Share

[ Roses ] ; 07

“Lukamu akan sembuh. Maka bersabarlah!”

Sudah beberapa hari berlalu semenjak malam itu. Rosea bersyukur saat itu terjadi Hana ada di sampingnya, setidaknya tidak ada hal bodoh yang ia lakukan. Walaupun beberapa hari sejak malam itu ia merasa sangat cemas dan badannya tak enak, ada Hana yang dengan sabar merawatnya. Hana juga menginap beberapa hari, memastikan bahwa Rosea benar-benar kembali stabil.

Rosea senang memiliki Hana sebagai sahabatnya.

“Males banget deh harus latihan bareng sama anak basket. Perasaan selama 2 tahun baru kali ini kayak gini. Huft…” Bela mendengus kesal.

“Ya mau gimana lagi. Sekitar sebulan lagi kita ada lomba. Belum lagi kemaren ada UTS jadi kepotong waktu latihannya, kan?” Rosea mengelus lengan Bela yang tidak suka berita yang Mas Begas, pelatih dance mereka, bawa bahwa latihan dipindahkan ke lapangan basket. Alasannya karena ruang latihan mereka sedang direnovasi.

“Iya sih…,” Bela menjawab lunglai.

Latihan dimulai dengan pemanasan dan lari keliling lapangan basket. Saat putaran terakhir, beberapa laki-laki dengan jersey olahraga datang dengan bola serta tasnya. Anak UKM dance merapat ke bagian kanan lapangan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua UKM tersebut adalah gudang visual mahasiswa Satu Bangsa. Mereka saling melempar senyum, terkecuali Bela yang sebal melihat ada mantan kekasihnya di sana, Angga.

Rosea tak acuh dan kembali meregangkan badannya. UTS kemarin membuat otot-ototnya sangat kaku karena duduk di depan meja belajar berjam-jam. Hingga tanpa sadar ada seseorang yang melambaikan tangan kepadanya.

“Ros! Ros! Dipanggil tuh!”

Dengan malas Rosea menoleh pada Bela yang menepuk-nepuk punggungnya. Ia menyipitkan mata melihat di ujung sana, di antara anak basket lainnya, ada Miko yang melambaikan tangan kepadanya.

Rosea ikut tertawa melihat senyum lebar Miko yang antusias melihat Rosea. Keduanya seperti teman yang sudah lama tidak bersua. Sejujurnya Rosea sangat senang berada di dekat Miko. Pribadi yang hangat dan menyenangkan, ya walaupun sedikit tengil, tetapi membuat Rosea selalu tertawa.

Ada satu hal yang belum pernah Rosea rasakan sebelumnya saat bersama Miko. Perasaan yang sangat lega saat tertawa. Mungkin itu juga karena suara tawa Miko yang menggelegar dan menular. Walau sedikit tengil, yang penting bagi Rosea adalah Miko bukan laki-laki brengsek berotak selangkangan. Meski hanya dugaan sementara, namun naluri Rosea berkata demikian.

Mereka memulai latihan. “Rosea ekspresinya lebih garang lagi!” Tarian yang Rosea dan teman-temannya bawakan kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya yang ceria. Struktur dan aura wajah Rosea yang terlihat seperti gadis tanpa masalah harus menambah sedikit sentuhan jahat agar gerakan tariannya lebih menjiwai.

Tanpa terasa sudah satu setengah jam berlalu mereka berlatih. Anak UKM basket juga telah merampungkan latihannya. Rosea mengemasi barang-barangnya dan bersiap pergi ke kantin sebelum ia akan pergi Kafe Aletha untuk bekerja.

“Hey Ros!” Dengan senyum dan gigi kelinci yang terlihat lucu di mata Rosea, Miko menyapanya.

“Halo Kak Mik! Btw, aku baru tahu Kak Miko anak UKM basket.”

“Padahal gua terkenal banget,” ucap Miko angkuh dengan mengusap dagunya.

“Aih… sombong banget!” Bukannya malah tersinggung, Miko tertawa sangat puas melihat ekspresi Rosea yang sangat menggemaskan.

