Share

Bab 4. THE LONELY

Esok paginya Kania terbangun karena ada keributan di luar kamarnya, dengan kepala berat akibat baru tidur jam 3 dini hari setelah melarikan diri dari apartemen saat tunangan gadungannya baru terlelap, Kania bangkit dan keluar kamar, sebenarnya dia malas berurusan dengan mereka semua.

Betapa kagetnya Kania, karena dia melihat ayahnya sedang tergeletak di lantai.

Mungkinkah ayahnya mencarinya?

"Pa, kenapa Pa?" Kania segera bergegas mendekati ayahnya.

"Anak nggak berbakti, nggak bisa bikin hati orang tua senang, sejak kau menolak menikah dengan Bram ayahmu seperti orang stress, inilah yang terjadi akhirnya, anak durhaka!" cerocos Ibu tirinya menyudutkan Kania.

"Kenapa jadi Kania yang salah? Kalian yang tidak tahu diri!"

"Masih juga ngeles, kalau kamu setuju menikah dengan Bram, tidak akan begini jadinya!"

"Anak dan ibu sama saja!" Cetus Kania.

"Hei tidak usah sok alim ya, lihat aja di lehermu, ganjen pura-pura alim, huh!" Teriak ibu tirinya.

Kania terkejut, teringat malam yang baru saja dilaluinya...karena terlalu cemas melihat ayahnya jatuh sampai dia lupa menutup lehernya, ah biarlah...ayahnya membutuhkan bantuan segera.

Kania tidak lagi memperdulikan ibu tirinya, dia tidak repot-repot berkaca karena ayahnya lebih penting.

Dia berlari mencari Pak Sur, sopir pribadi mereka.

Dengan bantuan Pak Sur, Kania berhasil menaikkan ayahnya ke mobil dan segera membawanya ke rumah sakit.

Seorang dokter wanita ahli jantung yang cukup senior menemui Kania.

"Sudah cukup lama, sejak serangan jantung menyerangnya, kenapa tidak langsung dibawa ke rumah sakit?"

"Saya tidak tahu awal jatuhnya ayah saya, Dok!" Dalam hati Kania menebak, pasti ibu tirinya tahu, tapi sengaja tidak segera membawa ayahnya, pasti ada unsur kesengajaan.

"Kami sedang berusaha." kemudian dokter itu pun berlalu.

Selang dua jam kemudian, dokter itu kembali mendapatkan Kania.

Mereka berhadapan, dokter itu belum mengucapkan sepatah katapun, tapi sinar matanya sudah berbicara banyak, Kania menitikkan air mata dengan tubuh yang gemetaran.

Hatinya berteriak ... jangan lagi, aku sudah kehilangan ibuku, jangan lagi ayahku...

Dokter wanita itu memegang kedua bahu Kania yang gemetaran, akhirnya Kania masuk dalam pelukan yang menenangkan dan menangis.

MENANGISI hidupnya yang SUNYI.

Setelah sedikit lega Kania melepaskan tubuhnya dari pelukan dokter itu, mengucapkan terima kasih, dan mohon diri untuk mempersiapkan pemakaman ayahnya.

Kania berlalu diiringi pandangan prihatin dokter wanita itu.

**

SATU BULAN KEMUDIAN

"Keluar kau dari rumah ini, aku kasih waktu 2 hari dari sekarang!" Teriak Sonya.

"Omong kosong, kalian hanya menggertakku, akulah ahli waris tunggal rumah ini!"

"Bebal sekali sih, semua surat kepemilikan sudah berpindah atas namaku, Emmy Damayani. Jadi kalau kamu mau menunggu hingga aku menggunakan jalur hukum untuk mengeluarkanmu, nggak masalah, tunggu aja!" Bantah ibu tirinya dengan wajah sombong.

"Kalian pasti menggunakan cara kotor untuk menguasai harta ayahku, kalian memang kotor." Tuduh Kania sambil memandang ibu dan adik tirinya.

"Ha ha masih juga menunjukkan taringnya, bahkan perusahaan itu sudah atas nama menantuku, apa lagi yang kamu punya?"

"Apa?" Kania tahu bahwa ayahnya terlalu percaya pada Bram, apa semudah itu memindahkan aset? pasti ada kerjasama kotor yang membuat semua ini jadi nyata.

Pantas, biasa setiap bulan ada dana yang rutin masuk ke rekeningnya, bulan ini tidak ada karena Bram sudah mengendalikan semuanya.

Untunglah selama ini Kania sudah menginvestasikan uangnya dengan benar.

Perusahaan ayahnya bergerak dalam bidang tambang, cukup besar, dan membuat mereka bisa hidup berkecukupan, Kania bisa kuliah di luar negeri hingga dua jurusan dalam waktu yang bersamaan.

Betapa hidupnya begitu indah saat ibunya masih hidup, walau saat itu ayahnya sudah sering bermain wanita.

