Fatma adalah istri yang baik, meskipun hidupnya sederhana ia sama sekali tidak mengeluh. Pernikahannya dengan Santoso sudah berjalan delapan tahun dan sampai sekarang mereka belum dikarunia anak. Kendati begitu, Santoso sama sekali tidak pernah menyudutkannya mengenai hal ini. Hal yang tentu saja sangat disyukuri Fatma karena memiliki suami sebaik dan sepengertian Santoso.
Kehadiran cincin emas itu tentu saja mencubit hati Fatma. Cincin itu bukan cincin kawin melainkan cincin yang baru saja dibeli. Sementara itu Fatma sendiri merasa bahwa Santoso selama ini tak pernah memakai cincin karena tidak suka mengenakannya tapi kenapa pagi ini Santoso berbeda? Apakah mungkin minat seseorang bisa berubah begitu saja?!Setelah menata semua menu makan siang di dalam wadah kesayangan Fatma, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu tersenyum lebar. Sebentar lagi ia akan pergi ke pabrik kayu tempat suaminya bekerja dan mengantarkan makan siang. Hal yang tumben sekali dilakukan Fatma hanya demi mengorek aktifitas suaminya di pabrik."Aku akan mengantarkan makanan ini ke pabrik, kira-kira reaksi Mas Santoso seperti apa ya?!" Fatma bergumam lirih seraya menata rantang berisi nasi, lauk telur dadar dan juga sayur nangka muda kesayangan suaminya. "Pasti Mas Santoso terkejut, aku 'kan jarang nganterin makan siang ke pabrik."Fatma menoleh ke arah jam dinding yang tertempel rapi di atas pintu dapur, senyumnya lagi-lagi terkembang. "Sudah jam sebelas, aku harus segera ke pabrik."Wanita itu segera menyahut kerudung warna ungu yang ia sampirkan di kursi ruang makan lalu memakainya. Menenteng rantang berisi menu lengkap, Fatma bersiap untuk mengendarai sepeda onthel-nya menuju ke area pabrik yang jaraknya lumayan jauh.Perjalanan ke pabrik mengendarai onthel itu memakan waktu kurang lebih dua puluh menit. Meski letih, Fatma tidak pernah mengeluh ataupun mengutarakan rasa capeknya pada Santoso. Wanita itu ikhlas, ikhlas berbakti pada pria yang selama ini ia sayangi lahir dan batin.Wajah Fatma terlihat semringah ketika plakat kayu bertuliskan nama pabrik terlihat oleh pandang matanya. Ia mengayuh sepedanya lebih cepat agar segera sampai dan bisa menemui Santoso tepat waktu. Namun apa yang ia lihat benar-benar menggerus hati, Fatma menghentikan kayuhan kakinya dan terpana saat Santoso pergi keluar dari pabrik membonceng seorang wanita seksi yang wajahnya memang sangat-sangatlah cantik."Mas Santoso, siapa wanita itu Mas?!" Fatma bergumam lirih, ia mengusap peluhnya yang bercucuran sambil menatap sepeda motor matic milik suaminya yang berlalu begitu saja.Fatma menata napas, ia mencengkeram stang sepedanya dengan kecang. Hatinya hancur, itu sudah pasti tapi apakah ia akan menyerah begitu saja? Tidakkah ia penasaran dengan sosok wanita yang diboncengnya tersebut?!Wanita berkerudung ungu itu mengalihkan pandangannya ke dalam pabrik. Mungkin ia tidak tahu siapa wanita itu tapi mustahil jika teman-teman Santoso tidak tahu bukan?! Fatma mengangguk mantap, ia berniat untuk masuk dan menanyakannya pada satpam yang berjaga. "Aku harus tetap maju dan menanyakan perihal wanita itu. Mereka pasti tahu siapa wanita cantik itu?!"Dengan segala tekat yang ia punya, Fatma mengayuh sepedanya mendekat area satpam yang berjaga siang itu."Siang Pak Satpam, apa boleh saya bertemu dengan Pak Santoso?" Fatma berbasa-basi pada satpam yang berjaga di post tersebut setelah ia berhasil mendekat ke area pabrik.Satpam muda berwajah manis itu mendekati Fatma, ia pasti tidak tahu jika Fatma ini adalah istri Santoso. "Pak Santoso yang manager baru itu ya?!"Fatma hanya mengangguk, melukis senyum di wajahnya dengan penuh keterpaksaan."Pak