“Main basket yuk, Ros!” Rosea melihat ke arah jam tangannya, masih ada sekitar satu setengah jam untuknya sebelum berangkat bekerja. Main basket sebentar tidak masalah sepertinya. Sejujurnya Rosea tak pandai olahraga, tetapi bolehlah buat coba belajar main basket.

“Tapi aku enggak bisa. Ajarin dong kak! Tadi aku ngeliat Kak Miko keren banget!”

“Bukannya mau sombong, gua mah emang terlahir keren!”

“Hahaha… iya-iya percaya.”

Lapangan yang sudah sepi dan hanya menyisakan anak UKM yang masih berleha-leha, membuat suara tawa Miko serta Rosea menggema. Miko memulai dengan mengajari Rosea cara yang benar memegang bola basket. Lalu, dilanjutkan dengan teknik-teknik dasar seperti passing, dribbling, dan shooting.

“Gila susah banget ya nge-shoot bola?” ucap Rosea yang mengelap peluh di dahinya.

“Ada cara mudahnya sih sebenernya.”

“Wih gimana tuh kak?” tanya Rosea antusias.

Miko tiba-tiba berjongkok di depannya, “Naik!”

Rosea cengo. Miko mengulang perintahnya, “Naik!”

Sedikit tak yakin, Rosea naik ke pundak Miko dan berjalan ke dekat ring basket.

“Nih, masukin!” Miko memberikan bola basket pada Rosea dan menyuruh memasukkannya ke ring.

“Wah enggak kepikiran kalau bisa nge-shoot kayak gini. Hahaha…” Rosea tertawa lepas dan memasukkan bola ke dalam ring.

“Yeay… Keren banget!”

Mendengar Rosea yang kegirangan membuat Miko menyunggingkan seulas senyum. Trik lama ini membuat gadis yang ia suka tertawa dibuatnya.

[…]

“Aw!”

Hampir saja Rosea tergelincir karena menginjak tali sepatunya sendiri. Untung ada orang yang suka rela menangkapnya. Namun, ada sedikit ketidaknyamanan kala orang tersebut merengkuh pinggangnya. Rosea dengan kesadaran penuh langsung lepas dari pelukan seseorang yang membantunya.

“M-makasih.”

Rosea sibuk membenahi baju dan rambutnya. Rosea juga sibuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia tahu siapa yang menolongnya. Bahkan dari aroma sitrus yang memasuki hidungnya saja, Rosea bisa mengenali siapa dia.

Julian.

“Lain kali hati-hati!” ujar Julian memeringatkan. Laki-laki itu berjongkok dan mengikat tali sepatu Rosea yang terlepas.

“Eh! Eh!” Rosea terkejut bukan main saat Julian tiba-tiba berjongkok di depannya dan merapikan tali sepatunya.

Kala Julian masih mengikat dan Rosea masih dengan keterkejutannya, ada seseorang datang dengan tepukan tangan yang menggema, “OH BAGUS!” Nadanya penuh dengan sindiran.

“Ini alasan kamu mutusin aku Juven Juliansyah Lesmana? Hahaha… Lucu banget sih. Mutusin seorang Serena Lim demi gadis kampung kayak dia.”

Serena berjalan mendekati Rosea, memegang rambut gadis itu perlahan dan sedikit menariknya ke belakang hingga membuat kepala Rosea mendongak. “Rambutnya aja merah gini kayak ayam jago.”

Julian tak habis pikir dengan Serena. Ada maksud apa ia ke kampusnya dan memperlakukan Rosea seperti itu? Dia cemburu?

Jengah dengan celotehan Serena yang mengomentari penampilan Rosea yang seperti gadis kampung, Julian menarik Rosea ke belakangnya. “Lim, please don’t touch my girl!"

W-what? Are you kidding me? Oh Geez! Jangan membual Julian!”

“Saya tidak pernah berbohong apalagi berselingkuh, Serena Lim!” Setelah mengucapkan itu, Julian pergi dengan tangan Rosea yang masih dalam genggamannya.

