Share

[ Roses ] ; 03

“Cinta akan jatuh pada ruang dan waktu yang tepat.”

“Taco masih marah ya sama Kak Miko!”

Masih dengan piyama polkadotnya, Taco memberengut kesal pada kakaknya. Kemarin ia mati bosan menunggu kakaknya untuk menjemput setelah kegiatan OSIS-nya. Bukan permintaan maaf yang Taco dapatkan, malah cengiran.

Selama perjalanan dari sekolah Taco ke rumah, wajah Miko dihiasi bintang-bintang. Merasa ada yang salah dengan perangai sang kakak, Taco menempelkan punggung tangannya ke dahi sang kakak yang sibuk mengemudi. 

Miko malah kembali tersenyum tidak jelas. Taco bergidik ngeri melihatnya.

“Tahu enggak sih kak, gara-gara kakak telat jemput, Taco digodain sama kakak kelas mesum sialan! Taco sebel banget liat wajahnya. Mesum banget!”

“Kakak minta maaf, dek. Tapi kamu enggak diapa-apain kan? Kak Miko traktir makan deh, terserah apa aja!” 

“Untungnya enggak dipegang-pegang. Cuma ya tetep aja itu udah masuk pelecehan seksual. Bener nih sepuasnya?”

“Sepuasnya.”

“Oke deal!”

Taco mencium gemas kedua pipi kakaknya yang elastis. Mereka kakak adik yang tak jarang terlibat dalam sebuah pertengkaran konyol, tetapi mereka berusaha saling menjaga. Terlebih lagi  papa mereka yang telah meninggal saat Taco masih SD.

[...]

Permen warna-warni dengan berbagai rasa menyambut kedatangan Rosea. Seorang ibu-ibu bertubuh tambun menyambutnya. Rosea melemparkan senyum khasnya pada ibu pemilik toko.

Tangannya memilah memilih permen apa saja yang ingin ia beli. Telunjuk Rosea mengetuk-ngetuk etalase permen mengingat-ingat apa saja yang anak kecil biasanya suka. 

Rosea memutuskan untuk membeli beberapa permen jeli, lollipop, marshmallow, dan permen kapas. Rosea juga membeli sekotak bola-bola cokelat kesukaannya. Setelah membayar, ia memesan ojek dan pergi ke Panti Asuhan Cahaya.

“Kak, boleh antar aku enggak?” Seorang anak kecil berwajah lusuh menghampiri Rosea yang saat itu masih berumur belasan awal. Rosea merasa bingung, pasalnya ia sedang menunggu ayahnya datang menjemput.

“Kak, tolong ya....” Anak kecil perempuan itu sudah menangis. Rosea makin bingung harus berbuat apa.

Rosea sedikit membungkuk, mensejajarkan dirinya dengan gadis kecil itu. “Emang rumah adek dimana?” Rosea mengelus lembut surainya. Ia menjadi teringat masa kecilnya yang hobi sekali menangis.

“Panti Asuhan Cahaya.”

Sekarang gadis yang Rosea tolong beberapa tahun lalu berdiri beberapa meter dari hadapannya, berlari menghambur memeluk erat malaikat penolongnya.

“Halo Tiara, Tiara apa kabar?” Masih dalam posisi berpelukan, Rosea mencium puncak kepala gadis kecil yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. 

Melepas pelukannya dengan Tiara. Rosea berjalan mencari ibu panti yang menjaga rumah beserta anak-anak. “Eh nak Rosea datang. Sehat, Ros?” 

“Sehat, bu. Gimana keadaan ibu?” Bu Salma mengangguk, lantas mengajak Rosea untuk bertemu anak pantai yang lain di taman belakang.

Rosea bermain sebentar dan membagikan permen yang ia beli tadi. Ia berutang banyak pada Bu Salma. Bu Salma dan anak-anak panti mengisi kesepian dalam hati Rosea.

Di kala semua orang menjauh, Bu Salma dan Tiara ada untuk memeluknya. Di saat dia sangat ketakutan, Bu Salma dan Tiara meyakinkan Rosea bahwa semua akan baik-baik saja. Mereka meredam kesedihan walaupun tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Rosea.

