"Pada batch pertama hanya tersisa ini saja, sekitar seratus kati lebih. Batch kedua akan tiba besok malam sekitar pukul tujuh atau delapan malam, sekitar 11-12 ribu kati.Bagaimana?" tanya Fikri
dengan buka-bukaan. Jefri sedikit terkejut, tapi kemudian tertawa dan bergegas mengangguk, "Baiklah, berapa pun yang kamu punya, aku ambil semua! Ini nomor kontakku, hubungi aku besok saat stroberimu sudah tiba!" Fikri mengangguk dan Jefri memanggil pikapnya yang penuh dengan kotak khusus untuk buah-buahan. Di dalam kotak itu terdapat kantong es dan kertas penyerap kelembaban yang rapi. Jefri memerintahkan karyawannya untuk segera menimbang stroberi dari kendaraan roda tiga Fikri, lalu membungkusnya satu per satu dan menaruhnya ke dalam pikap. Setelah itu, dia mentransfer uang sebesar sebelas juta dua ratus ribu ke rekening Fikri. Mereka mengkonfirmasi kembali waktu pengiriman untuk besok, kemudian Jefri akhirnya pergi dengan tenang. Fikri melihat kendaraan roda tiganya yang kini kosong, dan merasa lega! Selama berjualan di pinggir jalan, dikejar-kejar Satpol PP masih tidak masalah. Kalau ditargetkan oleh seseorang dia benar-benar akan ke pusingan! Namun sekarang, sudah ada pelanggan utama yang membeli stroberi, Fikri bisa jarang keluar dan risiko juga akan berkurang. Masalah Fikri sekarang adalah kehabisan bibit stroberi. Besok, ia harus mengirimkan sepuluh ribu lebih stroberi, jadi ia harus segera menanam! Fikri bergegas melompat ke kendaraan roda tiganya, mengeluarkan ponselnya dan mencari toko grosir benih terdekat di navigasinya, lalu dengan cepat pergi ke sana. Toko benih tidak terlalu jauh dari Fikri, ia tiba dalam waktu 10 menit dengan kendaraannya. Setelah turun, Fikri membuka pintu kaca dan merasakan kesejukan yang menyegarkan, membuat tubuhnya merasa nyaman! "Mau beli benih apa?" Tanya bos yang sedang menonton acara televisi di depan komputernya. Fikri berpikir sejenak, lalu bertanya, "Aku butuh sekitar 6.000 biji bibit stroberi dan 50 biji bibit semangka. Tolong pilihkan jenis yang baik dan beri tahu aku berapa harganya."' Bos itu menghitung dan berkata, "6.000 biji sekitar dua kati lebih sedikit, harganya tujuh puluh ribu per kati, total seratus empat puluh ribu. Untuk biji semangka hitam terbaik di sini, harganya enam ribu per biji, dan 50 biji tiga ratus ribu. Total semuanya empat ratus empat puluh ribu." Sambil berkata, bos itu berdiri dan mengambil sekantong besar biji stroberi dari lemari, menuangkannya ke atas timbangan dan menimbang dua kati biji stroberi itu, lalu menghitung 50 biji semangka hitam, kemudian memberikannya kepada Fikri. "Total empat ratus empat puluh ribu!" Fikri mengerutkan kening. Bibit semangka masih tidak terlalu masalah, bibit stroberi ini terlalu mahal! "Bos, bisakah lebih murah? Ini terlalu mahal!" Keluh Fikri. Pemilik toko melambaikan tangannya, "Empat ratus dua puluh ribu saja, tidak bisa kurang lagi! Bibit ini memiliki tingkat kelangsungan hidup yang sangat tinggi. Coba tanya di sekitar, di seluruh pasar di Kota Hokida, bibit tempatku ini benar- benar bibit yang bagus!" Awalnya, Fikri masih ingin menawar, tapi begitu melihat waktu, ia hampir terlambat untuk menjemput Sisi. la menggertakkan giginya, memindai kode QR dan membayar. "Terima kasih, bos!" Fikri membawa satu kantong bibit dan pergi dengan kendaraan roda tiganya untuk menjemput Sisi di Plaza Mutiara. Pukul lima sore di Plaza Mutiara. Setelah menempatkan kendaraan roda tiganya, Fikri melihat Bu Lili membawa lebih dari tiga puluh anak kecil keluar dari tangga untuk berbaris sambil memegang bendera kecil. Sisi sudah melihat Fikri dari jauh, ia melambaikan tangan kecilnya dengan kuat, pipinya memerah dan berseru dengan gembira, "Ayah! Aku di sini!" Fikri berlari mendekat