“Argh!” Serena mencak-mencak seperti orang gila. Ia sukses membuat semua orang menatap aneh dirinya.

[…]

“Ros, gua pesen minum dong haus banget habis ngomong sama nenek lampir! Apa aja deh yang seger.” Rosea terkekeh melihat Julian dengan wajah sebal.

“Okay! Tunggu ya!” Sembari menunggu Julian menyetel ulang gitarnya agar tidak sumbang saat ia pakai nanti.

Julian tersenyum melihat tingkah Rosea. Perempuan itu punya sejuta warna dan tingkah mengejutkan. Terkadang terlihat malu-malu, kadang pula sangat ekspresif. 

“Tara…! Happy Rose sudah jadi!” Rosea membawa segelas minuman hasil racikan rahasianya. 

“Happy Rose?” Julian menatap Rosea yang menaruh segelas minuman berwarna coklat cerah dengan krim putih dan meses berwarna-warni. 

“Iya, nama minumannya Happy Rose. Biar yang minum bisa happy terus,” papar Rosea dengan antusias. 

“Terus kenapa Rose?”

“Ya karena aku yang bikin dong. Hahaha…” Rosea terkekeh geli. 

Julian menaikkan sebelah sudut bibirnya mendapati suara tawa Rosea benar-benar serupa dengan Serena. 

Btw, makasih.” Rosea salah tingkah dikala Julian tersenyum sangat manis menatapnya. 

“Semoga suka ya!” 

Julian mulai mencoba minuman yang disuguhkan Rosea. Julian mencium aroma mawar yang lembut. Bau minuman itu mampu membuat Julian merasa lebih tenang. 

Saat mulai meminumnya, Julian terkejut dengan rasanya. Menurutnya, itu benar-benar enak dan menyegarkan. Ada rasa asam dan manis yang berpadu dengan sempurna. 

Rosea menunggu reaksi Julian dengan jantung berdegup. Apakah rasanya benar-benar enak atau tidak? Waktu Rosea pernah meminta Aletha mencicipi sih katanya enak, tetapi tetap saja ini mendebarkan bagi Rosea. 

“Gimana?”

“Enak.”

“Seriusan?”

“Iya, seriusan enak.”

“Wah…, makasih….. Habisin ya, hehehe,” ucap Rosea kegirangan. 

Gemes. Ungkap Julian dalam hati menatap Rosea yang terlihat begitu bahagia karena pujiannya.

[…]

“Kalian satu jurusan?”

“Oh endak tante, Rosea beda jurusan dengan Julian.”

Orang tua Julian, Reno dan Hesita, sedang mengobrol dengan Rosea setelah gadis itu mengantarkan makanan yang mereka pesan. Dari penuturan anaknya, Rosea sedikit banyak berjasa dan mengantarkan Julian pada pekerjaan impiannya, walaupun hanya menjadi penyanyi di Kafe Aletha.

Seperti sebuah lelucon. Reno dan Hesita yang notabene orang tua Julian tidak pernah ambil pusing anaknya akan menjadi apa di masa depan. Asal Julian bahagia, mereka tak keberatan. Sedangkan Serena? Gadis itu mencoba menyetir semua keputusan hidup Julian.

“Kalau begitu Rosea pamit kembali ya om, tante.”

“Iya, makasih ya nak Ros.” Rosea tersenyum manis menanggapi kedua orang tua Julian.

Rosea tahu mengapa Julian begitu tampan. Om Reno terlihat sangat menawan walaupun usianya hampir menyentuh kepala lima. Rahang tegas dan tatapannya tajam, namun melembut ketika berbicara.

Lagu ‘Painkiller’ milik Ruel dibawakan Julian dengan sangat apik. Dari senyum serta ekspresi Reno dan Hesita, mereka nampak bangga melihat anaknya. Sejujurnya mereka dulu sangat kaget dengan keputusan Julian untuk masuk jurusan bisnis, alih-alih jurusan seni yang anaknya inginkan sejak kecil.

