Share

Bab 3 (Berkunjung)

Aku baru saja meletakkan barang belanjaan, rasanya urat di leher sakit setelah mendengar pertanyaan tetangga soal momongan.

Cepat aku men

eguk air segelas, dan tandas seketika.

 

"Belum isi ya, Mir?" tanya Bu Nani ketika aku sedang memilih sayuran tadi.

 

"Belum, Bu." Aku tersenyum.

 

"Kok lama, ya? Anakku dua tahun menikah sudah isi. Sudah periksa?" 

 

"Saya baru tujuh bulan, Bu."

 

"Lah, ya itu sudah termasuk lama, ponakanku nikah langsung isi. Coba periksa mana tahukan?"

 

Aku tersinggung.

 

"Kalau tujuh bulan lama, terus anak Ibu yang dua tahun itu apa namanya? Alot?" sinisku.

 

Terlihat wajah Bu Nani masam, sedang Ibu lainnya terdengar cekikikan.

 

Padahal rezeki, maut, dan jodoh, Allah lah penentunya, begitu juga dengan rezeki mendapatkan keturunan.

 

"Pantes mertuamu urut dada, menantunya melawan begini."

 

Ah, apa lagi ini?

Mendengar nama mertuaku disebut hatiku panas, aku merasa ada yang tidak beres.

 

"Jangan terlalu mencampuri rumah tangga orang, Bu. Saya bukan anak Ibu! Dan saya, juga tidak meminta pendapat Ibu. Jadi bersikaplah sewajarnya sebagaimana tetangga!"

Segera kubayar belanjaan dan pamit pada Ibu yang lainnya.

 

***

 

Aku memasak dalam keadaan tidak fokus.

Pasti ada sesuatu hal, mengapa Bu Nani menyebut-nyebut Ibu mertua.

Tapi apa, ya?

 

Dering ponsel membuyarkan pikiran, segera aku meraihnya, dan terpampang nama Ratih di layar, teman bekerja di pabrik mebel dulu.

 

"Assalamu'alaikum, Tih."

 

"Waalaikumsalam, Ra, sehat?" 

 

Setelah berbasa-basi sebentar, Ratih pun mengungkapkan tujuannya menghubungiku untuk memberitahukan bahwa pabrik mebel tempatku bekerja dulu membuka lowongan pekerjaan kembali, salah satunya sebagai customer service dan yang di utamakan adalah karyawan/ti yang sudah berpengalaman.

 

Mendengar kabar tersebut rasanya melegakan sekali.

 

Langsung kuhubungi Bang Hasan yang sedang bekerja, Bang Hasan memang bekerja di akhir pekan. Mengecheck semua mesin di divisinya, memastikan agar besok tidak ada kendala mesin rusak atau mati. Tidak lama hanya tiga jam bekerja.

 

Entah mengapa aku tak sabar ingin memberitahunya perihal kabar yang kudapat dari Ratih.

 

"Assalamu'alaikum, Mir." Terdengar sambungan terhubung di seberang sana.

 

"Waalaikumsalam, Bang, mau tanya jam berapa Abang pulang, seperti biasakah?"

 

"Iya, kira-kira sejam lagi Abang sampai ya, kamu siap-siap, kita ke rumah Ibu."

 

Aku tercekat. "Untuk apa, Bang?" 

 

"Mengantar uang untuk Lina, alhamdulillah Abang dapat pinjaman dari koperasi pabrik." Bang Hasan terdengar sumringah di seberang sana.

 

"Insha Allah, ya, Bang. Rasanya kepala Mira sedikit sakit. Sudah dulu, ya, Bang. Assalamualaikum."

 

Kumatikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Bang Hasan.

 

Aku tidak berbohong, kepalaku memang sakit, lebih tepatnya mendadak sakit, setelah mendengar nama Ibu disebut, terlebih Bang Hasan turut mengajakku berkunjung.

 

Kutinggalkan bahan masakan yang semula hendak kumasak, aku memilih merebahkan diri di kamar.

 

Kenapa pernikahan yang kubayang-bayangkan bahagia, menjadi menakutkan dan membuatku tertekan seperti ini?

Apa semua Ibu mertua memang seperti Ibu?

Atau memang nasibku yang mengenaskan?

 

Kata Bang Hasan, sebenarnya Ibu itu baik, hanya saja caranya berbicara memang ceplas-ceplos. Aku harus maklum.

