RUMAH BARU MANTAN ISTRIKU 10. **PoV Siska"Ha, kamu ngomong apa?" tanyaku heran. "Apaan," kata Mas Raka b o d o h. "Yang barusan kamu bilang!" kataku lagi. "Oh, Nara pulang bersama Adnan. Kata dia itu suaminya," ujar Mas Raka santai. "Adnan mantan suamiku?" tanyaku kaget. "Ya, tadi kan udah ku bilang kalau Nara dan Adnan suami istri sekarang." Apa yang diucapkan Mas Raka bagaikan tamparan bagiku. Kok bisa? Mas Adnan itu miskin. Sekarang kok bisa kaya. Dari mana dia punya duit sampai bisa menyenangkan Nara sedemikian rupa. Punya rumah bagus, kendaraan bagus. Kalau aku tahu dia sekarang kaya. Gak mau aku menceraikan dia. Dulu yang ngotot untuk pisah itu aku karena sudah menjalin hubungan gelap dengan Mas Raka. Makanya aku nekat cerai darinya. "Gak mungkin, Mas. Mana mungkin Mas Adnan nikah sama Nara. Apalagi Mas Adnan itu dulu miskin. Makanya aku mau cerai dari dia!" kataku. "Oh, jadi kamu tinggalkan dia karena miskin. Sekarang kenyataan berbalik dan dia kaya. Aku juga terpuk
"Kenapa kamu pegang handphone ku? Sini, Mas. Aku punya privasi!" kataku sengit"Jadi begini, Sis. Kamu selingkuh di belakang ku. Tadi ada yang kirim pesan, aku membaca sekilas dan sayang sayangan sama kamu di pesan itu. Handphone kamu memang di kunci tapi tetap sekilas aku bisa baca pesan dari inisial R yang kamu sembunyikan!" "Lebay kamu. Dia teman aku. Biasa aja kali. Dia cewek kok dan kami biasa begitu saat reuni." dustaku padanya. "Jangan bohong kamu. Aku gak percaya sama kamu. Sis, ini kamu, 'kan?" Dia menunjukkan photo ku dengan seorang pria. "Kamu mata-matai aku?" "Bukan. Temanku yang kirim karena lihat kamu jalan sama lelaki lain. Tega kamu sama aku, Sis!" Aku tersentak dan terbangun begitu saja dari mimpiku. Kenapa aku bisa mimpi seperti ini. Mas Adnan hadir dalam mimpiku di masa laluku. Saat itu memang aku sering ketahuan selingkuh dengan Mas Raka. Beberapa kali Mas Adnan memaafkan ku. Namun beberapa kali pula aku mengulang untuk selingkuh dengan Mas Raka. Aku nggak nya
RUMAH BARU MANTAN ISTRIKU 11. **PoV Siska. "Mana Mas Adnan, suamiku!" "Suamimu?" tanya Nara mencibir. Entah kenapa perkataan tersebut terlontar begitu saja di depan Nara. Saat ini aku hendak meledak marah. Tiba-tiba teringat dalam benakku kalau Mas Adnan adalah suamiku bukan mantan suamiku. Saat Nara balik bertanya suamimu, padaku. Saat itulah aku sadar kalau Mas Adnan bukan suamiku lagi. Aku mencebik kesal. Kulirik lantai rumah Nara yang berlapiskan marmer dengan corak garis keemasan. Lantai yang indah. Belum lagi dalam rumahnya yang ku lihat sekilas. Banyak sekali guci-guci tinggi. Nara sangat elegant mengkoleksi banyak guci, besar, kecil dalam rumahnya. Sumpah demi apa, aku iri. Semesta, aku IRI pada Nara. Mengapa dia kaya dan aku nelangsa? Batinku bergejolak gak terima. Ini ada hak ku. Ada sebuah suara dalam diriku yang membuat ku harus bertahan. Lebih tepatnya mempertahankan pemikiran ku sendiri kalau aku ada hak di rumah ini sebagai mantan istri Mas Adnan. "Heh, kenap
Mendengar ucapanku Nara tersenyum mengejekku. Mas Adnan juga tertawa seakan-akan dia mengejekku sama seperti Nara. "Kenapa kalian berdua malah menertawakan ku? Apa yang lucu?" "Sis, kamu kok nggak tahu malu banget sih. Dari dulu kamu memang kayak gini ya. Sikap kamu nggak pernah berubah. Sekarang aku minta kamu keluar dari rumah ku. Kamu nggak punya apa-apa di sini. Bukankah semua hak kamu sudah ku berikan ketika kita bercerai dulu!" kata Mas Adnan. "Ya, tapi bagaimana kamu bisa dapat uang sebanyak ini. Mungkin saja kan dari pernikahan kita terdahulu kamu menyembunyikannya dari ku. Kamu menyenangkan Nara sekarang dengan uang saat kita menikah. Tentu aku gak terima!" Aku nggak mau mengalah sedikitpun. Karena Mas Adnan berbohong kepadaku dia mengambil hak ku dan memberikan kepada Nara. "Apa yang ada di rumah ini dan apa yang aku punya sekarang itu nggak ada hak kamu sama sekali. Kita sudah mengurusnya di pengadilan agama. Aku sudah memberikan hak kamu sesuai dengan porsinya saat ki