Hanya sesederhana melihat senyum polos Tiara, Rosea selalu percaya dunia tak seburuk yang ada di kepalanya.

[...]

Rumah berlantai tiga milik keluarga Lesmana siang ini dipenuhi perjaka-perjaka berperut kosong. Sahabat-sahabat Julian mengekor mobil Julian sepulang kuliah. Ini ide Dinan. Katanya lumayan bisa makan siang di rumah orang kaya.

Papa Reno menyambut kedatangan anak-anak ganteng ‘slengean’ itu dengan tangan terbuka. Papa Julian itu sangat senang ketika Dinan, Hanzel, dan Royan berkunjung ke rumah. Rumah terasa lebih hidup dengan tawa mereka. Walau ia harus merogoh kantong dalam untuk membelikan mereka makanan.

What’s up papa ganteng…” Dinan memeluk Papa Reno dengan akrabnya. Hanzel dan Royan yang berada di belakangnya datang dengan senyum penuh tipu muslihat.

“Papa ganteng, kita lagi laper nih. Kasihan udah tiga hari enggak makan.” Hanzel berujar semelas mungkin. Semenjak ia memasuki ruang tamu rumah Julian ia sudah mencium harum masakan, semakin menambah keinginannya untuk segera makan.

“Ayo-ayo makan bareng. Mamanya Julian lagi masak. Kalian ada pesan mau makan apa?” Papa Reno menyebutkan menu makanan dan cemilan yang ia punya. Ketiga sahabat anaknya itu menggunakan keadaan sebaik mungkin dengan mengatakan semuanya.

Papa Reno, Mama Hesita, dan ketiga sahabat Julian sudah berada di ruang makan. Masih menunggu Julian yang masih membersihkan diri. Karena Julian tak kunjung turun, Dinan naik ke lantai 2 memanggil Julian.

Julian yang sedang mengeringkan rambutnya terkejut kala pintu kamarnya terbuka. Tawa usil Dinan menyapanya dari balik pintu kamar. “Lu ngapain di sini?”

“Ya mau ketemu bokap ganteng. Ayo turun udah laper nih gua nungguin lu!”

“Salah siapa lu numpang makan di rumah gua?”

“Ah tai lu!”

[...]

Keadaan hati Rosea terasa sangat baik setelah berkunjung dari panti asuhan. Senyum-senyum anak di sana bagai sengatan tenaga untuknya. Dari panti asuhan, Rosea pergi ke kampus untuk mengikuti kegiatan UKM tari modern. 

Di antara anak UKM tari dan basket, Rosea terkenal dengan keahliannya meliuk-liukkan tubuh. Ia bisa menari dengan berbagai jenis. Mulai dari tari tradisional hingga modern.

Rosea memang suka mencoba hal baru. Selain berguna untuk olahraga, menari dapat mengeluarkan emosi yang hanya bisa ia pendam dalam hati. Rosea juga berkali-kali mendapatkan prestasi dalam kejuaraan menari di tingkat kota hingga nasional.

"Hai, Mbak Aletha!" Rosea yang baru datang matanya menangkap Aletha yang sibuk dengan tabletnya di ujung kafe. 

"Halo, Ros! Habis ikut UKM? Keringetan gitu?" Tunjuk Aletha ke arah kening Rosea.

"Hehehe iya mbak. Mbak Aletha lagi ngapain, serius banget wajahnya?" Rosea duduk di sebelah bosnya. Kebiasaan Rosea yang suka sekali dekat-dekat dengan Aletha sejak mereka saling terbuka satu sama lain. Selain Hana, Aletha tahu masalah serta segala trauma Rosea. Bosnya itu sudah seperti kakaknya yang super duper bawel, namun pengertian.

"Ini bikin kontrak buat Julian." Rosea melirik sekilas. Banyak sekali kata-kata yang tak ia mengerti.

"Ros, tolong hubungin Julian dong besok suruh ke sini buat bahas kontrak!" Rosea melongo. 