Santoso baru saja keluar bersama Bu Wati, Bu. Ibu ini siapanya ya? Mungkin ada pesan yang bisa saya sampaikan kalau beliau kembali?""Ah, tidak usah Pak. Saya ini-saya ini...." Fatma tertatih, bingung harus menjawab apa hingga akhirnya ia mendapat ide. "Saya ini adiknya, kebetulan tadi cuma lewat saja dan ingin bertemu dengan beliau.""Oh begitu ya?! Beliau lagi keluar Bu.""Ya udah Pak, gak papa. Tapi Pak, boleh saya tahu siapa Bu Wati itu?" Fatma menyipitkan mata, mencoba mengorek siapa Wati sebenarnya. Telanjur basah ya sudah mandi sekali, bukankah begitu?!"Bu Wati itu atasan Pak Santoso Bu, tangan kanan pemilik pabrik kayu ini. Sebagai adik, masa Pak Santoso nggak cerita apapun sih sama ibu?!" Pak Satpam tersenyum kecut, merasa curiga karena wanita di depannya ini terlihat begitu polos dan tak tahu apa-apa. Si satpam mendekatkan wajah sambil sesekali celingukan. "Ssst... Saya dengar mereka akan menikah loh Bu, apa iya kabar sebesar ini sebagai keluarga ibu juga tidak tahu?"Wajah Fatma langsung memerah, matanya terbelalak tak percaya. Mas Santoso, ternyata kamu—"Bu, kok diam sih?! Bu....""I-iya Pak, maaf. Tentu saja Mas Santoso belum cerita, saya kaget dengernya." Fatma segera menguasai keadaan. Ia menggigit bibir dengan wajah ingin menangis, sejenak ia menatap pak satpam dengan wajah memohon. "Pak, jangan bilang saya ke sini ya?! Jujur, Pak Santoso itu tidak suka jika ada anggota keluarganya yang datang ke pabrik jadi... Tolong bantu saya ya?! Saya tidak ingin dimarahi kakak saya."Pak satpam menatap Fatma dengan curiga namun melihat lawan jenisnya hendak menangis, Pak Satpam berwajah manis dan masih muda itu merasa kasihan. "Iya Bu, saya tidak akan bicara tapi Ibu jangan menangis ya. Saya tahu ibu pasti terharu punya kakak kandung yang begitu hebat, udah jadi manajer eh sekarang malah mau nikah sama orang kaya tujuh turunan lagi. Bener-bener hebat Pak Santoso itu.""Kalo begitu saya balik dulu ya Pak. Terima kasih untuk infonya," ucap Fatma lalu berpamitan.Wanita itu menahan tangis, ia menghampiri sepeda onthel yang ia parkir sedikit jauh dari pos satpam lalu mengendarainya pergi.Tak terasa air mata Fatma menitik, ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Kini ia tahu jika cincin itu mungkin adalah cincin pemberian Wati untuk suaminya.Tak sanggup mengayuh sepeda lebih jauh lagi, Fatma menghentikan sepedanya di pinggir jembatan. Turun dari sepeda, ia memandang aliran sungai yang mengalir dengan tenang.Menghapus air mata yang membasahi pipi mulusnya, Fatma mulai menyadari sesuatu."Ternyata kesetiaanku selama ini hanya dibalas seperti ini olehmu Mas, aku tak percaya tapi ini adalah fakta. Mas, kamu tega!" Fatma bergumam lirih, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Cukup! Cukup aku menangisimu hari ini Mas, cukup. Akan kubuktikan padamu Mas, bahwa aku layak jadi istri terbaik dan terpilih. Kamu akan menyesal Mas, menyesal karena sudah menelantarkanku. Kamu akan menyesal, Mas. Menyesal!"*****Sore itu Mas Santoso pulang tepat waktu seperti biasa. Tidak ada hal mencurigakan yang terlihat di wajah pria berusia tiga puluh lima tahunan itu. Melihat Fatma yang tengah menyirami bunga mawar di pot-pot koleksinya, Mas Santoso yang baru saja turun dari motor maticnya datang menghampiri dan mengecup kening istrinya."Sore Sayang, masak apa nih?! Mas udah lapar," ucap Mas Santoso dengan wajah berbinar seusai mengecup kening Fatma.Wanita itu masih diam, tubuhnya terlalu kaku untuk membalas tatapan suaminya tersebut. Dulu, sebelum ia melihat kejadian itu tepatnya tadi siang, ia selalu berbunga-bunga ketika melihat motor matic suaminya datang. Fatma juga akan menyambutnya dengan riang, meletakkan selang air dan memeluk suaminya dengan manja.Tapi kini—bahkan aroma minyak wangi Mas Santoso pun sudah bercampur dengan aroma minyak wangi lain yang Fatma yakini mungkin itu minyak wangi milik sang wanita simpanan."Kok diam sih?! Ada apa? Mas tanya loh," ucap Mas Santoso sambil menepuk pipi
