Setelah menerima telepon dari teman kerjanya di pabrik, perasaan Riyanti mulai tidak enak. Namun, buru-buru dia tepis karena pagi ini dia harus ke pasar untuk berbelanja kebutuhan hari ini. Jarak antara rumah dengan pasar tidak begitu jauh, cukup berjalan kaki saja.
Akan tetapi, saat di perjalanan menuju pasar, banyak orang yang memandang aneh saat tak sengaja berpapasan dengan dirinya. Riyanti merasa heran dengan sikap orang-orang itu. Riyanti merasa tidak ada yang salah dengan dirinya, pakaian yang digunakannya juga tidak aneh-aneh tapi mereka tetap memandangnya seperti itu.
“Eh, Mbak Yanti!” sapa seorang wanita berbadan gemuk.
“Eh, Bude Lastri, Bude Tini. Wah, dari pasar, Bude?” sapa Riyanti juga berbasa-basi ke dua orang ibu-ibu paruh baya yang terlihat kewalahan menenteng kantong belanjaan.
“Iya dong dari pasar. Hari ini anak Bude yang dari Jakarta pulang kampung. Bude mau masak makanan kesukaannya dia,” jawab Bude Lastri girang, senyumnya tidak lepas dari raut wajah yang keriput.
“Wah, syukur Alhamdulillah Bude Tari sudah pulang,” ucap Riyanti.
“Alhamdulillah, Tari sukses buka bisnis bakso di sana. Bude pernah sekali datang ke Jakarta liat tempat usahanya Tari. Usaha baksonya laris sampai buka tiga cabang di Jakarta, mana karyawannya banyak lagi.”
“Gimana nggak mau sukses lha wong modalnya itu dari suaminya Tari,” timpal Bude Tini, “kamu tahu nggak, Yan? Suaminya Tari itu pejabat di kementerian. Wajar, dong kalo Tari dapat modal besar untuk usaha baksonya.”
“Alhamdulillah, bersyukur Bude Lastri dapat menantu seperti suaminya Tari.”
“Jelas bersyukurlah, Yanti. Suaminya tanggung jawab, sayang keluarga, dan nggak pelit sama keluarga. Emangnya ….” Bude Tini tidak meneruskan kalimatnya karena dihentikan oleh Bude Lastri. Tapi, Riyanti tahu bahwa Bude Tini sedang menyindirnya.
Dalam hati Riyanti mengelus dada mendengar sindiran dari wanita paruh baya bertubuh subur itu. Mereka terkekeh bersama setelah mengatakan sindiran halus itu. Bude Lastri memang sangat senang menyindir Riyanti karena anaknya yang sebaya dengan Riyanti telah sukses di Jakarta, sedangkan nasib Riyanti tidak seberuntung itu.
“Kalau gitu saya permisi dulu, Bude. Monggo.” Setelah mengatakan itu, Riyanti secepatnya meninggalkan mereka dan terus melangkah menuju pasar. Tidak peduli dengan mereka yang masih berbisik di belakang.
***
“Aduh!”
Di tengah perjalanan, Riyanti merintih kesakitan sambil memegangi perutnya. Sejak semalam sampai detik ini perutnya sama sekali belum terisi makanan. Nasi goreng yang Putri makan semalam adalah nasi terakhir. Sebab, beras di tandonan sudah habis sedangkan uang yang dia miliki menipis karena Hendra merampasnya sebelum kabur membawa sertifikat rumah. Terpaksa Riyanti harus berpuasa hari ini.
“Apa yang bisa kubeli dengan sisa uang tiga puluh ribu ini? Stok beras di rumah sudah habis, sedangkan harga beras seliter dua belas ribu,” keluhnya berbicara sendiri begitu ia sampai di depan pasar.
Langkahnya berjalan pelan menuju kios beras langganannya.
“Bu, beli berasnya seliter.”
“Eh, Nak Yanti. Tumben beli berasnya seliter?” tanya penjual beras langganan Riyanti.
Riyanti terpaksa tersenyum, “Iya, Bu. Soalnya uang saya adanya segini, Bu.”
