Beranda / Romansa / Racun Mertua / Bab 3 (Berkunjung)

Share

Bab 3 (Berkunjung)

Penulis: El-Haz
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-01 20:54:07

Aku baru saja meletakkan barang belanjaan, rasanya urat di leher sakit setelah mendengar pertanyaan tetangga soal momongan.

Cepat aku men

eguk air segelas, dan tandas seketika.

 

"Belum isi ya, Mir?" tanya Bu Nani ketika aku sedang memilih sayuran tadi.

 

"Belum, Bu." Aku tersenyum.

 

"Kok lama, ya? Anakku dua tahun menikah sudah isi. Sudah periksa?" 

 

"Saya baru tujuh bulan, Bu."

 

"Lah, ya itu sudah termasuk lama, ponakanku nikah langsung isi. Coba periksa mana tahukan?"

 

Aku tersinggung.

 

"Kalau tujuh bulan lama, terus anak Ibu yang dua tahun itu apa namanya? Alot?" sinisku.

 

Terlihat wajah Bu Nani masam, sedang Ibu lainnya terdengar cekikikan.

 

Padahal rezeki, maut, dan jodoh, Allah lah penentunya, begitu juga dengan rezeki mendapatkan keturunan.

 

"Pantes mertuamu urut dada, menantunya melawan begini."

 

Ah, apa lagi ini?

Mendengar nama mertuaku disebut hatiku panas, aku merasa ada yang tidak beres.

 

"Jangan terlalu mencampuri rumah tangga orang, Bu. Saya bukan anak Ibu! Dan saya, juga tidak meminta pendapat Ibu. Jadi bersikaplah sewajarnya sebagaimana tetangga!"

Segera kubayar belanjaan dan pamit pada Ibu yang lainnya.

 

***

 

Aku memasak dalam keadaan tidak fokus.

Pasti ada sesuatu hal, mengapa Bu Nani menyebut-nyebut Ibu mertua.

Tapi apa, ya?

 

Dering ponsel membuyarkan pikiran, segera aku meraihnya, dan terpampang nama Ratih di layar, teman bekerja di pabrik mebel dulu.

 

"Assalamu'alaikum, Tih."

 

"Waalaikumsalam, Ra, sehat?" 

 

Setelah berbasa-basi sebentar, Ratih pun mengungkapkan tujuannya menghubungiku untuk memberitahukan bahwa pabrik mebel tempatku bekerja dulu membuka lowongan pekerjaan kembali, salah satunya sebagai customer service dan yang di utamakan adalah karyawan/ti yang sudah berpengalaman.

 

Mendengar kabar tersebut rasanya melegakan sekali.

 

Langsung kuhubungi Bang Hasan yang sedang bekerja, Bang Hasan memang bekerja di akhir pekan. Mengecheck semua mesin di divisinya, memastikan agar besok tidak ada kendala mesin rusak atau mati. Tidak lama hanya tiga jam bekerja.

 

Entah mengapa aku tak sabar ingin memberitahunya perihal kabar yang kudapat dari Ratih.

 

"Assalamu'alaikum, Mir." Terdengar sambungan terhubung di seberang sana.

 

"Waalaikumsalam, Bang, mau tanya jam berapa Abang pulang, seperti biasakah?"

 

"Iya, kira-kira sejam lagi Abang sampai ya, kamu siap-siap, kita ke rumah Ibu."

 

Aku tercekat. "Untuk apa, Bang?" 

 

"Mengantar uang untuk Lina, alhamdulillah Abang dapat pinjaman dari koperasi pabrik." Bang Hasan terdengar sumringah di seberang sana.

 

"Insha Allah, ya, Bang. Rasanya kepala Mira sedikit sakit. Sudah dulu, ya, Bang. Assalamualaikum."

 

Kumatikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Bang Hasan.

 

Aku tidak berbohong, kepalaku memang sakit, lebih tepatnya mendadak sakit, setelah mendengar nama Ibu disebut, terlebih Bang Hasan turut mengajakku berkunjung.

