasa perih. Melihat wajah sang putri meneteskan air mata, membuat batin Riyanti tak tega. Riyanti baru ingat, sudah tiga bulan ini dia belum membayar uang sekolah Putri karena uangnya habis Hendra gunakan untuk berjudi. Sekarang dia bingung bagaimana untuk membayarnya sedangkan besok Putri harus ujian, ditambah lagi dia baru saja di PHK.

Riyanti berlutut di depan Putri, membelai wajah polosnya sambil tersenyum. Meskipun di dalam hati ingin sekali Riyanti menangis. Tetapi, ia tidak ingin sang anak melihatnya meneteskan air mata.

“Maaf ya, Nak. Ibu terlalu sibuk bekerja sampai lupa kalau belum bayar uang sekolah. Besok Ibu akan bayar, jadi kamu bisa ikut ujian.”

“Tapi, tadi Putri dengar kalo Ibu udah nggak kerja di pabrik lagi. Bagaimana Ibu bisa bayar?”

'Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah hamba yang belum bisa membahagiakan anak hamba. Putri pasti mendengar perdebatan kami tadi. Putri pasti sedih sampai-sampai malu untuk mengatakan ini. Ya Allah, maafkan hamba.'

“Putri nggak usah mikirin itu, yang penting Putri belajar dengan giat biar besok bisa mengerjakan soal ujiannya. Katanya Putri mau jadi anak yang pintar biar bisa jadi dokter.” Riyanti berusaha untuk membujuk sang putri. 

Orang tua mana yang hatinya tak teriris bila melihat anaknya sendiri mengatakan kalimat seperti itu. Anak berumur sepuluh tahun mengerti apa itu PHK.

Setelah Riyanti bujuk dengan kasih sayang dan penuh kelembutan, senyum Putri mulai mengembang. Indah seperti bunga mawar yang sedang mekar.

“Iya, Bu.”

“Ya sudah, tunggu sebentar lagi ya. Nasi gorengnya sebentar lagi mateng.”

***

“Mas, ini nasi gorengnya sudah matang.” Riyanti membawa sepiring nasi goreng yang masih panas itu kepada Hendra yang sedang duduk di teras.

“Apa ini?”

“Nasi goreng.”

“Orang bodoh juga tahu kalo ini tuh nasi goreng.”

“Terus?”

Hendra membuang napas kasar sambil menggerutu tidak jelas.

“Kamu itu bodoh atau gimana, sih? Sudah tiga hari berturut-turut aku makannya ini terus. Emang nggak makanan lain apa?” protes Hendra masih dengan suara tinggi.

“Pelan-pelan tho suaranya, Mas. Malu didenger tetangga. Lagian di rumah cuma ada ini, Mas. ‘Kan Mas tahu sendiri keuangan kita itu menipis. Uang simpananku sudah Mas Ambil.”

“Oh, jadi kamu mau ungkit-ungkit kesalahan aku gitu? Maksudnya kamu mau bilang semua ini gara-gara aku gitu?” Bola mata Hendra melebar.

Hendra sepertinya sudah hilang kesabarannya menghadapi Riyanti. Dilemparnya piring di hadapannya itu hingga pecah berantakan di lantai.

“Astaghfirullah!”

Riyanti terkejut sampai-sampai menutup telinganya. Piring itu pecah berantakan. suaranya terdengar nyaring di tengah keheningan malam, mengalahkan suara binatang malam.

Jantung Riyanti seakan copot hingga ke mata kaki melihat perangai Hendra yang semakin menjadi-jadi. Nasi terakhir yang digoreng dengan susah payah tumpah ruah. Bahkan dia rela tidak makan malam hanya untuk memberikan nasi goreng itu kepada suaminya. Tapi, Hendra sama sekali tidak menghargai masakan istrinya.

“Gimana aku bisa betah di rumah kalau kayak gini! Selalu saja bikin darah tinggiku naik.” Hendra bangkit dari posisi duduknya lalu melangkah hendak pergi dari rumah.

