Tak ada firasat apapun pagi ini. Riyanti mulai beraktifitas seperti biasa, menyiapkan sarapan pagi untuk Putri dan Hendra, membereskan rumah, dan lain-lain sebelum berangkat kerja. Hendra pulang hampir tengah malam, pulang-pulang Hendra membawa sekarung besar seperti yang dia lihat di pasar pagi itu. Tidak ada yang aneh pagi ini, meski kemarin ada kabar burung yang kurang sedap tapi semua terlihat biasa dan normal.
Akan tetapi, begitu mendekati pabrik tempat Riyanti bekerja. Sesuatu terjadi yang membuat wanita itu tentu bertanya-tanya. Pasalnya, banyak karyawan pabrik yang berkumpul di depan. Rata-rata mereka adalah para buruh wanita. Berorasi sambil membawa spanduk berisi tuntutan protes mereka.
Salah satu dari mereka yang melihat kedatangan Riyanti dari jauh segera menghentikan laju motor Riyanti.
“Ada apa ini, Mbak? Kok rame sekali?” tanya Riyanti penasaran sambil membuka helmnya
“Nasib kita di ujung tanduk, Mbak. Kita di PHK sepihak,” jawab orang itu.
“Apa? PHK? Bukannya itu hoax?”
Orang itu menggeleng kuat, “Nggak, Mbak. Berita yang beredar itu benar. Kita di PHK, pabrik kita sedang mengurangi karyawan besar-besaran efek keadaan ekonomi saat ini.”
Riyanti menarik napas berat. Ternyata berita yang kemarin beredar benar adanya. Pabriknya melakukan pengurangan karyawan besar-besaran imbas dari keadaan ekonomi yang sedang carut marut.
Sekujur tubuhnya mulai lemas, pasalnya hanya dia yang menjadi tulang punggung dalam
keluarga kecilnya.“Kalau begini bagaimana nasib Putri ya Allah? Sedangkan Mas Hendra baru saja mau memulai dagang sayur kelilingnya. Kalau Mas Hendra tahu masalah ini bagaimana ya Allah?” batinnya lirih.
Riyanti memarkirkan motornya di tepi jalan, duduk di rerumputan bersama temannya itu. Sama-sama meratapi nasib yang kini tengah mereka hadapi. Kenyataan yang sulit sekali untuk mereka terima.
“Sudahlah, Mbak. Mau bagaimana lagi kita hanya bisa pasrah menerima keputusan ini. Kalau kita nolak seperti mereka juga nggak ada hasilnya, kita tetap di rumahkan,” ujar temannya itu melihat Riyanti yang menenggelamkan kepalanya di kedua telapak tangannya.
“Setidaknya mereka bisa menyuarakan pendapatnya. Keputusan ini bener-bener mendadak sekali. Kebanyakan dari kita menggantungkan hidup dengan bekerja di pabrik seperti ini. Kalau kita diberhentikan begini, kita nyari kerja dimana lagi?”
“Iya, sih. Apalagi Mbak Yanti yang sekarang malah jadi tulang punggung keluarga. Tapi Mbak, kalau udah begini Mbak mau gimana?”
Pertanyaan orang itu membuat Riyanti berpikir kembali.
“Bener, gimana reaksi Mas Hendra kalau tahu aku di phk begini? Dia pasti sedih,” batin Riyanti dalam hati.
Riyanti harus memutar otak. Mencari cara untuk mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Terlebih lagi Hendra yang suka meminta uang dengan memaksa. Mengandalkan dagangan sayur keliling saja juga tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Terus, gimana sekarang?”
“Lebih baik kita ikut saja apa yang terbaik. Mereka ngambil keputusan juga nggak sembarangan, kok,” ujar Riyanti
“Eh, kita dipanggil tuh! Yuk ke sana!” Bergegas teman Riyanti mengajak Riyanti menuju teman-teman sejawat mereka yang sedang berkumpul di depan pagar pabrik.
***
“Mas Hen? Beneran kita di sini nggak apa-apa? Nggak takut kalo nanti Mbak Yanti mergokin kita?”
“Sudahlah, nggak bakalan dia tahu. Wong jam segini dia lagi kerja mana mungkin dia ada jam segini.”
Di sebuah kedai es kelapa muda yang teduh, Hendra sedang duduk berdua bersama dengan seorang wanita muda nan cantik jelita. Wanita muda itu tampak asyik bermanja ria di bahu kekar milik Hendra, yang notabene adalah suami Riyanti.
Mereka berdua tampak asyik menikmati es kelapa muda layaknya seperti dua sejoli yang dimabuk asmara. Angin sepoi-sepoi mengibaskan rambut Lia yang berwarna pirang itu. Hendra seakan lupa dengan statusnya, dia malah sibuk berfoto berdua dengan Lia dengan latar persawahan yang hijau nan asri.
