Sore itu Mas Santoso pulang tepat waktu seperti biasa. Tidak ada hal mencurigakan yang terlihat di wajah pria berusia tiga puluh lima tahunan itu. Melihat Fatma yang tengah menyirami bunga mawar di pot-pot koleksinya, Mas Santoso yang baru saja turun dari motor maticnya datang menghampiri dan mengecup kening istrinya.
"Sore Sayang, masak apa nih?! Mas udah lapar," ucap Mas Santoso dengan wajah berbinar seusai mengecup kening Fatma.Wanita itu masih diam, tubuhnya terlalu kaku untuk membalas tatapan suaminya tersebut. Dulu, sebelum ia melihat kejadian itu tepatnya tadi siang, ia selalu berbunga-bunga ketika melihat motor matic suaminya datang. Fatma juga akan menyambutnya dengan riang, meletakkan selang air dan memeluk suaminya dengan manja.Tapi kini—bahkan aroma minyak wangi Mas Santoso pun sudah bercampur dengan aroma minyak wangi lain yang Fatma yakini mungkin itu minyak wangi milik sang wanita simpanan."Kok diam sih?! Ada apa? Mas tanya loh," ucap Mas Santoso sambil menepuk pipi istrinya dan tersenyum.Perlakuan manja suaminya tersebut bahkan tidak mampu menyembuhkan atas luka batin yang diterima Fatma. Menatap Santoso dengan tatapan berbeda, wanita itu pura-pura tersenyum pada suaminya. "Aku masak sayur nangka muda sama dadar telur Mas. Nggak tahu Mas suka apa enggak.""Wah, Mas tentu suka dong. Itu kan sayur kesukaan Mas, yuk masuk ke dalam rumah." Santoso merangkul Fatma, mengajak istrinya untuk meninggalkan kegiatannya menyirami bunga.Fatma hanya menurut, ia lalu meninggalkan selang air tanpa lupa mematikan kram. Sepertinya ia memang harus berpura-pura dulu untuk membuka kedok palsu suaminya saat ini.Mengingat kembali ucapan Pak Satpam tadi siang, hati Fatma seperti dirobek dengan ribuan jarum tangan. Sakit, perih, semua rasa itu menyatu di dalam hati.Santoso tersenyum, ia langsung membawa Fatma menuju ke dapur. Melepas jas hitam yang ia pakai, pria itu meletakkan ponselnya diatas meja makan. "Dek, aku buang air dulu ya. Tolong bikinin aku minum dulu dong."Mas Santoso lantas ngacir menuju ke toilet yang terdapat di samping area dapur. Atas perintah suaminya, Fatma bangkit dari duduknya dan mulai membuatkan teh lemon hangat kesukaan Mas Santoso.Perhatian Fatma pecah saat ponsel Santoso berdering, ia mendekat ke arah ponsel dan melihat nama siapa yang tertera di sana. Pak Bambang?!Kekesalan Fatma kembali memuncak, Pak Bambang ini bahkan ketika pekerjaan telah usai ia masih saja menelpon suaminya untuk urusan pekerjaan. Sebenarnya Pak Bambang ini orang gabut dari planet mana sih?!Fatma menghela napas, ia meraih ponsel itu dan hendak menjawabnya namun Mas Santoso sudah keluar dari toilet."Siapa Dek?" Santoso mendekat, wajahnya nampak tegang dan berjalan sedikit terburu-buru."Pak Bambang, Mas.""Sini, biar aku aja yang angkat." Santoso lalu meraih ponsel itu dari tangan Fatma, membawa pergi ponselnya jauh-jauh dari hadapan istrinya."Iya Hallo," jawab Mas Santoso sayup-sayup terdengar. Fatma menghela napas, ia membawa cangkir teh yang berada diatas meja dapur menuju ke meja makan lalu duduk manis disana.Tak kurang dari lima menit, Mas Santoso sudah kembali sambil tersenyum. Duduk di hadapan istrinya, Santoso lantas menyeruput minuman teh buatan istrinya yang sangat nikmat