Setelah bertemu dan mengobrol sejenak dengan Nina, Riyanti berjalan menuju kios sayur-sayuran. Hari ini sayur mayur yang dijajakan pedagang sangat segar. Riyanti tergiur untuk membeli seikat bayam yang nantinya akan ia masak sayur bening kesukaan Putri. Saat Riyanti hendak menghampiri pedagang sayur langganannya, tanpa sengaja dia mendengar selentingan orang-orang yang sedang berkerumun membicarakan seseorang. Karena penasaran, Riyanti melangkah mendekati kerumunan orang itu.
“Eh, masa? Hendra begitu?”
“Enak dong lagi banyak duit dia.”
Semakin mendekat makin jelas terdengar bahwa orang-orang itu sedang membicarakan suaminya.
“Dapat duit darimana dia?”
“Yang jelas dia pasti bakalan berjudi lagi, trus seneng-seneng lagi sama Lia. Si janda muda pelakornya itu.”
Jantung Riyanti bagai dihantam batu sebesar gunung mendengar orang-orang itu membicarakan suaminya. Riyanti seakan tidak percaya dengan apa yang mereka katakan. Baginya tidak mungkin Hendra melakukan itu, dia sudah berjanji pada dirinya bahwa sertifikat itu untuk modal dagang sayur kelilingnya.
“Maaf, maksud ibu-ibu ini apa, ya?” Riyanti tiba-tiba muncul dari balik kerumunan itu.
Lantas, para orang-orang yang didominasi kaum emak-emak itu langsung membubarkan diri begitu terdengar suara orang yang mereka bicarakan.
“Eh, Mbak Yanti. Bikin kaget saja,” ucap salah satu dari mereka kikuk. Riyanti tersenyum tipis melihat reaksi dari mereka.
“Nggak ada apa-apa, kok.”
“Iya, Mbak. Kita nggak bahas siapa-siapa, kok. Ya, kan Bu?” timpal yang lainnya lagi sambil menyikut teman di sebelahnya. Wajah mereka seperti orang yang ketahuan maling.
“Kalo nggak bahas siapa-siapa kenapa kaget pas saya samperin gini?” Riyanti menarik napas sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya, “Saya denger kok, apa yang kalian omongin tentang Mas Hendra. Saya minta Ibu-Ibu semua, jangan ngomong yang enggak-enggak tentang Mas Hendra.”
Semua saling menoleh satu sama lain. Raut wajah mereka seolah menganggap remeh perkataan Riyanti. Hingga akhirnya, salah satu dari mereka mulai bersuara.
“Ya ampun, Mbak Yanti. Semua orang sudah tahu bagaimana kelakuan suami kamu itu. Ada duit sedikit foya-foya, judi, mabuk, dan yang lebih parah lagi suami kamu itu sering habisin waktu sama cewek lain.”
“Kami itu sebenarnya kasian sama kamu, Yanti. Kamu itu istri yang baik dan pekerja keras. Tapi, dapat suami kayak gitu. Apalagi yang kami dengar dia lagi banyak duit trus beli barang sekarung. Uang dari mana coba.”
“Makanya, Mbak. Jangan mau diperalat suami. Jangan mentang-mentang dia anak satu-satunya juragan sembako tapi mau aja disuruh kerja.”
Sindiran mereka membuat hati Riyanti teriris. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya memendam rasa sakit. Lebih baik dia pergi dari tempat itu daripada harus mendengar lagi kata-kata yang lebih sakit dari ini.
***
“Wah, gelang baru nih, Bu!” ledek seorang Ibu paruh baya yang baru saja masuk ke dalam toko sembako.
“Iya. Wong dari tadi itu diliatin terus loh. Sampe-sampe nggak sadar ada orang belanja,” celetuk yang lain sambil tersenyum.
Orang yang mereka bicarakan tampak masih sibuk memperhatikan perhiasan emas yang melingkar di pergelangan tangan kanan dan kirinya sambil duduk di depan meja kasir. Bagai toko emas berjalan, berbagai perhiasan emas mulai dari cincin, kalung, gelang, dan anting menghiasi tubuh wanita paruh baya itu.
Sementara karyawannya tampak sibuk mengangkat beberapa barang, ada juga yang sedang menurunkan berkarung-karung beras dari truk yang baru saja tiba.