dan menggendong Sisi ke pelukannya, lalu berkata sambil tersenyum pada Bu Lili, "Aku datang untuk menjemput Sisi. Terima kasih telah menjaganya." "Tidak masalah, Sisi sangat patuh, sama sekali tidak merepotkan." Kata Bu Lili sambil tersenyum, ia meraih tangan Sisi, "Ingatlah untuk menyelesaikan pekerjaan rumahmu dan mendengarkan ayahmu di rumah, mengerti?" "Aku mengerti, sampai jumpa, Bu Lili!" "Sampai jumpa, Sisi!" Mereka tos dan pamitan satu sama lain, Fikri juga menganggukkan kepala pada Bu Lili, kemudian menggendong Sisi dan berjalan ke arah kendaraannya. Namun, begitu ia duduk di atas kendaraan roda tiganya, bahkan belum sempat memasukkan kuncinya, seorang anak kecil yang gemuk mulai merengek sambil berjalan ke arahnya, "Aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku mau makan stroberi!" Bocah kecil gemuk itu menangis dengan mata bengkak, ia merangkak ke bawah kendaraan roda tiga Fikri dan menangis lebih keras lagi! "Aku mau makan stroberi! Aku mau makan stroberi!" Di belakangnya, seorang pria paruh baya botak berbaju putih dan berpakaian rapi membawa sekantong besar berisi stroberi, berlari-lari dengan susah payah hingga keringatan dan masih berusaha mengejar. "Nak, aduh! Bukankah ini stroberi kesukaanmu? Ayah sudah membelikannya untukmu!" Pria paruh baya mencoba untuk mengangkat bocah kecil gemuk itu, tapi bocah itu malah semakin berusaha keras merangkak ke bawah kendaraan roda tiga Fikri! "Aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku mau makan stroberinya! Huhuhu!" Suara tangisan bocah itu yang seperti ratapan semakin membuat pria paruh baya malu. Dia batuk dua kali, mencoba menarik bocah kecil gemuk, tapi akhirnya malah mendapat tendangan di wajah! Pria paruh baya itu tampaknya sudah marah juga, dia mengangkat kepalanya dan Fikri akhirnya melihat wajahnya dengan jelas. Fikri sedikit terkejut. Wajah ini, terasa familier! "Ayah, dia ayahnya Yopi, yang pernah aku ceritakan pada Ayah!" Sisi berbisik di telinga Fikri. Fikri akhirnya teringat, bukanlah ini orang tua yang meminta stroberi dari dirinya pagi tadi? Ternyata dia ayahnya Yopi! "Ayahnya Yopi, Yopi menghalangi kendaraan ayahku!" Sisi berkata dengan suara manis, lalu menunjuk pada Fikri lagi, "Ayahku masih ingin membawaku membeli sayuran!" Wajah pria paruh baya langsung terlihat canggung. Dia merasakan pandangan orang-orang di sekitarnya dan wajahnya menjadi semakin muram, lalu dia menarik Yopi dari bawah. "Apa yang kamu tangisi! Bukankah stroberi ada di sini!" Yopi biasanya adalah raja kecil di rumah, bagaimana dia bisa menerima permintaannya tidak dituruti? Dia dengan marah berlari ke arah kendaraan tiga roda Fikri dan membuka pintunya! "Aku mau makan stroberi! Berikan padaku!" Sikapnya yang galak ini tidak mengherankan kalau dia adalah raja kecil di kelas! Fikri sering mendengar tentang dia membully anak kecil! Fikri sedikit mengernyit dan membungkukkan badannya untuk melihat ke Yopi, "Kamu mau makan stroberi?" "Iya!" Yopi menggertakkan giginya, seolah sudah bertekad untuk tidak berhenti sampai mendapatkannya. Sisi takut dan bersembunyi dalam pelukan Fikri, "Ayah, Yopi sangat nakal, dia akan memukul orang! Ayah, aku takut!" Fikri segera menenangkan Sisi. "Kamu bisa makan stroberi ini, tapi harus membeli dengan uang. Aku bukan orang yang melakukan amal." Fikri berkata dengan tenang dan pria paruh baya di samping tertawa dengan sinis, ia mengambil dompetnya dari saku dan berkata, "Aku akan membelinya! Aku bisa membelinya untuk anakku! Bukankah hanya beberapa stroberi saja, semahal apa sih? Asalkan putraku merasa senang, jangankan stroberi, bahkan ceri pun bisa aku belikan!" Mendengar nama ceri, Fikri langsung merasa senang. Benar. Fikri bisa mendapatkan banyak uang dengan menanam