dan tiada banding. "Badanku jadi segar setelah meminum buatanmu, Dek. Kamu emang istri terbaik yang aku punya."Pujian seperti itu sudah pasti akan membuat hati para istri melayang bukan?! Tapi tidak untuk Fatma setelah melihat kejadian tadi siang. Sungguh, Fatma sendiri tidak percaya tapi itulah kenyataan yang menghampirinya."Mas, Pak Bambang ngapain kok telepon? Apa dia nggak tahu kalo ini tuh udah diluar jam kerja?" Fatma mencoba mencairkan suasana kaku yang tercipta di meja makan.Perlakuan Pak Bambang yang terkesan begitu disiplin membuat Fatma tak habis pikir. Bahkan ketika suaminya tidur malam pun, ia suka sekali telepon untuk membahas pekerjaan kantor.Santoso tersenyum, ia menatap piring yang diberikan Fatma untuknya. "Yah namanya juga atasan Dek, suka-suka dia kasih instruksi kapan saja. Tadi dia bilang kalo nanti malam ada meeting dadakan di hotel. Klien kami yang dari luar kota datang, dia minta beberapa laporan dari pabrik untuk pertimbangan berinvestasi."Fatma hanya diam, ia mengambil nasi dan menaruhnya di atas piring Santoso. "Aku nggak bisa bayangin Mas, punya atasan kayak dia.""Nggak usah dibayangin Dek nanti sakit. Mending bayangin sayur nangka buatan kamu, pasti enak banget ini." Santoso menggoda istrinya, mencubit hidung bangir milih Fatma yang menjadi daya tarik dan kecantikan tersendiri pada istrinya tersebut.Fatma hanya diam, ia menatap suaminya yang begitu berminat dengan sayur nangka olahannya. Meskipun hidup sederhana dan baru saja mau berkembang, Fatma bersyukur karena Mas Santoso bukanlah tipe pria yang suka pilih-pilih makanan.Baru saja hati Fatma terhibur, bola matanya kembali dicolok oleh keberadaan cincin emas yang tersemat di jari manis tangan kanan suaminya. Cincin itu sepertinya sangat berharga hingga sang pemilik tidak berminat untuk menanggalkannya.Dulu saat mereka menikah, Santoso menolak secara terang-terangan untuk memakai cincin kawin dengan alasan bahwa pria tidak diperbolehkan memakai cincin emas namun sekarang, lihatlah Mas Santoso sendiri, ia bahkan tidak mau meninggalkannya barang sejenak."Mas....""Heem... Iya Dek?!""Boleh aku pinjam cincinmu Mas?" Fatma tergerak untuk melihatnya lebih dekat, cincin emas itu sangat berkilau dan cantik berbeda dengan cincin kawin yang ia pakai sudah lebih dari delapan tahun dan mulai pudar warnanya."Oh, ini?" Santoso menunjukkan jarinya, wajahnya nampak berbeda. "Cincin milik ibu terlalu sempit di jariku Dek. Ini nggak bisa dilepas lagi, nyesel juga kemarin nyoba.""Apa nggak sakit Mas? Nanti jarimu bengkak loh.""Nggak papa kok, sebenarnya gak terlalu sempit sih cuma kalo dilepasin kadang susah dan harus butuh tenaga ekstra."Fatma terdiam, ada wajah kecewa yang terlihat di wajahnya. Ia menatap sekali lagi cincin itu dengan seksama. Andaikan itu benar-benar cincin ibu, seharusnya yang pantas memakainya adalah Fatma bukan Mas Santoso sendiri. Apa ini tidak mencurigakan bagi dirinya?!"Cincin Ibu cantik ya Mas, aku juga pengen punya cincin baru." Fatma berkata lirih, ia menunduk guna menyuarakan isi hatinya yang terdalam.Santoso tersenyum, ia menelan makanan yang ia kunyah lalu menyentuh tangan Fatma. "Nanti kalo aku sudah gajian, aku belikan kamu cincin baru ya?!""Beneran Mas?""Iya." Santoso