Saat itu Kania berpikir pacar-pacar ayahnya sungguh tidak punya harga diri, mau jadi orang ke-3, penggoda, perusak rumah tangga orang lain.

Akan tetapi semakin dia dewasa dia jadi paham peran ayahnya dalam pengkhianatan itu SAMA BESARNYA dengan wanita-wanita selingkuhannya.

"Kamu sekarang udah miskin, papa, hina, tak punya daya apa-apa, jadi jangan sok jual mahal, jangan sok bener, cepat keluar dan cari kerja di toko kek, di pabrik kek, biar kamu bisa makan, karena kami akan menghentikan aliran dana ke rekeningmu!" kata Ibu tirinya yang ternyata sudah bekerja sama dengan Bram.

Kania memandang Ibu mertuanya, dan Sonya yang sedang membelai-belai perutnya seakan ingin mengejek Kania.

"Aku akan keluar dari rumah ini, tapi aku akan membuktikan bahwa sertifikat kalian palsu, yang kalian buat ini melanggar hukum, kalian ingat baik-baik HARINYA akan TIBA, aku akan membuat kalian membusuk di penjara."

Tawa kedua orang wanita itu terdengar membahana.

"Apa yang akan kamu lakukan? melaporkan kami? Pakai uang apa? Memangnya gratis bayar pengacara...atau bayar pakai tubuhmu yang sedingin es itu?" Ibu mertuanya tertawa sinis.

Tertawalah sepuasmu, aku bukan wanita yang lemah, kata hati Kania.

Kania masuk ke kamarnya, segera mengambil semua surat-surat penting, beberapa baju, memasukkannya ke dalam travel bag, saat itulah bik Sih menghampirinya, kemudian berdiri sambil menangis di samping Kania.

bik Sih sudah ikut mereka sejak ibu Kania masih ada, bik Sih yang merawat dan menjaga Kania sejak kecil.

"Bibik ikut Non aja." Pinta bik Sih.

"Bi, tempat tinggal saja, saya masih bingung!"

"Di rumah lama aja Non, Bibik bersihkan pelan-pelan Non."

"Ya udah Bi, kalau misalnya ada sedikit masalah keuangan, Bibi bersabar ya, tapi pasti saya akan perhatikan keperluan Bik Sih."

"Non, yang penting bisa makan tiap hari, nggak usah bayar Bibik, Bibik juga hidup sendiri, temani Non aja, sekuatnya Bibik."

"Ya udah Bi, bawa bajunya Bi, terus kita berangkat."

Secepatnya bik Sih keluar dan kembali lagi sudah dengan tas pakaian di kedua tangannya.

Kania sedang memasukkan barang-barang terakhir ke dalam tas saat teriakan ibu tirinya tedengar kencang.

"Bi, kamu dimana? makan siang belum disiapkan!" bentak Ibu tiri Kania.

Kania memandang bik Sih.

"Yuk, kita berangkat Bi."

Mereka pun berjalan melewati ibu dan adik tiri Kania.

Mata ibu tiri Kania melotot melihat bik Sih membantu Kania.

"Ngapain bantuin orang miskin? Sana siapin makan siang cepat!" Bentak Sonya tak kalah kerasnya dari ibunya.

Bibi tak bergeming malah langkahnya makin cepat mengikuti langkah Kania.

"Bibik mau ikut Non Kania, permisi."

Tekejutlah ibu dan adik tiri Kania mendengar kalimat bik Sih.

"Apa-apaan ini, Kania kenapa kamu pakai ajak-ajak Bik Sih?"

"Bik Sih kenapa kamu ikut dia? dia itu sudah miskin papaaa, bayar gajimu aja pasti nggak cukup!" Ejek Sonya.

"Goblok banget sih Bik, enak-enak hidup tenang malah milih hidup susah, dia udah nggak punya pabrik, nggak punya rumah, nggak ada uang masuk sepeserpun, tahu nggak!"

Kania tak menghiraukan ibu dan anak yang jahat luar biasa itu, ia menggandeng tangan bibi dan membawanya keluar dari rumah itu, diiringi tawa sinis mereka yang merasa sudah berhasil mengalahkannya.

Di hadapan mereka Kania berusaha bertahan, tapi yang sebenarnya dia begitu sedih, dia akan HIDUP SENDIRI tanpa orang tua tanpa saudara, hanya ditemani bik Sih yang setia.

'akankah dia bisa bertahan dalam kesunyian hidupnya? berhasilkah dia membalaskan dendamnya?'

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nadlir Zain
aku senang Kania keluar dari rumah itu dari pada tinggal sm ibu tirinya
goodnovel comment avatar
archimedia carolmiana
kania wanita tangguh, seneng bacanya
goodnovel comment avatar
Maria Santi
tenang ksnia saatnya ahZn tiba
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status