Share

Bab 4 (Permintaan bekerja)

Di perjalanan kucoba memulai pembicaraan dengan Bang Hasan mengenai kabar dari Ratih.

Tapi jawaban Bang Hasan sungguh di luar dugaanku.

 

"Mir, bukannya kita sudah sepakat untuk kamu resign setelah menikah? Lagi pula kamu harus istirahat dan bahagia agar kita segera mendapat anak. Abang sudah sangat menantikannya. Mir."

 

Sungguh jawaban Bang Hasan sangat membuatku lemas.

 

"Tapi, Mira mau bantu Abang, lagi pula jika sudah tiba waktunya, Allah pasti kasih kita rezeki anak. Sudah tujuh bulan kita menikah, toh aku belum hamil juga kan, padahal aku juga sudah di rumah tidak bekerja. Ya, karena memang Allah belum memberi kita rezeki anak, Bang," jawabku diantara deru angin.

 

"Abang sungguh masih sangat sanggup menafkahimu lahir dan batin, Mir. Di rumah saja, ya."

 

"Tapi Ibu minta aku kerja, Bang." Aku masih berusaha meyakinkan Bang Hasan untuk memberiku izin.

 

"Ibu biar menjadi urusan Abang, kamu tenang saja, ya." 

 

"Abang janji?" 

 

"Janji."

 

"Baiklah." Aku mengalah dan mencoba percaya pada Bang Hasan.

 

***

 

"Kamu datang sama siapa, San?"

 

Kudengar Ibu bertanya, usai Bang Hasan masuk kedalam rumah Ibu.

Aku memang belum masuk rumah, masih berbicara dengan tetangga Ibu yang tadi menyapaku.

 

"Sama Mira, Bu, siapa lagi?" 

 

"Oh itu istrimu? Ibu pikir tadi siapa."

 

Setelah berbincang pada tetangga Ibu, aku izin untuk masuk ke dalam rumah.

 

'Assalamua'alaikum, Bu." Aku mengulurkan tangan.

Yang ingin di salam malah mematung melihatku.

 

"Bu. Mira mau salam Ibu," panggil Bang Hasan.

 

"Eh, iya, San. Kalian darimana?" tanya Ibu sembari menerima uluran tanganku.

 

"Dari rumah, Bu. Memang sengaja singgah kesini, antar uang untuk Lina."

 

"Mau kesini saja penampilanmu begini, Mir?" Telunjuknya naik turun menilaiku.

 

"Kami mau sekalian undangan, Bu setelah dari sini."

 

Aku diam saja dan memilih duduk.

 

"Oh, ya sudah mana uangnya?" pinta Ibu, namun matanya tetap tidak lepas memperhatikanku.

 

Bang Hasan pun mengambil dompetnya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah, lalu memberikannya pada Ibu.

 

"Kamu sudah makan, San? Ibu masak enak itu, masak ayam semur kesukaan kamu," tawar Ibu pada Bang Hasan sambil menghitung lembaran uang di tangannya.

 

"Sudah, Bu, tadi di rumah, lagi pula nanti di tempat undangan, kan makan lagi."

 

"Lusa beri Ibu uang lagi ya, San. Hari Jum'at, Ibu mau arisan di rumah Bu RT, gamisnya kembaran warna biru langit, Ibu belum punya warna itu.

 

"Berapa, Bu?"

 

"Nggak banyak, dua ratus ribu saja.

 

"Hasan usahakan ya, Bu," jawab Bang Hasan ragu.

 

"Harus ada," tegas Ibu.

 

Dan Bang Hasan hanya diam saja tanpa berusaha menjelaskan kondisi keuangan kami.

 

Tidak lama Lina datang menghampiri.

 

"Mas, baru datang?" tanyanya sambil bergelayut manja di lengan Bang Hasan.

 

"Iya, ada perlu sama Ibu," jawab Bang Hasan sambil mengacak rambut adik semata wayangnya tersebut.

 

"Mas, bagi duit dong, paket internetku sudah mau habis."

 

"Mir, kasih ke Lina lima puluh."

 

Aku pun lantas membuka tas, mengeluarkan dompet lalu memberikan Lina uang yang di mintanya.