Alis Ibu penjual beras itu terangkat sebelah begitu melihat uang yang disodorkan Riyanti. Kemudian Ibu itu langsung menakar tiga liter beras ke dalam kantong plastik, lalu memberikannya kepada Riyanti yang memandangnya heran.
“Lho, ini kebanyakan, Bu. Saya belinya seliter saja,” tolak Riyanti sambil mengembalikan beras itu. Namun, Ibu penjual beras justru menolak menerimanya.
“Udah, ini ambil saja. Ibu yang ngasih.”
“Terima kasih, Bu. Yanti jadi nggak enak sama Ibu.”
“Udah, nggak apa-apa. Justru Ibu kasihan sama kamu. Sudah banting tulang kerja di pabrik tapi suamimu kerjaannya masih nyusahin kamu,” kata Ibu itu.
“Nggak apa-apa, Bu. Saya memang senang bekerja. Sekali lagi terima kasih banyak, Bu.” Riyanti hanya bisa mengucapkan terima kasih dengan senyum terpaksa.
Saat Riyanti hendak meninggalkan kios itu, Ibu penjual beras memanggilnya lagi. “Eh, ya. Tadi Ibu liat suami mu bawa sekarung belanjaan, lho.”
Mendengar sang suami membawa sekarung belanjaan, hati Riyanti mulai teriris. Terlebih lagi banyak bisik-bisik yang sampai di telinganya perihal asal uang yang digunakan Hendra untuk membeli barang sekarung besar itu. Karena Hendra adalah anak dari juragan sembako yang memang terkenal di pasar tersebut.
“Mbak Yanti! Kok ngelamun di tengah-tengah pasar? Awas kesambet!”
Lamunan Yanti buyar seketika tatkala seorang wanita menyenggol bahunya.
“Eh, kamu. Ngagetin aja.”
“Kamu kenapa bengong begitu? Apa ada masalah?”
Riyanti menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah wanita muda itu. “Hidupku memang selalu ada masalah, Nina. Kalau saja Mas Hendra tidak berubah seperti ini.”
“Dia bikin ulah apa lagi?” tanya wanita muda bernama Nina itu. Seolah sudah bosan mendengar ulah yang Hendra perbuat kali ini.
Di kampung tempat Riyanti tinggal, nama Hendra Kusmanto memang terkenal. Selain tampan menurut para gadis di sana, Hendra juga terkenal dengan perangainya yang jelek. Tukang mabuk dan tukang main dengan wanita penghibur.
Nina Riyanti diam menunduk. Menurutnya, mungkin sudah bosan bagi dirinya untuk menceritakan ulah yang dilakukan suaminya.
Akhirnya, Riyanti menarik napas sebelum menjawab, “Dia mengambil sertifikat rumah buat modal dagang katanya.”
“Apa?” Nina terkejut sampai membuat banyak orang menoleh ke arahnya.
“Jangan keras-keras!”
“Jadi, suamimu gadaikan sertifikat rumah buat modal dagang?” Sekali lagi, Nina terkejut dan Riyanti mengangguk pasrah.
“Ya ampun! Gimana sih pikirannya suamimu itu?”
“Ya mungkin saja kali ini dia benar untuk dagang.”
“Kalo dia bohongin kamu lagi, gimana?” Nina langsung menodongnya dengan pertanyaan menohok, membuat Riyanti sedikit gelagapan.
“Ya, ya, mau gimana lagi.”
Nina menepuk jidatnya. Inilah kekurangan dari salah satu teman sekolah Nina. Riyanti selalu bersikap pasrah dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Sampai-sampai Nina gemas dibuatnya. Riyanti sangat yakin bahwa suatu saat nanti Hendra akan berubah.
“Yanti. Kamu jangan terlalu percaya kalo sertifikat itu buat modal dagang. Bisa jadi uangnya untuk modal judi.”
“Kamu terlalu curiga yang berlebihan, Nina. Siapa tahu Mas Hendra bener-bener serius mau berubah. Ya, kan?”
Nina membuang napas kasar lalu berbalik badan hendak pergi meninggalkan Riyanti di tengah pasar.
“Tunggu, kamu mau kemana, Nina?”