 

Kutinggalkan bahan masakan yang semula hendak kumasak, aku memilih merebahkan diri di kamar.

 

Kenapa pernikahan yang kubayang-bayangkan bahagia, menjadi menakutkan dan membuatku tertekan seperti ini?

Apa semua Ibu mertua memang seperti Ibu?

Atau memang nasibku yang mengenaskan?

 

Kata Bang Hasan, sebenarnya Ibu itu baik, hanya saja caranya berbicara memang ceplas-ceplos. Aku harus maklum.

Iya kuakui dia baik, tapi pada anak-anaknya bukan padaku, yang hanya menantunya ini.

 

Bang Hasan juga bilang sebenarnya Ibu itu menyayangiku.

Aku harus bisa mengambil hati Ibu.

 

Ah, kenapa harus aku?

Kenapa harus menantu yang coba mendekatkan diri?

Bagaimana bisa mendekatkan diri, kalau belum apa-apa saja Ibu sudah duluan menghujaniku dengan kata-kata setajam bisa?

 

Dan untuk mengambil hati Ibu? 

Bagaimana caranya?

Yang ada nyawaku yang diambil Ibu terlebih dahulu.

**

 

Tok ... tok ... tok.

 

"Assalamu'alaikum, Mira."

 

Aku tersentak, seperti suara Bang Hasan. Kulihat jam di dinding, ternyata sudah satu jam lebih aku tertidur.

Cepat aku berdiri, untuk membukakan pintu.

 

"Waalaikumsalam, iya, Bang." Aku memperbaiki ikatan rambut.

 

"Kenapa lama buka pintunya?" tanya Bang Hasan sembari mengulurkan tangannya.

 

"Mira ketiduran, Bang."

 

"Ya sudah, kamu siap-siap ya. Abang mau mandi dulu."

 

"Hm, apa Mira harus ikut, Bang?" tanyaku ragu.

 

"Iya, sudah siap-siap, ya. Yang cantik. Pulang dari rumah Ibu, kita undangan. Aqiqahannya anak manager pabrik," jawab Bang Hasan sambil menarik tubuhku pelan ke kamar.

 

Aku sangat ingin pergi undangannya, sudah lama rasanya aku tidak berpakaian bagus dan berdandan.

Tapi, ke rumah Ibu?

Itu yang membuat aku berat.

 

"Mira nggak punya baju bagus,

Bang." Aku beralasan.

 

"Adalah, kamu lupa? Di koper merahkan baju kamu banyak, Mir." Bang Hasan sumringah.

 

Jelas aku ingat, koper itu memang berisi pakaian dan barangku sewaktu gadis dulu.

 

Saat tinggal di rumah Bang Hasan, lemarinya tidak cukup sehingga aku memilah dan memasukkan pakaian dan barang yang bagus ke koper besar.

 

Kini Bang Hasan sudah membuka koper besar berukuran 32" tersebut dan tampaklah semua pakaian dan barang milikku.

 

Ah ... aku merindukan masa gadis dahulu.

Setiap bulan aku wajib membeli pakaian atau segala barang yang aku inginkan.

 

Terlihat Bang Hasan mengambil gamis berwarna peach, senada dengan hijabnya.

Juga tas tangan berwarna hitam yang merupakan tas pemberian atasanku, oleh-oleh darinya saat pergi ke luar negeri.

Aku menyimpannya dengan amat sangat hati-hati karena aku tahu tas tersebut tidaklah murah.

 

Lantas aku teringat dengan wedges simple bermerk.

Aku tidak tahu apakah itu asli atau tidak yang jelas itu juga dari negeri tetangga dengan khas menara kembarnya.

Saat itu aku juga menitip beli pada istri atasanku.

 

Melihat itu semua, entah energi datang dari mana. Aku menjadi bersemangat.

Cepat aku mandi, dan kukenakan semuanya.

Mataku berbinar menatap diri ini di cermin.

Aku terus bertanya-tanya, diriku kah ini?