Dari ekor mataku melirik, sangat terlihat Ibu benar-benar memperhatikan gerak-gerikku.

 

"Wah, gamisnya Mbak Mira cakep bener," ucap Lina, dan duduk di sampingku, "lihat merknya dong, Mbak."

Lina menarik gamisku yang kebetulan merknya terdapat di bagian sisi samping.

 

"Wah, ini mehong loh, Mbak", ia berdecak kagum, "kapan-kapan aku pinjam ya Mbak," ucapnya lagi, tapi pandangannya seperti menyiratkan sesuatu pada Ibu.

 

"Ini uang yang Ibu minta dari mana, San? Kata Mira kalian nggak punya simpanan. Hanya pas buat makan sampai kamu gajian. Kenapa baru semalam Ibu minta, siang ini sudah ada?"

Tiba-tiba Ibu menyela ucapan Lina.

 

"Itu uangnya dari koperasi, Bu," jawab Bang Hasan.

 

"Kamu begini sama mertuamu, Mir? Perhitungan sekali, ya? Tampilanmu begini hanya akan ke rumah mertua, tapi kamu bilang nggak punya uang. Lina hampir saja kuberhentikan sekolah karena nggak bisa bayar uang studytournya. Kamu sengaja menghina Ibu?" ucap Ibu sembari telunjuknya di arahkan padaku.

 

Aku terkejut, jantungku berdetak tak berirama.

Darahku berdesir, antara takut dan ingin melawan.

 

"Kami mau pergi undangan setelah ini, Bu. Bukan hanya mau ke rumah Ibu." Aku masih berusaha menenangkan diri.

 

"Pantes ya gaji anakku yang empat juta itu nggak kelihatan, ternyata begini caramu mengelola uang anakku?" ucap Ibu semakin menjadi.

 

"Ini bukan pemberian Bang Hasan, Bu, ini Mira—" Aku berdiri dari duduk.

 

"Anakku cuma kamu kasih makan kangkung, tampilanmu begini hanya akan pergi undangan bak istri pejabat saja. Hebat kau, ya Mir!" Ibu berdecih.

 

Belum sempat aku menjawab apa pun, Ibu sudah menghujaniku dengan berbagai tuduhan.

 

"Bang." Aku memanggil Bang Hasan untuk meminta bantuan menjelaskan pada Ibu.

Tapi yang di panggil hanya diam mematung di sudut kursi bagian sana.

Entah karena terkejut sepertiku, atau karena masih memaklumi sikap Ibunya.

 

"Dari awal Ibu memang sudah nggak setuju Hasan menikahimu. Terlebih setelah tahu, kamu anak piatu. Entah apa yang ada di pikiran anakku sehingga dia memilihmu. Dan ternyata dugaanku benar! Istri pengeretan! Harusnya kamu juga bekerja, tapi kamu berleha-leha di rumah sedangkan anakku kau jadikan sapi perahan. Lalu keringatnya kamu belikan barang-barang bagus dan mahal, sangat terlihat memang kamu nggak di didik Ibumu dengan baik."

 

Mataku memanas.

Lagi dan lagi dia membawa-bawa Ibuku.

Sudah cukup, ini sudah cukup.

Dan mana janji Bang Hasan yang ia ucapkan sewaktu di jalan tadi?

Padahal jarum jam saja belum jauh berdetak.

 

Aku tidak tahan lagi.

Aku menghampiri Ibu, mensejajarkan tubuh dengannya.

 

"Bu, bertindaklah sesuai porsinya Ibu sebagai mertua. Ibu tidak berhak penuh atas diriku, apalagi jika selalu mengkait-kaitkan Ibuku yang sudah tenang disana dengan kekuranganku di mata Ibu, jadi kumohon jangan buat aku menjadi melawan padamu," jawabku meninggi.

 

"Mira ..." Terdengar suara Bang Hasan lirih.

 

Lina memilih pergi ke luar rumah, sedang Ibu terlihat melotot, mukanya memerah dengan nafas memburu.

Saat ini ia terlihat benar-benar seperti ingin menerkamku.

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Tuh kan bener pasti dicaci maki
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status