"Lho kan nomernya sudah Rosea kasih ke mbak." Rosea bukannya menolak perintah atasan, dia hanya malu untuk menghubungi laki-laki yang membuatnya mimpi indah semalam.

"Lho kan mbak minta tolong?"

Rosea meniup poninya malas. "Iya…"

[...]

"Ini siapa ya?"

Dinan melirik Royan bertanya siapa yang menelepon Julian. Royan yang tidak tahu mengedikkan bahunya. 

"Oh… Ada apa ya?"

Hanzel yang sedari tadi sibuk menyemili jeli milik Julian ikut penasaran. Ia mendekatkan telinganya ke Julian. 

Julian yang merasa para sahabatnya sedang menguping percakapannya, menoleh ke belakang, dan mendapati Hanzel di belakang punggungnya. Hampir saja Julian mencium pipi Hanzel. Untung saja tidak kena. Ia akan dianggap pria macam apa yang mencium pria lain. Idih! 

Kembali fokus dengan seseorang di ujung sana. Julian mendengarkan dengan saksama. Sesekali mengangguk selepas mendengarkan informasi yang ia dengar. 

"Iya, terima kasih informasinya."

Kembali duduk bersama teman-temannya yang pura-pura tak terjadi apa-apa barusan. "Masalah kerjaan."

Dinan menoleh ke dua sahabatnya. Tiba-tiba banget tuh anak?

"Sebelum lu pada nanyain yang nelpon gua siapa, gua bilang aja," tutur Julian dengan nada menyindir.

"Enggak ada yang nanya tuh!" ucap Hanzel berpura-pura tak acuh.

Omongan Hanzel mengundang Julian untuk melemparkan bantal ke arah wajahnya. Hanzel tertawa lepas melihat Julian yang sedang kesal.

Rahasia yang hanya mereka ketahui, Julian jika sedang kesal wajahnya sangat menggemaskan. Namun, demi citranya di hadapan publik, Julian tak pernah menampakkan ekspresi seperti itu, kecuali di hadapan sahabat, Serena, dan kedua orang tuanya saja. Bagi Julian lingkungan luar sudah menjadi ruang formal baginya. Ada nama baik keluarga yang harus ia jaga.

"Kalo cewek lain juga gapapa kali. Kalo Serena bisa selingkuh, masa lu enggak? Ya enggak, Nan?"

Dinan yang mendapat pelototan dari Julian dan Royan malah menampilkan senyum dua jari. Takut-takut ia menjadi korban kedangkalan berpikir Hanzel, jadi ia lebih memilih diam.

"Buang-buang jauh dah tuh pikiran buat balas dendam ke orang, enggak baik." 

"Dengerin tuh si Royan!" Dinan mencubit perut buncit Hanzel dan mengambil beberapa yupi dari genggamannya.

[...]

Di minggu sore yang sedikit mendung, Rosea mendapat misi khusus dari Aletha. Sebuah tugas negara yang sangat sayang untuk dilewatkan. Ia harus menunggu kedatangan Julian ke kafe dan menemaninya, karena Aletha harus pergi ke tengkuantusiaslak biji kopi terlebih dahulu.

Biasanya rambutnya ia cepol asal, hari ini rambut bergelombang Rosea tergerai bebas. Gadis itu juga memakai jepit bermotif bunga mawar yang eleganㅡyang Rosea beli dengan harga miring di pasar kaget. 

Saat Rosea mematut dirinya di depan cermin, ada gelanyar aneh di dalam hatinya. Debar jantung yang telah lama tak ia rasakan. Sebuah  yang membuncah. Ada keinginan lebih hanya sekedar bertatap muka.

Rosea menjaga kasir dengan bolak-balik merapikan rambutnya, takut-takut Julian datang. Perkara ia mengetahui siapa nama laki-laki itu, sahabatnya yang berkulit lebih gelap memberitahukannya kemarin saat tak sengaja berjumpa di kantin fakultas. Juven Juliansyah Lesmana. Sebuah nama yang indah, yang dengan mudah Rosea hafal di luar kepala.