"Ada apa Dek?" Santoso tiba-tiba menegur keberadaan Fatma yang berdiri di depan ponsel miliknya. Wajah pria itu menegang, ia berjalan mendekati Fatma seraya berkalung handuk dan bertelanjang dada. "Kamu buka-buka ponsel milik Mas?""Oh, enggak kok Mas. Tadi bunyi sih tapi belum sempat aku liat dari siapa?!" Fatma pura-pura tidak tahu, ia menoleh ke arah suaminya lalu tersenyum. "Ini mau aku buka.""Ah, nggak usah Dek. Palingan cuma spam dari tukang kredit ponsel yang suka nawarin kredit ponsel." Santoso datang, ia dengan buru-buru mengambil ponselnya lalu membawanya masuk ke dalam kamar. "Dek, kamu udah siapin kemeja buatku belum?""Belum Mas, aku siapin dulu ya?!" Fatma lalu berjalan menyusul suaminya ke dalam kamar. Wanita itu melirik sejenak ke arah suaminya yang nampak sibuk dan fokus pada pesan WhatsApp yang baru saja dikirim kepadanya.Wajah Fatma nampak kecewa, pikirannya terus saja berputar saat membaca pesan singkat yang katanya dari Pak Bambang tersebut. Saking tidak fokusny
"Mas, kakiku terkilir, ini sangat sakit. Tolong ya Mas, kamu pulang. Aduh... Aduh..." Layaknya bintang sinetron di FTV Fatma bersandiwara dibalik panggilan teleponnya.Dengan suara menahan sakit sambil sesekali merintih kesakitan, Fatma menirukan adegan orang yang tengah jatuh terpeleset. Tak sia-sia selama ini ia menonton serial FTV dimana ia bisa belajar untuk bersandiwara di depan laki-laki.Mendengar Fatma merintih kesakitan, wajah Santoso memucat. Pria itu memijit pelipisnya dengan gestur tubuh penuh dengan rasa resah. "Baik-baik, aku akan segera pulang. Kamu jangan bergerak ya, aku takut luka di kakimu jadi semakin parah.""I-iya Mas, aduh... Sakit banget Mas. Cepetan pulang Mas, aku nggak tahan ini. Aww...." Fatma pura-pura berteriak, memekik seolah-olah ia benar-benar terkilir malam itu."Iya, ini juga mau pulang. Kamu tutup teleponnya dan tunggu aku ya, oke aku tutup panggilannya sekarang." Santoso lalu mematikan panggilan tersebut, ia menatap ponselnya sejenak lantas mengali
Fatma terus menatap Santoso dengan bola mata menyorot tidak percaya. Pria yang tengah membaluri kakinya yang tidak apa-apa itu dengan balsem terlihat begitu perhatian dan juga lemah lembut. Sungguh tak percaya, dibalik wajahnya yang rupawan dan sikapnya yang polos serta baik hati, Santoso sanggup menghianati pernikahan mereka secara diam-diam.Melihat istrinya terus menatap aneh ke arah Santoso, pria berwajah tirus itu mengerutkan kening. Tangan kanannya berhenti mengoleskan balsem, ia menatap balik ke arah istrinya. "Sayang, ada apa? Kenapa menatap Mas seperti itu?"Fatma tersadar seketika. Wanita berparas biasa itu segera menggeleng dengan cepat dan mengulas senyum. "Tidak Mas. Makasih ya Mas sudah bantuin aku hari ini."Santoso tersenyum, ia kembali melanjutkan aktifitasnya membaluri kaki Fatma dengan balsem. Ia tidak tahu jika kaki yang sedari tadi ia baluri balsem sama sekali tidak sakit dan bisa berjalan dengan sehat."Itu sudah tugas Mas sebagai suami, Sayang." Santoso menjawab