“Gimana Bu Atmo nggak senang kalo yang ngasih gelang emas itu anak tunggalnya sendiri yang ganteng itu.”
“Lho lho lho, tunggu Bu Darsim. Maksudmu? Hendra?”
“Ya iyalah Hendra anak kesayangan aku, siapa lagi?” kata wanita paruh baya dengan dandanan yang mencolok itu, “tadi dia datang ngasih aku gelang ini.”
“Wah, lagi dapat rejeki nomplok ya? Soalnya yang kudengar istrinya itu cuma kerja di pabrik,” sindir wanita di sebelah Bu Darsim.
“Yah, aku memang dari awal tidak suka dengan perjodohan Hendra dan Riyanti. Tapi, karena Nenek tua itu yang menjodohkan mau gimana lagi? Lagi pula, yang masih mau kerja itu kan Riyanti sendiri.”
Kedua wanita itu saling melempar pandang dan tersenyum kecut mendengar jawaban dari pemilik toko sembako itu tidak sesuai dengan ekspektasinya. Lantas, mereka berdua langsung meletakkan beberapa barang belanjaan di depan Bu Atmo.
“Kalian belanja segini? Tumben? Lagi bokek, ya?” sindir Bu Atmo sambil memasukkan belanjaan itu ke dalam kantong plastik.
“Bukan bokek, Bu Atmo. Lagi ngirit, sekarang itu tanggal tua dan suami kita belum gajian. Bu Atmo kan enak ada pemasukan tiap hari.”
“Bener, mana sekarang enak si Hendra dapat modal sendiri buat dagang.”
“Bener Bu Darsim. Enak bener jadi Bu Atmo, ya?” Bu Atmo tersenyum saja mendengar mereka menyanjung dirinya.
Bu Atmo adalah orang yang haus pujian senang mendengar mereka menyanjung dirinya. Maklum saja, di pasar ini Bu Atmo terkenal dengan juragan sembako yang paling sukses. Tokonya saja besar dan karyawan yang bekerja padanya juga banyak. Masalah harga memang jauh lebih murah dari toko sembako lain karena Bu Atmo bekerja sama langsung dengan supplier besar.
Hanya saja, banyak orang yang tidak suka dengan sifat Ibu dari Hendra. Banyak yang menilai bahwa Bu Atmo orang yang sombong dan keras kepala. Suka merendahkan orang yang jauh di bawah dirinya.
Perjodohan Hendra dan Riyanti adalah keputusan yang sangat disesalkan. Kalau bukan karena Nenek Riyanti yang menjodohkan mereka, Bu Atmo pasti akan mencarikan gadis yang jauh lebih cantik dan kaya.
Hari ini suasana hati Bu Atmo sedang gembira, karena anak semata wayangnya datang memberinya sebuah gelang emas. Hendra memang anak emas Bu Atmo. Apa saja yang Hendra minta pasti akan Bu Atmo berikan. Karena itulah Hendra tumbuh menjadi anak yang manja. Setelah lulus sekolah SMA pun dia tidak memilih bekerja atau kuliah. Hendra memilih meneruskan membuka cabang toko sembako ibunya walau berujung bangkrut karena tidak bisa mengatur keuangan.
“Assalamu’alaikum, Bu.”
“Waalaikum salam. Oh, kamu rupanya. Ada apa?” tanya Bu Atmo jutek saat melihat sang menantu datang.
“Maaf mengganggu, Bu. Yanti lagi nyari Mas Hendra, Sejak tadi pagi Mas Hendra belum pulang,” jawab Riyanti.
“Lho, kamu ini gimana? Sebagai istri seharusnya kamu tahu kemana suami kamu pergi. Malah nanya kesini, aneh.”
Riyanti hanya bisa menelan ludah mendengar respon dari Ibu Mertuanya. Keputusannya untuk datang ke toko sembako mertuanya adalah keputusan yang salah. Akan tetapi, kalau saja dia tidak datang ke tempat ini mungkin dia tidak akan tahu kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Iya, Bu. Maaf kalau Yanti datang di waktu yang tidak tepat. Karena sejak tadi pagi Mas Hendra pergi membawa sertifikat rumah peninggalan Nenek Buyut. Yanti khawatir kenapa-kenapa sama Mas Hendra.”
