Share

Bab 2 (Minta uang lagi)

Bang Hasan baru saja sampai rumah dan mandi ketika Ibu mertua sampai di depan pintu.

 

"Hasan sudah pulang?" tanyanya dengan napas memburu.

Terlihat, seperti habis berlari menuju rumahku.

 

"Sudah, Bu. Lagi mandi."

 

"Loh sudah sampai kenapa nggak ke rumah Ibu? Ibu minta air putih, cepetan!"

 

"Bang Hasan baru sampai, Bu," jawabku sambil berlalu ke dapur untuk mengambilkan Ibu minum.

 

"Kamu itu harus jadi istri yang amanah lah, Mir! Kan Ibu sudah titip, kenapa tidak kamu sampaikan?!" Ibu mulai meninggikan suaranya.

 

"Maaf, Bu. Bang Hasan, kan baru sampai. Ya baiknya, memang bersih-bersih diri dulu, lalu makan. Mira memang niatnya mau beritahu Bang Hasan setelah selesai makan," jawabku tenang sambil meletakkan gelas berisi air putih.

 

"Tetap saja kamu itu udah jadi istri yang nggak amanah! Udah nggak usah membela diri, salah ya tetap salah!"

 

Aku memilih diam, tak menjawab.

Sedikit aku mulai mengerti sikap dan sifat Ibu.

 

Tak lama tampak Bang Hasan keluar dari kamar mandi. Melihat sosok Ibu, ia lantas menghampiri dan menyalam Ibu.

 

"Baru sampai, Bu?" tanya Bang Hasan.

 

"Iya, ada perlu sama kamu. Padahal Ibu sudah sampaikan ke Mira tadi pagi. Nggak tahu juga kenapa dia nggak sampaikan ke kamu," ujar Ibu sambil melirik ke arahku.

 

"Eng—"

 

"Eh, mertua datang di kasih air putih Mir? Gula habis? Kok nggak bilang? Kalau bilangkan Ibu bawa tadi dari rumah."

 

Bang Hasan langsung melihat ke arahku.

 

"Nggak, Bu, ada kok, kan Ibu yang—" 

 

"Ya sudah nggak apa-apa, lupakan saja. Kalau Ibu mau teh manis, di rumah bisa buat. Mungkin Mira sedang berhemat," sela Ibu cepat.

 

Terlihat Ibu menarik pergelangan tangan Bang Hasan menuju kursi makan.

 

"Sini, kalau sudah mandi, makan dulu. Biar lebih segar badannya," ucap Ibu pada Bang Hasan sambil mengisi piring dengan nasi dan lauk.

 

"Jadi istri itu kudu tanggap, dan lincah Mir, karena suami baru pulang kerja, capek. Jadi kita sebagai istri harus bisa menghilangkan capeknya suami."

 

Aku diam saja, dan memilih menuangkan air ke gelas Bang Hasan.

 

"Ibu, sudah makan?" tanya Bang Hasan.

 

"Sudah, kamu makanlah saja."

 

"Ayo makan, Bu, kangkung tumisnya enak loh." Kembali Bang Hasan menawarkan.

 

"Kangkung kok enak, harganya saja cuma dua ribu per ikatnya! Mana ada gizinya! Ajari Mira mengatur uang belanja. Gajimu itu besar loh, San, harusnya bisa masak yang lebih dari ini." Ibu menghentak mangkuk berisi tumis kangkung tersebut.

***

 

"Gini loh, San. Ibu kesini karena mau minta uang sama kamu," ucap Ibu saat Bang Hasan sudah selesai makan.

 

"Uang, Bu?" Bang Hasan mengelap tangannya yang basah.

 

"Iya, tapi bukan untuk Ibu. Untuk adikmu. Dia mau bayar untuk study tour dari sekolahnya."

 

"Berapa, Bu?"

 

"Nggak banyak, tujuh ratus ribu saja."

 

"Uang bulanan yang kemarin habis, Bu?" tanyaku sambil meletakkan toples keripik pisang.

 

"Aku ngomong sama anakku! Bukan sama kamu."

Ibu melirik tajam.

 

"Tapi, kan Mira istri Bang Hasan, menantu Ibu. Wajar kalau Mira bertanyakan?" jawabku tenang.

 

Ibu diam tak menjawab, tangannya mulai memindahkan keripik pisang ke dalam piring kosong. Terlihat Bang Hasan mulai mengambil dan memakannya.

 

"Enak, renyah," ucap Bang Hasan sambil mengunyah.

 

Aku tersenyum sumringah, hatiku di penuhi bunga-bunga.

