"Assalamu'alaikum, Mir, Mira." Terdengar salam di ujung pintu, aku yang sedang merendam pakaian kotor tergesa-gesa segera menemui si empu suara.
"Waalaikumsalam. Oh Ibu, masuk, Bu," ajakku setelah membukakan pintu.
"Lama bener bukain pintunya, baru bangun kamu, ya?" sentak Ibu mertua.
"Nggak, Bu, Mira tadi—"
"Alah alasan! Jadi istri itu jangan malas, belum juga punya anak, bagaimana kalau sudah punya anak, bisa mati tak terurus anakmu," sela Ibu. "Mana Hasan?" lanjutnya lagi dan melangkahkan kaki masuk.
"Bang Hasan, kerja, Bu." Kupersilakan Ibu untuk duduk.
"Loh, bukannya ini Sabtu, ya? Kenapa Hasan masuk kerja?""Mira nggak tahu, Bu. Bang Hasan bilang ada yang harus di kerjakan di pabrik."
"Duh, ini kursi kok gini amat, ya, sampe sobek begini sarungnya," ucapnya sambil menyentak sarung kursiku. Bagaimana tidak sobek? Kursi tersebut adalah kursi yang ada di rumah orangtua Bang Hasan yang usianya mungkin sudah sama dengan usia adik iparku. Bukan karena baiknya Ibu mertua, tapi karena kursi itu adalah hasil pertukaran kursi milikku yang merupakan kado pernikahan dari atasan saat aku bekerja di pabrik mebel dahulu.
Memang, saat itu kami masih tinggal bersama Ibu, jadi semua barang milik kami di letakkan di rumah Ibu, tapi saat aku mendapat rumah warisan orangtuaku, aku memujuk Bang Hasan untuk pindah. Namun, saat itu Ibu mertua melarang kami membawa barang-barang yang sejak awal memanglah milik kami."Kalian itu masih pengantin baru, belum punya tamu, bedalah sama Ibu. Teman arisan Ibu banyak, lagi pula kalau kalian pindah bawa ini semua, apa kata tetangga, mereka akan mengira Ibu mengusir kalian," jelas Ibu waktu itu.
Dan, akhirnya Bang Hasan pun memujuk agar aku mau menukar kursi itu dengan janji akan menggantinya saat bonus akhir tahun dari kantor keluar.Hal yang sama juga terjadi dengan lemari, tempat tidur dan meja rias yang merupakan pemberian Bang Hasan untuk hantaran. Tapi bukan untuk Ibu mertua, melainkan untuk adik ipar."Lina itu, kan anak gadis, sudah mau kuliah, pasti temannya banyak nanti yang datang main kesini terus cerita-cerita di kamarnya, ya dia pasti malu kalau barang di kamarnya jelek. Kalau kalian, kan sudah menikah, nggak ada yang harus di 'malu'in. Lagipula biarkanlah itu jadi pemberian Hasan terakhir kali untuk adiknya. Nanti juga kalau sudah menikah, Lina nggak akan minta apa-apa lagi sama masnya."
Bahkan sprei, handuk, kain panjang, tidak luput dari mata Ibu, begitu pula dengan peralatan dapur.
Pov LinaAku terbangun ketika kurasakan ponselku berdering kuat, pelan kuraih ponsel itu. Panggilan dari Tio."Ya, Halo?""Kamu udah makan?""Hm, belum.""Baru bangun ya?" tebaknya dan tepat."Iya, kok tahu?""Kecium asemnya, tapi aku suka.""Alah gombal," jawabku tapi jujur aku suka."Yaudah, udah jam sembilan, kamu makan ya. Aku jemputnya agak telat nanti ya sekitar jam dua belasan.""Kok lama?" protesku."Aku ada urusan sayang. Sabar ya. Aku pasti bantu, nggak akan lari. Janji," ucapnya meyakinkan."Oke, aku makan dulu ya, mau mandi juga. Aku gerah.""Sip," jawab Tio lalu mengakhiri sambungan telepon.Kupandangi jam di dinding yang tak berhenti berdetak, aku tahu, pasti kini Ma
Pov LinaAku baru saja bangun dari tidur, ketika kusadari rasa nyeri terasa di rahim bagian bawah, pelan aku meraba perut, memastikan apa semuanya sudah berjalan sesuai keinginanku. Rabaan dari perut yang tak rata menyadarkan bahwa semuanya sia-sia. Bayi sial ini tak kunjung pergi dari hidupku. Apa maumu, sial! Ocehku dalam hati. Semua cara rasanya sudah aku lakukan, memakan semua ramuan yang ku fermentasikan, memakan semua pantangan buah yang katanya membahayakan, namun janin sial ini tetap saja betah didalam. Hanya ada dua jalan terakhir yang bisa aku lakukan, pertama meminum pil yang kata Keke nomor satu dan mumpuni itu, dan cara kedua menggunakan cara yang lebih ekstrim, ab*rsi. Cara yang kedua, pasti lebih jelas, walau itu pasti membahayakan nyawa ku juga. Tapi tak ada cara lain, semakin lama janin ini akan semakin membesar. Aku akan melakukan apapun untuk membuangnya. Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tak punya uang. Jika aku punya uang sudah dari dulu a
