Share

Bab 4. Bohong Belaka

Sore itu Mas Santoso pulang tepat waktu seperti biasa. Tidak ada hal mencurigakan yang terlihat di wajah pria berusia tiga puluh lima tahunan itu. Melihat Fatma yang tengah menyirami bunga mawar di pot-pot koleksinya, Mas Santoso yang baru saja turun dari motor maticnya datang menghampiri dan mengecup kening istrinya.

"Sore Sayang, masak apa nih?! Mas udah lapar," ucap Mas Santoso dengan wajah berbinar seusai mengecup kening Fatma.

Wanita itu masih diam, tubuhnya terlalu kaku untuk membalas tatapan suaminya tersebut. Dulu, sebelum ia melihat kejadian itu tepatnya tadi siang, ia selalu berbunga-bunga ketika melihat motor matic suaminya datang. Fatma juga akan menyambutnya dengan riang, meletakkan selang air dan memeluk suaminya dengan manja.

Tapi kini—bahkan aroma minyak wangi Mas Santoso pun sudah bercampur dengan aroma minyak wangi lain yang Fatma yakini mungkin itu minyak wangi milik sang wanita simpanan.

"Kok diam sih?! Ada apa? Mas tanya loh," ucap Mas Santoso sambil menepuk pipi istrinya dan tersenyum.

Perlakuan manja suaminya tersebut bahkan tidak mampu menyembuhkan atas luka batin yang diterima Fatma. Menatap Santoso dengan tatapan berbeda, wanita itu pura-pura tersenyum pada suaminya. "Aku masak sayur nangka muda sama dadar telur Mas. Nggak tahu Mas suka apa enggak."

"Wah, Mas tentu suka dong. Itu kan sayur kesukaan Mas, yuk masuk ke dalam rumah." Santoso merangkul Fatma, mengajak istrinya untuk meninggalkan kegiatannya menyirami bunga.

Fatma hanya menurut, ia lalu meninggalkan selang air tanpa lupa mematikan kram. Sepertinya ia memang harus berpura-pura dulu untuk membuka kedok palsu suaminya saat ini.

Mengingat kembali ucapan Pak Satpam tadi siang, hati Fatma seperti dirobek dengan ribuan jarum tangan. Sakit, perih, semua rasa itu menyatu di dalam hati.

Santoso tersenyum, ia langsung membawa Fatma menuju ke dapur. Melepas jas hitam yang ia pakai, pria itu meletakkan ponselnya diatas meja makan. "Dek, aku buang air dulu ya. Tolong bikinin aku minum dulu dong."

Mas Santoso lantas ngacir menuju ke toilet yang terdapat di samping area dapur. Atas perintah suaminya, Fatma bangkit dari duduknya dan mulai membuatkan teh lemon hangat kesukaan Mas Santoso.

Perhatian Fatma pecah saat ponsel Santoso berdering, ia mendekat ke arah ponsel dan melihat nama siapa yang tertera di sana. Pak Bambang?!

Kekesalan Fatma kembali memuncak, Pak Bambang ini bahkan ketika pekerjaan telah usai ia masih saja menelpon suaminya untuk urusan pekerjaan. Sebenarnya Pak Bambang ini orang gabut dari planet mana sih?!

Fatma menghela napas, ia meraih ponsel itu dan hendak menjawabnya namun Mas Santoso sudah keluar dari toilet.

"Siapa Dek?" Santoso mendekat, wajahnya nampak tegang dan berjalan sedikit terburu-buru.

"Pak Bambang, Mas."

"Sini, biar aku aja yang angkat." Santoso lalu meraih ponsel itu dari tangan Fatma, membawa pergi ponselnya jauh-jauh dari hadapan istrinya.

"Iya Hallo," jawab Mas Santoso sayup-sayup terdengar. Fatma menghela napas, ia membawa cangkir teh yang berada diatas meja dapur menuju ke meja makan lalu duduk manis disana.

Tak kurang dari lima menit, Mas Santoso sudah kembali sambil tersenyum. Duduk di hadapan istrinya, Santoso lantas menyeruput minuman teh buatan istrinya yang sangat nikmat dan tiada banding. "Badanku jadi segar setelah meminum buatanmu, Dek. Kamu emang istri terbaik yang aku punya."

Pujian seperti itu sudah pasti akan membuat hati para istri melayang bukan?! Tapi tidak untuk Fatma setelah melihat kejadian tadi siang. Sungguh, Fatma sendiri tidak percaya tapi itulah kenyataan yang menghampirinya.

"Mas, Pak Bambang ngapain kok telepon? Apa dia nggak tahu kalo ini tuh udah diluar jam kerja?" Fatma mencoba mencairkan suasana kaku yang tercipta di meja makan.

Perlakuan Pak Bambang yang terkesan begitu disiplin membuat Fatma tak habis pikir. Bahkan ketika suaminya tidur malam pun, ia suka sekali telepon untuk membahas pekerjaan kantor.