Bunyi gemerincing bel berbunyi. Mata Rosea secepat kilat menatap ke arah pintu. Benar dugaannya, Julian datang tepat pukul empat.

Rosea berjalan sedikit cepat menghampiri Julian yang celingukan, sampai-sampai tak menyadari ada seorang gadis di depannya.

“Halo! Rosea.” Rosea mengajukan tangannya, berniat untuk bersalaman.

“Hai! Julian.” Satu hal yang paling Rosea hindari sekarang, yaitu pingsan di hadapan Julian. Bagaimana bisa ada seorang laki-laki dengan perawakan sempurna, garis wajah tegas, gaya berpakaiannya mengikuti perkembangan zaman, dan jangan lupakan wanginya yang mampu membius wanita.  

Terus terang Julian tertawa dalam benaknya, ia sudah tahu nama gadis itu berhari-hari yang lalu. Apa dia lupa pernah menuliskan namanya di kertas merah muda yang diberikan pada Julian?

Ya Tuhan, apa Julian ini sebenarnya adalah pangeran berkudah putih? Atau keturunan Kerajaan Inggris?

Rosea mempersilahkan Julian untuk duduk di salah satu kursi. Mengambilkan buku menu dan menawarkan makanan atau minuman yang akan Rosea buatkan. Pilihan Julian jatuh pada cocktail “Sweet Dream” yang menyegarkan dengan bahan utama buah stroberi.

Rosea membuatkan minuman Julian dengan hati-hati dan lebih istimewa. Ia menambahkan ekstra krim di atasnya serta menambah taburan meses warna-warni agar lebih semarak. Setelah selesai, Rosea membawanya dengan perlahan ke meja Julian.

Laki-laki itu sepertinya menikmati alunan lagu yang Rosea sengaja putar lewat speaker kafe. Lagu Ardhito Pramono berjudul ‘Superstar’ dengan tempo yang menggebu memenuhi gendang telinga seisi kafe.

“Ini!”  

Julian tersenyum. Bukan hanya bibirnya, namun juga matanya. Semalam sepulang bekerja, Rosea sempat mencari tahu sebutan apa yang cocok untuk senyum Julian. 

Senyum bulan sabit.

“Makasih ya, Ros.” Rosea mengangguk.

“Oh ya Jul, Mbak Aletha mungkin sampek kafe 5 menitan lagi, maaf ya harus nunggu.”

“Gapapa santai aja. Lu ada kerjaan?” Rosea memutar badannya melihat keadaan sekitar. Hanya ada dua pelanggan dan tak ada tanda-tanda pelanggan datang. Belum ada yang harus ia kerjakan.

Rosea menggeleng.

“Duduk sini aja. Sekalian gua mau tanya-tanya.”

Julian minta aku duduk di sebelahnya? Oke, oke, tenang. Tarik nafas, tahan, hembuskan perlahan… 

“Mau tanya apa?” Rosea memerhatikan bagaimana Julian yang berada di hadapannya dengan tatapan memuja.

“Ini kafe milik Mbak Aletha sendiri kah? Atau Mbak Aletha hanya manajer di sini?” 

“Iya, ini kafe milik Mbak Aletha sendiri.” Pikiran Rosea sedari tadi sangat bising. Opini-opini tentang laki-laki di depannya terdengar saling bersahutan.

“Gua boleh nanya satu hal lagi?” Rosea lagi-lagi mengangguk dengan antusias. Rosea sudah mirip dengan kucing rumahan yang senang diajak bicara pemiliknya.

Dengan senyum yang entahlah tak bisa Rosea terjemahkan, Julian bertanya, “Lu suka lagu-lagunya Ardhito juga?”

[...]

“Makasih ya Julian sudah mau bekerja sama dengan saya.”

“Seharusnya saya mbak yang berterima kasih sudah diberikan kepercayaan sebesar ini.” Julian menampilkan senyum bulat sabitnya.