“Mau kemana, Mas?”

“Keluar!”

“Tapi, ini sudah malam, Mas!”

“Hah! Bodo amat!”

Hendra menendang kursi yang menghalangi jalannya. Laki-laki dengan perut sedikit buncit itu memilih untuk pergi dari rumah. Riyanti memandangi punggung suaminya dengan batin yang terluka. Dari jauh Riyanti melihat sang suami sedang menelpon ponsel sambil tertawa. Tangannya mencengkeram erat ujung bajunya, matanya memerah menahan gemuruh di dada. Dia sudah menduga kemana sang suami itu pergi. Namun apa daya, tubuhnya sudah sangat letih tidak mungkin dia mengikuti Hendra, apalagi sekarang sudah malam. Riyanti membuang napas putus asa sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Dari jauh, tetangga Riyanti yang jaraknya persis di sebelah rumah Riyanti melangkah mengendap-endap hendak masuk ke dalam rumahnya setelah menguping pertengkaran Hendra dan Riyanti.

“Mbak Ratmi? Ngapain kok masuk rumah sendiri jalannya ngendap-ngendap begitu?” tegur Bu Rt yang kebetulan lewat. 

Melihat Bu Rt, Mbak Ratmi langsung menghampiri dan menceritakan apa yang sedang dilihatnya.

“Sudah biasa itu, Mbak. Udah nggak heran lagi ngeliat mereka bertengkar terus.”

“Lagian Riyanti itu kok jadi istri kelewatan ngalah. Udah tahu suaminya tukang selingkuh dan suka kdrt masih aja betah bertahan. Kalo aku jadi dia udah lama aku minta pisah,” kata Mbak Ratmi dengan logat Jawanya.

Sudah tidak heran lagi kalau kehidupan rumah tangga anak juragan sembako di pasar itu menjadi buah bibir di desa. Ibarat kata “tembok pun bisa berbicara”, kehidupan rumah tangga Riyanti selalu menjadi hiburan dan selalu ditunggu untuk menjadi bahan ghibahan di pasar.

Perginya Hendra malam-malam sudah pasti ke suatu tempat favoritnya. Dimana lagi kalau bukan ke tempat karaoke kelas teri di desa sebelah. Menemui kekasih gelapnya, Lia. Bila Hendra sudah jenuh di rumah, dia selalu mencari pelarian di tempat lain. Bagi Hendra, Lia adalah berlian yang selalu bercahaya di matanya. Lia selalu memanjakan Hendra, mencuri perhatian Hendra sehingga lelaki beristri itu terlena dalam dekapannya.

“Kasihan Ibu. Bapak jahat banget sama Ibu!”

Putri bergumam sendiri di balik pintu kamar. Nasi goreng buatan sang Ibu sama sekali tidak ia sentuh, tergeletak begitu saja di sampingnya. Selalu melihat kedua orang tuanya bertengkar membuat mental Putri sedikit terganggu. Putri yang dulu terkenal anak yang ceria kini berubah menjadi anak yang pendiam dan selalu mengurung diri di kamar.

Samar-samar Putri mendengar suara isak tangis sang ibu dari balik kamar. Putri mendapati Riyanti sedang menangis sambil memeluk guling yang kondisinya sudah kusam.

Bapak jahat! Bapak tega bikin Ibu selalu menangis dan memilih cewek jelek itu! Putri benci sama Bapak!

Putri menyeka air matanya. Tanpa sepengetahuan Riyanti, Putri berlari ke rumah malam-malam. Kali ini nyalinya begitu besar, membuat langkah kakinya terus berlari menuju suatu tempat. Tempat yang seharusnya tidak perlu ia datangi. Namun, dia ditarik seseorang saat hendak berbelok.

“Putri? Kamu ngapain keluar malam-malam begini?”

“Om Rian?” Putri terkejut.