Pov HasanDengan berat kulangkahkan kaki menuju rumah besar ini. Aku berdiri di depan pagar tinggi rumah dengan model lama namun tetap terawat. Disebelah nya ada sebuah bangunan Masjid yang indah, tempat yang pernah menjadi keinginan Mira untuk melaksanakan akad nikah kami. Tapi sayang, waktu itu Ibu menolak keinginan Mira, karena kata Ibu repot harus membawa seserahannya kesana, pun rombongan yang mengantarkan kami. Belum lagi amplop yang harus diberikan untuk masjid, karena tidak mungkin kami tidak memberikan apapun sedang kami menggunakan fasilitas dan tempatnya. Kupikir-pikir ada benarnya juga ucapan Ibu, akhirnya dengan sangat hati-hati aku menjelaskan pada Mira, tentu saja tidak aku katakan alasan dari Ibu, mengingat waktu itu Mira belum sah menjadi istriku, aku takut Mira membatalkan semuanya, jika ia benar-benar mengetahui bahwa Ibu sebenarnya menentang pernikahan kami, hanya kukatakan tidak adanya biaya untuk ucapan terimakasih ke masjid, jika dirumahku
Pov Author"Kamu cantik, Mir ... Nggak kelihatan sama sekali jendesnya," ujar Ratih kagum melihat Mira dengan kebaya pernikahannya."Ish udah diangkat abis itu dijatuhin," jawab Mira dengan wajah yang ditekuk."Emang kenyataannya begitu. Mau gimana lagi. Tapi bersyukurlah Mir, karena status jendesmu, sekarang akan jadi istri lagi. Coba aja kalau kamu nggak jendes, apa bisa sama Pak Rezi," jelasnya lalu tertawa.Ada benarnya juga, pikir Mira."Aku cantik ya, Tih?""Sangat. Dan, akan segera menjadi perempuan bahagia. Kamu akan jadi pusat dunia Pak Rezi. Juga jadi menantu kesayangan dan satu-satunya keluarga Pratama. Aku lega Mir, akhirnya kamu memilih Pak Rezi."Mira sungguh terharu dengan apa yang diucapkan Ratih dan lantas memeluknya sahabatnya itu."Jangan nangis, aku nggak mau makeupmu rusak," pinta Ratih.
Suara ketukan pintu dan panggilan dengan tak sabar terdengar dari luar, aku yang sedang menyusui Kainan seketika kaget dan cemas karena ketukan dan panggilan dari Bang Raihan itu bisa membangunkan Kainan."Sssttt, sebentaaarr," ujarku berdesis pelan."Miraa, Mir. Tidur atau gimana ya," teriak Bang Raihan semakin menjadi. Kainan mulai menggeliat gelisah disampingku."Ssstt, sebentar Bang, masih nyusui Kainan," desisku lagi. Rasanya tidak ada hal yang lebih menjengkelkan selain saat dihadapkan pada situasi seperti ini. Kuraba sisi tempat tidur mencari ponselku. Kucari nomor Bang Raihan."Eh kenapa nelpon, lagi main game tahu, buka pintunya," jawab Bang Raihan begitu panggilan tersambung."Bisa diam nggak sih Bang? Mira masih nyusuin Kainan. Nggak tuli kok yang disini. Sebentar," jawabku lalu panggilan kuakhiri begitu saja.Pelan aku melepaskan diri dari Kainan,
Pov HasanSudah sebulan sejak aku meminta Mira untuk kembali padaku, dan sejak malam tadi aku terus saja menghubunginya tanpa henti. Dan, pagi ini pun demikian. Entah mengapa ia tidak mengangkat teleponku, tidak biasanya. Aku rasa aku terlalu lama sudah menunggu."Assalamu'alaikum. Halo Bang.""Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja kan Mir? Kenapa sejak semalam tidak angkat-angkat telepon Abang?" tanyaku bertubi begitu telepon tersambung. Aku sungguh mengkhawatirkannya."Ya, maaf Bang. Mira sedang sibuk saja, banyak urusan. Maaf.""Oh iya, tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja. Hm, Abang mau tanya, soal keputusan kamu Mir. Bagaimana? Apa sudah ada?" tanyaku hati-hati. Jantungku berdetak tak karuan menunggu jawaban Mira. Terderngar helaan napasnya diseberang sana. Ah, apa ini, mendengar helaan napasnya saja membuat dadaku bergetar tak karuan."Mira menerima saran Abang. Kita akan membesarkan Kainan bersama."Cepat kupegang tembok rumah