“Tapi, denger-denger pabrik tempat Mbak Yanti itu bakalan tutup lho, Mas.”
“Ah, kamu tahu dari mana?” tanya Hendra sedikit terkejut.
“Temenku kebanyakan kerja di pabrik itu. Katanya sih, pabriknya lagi pailit alias bangkrut,” jawab Lia.
“Trus kalo bangkrut kenapa?”
“Lho kok Mas malah nanya kenapa? Kalo Mbak Yanti beneran di PHK gimana?”
Hendra terdiam sejenak, Lia memperhatikan mimik wajah Hendra yang bisa dibilang ganteng juga tidak, jelek juga tidak itu. Lalu, tak lama kemudian Hendra menunjukkan ekspresi yang membuatnya geli.
“Kok wajahnya begitu? Seneng ya kalo Mbak Yanti nggak kerja?”
“Bukannya begitu, Sayang. Tapi …,” ucap Hendra menggantung, lenggannya menggelayut manja di pinggang Lia sambil mencuri-curi aroma tubuh sintal kekasih gelapnya, “Dengan begitu, istriku itu bisa mencari kerja di tempat lain.”
Lia langsung melepas lengan Hendra sambil menunjukkan mimik manjanya. “Ih, Mas kok tega banget sama istri sendiri.”
“Yah, dibilang tega sih, nggak. Cuma Mas udah bosen sama dia. Pernikahanku dengan Yanti itu didasari paksaan. Mas sebenarnya nggak cinta sama dia, Mas cintanya sama kamu.” Hendra mulai mengeluarkan rayuan gombalnya, mencubit pelan dagu Lia yang dipasang benang itu.
Tanpa mereka ketahui, ada sepasang mata sedang memperhatikan kemesraan mereka dari seberang jalan.
***
Langit mulai berubah senja, Riyanti terduduk lesu di taman tak jauh dari pabrik. Tempat favoritnya ketika sedih karena nasib yang selalu tak berpihak padanya. Dalam waktu singkat cobaan hidup seakan tak lepas dari dirinya. Dia merasa seperti mendapat kutukan.
Dia teringat kembali saat pertama kali mendapat pekerjaan di pabrik itu setelah lulus dari SMK. Nilainya yang diatas rata-rata memudahkannya diterima di pabrik garmen besar di kota tempatnya tinggal. Dalam waktu tiga bulan dia berhasil mengumpulkan gaji dan membeli sebuah motor untuk Bapaknya bekerja. Dia juga mampu membantu membiayai sekolah adik-adiknya hingga lulus.
Sayang, ketika usianya cukup untuk menikah, Riyanti terpaksa dijodohkan oleh sang Nenek dengan anak juragan sembako di pasar. Semua terjadi hanya karena kesalahan sang Ibu yang tertipu investasi bodong dan membuatnya berhutang sampai tidak bisa dilunasi. Di saat itulah hubungan Hendra dan Riyanti dimulai.
Hendra mulai sering mencuri perhatian Riyanti dengan selalu menjemput Riyanti setiap pulang kerja. Mengajaknya makan di rumah makan favorit Hendra yang bisa dibilang cukup mahal. Dan berujung dengan menikmati matahari tenggelam di taman ini.
Riyanti menarik napas berat bila mengingat kenangan manisnya bersama Hendra. Suami yang telah menemaninya selama delapan tahun ini. Akan tetapi, perubahan sikap Hendra membuatnya cemas dan khawatir. Terutama dengan kondisi psikologis putri semata wayangnya.
Disaat Riyanti sedang duduk termenung, dering ponsel membuyarkan lamunannya.
“Halo, Mas?”
“Kamu kemana aja, sih! Pulang kerja bukannya ulang malah kelayapan. Ini di rumah nggak ada makanan apapun. Aku laper ini!”
“Iya, iya, Mas. Aku pulang sekarang.”
Riyanti bergegas meninggalkan taman itu dan hendak pulang sebelum Hendra mulai murka. Tanpa dia tahu, Hendra menyiakan kejutan yang akan membuatnya kembali mengiris hati.