ceri di lahan ini! Itu adalah pilihan yang bagus! Pikiran melintas dalam kepalanya, tapi yang terpenting sekarang adalah dia harus menyelesaikan masalah di depan matanya ini! "Dua ratus ribu per kati." Kata Fikri. Pria paruh baya itu seperti kucing yang digigit ekornya, hampir melompat karena marah! Apa?! Dua ratus ribu per kati?! Bukankah ini perampokan uang?! "Kamu ini jelas-jelas merampok uang! Terlalu mahal!" Ayahnya Yopi berkata dengan marah. Fikri dengan tenang melirik pria paruh baya itu, tersenyum dan berkata, "Ini adalah transaksi, awalnya memang kesepakatan timbal balik. Aku tidak memaksamu untuk membelinya, kalau kamu tidak mau beli tidak masalah, aku harus pulang dan memasak, tolong kamu putramu jangan menghalangi jalanku." Setelah mengatakan itu, Fikri menyalakan kendaraan roda tiganya dengan kunci dan tampak siap menerobos kalau pria paruh baya itu tidak mau memberinya jalan. "Aku mau makan stroberi! Aku mau makan stroberi! Huhuhuhu!!" Yopi mulai menangis keras, air mata dan ingus memenuhi wajahnya! Banyak orang tua berkumpul ketika mendengar suara tangisannya, pria paruh baya itu merasa malu. Dia menggertakkan giginya dan mengeluarkan uang dua ratus ribu. "Beri aku satu kati, timbang dengan benar! Kalau tidak, aku akan menuntutmu!" Fikri juga mengeluarkan timbangan elektronik dari samping dan mengambil lima stroberi dari belakang kendaraan roda tiganya, lalu melemparkannya ke pria paruh baya itu.Fikri menggenggam artefak itu lebih erat. Di tangannya kini bukan hanya sekadar kunci rahasia tapi juga sumber kekuatan yang entah datang dari mana, yang mungkin bisa menjadi penyelamat... atau penghancur. “Kalau begitu,” kata Fikri perlahan, menahan gemetar dalam suaranya, “kau harus melewatiku dulu.” Pria itu tertawa pelan, langkah kakinya bergema di ruang bawah tanah yang dingin dan sunyi. “Itu memang rencanaku sejak awal.” Ia mengangkat tangan, dan dari balik jasnya muncullah senjata kecil dengan cahaya merah berkedip di sisinya—teknologi canggih, jelas bukan milik orang biasa. Tapi sebelum pria itu sempat menekan pelatuk, artefak di tangan Fikri mulai berdenyut. Simbol-simbol di permukaannya menyala lebih terang, dan seketika, cahaya biru menyambar keluar dari benda itu, membentuk semacam pelindung energi yang melingkupi tubuh Fikri. Sinar itu menghantam pria tersebut dan melemparkannya ke dinding dengan keras. Ia jatuh dengan suara dentuman, pingsan seketika. Fikri terd
Fikri duduk di ruang kerjanya, menatap peta yang terhampar di hadapannya. Setiap garis, setiap titik, dan setiap jalur yang ada di sana seolah-olah menyimpan rahasia yang lebih dalam dari yang ia bayangkan. Perjalanan yang baru saja dimulai tampaknya akan mengarah ke arah yang tidak terduga. Sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, dan lebih berisiko daripada yang ia kira.Di luar, suasana malam semakin gelap, tetapi Fikri tahu bahwa ini bukan waktunya untuk beristirahat. Apalagi setelah lelang yang sukses, dunia yang ia masuki semakin sempit. Semua orang menginginkan sesuatu darinya—dan tak sedikit yang siap menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Fikri menoleh, melihat nama yang tertera di layar: Asha. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkatnya."Asha," kata Fikri, suara serius namun penuh rasa ingin tahu. "Ada apa?"Asha terdengar sedikit cemas. "Kita tidak punya banyak waktu. Mereka mulai bergerak lebih cepat dari yang kita perkirakan