mengangguk mantap, ia kembali makan makananya dengan lahap. Sudah jadi kebiasaan Mas Santoso jika pulang dari kerja ia akan cuci tangan lalu makan dulu sebelum akhirnya mandi. "Oh ya, nanti aku meeting. Tolong siapin kemeja kotak-kotakku ya Dek.""Iya Mas."Santoso tersenyum, tak ada lagi percakapan hingga acara makan sore itu selesai. Setelah makan, Santoso lantas menyambar handuk dan bergegas mandi. Ya, dia harus memburu waktu untuk meeting tepat waktu.Fatma segera mencuci piring bekas makan Santoso, ia tidak suka jika melihat benda kotor menumpuk terlalu lama di wastafel.Denting ponsel Santoso berbunyi, lagi-lagi mengalihkan perhatian Fatma yang baru saja selesai mencuci. Menatap sekilas ke arah kamar mandi, Fatma memastikan suaminya belum selesai dari acaranya membersihkan diri.Wanita berparas ayu itu mendekat ke arah ponsel, ia penasaran dengan pesan W******p yang masuk ke dalam ponsel suaminya.[Pak Bambang,Mas, jangan lupa bawa bunga mawar untukku ya. Sampai ketemu di hotel nanti pukul tujuh, aku sudah tidak sabar lagi menunggu dan bertemu kamu. See you, baby... ]Mata Fatma terbelalak, pesan W******p yang tertera langsung di layar utama ponsel suaminya tanpa dibuka itu menunjukkan siapa Pak Bambang sebenarnya.Dengan tangan gemetar, Fatma menaruh kembali ponsel canggih suaminya. "Mas Santoso, kamu—"****Setelah menyusun rencana untuk hari pernikahan selama sebulan lamanya, pernikahan Fatma dengan Arif akhirnya terlaksana juga. Atas keinginan Fatma, wanita itu menginginkan suasana pernikahan yang sederhana dan suci tanpa mengurangi kesakralan.Meskipun Arif mengusulkan acara pernikahan yang mewah, Fatma menolaknya secara halus. Bagi Fatma, ada baiknya jika uang itu ditabung saja untuk membeli beberapa asset ketimbang untuk pesta yang hanya berlangsung sekejap mata.Fatma dan Arif menyebar undangan hanya beberapa ratus lembar. Mereka hanya ingin mengundang sanak saudara, sahabat, dan juga beberapa tetangga dekat. Bagi mereka, kesederhanaan jauh lebih baik daripada kemewahan yang mengundang kebencian tak terlihat dari beberapa orang.Siang itu keluarga Pakdhe Suryo juga tengah bersiap untuk pergi ke acara pernikahan Fatma. Mereka turut diundang dalam acara pernikahan suci lagi sakral tersebut. Keluarga Pakdhe tetap menghargai Fatma meskipun sekarang sud
Fatma mengangguk begitu saja, entah kenapa ia merasa kasihan dengan keadaan Santoso yang saat ini begitu buruk dan memprihatinkan. Menoleh sejenak ke arah toko, Fatma menatap Mbak Lastri yang berdiri di ambang pintu. Dari tatapan itu, Fatma seolah meminta ijin atasannya untuk pergi mengobrol sejenak bersama sang mantan suami."Mas, apakah kamu sudah makan?" Fatma bertanya dengan pelan, ia menatap kasihan ke arah Santoso yang terlihat kosong dan tidak bertenaga.Pria itu menggeleng, hanya mampu menundukkan kepala dengan rasa bersalah yang kian membuncah.Fatma menarik napas, "Ayo pergi ke warung makan Mas, akan kubelikan kamu semangkok bakso panas."Wanita berhijab rapi itu melangkahkan kaki terlebih dahulu menuju ke warung makan yang terdapat di sebelah toko milik Mbak Lastri."Bu, semangkok bakso dan segelas teh manis hangat ya." Fatma memesan bakso pada sang penjual bakso yang sudah lama ia kenal semenjak kerja bersama Mbak Lastri.