Bu Atmo sedikit terkejut mendengar Riyanti mengatakan bahwa Hendra membawa sertifikat rumah milik menantunya itu. Namun Bu Atmo pintar menyembunyikan ekspresinya.
“Kamu pikir Hendra bawa lari sertifikat gubuk reyotmu itu? Malah sertifikat itu tidak ada harganya. Sudah! Kamu pulang saja!”
“Baik, Bu. Assalamu’alaikum.”
Dengan tangan kosong Riyanti melangkah pulang kembali ke rumahnya. Dia tidak tahu harus kemana untuk mencari Hendra yang tak nampak batang hidungnya itu. Saat dia hendak menyebrang, seseorang menarik tangannya dengan sedikit kasar, membuat Riyanti terkejut.
“Mbak? Ada apa?”
“Kamu harus ke pabrik sekarang!” Wanita itu mengajak Riyanti sedikit memaksa, alis Riyanti mengernyit bingung.
“Kenapa? Ada apa?”
“Pabrik, Yan! Pabrik!”
***
“Sepuluh juta? Dari mana aku bisa dapetin uang segitu?” keluhnya sendiri.Riyanti sedang duduk di pohon mangga setelah mengantar anak majikannya sekolah. Kejadian tadi benar-benar membuatnya semakin pusing. Hendra benar-benar tidak tahu diri, pergi meninggalkan hutang sebanyak itu.Waktu masih pukul jam sebelas, tapi matahari terasa begitu membakar. Mungkin sudah memasuki musim kemarau. Keringat mengucur deras membasahi punggungnya. Tukang es teh di depan sana sungguh menggodanya. Namun, dia sama sekali tidak memegang uang. Terpaksa dia harus membasahi kerongkongan dengan air liurnya.“Yanti? Kamu Yanti, kan?” Riyanti menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri dihadapannya. Riyanti tidak bisa melihat jelas wajah pria itu karena silau sinar matahari, ditambah kondisinya yang belum pulih betul.“Siapa ya?” tanya Riyanti lirih.“Masa nggak kenal saya?”Riyanti mengernyit. “Emang siapa, ya?”Pria itu merubah posisi duduk di sebelah Riyanti. Wanita itu refleks bergeser.“Yogi. Kamu lupa
Asap putih mengepul dan memenuhi seluruh penjuru dapur. Pagi-pagi sekali Riyanti bangun untuk membuat sayur dan lauk matang. Tubuh kurusnya masih terasa lunglai, wajahnya masih sebenarnya dia belum pulih betul, tapi hidup harus berjalan. Tidak selamanya dia harus berdiam di kasur saja.Hampir seminggu Hendra tak kunjung pulang. Riyanti tahu bahwa sang suami pasti bersama wanita penggoda itu. Riyanti sudah mati rasa, kejadian malam itu masih dia ingat betul. Bagaimana Hendra menamparnya dengan begitu keras hingga membekas tidak hanya di pipi, melainkan di hati.“Lihat dirimu! Apa yang bisa dibanggakan?!”Riyanti mengambil seember air dari kamar mandi. Saat melintas di depan pintu kamar mandi, dia melihat pantulan dirinya di cermin. Pipi yang tirus, kelopak mata yang menghitam, dan tubuh yang kurus. Sekejap dia mendesah pasrah. Pantas saja kalau Mas Hendra bilang kayak gitu, batinnya.Adzan subuh berkumandang, semua sayur dan lauk sudah matang. Riyanti menatanya dengan rapi lalu mulai m
“Putri!”Gadis kecil itu menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Rupanya Dewi yang memanggilnya. Teman sebangkunya itu terlihat tersengal-sengal seperti habis berlari keliling lapangan sekolah sebanyak sepuluh kali.“Putri! Aku panggil kok nggak jawab? Kamu sakit?”Putri menggeleng.“Apa kamu sudah sarapan?” Dewi seperti peramal, bisa tahu kalau hari ini dia memang belum sarapan. Mendengar Dewi bertanya seperti itu membuat perut bocah kelas lima SD itu langsung keroncongan. Diam-diam Putri memegang perutnya. Tadi sebelum berangkat sekolah, dia hanya minum teh tawar hangat saja. Sudah tiga hari ini sang Ibu terbaring lemah di ranjang. Tubuhnya lemas sekali, akibat pertengkaran dengan sang suami. Keesokan harinya tubuh Riyanti demam sehingga tidak bisa berjualan. Sedangkan Hendra, tidak pulang ke rumah sama sekali.“Hey! Pagi-pagi kok melamun?” Tepukan pelan di pundak Putri membuatnya sadar dari lamunan. “Eh, nggak.” Putri menggeleng samar.“Nah, kebetulan aku juga belum sarapan.