***
Riyanti sangat bersyukur dengan pekerjaan yang dia dapatkan. Pagi berjualan makanan matang lalu sesudahnya mengantar anak tetangga sekolah, kemudian menjadi tukang cuci di rumah orang. Selama pekerjaan itu halal akan Riyanti lakukan demi masa depan Putri.“Mbak Yanti!”“Eh, Retno! Aku pikir siapa. Mau kemana kamu?” tanya Riyanti kepada seorang wanita cantik bernama Retno.“Mau ke rumah Bu Lurah. Katanya lagi ada sembako murah di sana. Kamu mau ikut nggak?” ajak Retno.“Sembako murah? Wah kebetulan sekali sembako di rumah juga menipis. Aku ikut dong!” seru Riyanti.Riyanti bersama dengan temannya itu berjalan bersama menuju rumah Bu Lurah yang sedang mengadakan sembako murah di tengah gempuran harga bahan pokok yang melambung tinggi. Tak hanya mereka saja, ada beberapa ibu-ibu lain ikut membeli sembako murah.Riyanti sangat bersyukur Bu Lurah mengadakan sembako murah. Sekarang dia sedang krisis keuangan. Dulu saat masih kerja di pabrik dia bisa membeli kebutuhan pokok, tentunya sebelum
Suara desis nasi yang ditanak di atas tungku api terdengar bagai alunan suara pagi nan indah, asap putih yang mengepul menambah kehangatan di dapur mungil rumah ini. Riyanti bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan sebelum ayam berkokok. Nasi sudah matang dan air panas sudah dituang ke dalam termos. Aroma lauk dan sayur yang sudah matang sungguh menggugah selera, membuat Putri terbangun dari tidurnya.“Eh, anak Ibu yang cantik sudah bangun? Kamu kebangung karena kebrisikan ya?”“Ibu lagi apa? Kok pagi-pagi sudah di dapur?” tanya Putri sambil menggosok kelopak matanya yang sulit terbuka karena masih mengantuk.“Ibu lagi masak lauk dan sayur mateng buat di jual keliling komplek depan sana, Cantik. Kamu mau mandi dulu atau makan dulu? Biar Ibu siapin.”Putri menggeleng pelan. “Nanti saja, Bu. Putri bisa nyiapin sendiri.”Riyanti tersenyum seraya membelai putri semata wayangnya penuh kasih sayang. Kemudian, kembali menata sayur dan lauk matang yang sudah dikemas dalam plastik ke keranjang.
Hidup ini memang melelahkan, amat sangat melelahkan. Akan tetapi, jika kita memandang dari sudut yang berbeda. Ujian dan cobaan yang datang bertubi-tubi, sejatinya adalah proses kehidupan untuk membentuk insan yang kuat, tegar, dan selalu bersyukur. Meski terkadang sangat sulit untuk menjalaninya.Riyanti sudah mengalami banyak rintangan dalam hidup. Ujian dan cobaan tak pernah berhenti dari kehidupannya. Seakan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Setiap selesai satu cobaan datang lagi ujian lainnya. Apakah Takdir sedang mempermainkannya?Entahlah, yang jelas Riyanti harus memutar otak bagaimana uang pesangon dari pabrik cukup untuk kebutuhan rumah tangganya. Mengingat pesangon yang diberikan jumlahnya tidak seperti gaji yang selalu dia terima.“Uang ini harus cukup untuk makan sehari-hari, jangan sampai Mas H
“Assalamu’alaikum.”“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang!” Sosok Hendra berdiri tepat di depan pintu saat Riyanti baru saja sampai di rumah.“A-aku tadi ….” Tenggorokan Riyanti tercekak, mendadak dia tidak bisa bicara dengan lancar. Hendra menatapnya dengan sorot mata yang tajam seakan hendak mencengkeramnya.“Apa? Aku tadi apa? Kamu kira aku nggak tahu kamu kemana dan ngapain aja? Kamu di PHK kan?”Riyanti terkejut dan langsung menoleh ke arah Hendra. “Darimana dia tahu kalau aku di phk? Ah, sudah pasti dari orang-orang.”Riyanti tidak menjawab dan memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk berganti baju
Tak ada firasat apapun pagi ini. Riyanti mulai beraktifitas seperti biasa, menyiapkan sarapan pagi untuk Putri dan Hendra, membereskan rumah, dan lain-lain sebelum berangkat kerja. Hendra pulang hampir tengah malam, pulang-pulang Hendra membawa sekarung besar seperti yang dia lihat di pasar pagi itu. Tidak ada yang aneh pagi ini, meski kemarin ada kabar burung yang kurang sedap tapi semua terlihat biasa dan normal.Akan tetapi, begitu mendekati pabrik tempat Riyanti bekerja. Sesuatu terjadi yang membuat wanita itu tentu bertanya-tanya. Pasalnya, banyak karyawan pabrik yang berkumpul di depan. Rata-rata mereka adalah para buruh wanita. Berorasi sambil membawa spanduk berisi tuntutan protes mereka.Salah satu dari mereka yang melihat kedatangan Riyanti dari jauh segera menghentikan laju motor Riyanti.“Ada apa ini, Mbak? Kok rame sekali?” tanya Riyanti penasaran sambil membuka helmnya“Nasib kita di ujung tanduk, Mbak. Kita di PHK sepihak,” jawab orang itu.“Apa? PHK? Bukannya itu hoax?