“Kamu mau kemana?”

Putri menunduk tak berani menatap wajah Om Rian. Akankah Putri menceritakan yang sebenarnya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Awal Bertemu Yogi

    “Sepuluh juta? Dari mana aku bisa dapetin uang segitu?” keluhnya sendiri.Riyanti sedang duduk di pohon mangga setelah mengantar anak majikannya sekolah. Kejadian tadi benar-benar membuatnya semakin pusing. Hendra benar-benar tidak tahu diri, pergi meninggalkan hutang sebanyak itu.Waktu masih pukul jam sebelas, tapi matahari terasa begitu membakar. Mungkin sudah memasuki musim kemarau. Keringat mengucur deras membasahi punggungnya. Tukang es teh di depan sana sungguh menggodanya. Namun, dia sama sekali tidak memegang uang. Terpaksa dia harus membasahi kerongkongan dengan air liurnya.“Yanti? Kamu Yanti, kan?” Riyanti menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri dihadapannya. Riyanti tidak bisa melihat jelas wajah pria itu karena silau sinar matahari, ditambah kondisinya yang belum pulih betul.“Siapa ya?” tanya Riyanti lirih.“Masa nggak kenal saya?”Riyanti mengernyit. “Emang siapa, ya?”Pria itu merubah posisi duduk di sebelah Riyanti. Wanita itu refleks bergeser.“Yogi. Kamu lupa

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Di Tagih Utang

    Asap putih mengepul dan memenuhi seluruh penjuru dapur. Pagi-pagi sekali Riyanti bangun untuk membuat sayur dan lauk matang. Tubuh kurusnya masih terasa lunglai, wajahnya masih sebenarnya dia belum pulih betul, tapi hidup harus berjalan. Tidak selamanya dia harus berdiam di kasur saja.Hampir seminggu Hendra tak kunjung pulang. Riyanti tahu bahwa sang suami pasti bersama wanita penggoda itu. Riyanti sudah mati rasa, kejadian malam itu masih dia ingat betul. Bagaimana Hendra menamparnya dengan begitu keras hingga membekas tidak hanya di pipi, melainkan di hati.“Lihat dirimu! Apa yang bisa dibanggakan?!”Riyanti mengambil seember air dari kamar mandi. Saat melintas di depan pintu kamar mandi, dia melihat pantulan dirinya di cermin. Pipi yang tirus, kelopak mata yang menghitam, dan tubuh yang kurus. Sekejap dia mendesah pasrah. Pantas saja kalau Mas Hendra bilang kayak gitu, batinnya.Adzan subuh berkumandang, semua sayur dan lauk sudah matang. Riyanti menatanya dengan rapi lalu mulai m

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Putri di Bully

    “Putri!”Gadis kecil itu menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Rupanya Dewi yang memanggilnya. Teman sebangkunya itu terlihat tersengal-sengal seperti habis berlari keliling lapangan sekolah sebanyak sepuluh kali.“Putri! Aku panggil kok nggak jawab? Kamu sakit?”Putri menggeleng.“Apa kamu sudah sarapan?” Dewi seperti peramal, bisa tahu kalau hari ini dia memang belum sarapan. Mendengar Dewi bertanya seperti itu membuat perut bocah kelas lima SD itu langsung keroncongan. Diam-diam Putri memegang perutnya. Tadi sebelum berangkat sekolah, dia hanya minum teh tawar hangat saja. Sudah tiga hari ini sang Ibu terbaring lemah di ranjang. Tubuhnya lemas sekali, akibat pertengkaran dengan sang suami. Keesokan harinya tubuh Riyanti demam sehingga tidak bisa berjualan. Sedangkan Hendra, tidak pulang ke rumah sama sekali.“Hey! Pagi-pagi kok melamun?” Tepukan pelan di pundak Putri membuatnya sadar dari lamunan. “Eh, nggak.” Putri menggeleng samar.“Nah, kebetulan aku juga belum sarapan.