 

Di rumah Bang Hasan, jangankan berpakaian begini, untuk mandi saja aku susah, ada saja hal yang Ibu teriakan untuk aku kerjakan.

 

Bang Hasan tersenyum saat melihatku, mendekat lalu mengecup kening.

 

"Bidadari surga dan duniaku" bisiknya.

 

Perutku rasanya seperti tersengat listrik, seperti banyak kupu-kupu menari-nari di sana.

 

"Kita let's go, Bang? ajakku sumringah sambil menggamit lengan Bang Hasan.

 

"Let's go ke rumah Ibu," jawabnya lebih sumringah dan bersemangat.

 

Seketika, aku melepaskan lengan Bang Hasan.

 

Kembali sesak menghimpit dada.

Kerumah Ibu mertua saja rasanya seperti hendak perang melawan penjajah.

 

Bismillah.

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Yg ada jg lu bakalan dicaci maki trus tas lu bakalan diminta dh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Racun Mertua   Bab 64B (Memilih pergi)

    Pov LinaAku terbangun ketika kurasakan ponselku berdering kuat, pelan kuraih ponsel itu. Panggilan dari Tio."Ya, Halo?""Kamu udah makan?""Hm, belum.""Baru bangun ya?" tebaknya dan tepat."Iya, kok tahu?""Kecium asemnya, tapi aku suka.""Alah gombal," jawabku tapi jujur aku suka."Yaudah, udah jam sembilan, kamu makan ya. Aku jemputnya agak telat nanti ya sekitar jam dua belasan.""Kok lama?" protesku."Aku ada urusan sayang. Sabar ya. Aku pasti bantu, nggak akan lari. Janji," ucapnya meyakinkan."Oke, aku makan dulu ya, mau mandi juga. Aku gerah.""Sip," jawab Tio lalu mengakhiri sambungan telepon.Kupandangi jam di dinding yang tak berhenti berdetak, aku tahu, pasti kini Ma

  • Racun Mertua   Bab 64A (Usaha menggugurkan)

    Pov LinaAku baru saja bangun dari tidur, ketika kusadari rasa nyeri terasa di rahim bagian bawah, pelan aku meraba perut, memastikan apa semuanya sudah berjalan sesuai keinginanku. Rabaan dari perut yang tak rata menyadarkan bahwa semuanya sia-sia. Bayi sial ini tak kunjung pergi dari hidupku. Apa maumu, sial! Ocehku dalam hati. Semua cara rasanya sudah aku lakukan, memakan semua ramuan yang ku fermentasikan, memakan semua pantangan buah yang katanya membahayakan, namun janin sial ini tetap saja betah didalam. Hanya ada dua jalan terakhir yang bisa aku lakukan, pertama meminum pil yang kata Keke nomor satu dan mumpuni itu, dan cara kedua menggunakan cara yang lebih ekstrim, ab*rsi. Cara yang kedua, pasti lebih jelas, walau itu pasti membahayakan nyawa ku juga. Tapi tak ada cara lain, semakin lama janin ini akan semakin membesar. Aku akan melakukan apapun untuk membuangnya. Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tak punya uang. Jika aku punya uang sudah dari dulu a

  • Racun Mertua   Bab 63 (Harus ikhlas)

    Pov HasanDengan berat kulangkahkan kaki menuju rumah besar ini. Aku berdiri di depan pagar tinggi rumah dengan model lama namun tetap terawat. Disebelah nya ada sebuah bangunan Masjid yang indah, tempat yang pernah menjadi keinginan Mira untuk melaksanakan akad nikah kami. Tapi sayang, waktu itu Ibu menolak keinginan Mira, karena kata Ibu repot harus membawa seserahannya kesana, pun rombongan yang mengantarkan kami. Belum lagi amplop yang harus diberikan untuk masjid, karena tidak mungkin kami tidak memberikan apapun sedang kami menggunakan fasilitas dan tempatnya. Kupikir-pikir ada benarnya juga ucapan Ibu, akhirnya dengan sangat hati-hati aku menjelaskan pada Mira, tentu saja tidak aku katakan alasan dari Ibu, mengingat waktu itu Mira belum sah menjadi istriku, aku takut Mira membatalkan semuanya, jika ia benar-benar mengetahui bahwa Ibu sebenarnya menentang pernikahan kami, hanya kukatakan tidak adanya biaya untuk ucapan terimakasih ke masjid, jika dirumahku