“Kamu tega, Mas! Tega!”“Apa? Kamu mau apa? Hah!”“Jahat kamu, Mas! Ternyata omongan orang itu bener, kamu berani selingkuh terang-terangan di depan banyak orang tanpa mikirin perasaan aku.”Hendra tersenyum sinis melihat Riyanti menangis terisak. Malam ini rumah Riyanti heboh karena pertengkaran mereka. Riyanti marah karena mengetahui perselingkuhan Hendra tadi siang di rumah makan Padang. Bukannya merasa bersalah karena ketahuan, justru Hendra bersikap biasa saja. Hendra sibuk bermain ponsel sambil tersenyum tidak jelas. Hal itu membuat Riyanti tidak habis pikir dengan suaminya itu.“Peduli amat sama omongan orang. Lagian kenapa sih kamu rempong banget!”“Aku? Kamu bilang aku rempong? Aku ini istri kamu, Mas! Wajar kalo aku kesel sama kamu!”Prang!!!Gelas aluminium di atas meja seketika terbang dan jatuh di lantai. Membuat Riyanti terlonjak kaget sampai menutup telinganya.Di dalam kamar, Putri mendengar pertengkaran orang tuanya. Gadis mungil itu meringkuk di pojok kamar, memeluk
Riyanti sangat bersyukur dengan pekerjaan yang dia dapatkan. Pagi berjualan makanan matang lalu sesudahnya mengantar anak tetangga sekolah, kemudian menjadi tukang cuci di rumah orang. Selama pekerjaan itu halal akan Riyanti lakukan demi masa depan Putri.“Mbak Yanti!”“Eh, Retno! Aku pikir siapa. Mau kemana kamu?” tanya Riyanti kepada seorang wanita cantik bernama Retno.“Mau ke rumah Bu Lurah. Katanya lagi ada sembako murah di sana. Kamu mau ikut nggak?” ajak Retno.“Sembako murah? Wah kebetulan sekali sembako di rumah juga menipis. Aku ikut dong!” seru Riyanti.Riyanti bersama dengan temannya itu berjalan bersama menuju rumah Bu Lurah yang sedang mengadakan sembako murah di tengah gempuran harga bahan pokok yang melambung tinggi. Tak hanya mereka saja, ada beberapa ibu-ibu lain ikut membeli sembako murah.Riyanti sangat bersyukur Bu Lurah mengadakan sembako murah. Sekarang dia sedang krisis keuangan. Dulu saat masih kerja di pabrik dia bisa membeli kebutuhan pokok, tentunya sebelum
Suara desis nasi yang ditanak di atas tungku api terdengar bagai alunan suara pagi nan indah, asap putih yang mengepul menambah kehangatan di dapur mungil rumah ini. Riyanti bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan sebelum ayam berkokok. Nasi sudah matang dan air panas sudah dituang ke dalam termos. Aroma lauk dan sayur yang sudah matang sungguh menggugah selera, membuat Putri terbangun dari tidurnya.“Eh, anak Ibu yang cantik sudah bangun? Kamu kebangung karena kebrisikan ya?”“Ibu lagi apa? Kok pagi-pagi sudah di dapur?” tanya Putri sambil menggosok kelopak matanya yang sulit terbuka karena masih mengantuk.“Ibu lagi masak lauk dan sayur mateng buat di jual keliling komplek depan sana, Cantik. Kamu mau mandi dulu atau makan dulu? Biar Ibu siapin.”Putri menggeleng pelan. “Nanti saja, Bu. Putri bisa nyiapin sendiri.”Riyanti tersenyum seraya membelai putri semata wayangnya penuh kasih sayang. Kemudian, kembali menata sayur dan lauk matang yang sudah dikemas dalam plastik ke keranjang.