"Sebentar lagi kamu akan tahu siapa saya, Nyonya Fatma." Wanita itu berbisik dengan lembut dan manis. Alih-alih merasa penasaran, Fatma justru merasa ngeri dengan wanita tersebut."Siapa tamunya Sayang?" Santoso akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang makan, ia menyusul Fatma ke pintu utama dimana istrinya tengah berbincang dengan seseorang.Santoso terpaku sejenak saat melihat Wati berada di ambang pintu tengah tersenyum ke arahnya. Fatma bisa melihat senyum berbeda itu dari wajah wanita yang ada hadapannya lalu menoleh ke arah Santoso."Hallo Mas Santoso," sapa wanita itu dengan akrab, ia dengan berani melambaikan tangan ke arah Santoso.Sejenak wajah Santoso nampak gugup, ia terlihat tegang saat datang menghampiri Fatma dan juga Wati. "Ha-hallo Bu Wati, apa kabar?! Oh ya Fatma, perkenalan ini Bu Wati salah satu atasan Mas di kantor."Wati tersenyum sombong ke arah Fatma, ia mengulurkan tangan dengan anggun yang dibuat-buat. Fatma hanya diam, ia enggan untuk menyambutnya namun d
Wati menghentakkan kakinya di tanah, sungguh tak dapat dipercaya bahwa pria yang ia cintai justru lebih memilih bersama istri sahnya. Keadaan yang berbeda jauh dari angan-angan dimana Santoso sendiri sudah pernah berjanji akan selalu bersamanya dalam suka maupun duka.Membayangkan seringaian Fatma, wajah Wati rasanya terbakar. Ia ingin marah dan meluapkan semuanya.Menoleh ke arah rumah Santoso, kemarahan Wati masih berada di ubun-ubun. "Lihat saja Mas, kamu pasti akan menyesal karena sudah mengabaikanku."Wanita berpakaian lumayan seksi itu melangkah masuk ke dalam mobil. Sungguh tak terkira rasa hatinya sekarang, ledakan demi ledakan kini bergemuruh dalam dada.Memasuki ruang menyetir, Wati memakai sabuk pengaman. Bayangan Santoso dipeluk suaminya sendiri seolah terus menari di pelupuk mata. Wati menelan ludah dengan susah payah, rasa haus kini menyerang kerongkongannya."Haishh... " Napas Wati tampak memburu, ia memukul kemudi dengan kencang lalu menyugar rambutnya. "Kurang ajar se
"Telepon dari siapa Mas?" Fatma bertanya pada Santoso. Wanita berkulit bersih itu bisa membaca keresahan yang tergambar di wajah Santoso.Pria itu masih diam, bersungut tidak karuan. Duduk di kursi rias, ia menggaruk kulit kepalanya lalu meletakkan ponsel. "Ada klien yang memaksa untuk bertemu Sayang. Padahal aku sudah bilang kalo hari ini aku sedang cuti."Fatma hanya diam, meski demikian ia terus menelisik wajah itu hingga tanpa celah. Siapa bilang Fatma akan percaya setelah apa yang ia alami tadi malam. Tidak ada yang tahu juga siapa klien yang dimaksud Mas Santoso saat ini."Dia marah-marah katanya kalo nggak sama aku lebih baik kerjasamanya dibatalkan aja," ucap Santoso mengimbuhi. Ia melirik ke arah Fatma sejenak, membaca ekspresi yang terlihat di wajah istrinya."Tapi kamu kan udah bilang cuti Mas, ntar kalo nggak dibayar gimana? Sayang kan tenagamu Mas." Fatma mencoba mengulur waktu, ingin mendengar apa kira-kira alasan yang akan dilontarkan Mas Santoso setelah ini.Pria itu m
Siang ini tiada angin dan tiada hujan, Ratna—adik kandung Mas Santoso datang ke rumah. Fatma menyambutnya dengan begitu bahagia.Kebetulan sekali mereka belum pernah ketemu semenjak ibu meninggal tiga bulan yang lalu.Menuju ke dapur untuk membuatkan teh manis hangat, Fatma tidak lupa untuk menyambar toples Snack yang ia simpan di dalam lemari."Ah, Mbak Fatma nggak usah repot-repot dong. Aku tadi ke kecamatan terus pengen mampir ke sini," ucap Ratna di ruang tamu saat melihat kakak iparnya tengah membawa dua cangkir teh manis hangat dari dapur."Nggak kok, cuma air minum aja." Fatma tersenyum, ia menyajikan teh manis itu lengkap dengan camilan kacang telur buatannya."Wah, ini kacang telor kesukaanku Mbak." Ratna berbinar, ia meraih toples itu lalu membukanya dengan girang."Oh ya? Nanti bungkus bawa pulang ke rumah ya." Fatma tersenyum, ia lalu duduk di dekat Ratna. "Ayo diminum dulu teh manisnya.""Iya Mbak, makan kacang dulu." Ratna tanpa sungkan mengambil kacang telur lalu memaka