  • Racun Mertua   Bab 62 (Menyongsong hari bahagia)

    Pov Author"Kamu cantik, Mir ... Nggak kelihatan sama sekali jendesnya," ujar Ratih kagum melihat Mira dengan kebaya pernikahannya."Ish udah diangkat abis itu dijatuhin," jawab Mira dengan wajah yang ditekuk."Emang kenyataannya begitu. Mau gimana lagi. Tapi bersyukurlah Mir, karena status jendesmu, sekarang akan jadi istri lagi. Coba aja kalau kamu nggak jendes, apa bisa sama Pak Rezi," jelasnya lalu tertawa.Ada benarnya juga, pikir Mira."Aku cantik ya, Tih?""Sangat. Dan, akan segera menjadi perempuan bahagia. Kamu akan jadi pusat dunia Pak Rezi. Juga jadi menantu kesayangan dan satu-satunya keluarga Pratama. Aku lega Mir, akhirnya kamu memilih Pak Rezi."Mira sungguh terharu dengan apa yang diucapkan Ratih dan lantas memeluknya sahabatnya itu."Jangan nangis, aku nggak mau makeupmu rusak," pinta Ratih.

  • Racun Mertua   Bab 61 (Flashback)

    Suara ketukan pintu dan panggilan dengan tak sabar terdengar dari luar, aku yang sedang menyusui Kainan seketika kaget dan cemas karena ketukan dan panggilan dari Bang Raihan itu bisa membangunkan Kainan."Sssttt, sebentaaarr," ujarku berdesis pelan."Miraa, Mir. Tidur atau gimana ya," teriak Bang Raihan semakin menjadi. Kainan mulai menggeliat gelisah disampingku."Ssstt, sebentar Bang, masih nyusui Kainan," desisku lagi. Rasanya tidak ada hal yang lebih menjengkelkan selain saat dihadapkan pada situasi seperti ini. Kuraba sisi tempat tidur mencari ponselku. Kucari nomor Bang Raihan."Eh kenapa nelpon, lagi main game tahu, buka pintunya," jawab Bang Raihan begitu panggilan tersambung."Bisa diam nggak sih Bang? Mira masih nyusuin Kainan. Nggak tuli kok yang disini. Sebentar," jawabku lalu panggilan kuakhiri begitu saja.Pelan aku melepaskan diri dari Kainan,

  • Racun Mertua   Bab 60 (Sebuah Harapan)

    Pov HasanSudah sebulan sejak aku meminta Mira untuk kembali padaku, dan sejak malam tadi aku terus saja menghubunginya tanpa henti. Dan, pagi ini pun demikian. Entah mengapa ia tidak mengangkat teleponku, tidak biasanya. Aku rasa aku terlalu lama sudah menunggu."Assalamu'alaikum. Halo Bang.""Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja kan Mir? Kenapa sejak semalam tidak angkat-angkat telepon Abang?" tanyaku bertubi begitu telepon tersambung. Aku sungguh mengkhawatirkannya."Ya, maaf Bang. Mira sedang sibuk saja, banyak urusan. Maaf.""Oh iya, tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja. Hm, Abang mau tanya, soal keputusan kamu Mir. Bagaimana? Apa sudah ada?" tanyaku hati-hati. Jantungku berdetak tak karuan menunggu jawaban Mira. Terderngar helaan napasnya diseberang sana. Ah, apa ini, mendengar helaan napasnya saja membuat dadaku bergetar tak karuan."Mira menerima saran Abang. Kita akan membesarkan Kainan bersama."Cepat kupegang tembok rumah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status