Beberapa hari setelah lelang, Fikri merasa angin perubahan berhembus kencang. Ada sesuatu yang telah ia keluarkan ke dunia, dan meski perasaan puas menyelimuti dirinya karena harga yang ia dapatkan dari lelang tersebut, ia juga tahu bahwa hal itu hanya permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Penawarannya berhasil, tetapi harga yang dibayarkan—baik secara finansial maupun psikologis—belum sepenuhnya ia pahami.Di ruang kerjanya, Fikri duduk di depan meja besar yang penuh dengan dokumen dan catatan penting. Pikiran-pikirannya melayang jauh, kembali ke percakapan dengan para pengusaha yang hadir di lelang. Ada yang tampak tertarik, ada juga yang ragu-ragu. Namun satu hal yang pasti, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ia sembunyikan.Chelsea menghubunginya melalui telepon, menyadari kegelisahan di balik keputusan besar yang Fikri buat. "Kamu yakin sudah siap, kan?" tanya Chelsea dengan nada khawatir, meskipun ia tahu Fikri tak akan membiarkan apa pun mengganggu rencananya.Fikri
Keputusan Fikri untuk menanam apel langka itu tidak hanya menarik perhatian ruang ajaibnya, tetapi juga memunculkan pertanyaan yang lebih besar di benaknya: apakah ruang itu benar-benar bisa mengubah nasibnya, atau justru mengarahkannya pada jalan yang tidak bisa ia kendalikan? Apakah dia sudah cukup siap dengan semua yang akan datang?Beberapa hari setelah menanam apel tersebut, Fikri mulai merencanakan langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa dunia di luar sana tidak akan membiarkannya tenang, terutama dengan potensi yang tersembunyi dalam ruang ajaib dan kekuatan buah langka yang baru saja ia temukan. Ketika tawaran lelang datang dari sebuah perusahaan besar, Fikri merasa ini adalah kesempatan untuk menguji apakah dunia luar bisa menerima ‘keajaiban’ yang ada dalam hidupnya, atau justru menghancurkannya.Perusahaan itu, Sura AgriCorp, dikenal luas karena kemampuannya dalam meneliti dan mengembangkan produk pertanian eksklusif. Mereka menawarkan lelang khusus yang hanya dihadiri oleh sege
Pertarungan terus berlangsung dalam gelap malam, hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu teras dan kilatan ponsel yang tak sengaja menyala. Asha dan timnya bekerja cepat dan senyap, seperti bayangan yang menari di antara suara benturan dan teriakan teredam. Fikri tetap menjaga pandangannya pada Raymond, yang meski mulai goyah, tidak kehilangan keangkuhannya. Raymond mundur satu langkah, wajahnya masih tersenyum tetapi matanya mulai mencari jalan keluar. “Kau pikir ini sudah berakhir? Ini baru permulaan, Fikri. Aku bukan orang bodoh yang datang hanya dengan satu rencana.” Tiba-tiba, terdengar ledakan kecil dari sisi timur rumah. Asap putih menyelimuti bagian taman, membuat pandangan terganggu. Asha langsung memberi perintah, “Asap gangguan! Tetap waspada, mereka mungkin membawa senjata!” Benar saja, dua dari lima pengawal Raymond yang semula tumbang, bangkit kembali dan mulai menembakkan peluru karet ke arah Asha dan timnya. Namun Fikri telah mengantisipasi kemungkinan itu. I
Raymond menatap Fikri dengan tatapan tajam, seolah-olah mengetahui setiap langkahnya. Fikri bisa merasakan ketegangan di udara—sebuah ancaman yang tak terucapkan, namun jelas terasa. Semua ini bukan lagi hanya soal anggur atau bisnis. Ini adalah permainan yang lebih besar, yang melibatkan nyawa dan masa depan keluarganya."Kenapa kau datang ke sini, Raymond?" tanya Fikri, suara tenang namun dipenuhi perhitungan.Raymond mengangkat bahu. "Mungkin aku datang untuk mengingatkanmu, atau mungkin aku datang untuk menawarmu sebuah 'kesepakatan'. Aku tahu betul apa yang kau simpan di ruang rahasiamu. Tapi aku juga tahu, kau bukan tipe yang mudah dibujuk.""Kesepakatan?" Fikri mendengus, tidak terpengaruh. "Aku tidak butuh tawaran dari orang seperti kamu."Raymond melangkah lebih dekat, seolah tidak peduli dengan jarak yang ada di antara mereka. "Jangan terlalu percaya diri, Fikri. Kau punya banyak hal yang orang-orang seperti aku inginkan—termasuk informasi tentang ruang itu. Anggurmu bukanla