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Tamparan Keras

    “Kamu tega, Mas! Tega!”“Apa? Kamu mau apa? Hah!”“Jahat kamu, Mas! Ternyata omongan orang itu bener, kamu berani selingkuh terang-terangan di depan banyak orang tanpa mikirin perasaan aku.”Hendra tersenyum sinis melihat Riyanti menangis terisak. Malam ini rumah Riyanti heboh karena pertengkaran mereka. Riyanti marah karena mengetahui perselingkuhan Hendra tadi siang di rumah makan Padang. Bukannya merasa bersalah karena ketahuan, justru Hendra bersikap biasa saja. Hendra sibuk bermain ponsel sambil tersenyum tidak jelas. Hal itu membuat Riyanti tidak habis pikir dengan suaminya itu.“Peduli amat sama omongan orang. Lagian kenapa sih kamu rempong banget!”“Aku? Kamu bilang aku rempong? Aku ini istri kamu, Mas! Wajar kalo aku kesel sama kamu!”Prang!!!Gelas aluminium di atas meja seketika terbang dan jatuh di lantai. Membuat Riyanti terlonjak kaget sampai menutup telinganya.Di dalam kamar, Putri mendengar pertengkaran orang tuanya. Gadis mungil itu meringkuk di pojok kamar, memeluk

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Kepergok Riyanti

    Riyanti sangat bersyukur dengan pekerjaan yang dia dapatkan. Pagi berjualan makanan matang lalu sesudahnya mengantar anak tetangga sekolah, kemudian menjadi tukang cuci di rumah orang. Selama pekerjaan itu halal akan Riyanti lakukan demi masa depan Putri.“Mbak Yanti!”“Eh, Retno! Aku pikir siapa. Mau kemana kamu?” tanya Riyanti kepada seorang wanita cantik bernama Retno.“Mau ke rumah Bu Lurah. Katanya lagi ada sembako murah di sana. Kamu mau ikut nggak?” ajak Retno.“Sembako murah? Wah kebetulan sekali sembako di rumah juga menipis. Aku ikut dong!” seru Riyanti.Riyanti bersama dengan temannya itu berjalan bersama menuju rumah Bu Lurah yang sedang mengadakan sembako murah di tengah gempuran harga bahan pokok yang melambung tinggi. Tak hanya mereka saja, ada beberapa ibu-ibu lain ikut membeli sembako murah.Riyanti sangat bersyukur Bu Lurah mengadakan sembako murah. Sekarang dia sedang krisis keuangan. Dulu saat masih kerja di pabrik dia bisa membeli kebutuhan pokok, tentunya sebelum

  • RIYANTI: Kekuatan di Balik Air Mata   Mulai Dagang

    Suara desis nasi yang ditanak di atas tungku api terdengar bagai alunan suara pagi nan indah, asap putih yang mengepul menambah kehangatan di dapur mungil rumah ini. Riyanti bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan sebelum ayam berkokok. Nasi sudah matang dan air panas sudah dituang ke dalam termos. Aroma lauk dan sayur yang sudah matang sungguh menggugah selera, membuat Putri terbangun dari tidurnya.“Eh, anak Ibu yang cantik sudah bangun? Kamu kebangung karena kebrisikan ya?”“Ibu lagi apa? Kok pagi-pagi sudah di dapur?” tanya Putri sambil menggosok kelopak matanya yang sulit terbuka karena masih mengantuk.“Ibu lagi masak lauk dan sayur mateng buat di jual keliling komplek depan sana, Cantik. Kamu mau mandi dulu atau makan dulu? Biar Ibu siapin.”Putri menggeleng pelan. “Nanti saja, Bu. Putri bisa nyiapin sendiri.”Riyanti tersenyum seraya membelai putri semata wayangnya penuh kasih sayang. Kemudian, kembali menata sayur dan lauk matang yang sudah dikemas dalam plastik ke keranjang.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status