RUMAH BARU MANTAN ISTRIKU 12. **PoV Nara. Aku terkaget pertama kali menginjakkan kaki di kampung ini setelah rumah selesai. Dulu ketika aku dan Mas Adnan baru saja membeli tanah dan kami observasi di situ. Kami sama sekali nggak tahu kalau ada Mas Raka dan Siska yang menjadi tetangga kami. Dulu mereka belum ngontrak di sini. Aku juga tidak terpikir kalau mereka bakal menyewa di sini. Tetapi mau bagaimana lagi, setelah rumah kami selesai, aku dikagetkan dengan kehadiran Mas Raka di depan mataku. Saat itu aku mau kabur saja dari nya, teringat bagaimana pengkhianatan nya terhadapku. Di depan mataku dia terang-terangan berselingkuh. Awalnya dulu tidak mengaku. Namun, setelah ketahuan tidak ada penyesalan dalam dirinya. Malah dia menganggapku perempuan nggak becus mengurus keluarga, mengurus anak, mengurus rumah tangga. Setelah ketahuan selingkuh hanya penghinaan yang ku dapatkan darinya. Dia mencari-cari kesalahanku agar aku bisa lepas darinya. Dan dia bisa menikahi wanita yang dise
Tak lama berselang datanglah putraku, Ervan. Dia datang membawa buku untuk diajari pelajaran sekolahnya. Dengan senang hati Mas Adnan mengajarinya. Duh, aku sungguh senang Mas Adnan mau memperlakukan Ervan dengan baik. Walaupun bukan anak kandung. Dia peduli dengan pendidikan dan kasih sayang Ervan. Berbeda dengan Mas Raka yang dulu hanya sibuk dengan dunianya sendiri. "Makasih, Pa," kata Ervan setelah Mas Adnan membantunya mengerjakan PR. "Sama-sama," jawab Mas Adnan sambil mengacak rambut bocah enam tahunku. Saat kami bercengkrama bersama. Pembantu rumah tangga datang memberitahu kalau ada tamu yang mau bertemu. "Tamu?" Aku sungguh heran. Siapa malam-malam datang ke rumah. Kulirik jam sudah pukul setengah sembilan malam. "Siapa, Bik?" tanya suamiku. "Anu, Pak. Yang tadi itu, tetangga datang sama seorang lelaki," jawab Bik Narti sopan. "Siska, Mas," gerutuku kesal. "Bik, kamu gak kasih mereka masuk, 'kan?" tanyaku. "Enggaklah, Bu. Sesuai dengan perintah Ibu mereka tunggu di
RUMAH BARU MANTAN ISTRIKU 13. Kasih ❤️ dan komentarnya yang membangun ya teman-teman. Happy reading**PoV Author "Kamu gak ada hak, Mas. Kamu sama sekali gak ada hak untuk Ervan!" kata Nara marah. Wanita itu menggebrak meja. Emosinya tersulut begitu saja saat Raka dan Siska menyampaikan maksud kedatangan mereka. Semua terkejut dengan aura wajah Nara yang berubah. Suaminya, Adnan mengelus lembut pundaknya agar Nara lebih sabar dan tenang. "Eh, kenapa Mas Raka gak ada hak? Bukankah itu anaknya. Kamu gak bisa memisahkan ayah dari anaknya!" Kali ini Siska yang berkata. Ucapan Siska membuat Nara muak. Nara tertawa sinis. "Terus yang bisa memisahkan mereka kamu? Kamu kan yang blok aku. Saat anakku nangis waktu umurnya empat tahun mau ketemu Bapaknya. Kamu bilang aku udah gak punya hak dan gak tau malu soalnya Mas Raka bukan lagi suamiku!" kata Nara enteng. Ucapan Nara membuat Siska kesal, apalagi Raka yang gak tahu apapun. "Maksud kamu apa, Nar? Siska sendiri bilang sama aku kalau
"Aku gak ngikutin dia. Aku cuma tanya dan silaturahmi aja. Kami punya masalah anak jadi wajar kami tetap berkomunikasi. Makanya kamu jangan nikahi wanita punya anak kalau gak mau di ganggu!" sergah Raka mendengkus. Dia tetap gak mau ngalah. Tanpa bersalah lelaki itu mengambil pematik dan menghidupkan rokoknya. Asapnya langsung membahana di sekitar mereka. Nara langsung menutup hidung soalnya dia gak suka asap rokok. Sudah dua tahun lepas dari Raka, Nara sudah terbiasa hidup tanpa asap rokok di rumahnya karena Adnan gak merokok. "Uhuk …" Nara terbatuk. "Pak, Raka. Hormati istriku. Dia gak tahan asap anda. Matikan rokok anda!" perintah Adnan. Raka setengah hati mematikan rokok yang baru di hisapnya. Dia lihat Nara cemberut. "Eh, maaf, Nara. Ya udah. Kalau begitu Mas minta maaf. Jadi kapan aku bertemu Ervan?" tanya Raka ke Nara. Sikapnya berubah manis karena ada maunya. "Penuhi dulu permintaanku. Nafkahi anak kamu seperti yang aku mau baru datang lagi ke sini! Kalau bisa berhentil