Santoso tersenyum, ia menatap piring yang diberikan Fatma untuknya. "Yah namanya juga atasan Dek, suka-suka dia kasih instruksi kapan saja. Tadi dia bilang kalo nanti malam ada meeting dadakan di hotel. Klien kami yang dari luar kota datang, dia minta beberapa laporan dari pabrik untuk pertimbangan berinvestasi."

Fatma hanya diam, ia mengambil nasi dan menaruhnya di atas piring Santoso. "Aku nggak bisa bayangin Mas, punya atasan kayak dia."

"Nggak usah dibayangin Dek nanti sakit. Mending bayangin sayur nangka buatan kamu, pasti enak banget ini." Santoso menggoda istrinya, mencubit hidung bangir milih Fatma yang menjadi daya tarik dan kecantikan tersendiri pada istrinya tersebut.

Fatma hanya diam, ia menatap suaminya yang begitu berminat dengan sayur nangka olahannya. Meskipun hidup sederhana dan baru saja mau berkembang, Fatma bersyukur karena Mas Santoso bukanlah tipe pria yang suka pilih-pilih makanan.

Baru saja hati Fatma terhibur, bola matanya kembali dicolok oleh keberadaan cincin emas yang tersemat di jari manis tangan kanan suaminya. Cincin itu sepertinya sangat berharga hingga sang pemilik tidak berminat untuk menanggalkannya.

Dulu saat mereka menikah, Santoso menolak secara terang-terangan untuk memakai cincin kawin dengan alasan bahwa pria tidak diperbolehkan memakai cincin emas namun sekarang, lihatlah Mas Santoso sendiri, ia bahkan tidak mau meninggalkannya barang sejenak.

"Mas...."

"Heem... Iya Dek?!"

"Boleh aku pinjam cincinmu Mas?" Fatma tergerak untuk melihatnya lebih dekat, cincin emas itu sangat berkilau dan cantik berbeda dengan cincin kawin yang ia pakai sudah lebih dari delapan tahun dan mulai pudar warnanya.

"Oh, ini?" Santoso menunjukkan jarinya, wajahnya nampak berbeda. "Cincin milik ibu terlalu sempit di jariku Dek. Ini nggak bisa dilepas lagi, nyesel juga kemarin nyoba."

"Apa nggak sakit Mas? Nanti jarimu bengkak loh."

"Nggak papa kok, sebenarnya gak terlalu sempit sih cuma kalo dilepasin kadang susah dan harus butuh tenaga ekstra."

Fatma terdiam, ada wajah kecewa yang terlihat di wajahnya. Ia menatap sekali lagi cincin itu dengan seksama. Andaikan itu benar-benar cincin ibu, seharusnya yang pantas memakainya adalah Fatma bukan Mas Santoso sendiri. Apa ini tidak mencurigakan bagi dirinya?!

"Cincin Ibu cantik ya Mas, aku juga pengen punya cincin baru." Fatma berkata lirih, ia menunduk guna menyuarakan isi hatinya yang terdalam.

Santoso tersenyum, ia menelan makanan yang ia kunyah lalu menyentuh tangan Fatma. "Nanti kalo aku sudah gajian, aku belikan kamu cincin baru ya?!"

"Beneran Mas?"

"Iya." Santoso mengangguk mantap, ia kembali makan makananya dengan lahap. Sudah jadi kebiasaan Mas Santoso jika pulang dari kerja ia akan cuci tangan lalu makan dulu sebelum akhirnya mandi. "Oh ya, nanti aku meeting. Tolong siapin kemeja kotak-kotakku ya Dek."

"Iya Mas."

Santoso tersenyum, tak ada lagi percakapan hingga acara makan sore itu selesai. Setelah makan, Santoso lantas menyambar handuk dan bergegas mandi. Ya, dia harus memburu waktu untuk meeting tepat waktu.

Fatma segera mencuci piring bekas makan Santoso, ia tidak suka jika melihat benda kotor menumpuk terlalu lama di wastafel.

Denting ponsel Santoso berbunyi, lagi-lagi mengalihkan perhatian Fatma yang baru saja selesai mencuci. Menatap sekilas ke arah kamar mandi, Fatma memastikan suaminya belum selesai dari acaranya membersihkan diri.

Wanita berparas ayu itu mendekat ke arah ponsel, ia penasaran dengan pesan W******p yang masuk ke dalam ponsel suaminya.

[Pak Bambang,

Mas, jangan lupa bawa bunga mawar untukku ya. Sampai ketemu di hotel nanti pukul tujuh, aku sudah tidak sabar lagi menunggu dan bertemu kamu. See you, baby... ]

Mata Fatma terbelalak, pesan W******p yang tertera langsung di layar utama ponsel suaminya tanpa dibuka itu menunjukkan siapa Pak Bambang sebenarnya.

Dengan tangan gemetar, Fatma menaruh kembali ponsel canggih suaminya. "Mas Santoso, kamu—"

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status