“Cause you’re my painkiller

When my brain gets bitter

You keep me close

When I’ve been miserable

And it takes forever

To let my brain get better

You keep me close”

Ini hanya saja rasa percaya diri Rosea saja atau memang benar saat menyanyikan bait itu Julian senyum ke arahnya. Rosea menggelengkan kepalanya, mengusir hal-hal yang dapat merusak dirinya karena ekspektasi yang terlalu tinggi. Yah… walaupun jika benar adanya, ia akan sangat senang.

Rosea bertepuk tangan menyambut Julian yang menghampirinya.

“Ih Julian keren banget, seriusan!” 

“Oh ya? Tapi emang keren sih!” Julian memasang wajah sombongnya.

“Lah malah jadi sombong! Hu… Dislike… Dislike...” Rosea mengacungkan jempolnya ke bawah.

“Lu selesai jaga jam berapa, Ros?” tanya Julian yang telah duduk di kursi paling dekat dengan meja kasir.

“5 menit lagi, setelah itu bersihin kafe, terus pulang. Kenapa emang?”

“Habis ini lu ada acara? Atau mau kemana gitu?”

“Aih… Malah balik tanya. Enggak ada sih. Ada apa sih emangnya?” Mata Rosea menyelidik memerhatikan Julian yang memasang wajah datar.

“Mau pergi enggak? Mumpung malam minggu,” tawar Julian dengan sebelah alis dan sudur bibirnya terangkat. Ia terlihat seperti kasanova sekarang.

“Kemana? Ngapain? Kayak orang pacaran aja.”

Maybe, soon to be pacar?”

“Ngaco!” Rosea yang sedang menata kursi kafe memukul pundak Julian. Yang dipukul malah tertawa menanggapi. “Oh ya tadi orang tua kamu pulang duluan, titip pesen buat kamu maaf enggak bisa ngeliat sampek akhir karena papa kamu mau nonton Juventus tanding.”

“Hahaha Papa selalu deh. Mau enggak nih, Ros?”

“Boleh deh boleh!” Rosea berseru antusias.

Julian tersenyum getir. Rosea benar-benar mengingatkannya akan Serena.

[…]

Selepas semua pekerjaannya usai, Rosea dan Julian pergi. Julian tadi sempat bertanya tempat mana yang enak untuk didatangi. Gadis itu dengan semangatnya mengusulkan seblak taman kota.

Sembari memakai sabuk pengamannya, Julian bertanya pada Rosea. “Beli seblak di mana, Ser?”

Hah? Ser? Ini kupingku yang rusak apa gimana? Alisnya mengerut, Rosea lalu menatap heran Julian. 

“Hah? Kenapa natap gua gitu?” Julian melihat wajah heran Rosea. 

“Oh gaapa kok. Hm... Seblak yang belakang taman kota aja, tahu enggak? “ Rosea bertanya dengan antusias. 

“Enggak.”

“Seriusan enggak tahu? Padahal itu enak banget, lho. Murah banget juga. Aku jamin pasti suka!”

“Kalo gua enggak suka?”

“Ih pasti suka…!”

“Yaudah deh, ayo jalan!”

“Let’s go!” Rosea berseru senang. Julian hanya bisa geleng-geleng kepala, melihat tingkah Rosea yang sangat antusias menjemput seblak taman kota. 

Gemes. Thanks for making my day, Ros. Tangan Julian sudah tak tahan lagi untuk mengacak rambut Rosea.

Yang diacak rambut, yang berantakan hati Rosea.

[…]

“Kamu mau yang seblak biasa, seblak sosis, seblak ceker, atau seblak komplit?” 

Kini mereka sudah di depan warung seblak taman kota dan memesan.

“Yang paling enak apa?” Jujur, baru kali ini Julian makan seblak. 

“Jelas yang seblak komplit.” Rosea mengucapkan dengan penuh keyakinan. 

“Okay deh itu aja.”

“Pak, seblak komplit dua ya. Eh, Jul kamu level berapa?” Rosea menoleh pada Julian yang ada di belakangnya.

“Yang paling pedes aja gapapa.”

“Level 5 dua porsi ya, pak.”