Iya kuakui dia baik, tapi pada anak-anaknya bukan padaku, yang hanya menantunya ini.

 

Bang Hasan juga bilang sebenarnya Ibu itu menyayangiku.

Aku harus bisa mengambil hati Ibu.

 

Ah, kenapa harus aku?

Kenapa harus menantu yang coba mendekatkan diri?

Bagaimana bisa mendekatkan diri, kalau belum apa-apa saja Ibu sudah duluan menghujaniku dengan kata-kata setajam bisa?

 

Dan untuk mengambil hati Ibu? 

Bagaimana caranya?

Yang ada nyawaku yang diambil Ibu terlebih dahulu.

**

 

Tok ... tok ... tok.

 

"Assalamu'alaikum, Mira."

 

Aku tersentak, seperti suara Bang Hasan. Kulihat jam di dinding, ternyata sudah satu jam lebih aku tertidur.

Cepat aku berdiri, untuk membukakan pintu.

 

"Waalaikumsalam, iya, Bang." Aku memperbaiki ikatan rambut.

 

"Kenapa lama buka pintunya?" tanya Bang Hasan sembari mengulurkan tangannya.

 

"Mira ketiduran, Bang."

 

"Ya sudah, kamu siap-siap ya. Abang mau mandi dulu."

 

"Hm, apa Mira harus ikut, Bang?" tanyaku ragu.

 

"Iya, sudah siap-siap, ya. Yang cantik. Pulang dari rumah Ibu, kita undangan. Aqiqahannya anak manager pabrik," jawab Bang Hasan sambil menarik tubuhku pelan ke kamar.

 

Aku sangat ingin pergi undangannya, sudah lama rasanya aku tidak berpakaian bagus dan berdandan.

Tapi, ke rumah Ibu?

Itu yang membuat aku berat.

 

"Mira nggak punya baju bagus,

Bang." Aku beralasan.

 

"Adalah, kamu lupa? Di koper merahkan baju kamu banyak, Mir." Bang Hasan sumringah.

 

Jelas aku ingat, koper itu memang berisi pakaian dan barangku sewaktu gadis dulu.

 

Saat tinggal di rumah Bang Hasan, lemarinya tidak cukup sehingga aku memilah dan memasukkan pakaian dan barang yang bagus ke koper besar.

 

Kini Bang Hasan sudah membuka koper besar berukuran 32" tersebut dan tampaklah semua pakaian dan barang milikku.

 

Ah ... aku merindukan masa gadis dahulu.

Setiap bulan aku wajib membeli pakaian atau segala barang yang aku inginkan.

 

Terlihat Bang Hasan mengambil gamis berwarna peach, senada dengan hijabnya.

Juga tas tangan berwarna hitam yang merupakan tas pemberian atasanku, oleh-oleh darinya saat pergi ke luar negeri.

Aku menyimpannya dengan amat sangat hati-hati karena aku tahu tas tersebut tidaklah murah.

 

Lantas aku teringat dengan wedges simple bermerk.

Aku tidak tahu apakah itu asli atau tidak yang jelas itu juga dari negeri tetangga dengan khas menara kembarnya.

Saat itu aku juga menitip beli pada istri atasanku.

 

Melihat itu semua, entah energi datang dari mana. Aku menjadi bersemangat.

Cepat aku mandi, dan kukenakan semuanya.

Mataku berbinar menatap diri ini di cermin.

Aku terus bertanya-tanya, diriku kah ini?

 

Di rumah Bang Hasan, jangankan berpakaian begini, untuk mandi saja aku susah, ada saja hal yang Ibu teriakan untuk aku kerjakan.

 

Bang Hasan tersenyum saat melihatku, mendekat lalu mengecup kening.

 

"Bidadari surga dan duniaku" bisiknya.

 

Perutku rasanya seperti tersengat listrik, seperti banyak kupu-kupu menari-nari di sana.

 

"Kita let's go, Bang? ajakku sumringah sambil menggamit lengan Bang Hasan.

 

"Let's go ke rumah Ibu," jawabnya lebih sumringah dan bersemangat.

 

Seketika, aku melepaskan lengan Bang Hasan.

 

Kembali sesak menghimpit dada.

Kerumah Ibu mertua saja rasanya seperti hendak perang melawan penjajah.

 

Bismillah.

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Yg ada jg lu bakalan dicaci maki trus tas lu bakalan diminta dh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status