Setelah bertemu dan mengobrol sejenak dengan Nina, Riyanti berjalan menuju kios sayur-sayuran. Hari ini sayur mayur yang dijajakan pedagang sangat segar. Riyanti tergiur untuk membeli seikat bayam yang nantinya akan ia masak sayur bening kesukaan Putri. Saat Riyanti hendak menghampiri pedagang sayur langganannya, tanpa sengaja dia mendengar selentingan orang-orang yang sedang berkerumun membicarakan seseorang. Karena penasaran, Riyanti melangkah mendekati kerumunan orang itu.“Eh, masa? Hendra begitu?”“Enak dong lagi banyak duit dia.”Semakin mendekat makin jelas terdengar bahwa orang-orang itu sedang membicarakan suaminya.“Dapat duit darimana dia?”“Yang jelas dia pasti bakalan berjudi lagi, trus seneng-seneng lagi sama Lia. Si janda muda pelakornya itu.”Jantung Riyanti bagai dihantam batu sebesar gunung mendengar orang-orang itu membicarakan suaminya. Riyanti seakan tidak percaya dengan apa yang mereka katakan. Baginya tidak mungkin Hendra melakukan itu, dia sudah berjanji pada d
Setelah menerima telepon dari teman kerjanya di pabrik, perasaan Riyanti mulai tidak enak. Namun, buru-buru dia tepis karena pagi ini dia harus ke pasar untuk berbelanja kebutuhan hari ini. Jarak antara rumah dengan pasar tidak begitu jauh, cukup berjalan kaki saja.Akan tetapi, saat di perjalanan menuju pasar, banyak orang yang memandang aneh saat tak sengaja berpapasan dengan dirinya. Riyanti merasa heran dengan sikap orang-orang itu. Riyanti merasa tidak ada yang salah dengan dirinya, pakaian yang digunakannya juga tidak aneh-aneh tapi mereka tetap memandangnya seperti itu.“Eh, Mbak Yanti!” sapa seorang wanita berbadan gemuk.“Eh, Bude Lastri, Bude Tini. Wah, dari pasar, Bude?” sapa Riyanti juga berbasa-basi ke dua orang ibu-ibu paruh baya yang terlihat kewalahan menenteng kantong belanjaan.“Iya dong dari pasar. Hari ini anak Bude yang dari Jakarta pulang kampung. Bude mau masak makanan kesukaannya dia,” jawab Bude Lastri girang, senyumnya tidak lepas dari raut wajah yang keriput
“Permisi!!!”Terdengar suara pintu diketuk dengan keras. Riyanti terbangun dan hampir terjungkal dari kursi. “Permisi!!! Mbak! Mbak Yanti!”Kedua bola matanya mendadak terang karena mendengar suara ketukan keras di pintu itu. Riyanti beranjak dengan malas untuk membuka pintu.“Iya tunggu! Siapa?”“Mbak Yanti?”Betapa terkejutnya Riyanti saat membuka pintu. Seorang wanita berpakaian minim berdiri dihadapannya. Wanita itu tampak kesulitan membopoh seorang pria mabuk yang tidak asing baginya. “Ya Allah Mas Hendra!”Riyanti langsung membawa tubuh Hendra ke dalam rumah dengan kepayahan, dibantu bersama wanita berpakaian minim itu.“Mas Mabuk lagi?”“Heh! Berisik kamu!” bentak Hendra tidak sadar akibat mabuk.“Mas Hen mabuk parah di karaoke,” ucap wanita berpakaian minim itu.Riyanti melempar pandang ke arah wanita itu. Sebagai seorang wanita dan seorang istri, rasa tidak suka dan curiga mulai muncul ketika melihat wanita itu. Terang saja, seorang wanita berpenampilan minim membawa suami
“Ya Allah. Kenapa rumah berantakan begini?” Riyanti baru saja pulang dari bekerja selepas Adzan Isya dan terkejut mendapati kondisi rumahnya yang sangat berantakan. Bola matanya terbelalak lebar melihat rumahnya seperti habis digondol maling. “Ibu ….”“Putri!”Terdengar samar-samar suara tangisan kecil. Pikiran Riyanti mengawang kemana-mana dan tanpa pikir panjang dia langsung bergegas mencari sumber suara itu. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sang anak tengah meringkuk menangis di sudut kamar sambil memeluk lututnya. Riyanti langsung memeluk sang anak yang sedang ketakutan.“Putri! Kamu nggak apa-apa, ‘kan, Nak?” tanya Riyanti panik. Air matanya mulai membanjiri pelupuk matanya dan perlahan jatuh membasahi pipi.“Ayah, Bu. A-Ayah ….” “Kenapa sama Ayah, Sayang?”Suara Putri bergetar, kedua manik indah milik sang anak membengkak. Pandangannya kosong menatap pintu yang terbuka. Riyanti memeluk erat putri satu-satunya itu, mendekapnya penuh dengan kasih sayang. Tapi, dalam hati R