Rosea yang semenjak tadi mencuri pandang pada Julian dari balik meja kasir merasa seperti pencuri betulan. Bolak-balik tatapannya tertangkap oleh Julian, tetapi Rosea tak merasa kapok dibuatnya.

Aletha yang menyadari gelagat aneh keduanya hanya bisa tersenyum. Aletha senang bisa melihat raut wajah bahagia Rosea yang sedang jatuh cinta. Bukan tanpa alasan, Aletha tahu semua hal yang membuatnya harus semenderita sekarang. Aletha hanya ingin gadis itu kembali menemukan kehidupan dan bahagianya.

Setelah mendiskusikan beberapa hal mengenai kontrak, Julian pamit pulang. Langit sudah menggelap, hujan pun turun lumayan deras. 

Aletha memanggil Rosea, mengatakan bahwa Julian pamit pulang. Rosea menghampiri mereka berdua. Lalu tiba-tiba Aletha meminta Julian untuk mengantar Rosea.

“Julian, boleh enggak mbak minta tolong antarkan Rosea pulang ya. Kasihan kalau pulang jalan kaki, mana hujan lagi. Lagian kafe juga mau saya tutup karena saya mau pergi dengan suami.”

Alis Rosea hampir menyatu saking kagetnya. Tabiat apa yang Aletha ingin lakukan?

Aletha juga sungguh percaya diri, iya jika Julian membawa mobil, jika sama-sama berjalan kaki bagaimana?

“Boleh-boleh mbak. Saya juga bawa mobil. Yuk, Ros!” Rosea makin melongo.

Apa-apaan ini? Rosea menatap Aletha bingung. Yang ditatap malah mengedipkan sebelah matanya. Tidak waras!

[...]

Kecanggungan melingkupi Julian dan Rosea di dalam mobil. Keduanya terdiam setelah adegan drama beberapa waktu lalu. Di mana Julian memakaikan jaketnya ke kepala Rosea agar tak terkena hujan. Mereka lari bersama menuju mobil hitam Julian.

Saat sudah memasuki mobil, mereka tertawa. Berlari di bawah guyuran hujan seperti sebuah penghiburan bagi keduanya. Hiburan bagi hati yang sedang lara dan temaram.

Untuk mengusir kecangguang, Julian menghidupkan radio mobilnya. Kebetulan atau bukan, lagu Ardhito terputar. Kali ini lagu bertajuk ‘Say hello’ yang mereka dengar.

Rosea menoleh ke arah Julian yang nampak menikmati lagunya. Kepalanya mengangguk irama lagu, jarinya mengetuk kemudi secepat ketukan lagu. Ia juga mendengar Julian bersenandung pelan.

“I don’t need to be pagliacci

Cause I’m truly in love and so happy”

Saat keduanya bersamaan bagian tersebut dengan suara yang lumayan keras, mereka saling menatap antusias. Melanjutkan nyanyian dengan suara yang meninggi. Julian dan Rosea menikmati momen itu.

“Say hello! Say Hello! Say hello!” Julian dan Rosea menyanyikan bait terakhir dengan suara yang lantang. Layaknya orang yang sedang mengeluarkan semua amarah yang teredam terlalu lama.

[...]

“Makasih ya, Jul. Maaf banget ngerepotin.” 

“Iya sama-sama. Santai aja, kita bakal jadi rekan kerja.”

“Oke. Sampai jumpa Sabtu depan, Jul!” Rosea melambaikan tangannya, lalu keluar dari mobil Julian.

Rosea berjalan sedikit cepat agar segera masuk ke dalam kamar indekosnya. Ia ingin sekali berteriak sedari tadi. Jantung yang memompa lebih cepat, pupil mata yang membesar, dan nada suara yang meninggi. Rosea benar-benar jatuh cinta.

“AAA…” Rosea membenamkan wajahnya ke bantal. Meredam teriakan bahagianya.

Dering gawai Rosea menginterupsi aktivitas konyolnya. Nama yang sangat ia rindukan muncul di sana. Entah ia harus senang atau bagaimana. Dengan tangan yang bergetar, Rosea mengangkat panggilan tersebut.

“H-halo?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status