 

Aku teringat ucapan nenek dulu.

Salah satu hal paling membahagiakan seorang istri adalah ketika masakannya di puji sang suami.

Dan ternyata ucapan nenek benar.

 

"Enak, ya? Ini tadi Ibu yang ajari Mira membuatnya maka nya  manis dan gurihnya pas," jawab Ibu sambil mengunyah, "tadi Mira mau buat yang asin, tapi Ibu bilang kamu sukanya yang manis. Istrimu ini rada ngeyel, ya." Ibu tertawa.

Sangat kentara itu adalah tawa yang dibuat-buat untuk meremehkan.

 

"Oh, ya? Kamu harus banyak belajar sama Ibu ya, Mir," ujar Bang Hasan mengusulkan.

 

Hah?

Apa katanya? Mengajari?

Sejak kapan Ibu ada waktu dan mau mengajariku?

Keperluannya ke rumah ini hanya untuk satu hal, meminta uang.

 

Aku muak. Sangat muak!

 

"Jadi bagaimana soal uang tadi, Bu?" Aku bertanya kembali, "apa uang bulanan Ibu sudah habis?"

 

"Kamu ini apa sih, Mir! Uang segitu mana cukup untuk semua keperluan Ibu dan Lina. Ibu kan minta uang Hasan, anak Ibu."

 

"Tapi kami juga nggak punya uang lebih Bu, hanya pas untuk makan sampai Bang Hasan gajian bulan depan." Aku menjelaskan.

 

"Lah masa' uang segitu saja nggak punya. Kamu pikir, gaji Hasan itu sedikit?! Kamu aja yang nggak pandai mengatur keuangan!"

 

Itu saja yang terus di ulangi Ibu. Entah bagaimana cara Ibu menghitung pembagian gaji anaknya.

 

"Aku ini, Ibunya Hasan! Dan surganya Hasan ada di kaki Ibu Mir. Wajib bagi Hasan membahagiakan Ibu."

 

"Iya, Bu. Mira tahu, tapi kalau nggak ada mau bagaimana?" jawabku sambil mengangkat piring kotor ke dapur.

 

"Tahu apa kamu soal surga ada di kaki seorang Ibu? Wong Ibu saja kamu nggak punya!"

 

Degh!

Tepat! Menghujam jantung. Rasanya bagai di tikam belati tajam.

 

Prang!

 

Seketika piring terhempas dari tanganku.

Aku gemetar dengan lidah yang kelu.

 

"Bu," lirih Bang Hasan mengingatkan Ibunya.

 

"Loh salahnya dimana, San? Yang Ibu bilangkan benar. Memang Mira nggak punya Ibu lagi, 'kan? Surganya itu sudah nggak ada. Harusnya dia itu bisa mencari surga dari Ibu mertuanya, tapi apa, perihal uang segitu saja dia permasalahkan," ujar Ibu sekenanya.

 

Aku memutar tubuh menghadap ke arah Ibu dan Bang Hasan.

 

"Mira memang tidak punya Ibu. Dan memang, surga itu ada di telapak kaki seorang Ibu. Tapi Mira tahu, telapak kaki seorang Ibu yang seperti apa." Aku berjongkok lalu memunguti pecahan piring.

 

"Ya sudah! Susah memang ngomong sama anak yang nggak di didik Ibunya. Sudah, Ibu mau pulang. Kalau uangnya nggak ada, biar Ibu suruh saja adikmu berhenti sekolah." 

 

Ibu berdiri dari duduknya, dan terlihat ia mengulurkan tangannya seperti meminta untuk di salam Bang Hasan, tapi ternyata tangannya terus terulur sampai menyentuh toples keripik pisang, membawanya, lalu berjalan ke luar pintu.

 

"Besok pulang kerja, Hasan berikan, Bu," ucap Bang Hasan.

 

Usai Ibu pergi meninggalkan rumah, Bang Hasan datang menghampiriku, mengulurkan tangannya untuk memintaku berdiri, lalu memeluk.

Ada rasa nyaman yang hinggap di hati.

 

"Abang bisa pinjam ke koperasi besok, kamu tenang saja ya," ucapnya sembari mengelus pundakku.

 

"Ya," jawabku singkat lalu aku melepaskan pelukan Bang Hasan yang tiba-tiba kurasa tak lagi nyaman.

 

Ini bukan lagi soal uang Bang, tapi ini soal perasaanku atas ucapan Ibumu dan kekecewaanku semakin bertambah dengan tidak adanya respon darimu.

 

Bersabarlah wahai hati. Demi rumah tangga dan suamimu.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status