"Mas Santoso?" Wati terkejut dengan kehadiran Santoso yang menurutnya begitu tiba-tiba. Wanita itu berniat untuk lari namun apa daya tangan Santoso yang kekar kini telanjur mencekal pergelangan tangannya. "Lepaskan tanganmu, Mas!""Tidak, aku tidak akan melakukannya sebelum kamu jelasin semuanya padaku," kekeh Santoso justru semakin erat dalam dalam mencengkeram."Mas, sakit Mas! Kamu gila apa?!" seru Wati sambil berontak dari tangan Santoso. "Hal apa lagi yang perlu dijelaskan? Semua sudah jelas Mas, kita sudah tidak memiliki hubungan sekarang.""Bukan itu," tandas Santoso dengan sigap. Mata pria itu membara merah seperti apa di pembakaran, dengan jiwa emosi yang ia punya kemarahan Santoso benar-benar meledak sekarang. "Jelaskan padaku, ada apa dengan diriku di kantor? Kamu sengaja kan jatuhkan aku di depan Mister Je supaya aku dipecat?"Wati terdiam beberapa detik, ia lantas terkekeh keras. "Mana aku tahu Mas, kuasa orang atas kamu tahu sen
Fatma terdiam, tatapannya fokus pada Arif yang tengah mengungkapkan perasaan terhadap dirinya. Entah apa yang ia rasakan sekarang, yang jelas ada perasaan haru dan hangat di dalam hatinya."Fat, kamu mengerti kan maksudku?" Arif menyadarkan lamunan Fatma sejenak, tampak wajah Arif sudah memerah menahan malu. Ia langsung menunduk dengan pikiran macam-macam. "Maaf, mungkin caraku melamar kamu terlihat kekanak-kanakan tapi aku sudah berusaha untuk mengatakan yang sebenarnya padamu. Seperti yang kamu tahu, aku terlalu tua untuk main lamar-lamaran menggunakan cara ini."Melihat ketulusan Arif, tanpa sadar bibir Fatma melengkung. Ia merasa lucu sekaligus kagum pada Arif. Sebagai seseorang yang pernah tinggal di sisi pria itu entah sebagai teman atau partner kerja, Fatma tidak menduga jika Arif akan melamarnya."Kenapa kamu tersenyum? Bener kan?! Caraku sepertinya salah dalam melamarmu," gusar Arif sambil menggigit bibir. Ia menunduk untuk menutupi kekesalan
"Santoso... Santoso, Pakdhe nggak habis pikir apa yang merasuki otakmu saat ini," ungkap Pakdhe Suryo sambil menggelengkan kepala. "Setelah kamu tersandung masalah, ujung-ujungnya kamu juga tetep sambat sama si orangtua ini. Mbok kamu sadar, kamu itu sudah diingatkan di lain hari tapi kamu masih saja tetep ngeyel. Sekarang, setelah semuanya telanjur, kamu kan yang jadi pihak sakit hati."Santoso hanya menunduk, penampilannya yang lusuh dan tidak terurus membuat Pakdhe Suryo merasa prihatin. "San, Pakdhe nasehatin kamu sampai ancam-ancam itu bukan karena Pakdhe syirik, Pakdhe benci, itu bukan. Pakdhe cuma pengen kamu tuh nggak salah jalan. Wati itu sedari awal Pakdhe lihat, ia sepertinya memiliki gelagat aneh. Pakdhe nggak suka San, nggak suka.""Sudahlah Pakdhe, jangan diomelin terus Mas Santoso-nya. Setidaknya dengan kejadian ini Mas Santoso sadar dan terbuka mata hatinya soal Wati." Ratna menengahi teguran Pakdhe Suryo.Sebagai adik, Ratna sendiri t
"Aku mohon, kembalilah kepadaku. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakanmu lagi."Fatma terdiam. Ini bukan kali pertama Santoso memohon dirinya seperti ini. Dulu sewaktu ia kepergok dengan wanita itu, ia juga meminta hal yang sama kepada Fatma.Menarik napas panjang, Fatma melepas tautan tangan Santoso secara perlahan. "Tidak semudah itu Mas. Lukaku yang lama saja belum sembuh dan apa ini? Kau ingin kembali karena kau merasa tersakiti?!"Fatma menggeleng lalu menunduk, "Aku pernah tersakiti Mas tapi aku tidak pernah memintamu untuk kembali padaku."Santoso terbungkam, ia menunduk dengan wajah pasrah. Penampilannya yang buruk memang tidak pantas untuk diperhitungkan."Jika Wati menyakitimu, itu adalah resiko yang harus kamu tanggung karena kamu sudah memilih dia sebagai pasanganmu Mas. Peduliku apa? Tidak. Aku sama sekali tidak simpati dengan apa yang terjadi pada dirimu." Fatma menarik napas, ia menatap Santoso. "Hadapi semuanya Mas,