“Aku mau pergi. Bicara sama kamu saja bicara dengan tembok.” Nina pun pergi dengan perasaan kesal, sedangkan Riyanti memandang kepergian temannya dengan rasa kecewa.
Dalam hati Riyanti mulai bertanya-tanya, apakah yang dikatakan Nina itu benar? Apakah uang hasil menggadaikan sertifikat hanya untuk berjudi dan bukan untuk modal usaha? Riyanti menggeleng kepala cepat, berusaha untuk menepis pikiran negatif itu. Karena dia sangat yakin bahwa Hendra memang menggunakan uang untuk modal berdagang.
Riyanti kembali melangkah menuju kios sayur. Saat dia hendak membeli seikat bayam, tanpa sengaja dia mendengar sesuatu. Sesuatu yang membuatnya tercengang tidak percaya.
“Sepuluh juta? Dari mana aku bisa dapetin uang segitu?” keluhnya sendiri.Riyanti sedang duduk di pohon mangga setelah mengantar anak majikannya sekolah. Kejadian tadi benar-benar membuatnya semakin pusing. Hendra benar-benar tidak tahu diri, pergi meninggalkan hutang sebanyak itu.Waktu masih pukul jam sebelas, tapi matahari terasa begitu membakar. Mungkin sudah memasuki musim kemarau. Keringat mengucur deras membasahi punggungnya. Tukang es teh di depan sana sungguh menggodanya. Namun, dia sama sekali tidak memegang uang. Terpaksa dia harus membasahi kerongkongan dengan air liurnya.“Yanti? Kamu Yanti, kan?” Riyanti menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri dihadapannya. Riyanti tidak bisa melihat jelas wajah pria itu karena silau sinar matahari, ditambah kondisinya yang belum pulih betul.“Siapa ya?” tanya Riyanti lirih.“Masa nggak kenal saya?”Riyanti mengernyit. “Emang siapa, ya?”Pria itu merubah posisi duduk di sebelah Riyanti. Wanita itu refleks bergeser.“Yogi. Kamu lupa
Asap putih mengepul dan memenuhi seluruh penjuru dapur. Pagi-pagi sekali Riyanti bangun untuk membuat sayur dan lauk matang. Tubuh kurusnya masih terasa lunglai, wajahnya masih sebenarnya dia belum pulih betul, tapi hidup harus berjalan. Tidak selamanya dia harus berdiam di kasur saja.Hampir seminggu Hendra tak kunjung pulang. Riyanti tahu bahwa sang suami pasti bersama wanita penggoda itu. Riyanti sudah mati rasa, kejadian malam itu masih dia ingat betul. Bagaimana Hendra menamparnya dengan begitu keras hingga membekas tidak hanya di pipi, melainkan di hati.“Lihat dirimu! Apa yang bisa dibanggakan?!”Riyanti mengambil seember air dari kamar mandi. Saat melintas di depan pintu kamar mandi, dia melihat pantulan dirinya di cermin. Pipi yang tirus, kelopak mata yang menghitam, dan tubuh yang kurus. Sekejap dia mendesah pasrah. Pantas saja kalau Mas Hendra bilang kayak gitu, batinnya.Adzan subuh berkumandang, semua sayur dan lauk sudah matang. Riyanti menatanya dengan rapi lalu mulai m
“Putri!”Gadis kecil itu menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Rupanya Dewi yang memanggilnya. Teman sebangkunya itu terlihat tersengal-sengal seperti habis berlari keliling lapangan sekolah sebanyak sepuluh kali.“Putri! Aku panggil kok nggak jawab? Kamu sakit?”Putri menggeleng.“Apa kamu sudah sarapan?” Dewi seperti peramal, bisa tahu kalau hari ini dia memang belum sarapan. Mendengar Dewi bertanya seperti itu membuat perut bocah kelas lima SD itu langsung keroncongan. Diam-diam Putri memegang perutnya. Tadi sebelum berangkat sekolah, dia hanya minum teh tawar hangat saja. Sudah tiga hari ini sang Ibu terbaring lemah di ranjang. Tubuhnya lemas sekali, akibat pertengkaran dengan sang suami. Keesokan harinya tubuh Riyanti demam sehingga tidak bisa berjualan. Sedangkan Hendra, tidak pulang ke rumah sama sekali.“Hey! Pagi-pagi kok melamun?” Tepukan pelan di pundak Putri membuatnya sadar dari lamunan. “Eh, nggak.” Putri menggeleng samar.“Nah, kebetulan aku juga belum sarapan.