Setelah memesan minuman serta tambahan cemilan lainnya, Julian yang mendengar total pembayaran, langsung mengambil dompet yang berada di saku celananya. Julian tadi menjanjikan untuk mentraktir Rosea sebagai tanda terima kasih karena mau ia ajak pergi.

“Oh ya mbak, ini pacarnya ya? Biasanya kan kesini sendiri.” Pedagang seblak yang biasa dipanggil Pak Heru itu menunjuk Julian yang berada di samping Rosea.

“Hahaha enggak pak, temen kampus.” Rosea dan Julian tertawa kecil menanggapi Pak Heru.

“Sebelum pacaran juga temenan, mbak. Hahaha. Ini kembaliannya ya, mas.”

“Terima kasih pak, anter ke meja biasanya aja ya!” pinta Rosea menunjuk salah satu meja favoritnya.

[…]

Warung seblak Pak Heru lumayan ramai karena juga sedang malam minggu.

“Lu sesering itu ya makan seblak di sini?”

“Ya lumayan. Buat ngelepas stress kuliah, tahu sendiri kan tugas kuliah banyaknya kayak apa.” 

“Cerita.”

“Ha?” Rosea mengerjapkan matanya perlahan. Julian tersenyum tipis memerhatikan bulu mata lentik Rosea yang bergerak perlahan.

“Kalau ada apa-apa cerita aja, Ros. Kata mama, kalau ada masalah harus dibagi, seenggaknya ngurangin beban pikiran.” Seperti angin segar, Rosea terasa seperti perempuan yang diperhatikan pacarnya. Wajahnya merona. 

Dengan malu-malu Rosea menimpali, “Kamu juga.”

Julian menggoda Rosea. Alisnya terangkat. “Hm? Juga apa?”

“Ya… Cerita kalo ada yang bebanin pikiran. Cerita ke mama kamu atau… temen gitu?”

“Iya, gua bakal cerita ke lu.” Rosea membuka mulutnya tak paham. Ia menunjuk dirinya sendiri meyakinkan pernyataan Julian.

“Kan lu temen gua.”

Pundak Rosea turun, kecewa akan apa yang keluar dari mulut Julian. Ya bagaimanapun juga mereka belum lama kenal dan memang tidak ada hubungan selain teman kampus serta rekan kerja.

Alih-alih meneruskan sedihnya karena hanya dianggap teman, Rosea tersenyum teduh. Julian ikut tersenyum dibuainya. Rosea bersorak senang dalam hati ketika melihat Julian tersenyum, karena matanya akan melengkung seperti bulan sabit. Terlihat sangat indah. Tanpa disadari keduanya, sebenarnya mereka saling mengagumi senyum satu sama lain.

Yang menjadi pertanyaan, Julian benar mengagumi senyum Rosea atau karena mirip dengan senyum mantan kekasinya?

“Mbak, mas, ini seblaknya, ya!”

[…]

“Makasih ya, Jul, udah nganterin balik.”

Julian tersenyum menanggapi. 

“Okay, aku masuk dulu ya, Jul!”

Setelah Rosea masuk ke indekosnya, Julian masih terpaku di dalam mobilnya. Perasaan Julian saat ini sedikit lega setelah memakan seblak yang membakar perutnya. Sebetulnya ada satu hal yang mengganggu pikiran Julian. Bagaimana ada seseorang yang ya walaupun secara fisiknya berbeda, tetapi cara tersenyum hingga suara tawanya sangat seiras.

Julian mengetuk-ngetukkan jarinya di setir. Matanya menerawang ke depan. Apakah mereka memiliki kemiripan itu? Atau itu pikiran Julian yang masih terbayang-bayang Serena?

Julian menghembuskan napas kasar. Melepaskan cinta pertama ternyata tak semudah itu.

Dengan perasaan gundah yang masih menggelayutinya, Julian menyalakan mobilnya. “Eh- lah ini dompet si Rosea. Yah bocahnya udah masuk, besok aja deh kembaliin.” 

Julian baru menyadari bahwa hampir semua barang gadis itu berwarna merah muda. Cocok dengan karakternya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status