“Kamu tega, Mas! Tega!”“Apa? Kamu mau apa? Hah!”“Jahat kamu, Mas! Ternyata omongan orang itu bener, kamu berani selingkuh terang-terangan di depan banyak orang tanpa mikirin perasaan aku.”Hendra tersenyum sinis melihat Riyanti menangis terisak. Malam ini rumah Riyanti heboh karena pertengkaran mereka. Riyanti marah karena mengetahui perselingkuhan Hendra tadi siang di rumah makan Padang. Bukannya merasa bersalah karena ketahuan, justru Hendra bersikap biasa saja. Hendra sibuk bermain ponsel sambil tersenyum tidak jelas. Hal itu membuat Riyanti tidak habis pikir dengan suaminya itu.“Peduli amat sama omongan orang. Lagian kenapa sih kamu rempong banget!”“Aku? Kamu bilang aku rempong? Aku ini istri kamu, Mas! Wajar kalo aku kesel sama kamu!”Prang!!!Gelas aluminium di atas meja seketika terbang dan jatuh di lantai. Membuat Riyanti terlonjak kaget sampai menutup telinganya.Di dalam kamar, Putri mendengar pertengkaran orang tuanya. Gadis mungil itu meringkuk di pojok kamar, memeluk
Riyanti sangat bersyukur dengan pekerjaan yang dia dapatkan. Pagi berjualan makanan matang lalu sesudahnya mengantar anak tetangga sekolah, kemudian menjadi tukang cuci di rumah orang. Selama pekerjaan itu halal akan Riyanti lakukan demi masa depan Putri.“Mbak Yanti!”“Eh, Retno! Aku pikir siapa. Mau kemana kamu?” tanya Riyanti kepada seorang wanita cantik bernama Retno.“Mau ke rumah Bu Lurah. Katanya lagi ada sembako murah di sana. Kamu mau ikut nggak?” ajak Retno.“Sembako murah? Wah kebetulan sekali sembako di rumah juga menipis. Aku ikut dong!” seru Riyanti.Riyanti bersama dengan temannya itu berjalan bersama menuju rumah Bu Lurah yang sedang mengadakan sembako murah di tengah gempuran harga bahan pokok yang melambung tinggi. Tak hanya mereka saja, ada beberapa ibu-ibu lain ikut membeli sembako murah.Riyanti sangat bersyukur Bu Lurah mengadakan sembako murah. Sekarang dia sedang krisis keuangan. Dulu saat masih kerja di pabrik dia bisa membeli kebutuhan pokok, tentunya sebelum
Suara desis nasi yang ditanak di atas tungku api terdengar bagai alunan suara pagi nan indah, asap putih yang mengepul menambah kehangatan di dapur mungil rumah ini. Riyanti bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan sebelum ayam berkokok. Nasi sudah matang dan air panas sudah dituang ke dalam termos. Aroma lauk dan sayur yang sudah matang sungguh menggugah selera, membuat Putri terbangun dari tidurnya.“Eh, anak Ibu yang cantik sudah bangun? Kamu kebangung karena kebrisikan ya?”“Ibu lagi apa? Kok pagi-pagi sudah di dapur?” tanya Putri sambil menggosok kelopak matanya yang sulit terbuka karena masih mengantuk.“Ibu lagi masak lauk dan sayur mateng buat di jual keliling komplek depan sana, Cantik. Kamu mau mandi dulu atau makan dulu? Biar Ibu siapin.”Putri menggeleng pelan. “Nanti saja, Bu. Putri bisa nyiapin sendiri.”Riyanti tersenyum seraya membelai putri semata wayangnya penuh kasih sayang. Kemudian, kembali menata sayur dan lauk matang yang sudah dikemas dalam plastik ke keranjang.