Share

Bab 3. Saat Jam Makan Siang

Fatma adalah istri yang baik, meskipun hidupnya sederhana ia sama sekali tidak mengeluh. Pernikahannya dengan Santoso sudah berjalan delapan tahun dan sampai sekarang mereka belum dikarunia anak. Kendati begitu, Santoso sama sekali tidak pernah menyudutkannya mengenai hal ini. Hal yang tentu saja sangat disyukuri Fatma karena memiliki suami sebaik dan sepengertian Santoso.

Kehadiran cincin emas itu tentu saja mencubit hati Fatma. Cincin itu bukan cincin kawin melainkan cincin yang baru saja dibeli. Sementara itu Fatma sendiri merasa bahwa Santoso selama ini tak pernah memakai cincin karena tidak suka mengenakannya tapi kenapa pagi ini Santoso berbeda? Apakah mungkin minat seseorang bisa berubah begitu saja?!

Setelah menata semua menu makan siang di dalam wadah kesayangan Fatma, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu tersenyum lebar. Sebentar lagi ia akan pergi ke pabrik kayu tempat suaminya bekerja dan mengantarkan makan siang. Hal yang tumben sekali dilakukan Fatma hanya demi mengorek aktifitas suaminya di pabrik.

"Aku akan mengantarkan makanan ini ke pabrik, kira-kira reaksi Mas Santoso seperti apa ya?!" Fatma bergumam lirih seraya menata rantang berisi nasi, lauk telur dadar dan juga sayur nangka muda kesayangan suaminya. "Pasti Mas Santoso terkejut, aku 'kan jarang nganterin makan siang ke pabrik."

Fatma menoleh ke arah jam dinding yang tertempel rapi di atas pintu dapur, senyumnya lagi-lagi terkembang. "Sudah jam sebelas, aku harus segera ke pabrik."

Wanita itu segera menyahut kerudung warna ungu yang ia sampirkan di kursi ruang makan lalu memakainya. Menenteng rantang berisi menu lengkap, Fatma bersiap untuk mengendarai sepeda onthel-nya menuju ke area pabrik yang jaraknya lumayan jauh.

Perjalanan ke pabrik mengendarai onthel itu memakan waktu kurang lebih dua puluh menit. Meski letih, Fatma tidak pernah mengeluh ataupun mengutarakan rasa capeknya pada Santoso. Wanita itu ikhlas, ikhlas berbakti pada pria yang selama ini ia sayangi lahir dan batin.

Wajah Fatma terlihat semringah ketika plakat kayu bertuliskan nama pabrik terlihat oleh pandang matanya. Ia mengayuh sepedanya lebih cepat agar segera sampai dan bisa menemui Santoso tepat waktu. Namun apa yang ia lihat benar-benar menggerus hati, Fatma menghentikan kayuhan kakinya dan terpana saat Santoso pergi keluar dari pabrik membonceng seorang wanita seksi yang wajahnya memang sangat-sangatlah cantik.

"Mas Santoso, siapa wanita itu Mas?!" Fatma bergumam lirih, ia mengusap peluhnya yang bercucuran sambil menatap sepeda motor matic milik suaminya yang berlalu begitu saja.

Fatma menata napas, ia mencengkeram stang sepedanya dengan kecang. Hatinya hancur, itu sudah pasti tapi apakah ia akan menyerah begitu saja? Tidakkah ia penasaran dengan sosok wanita yang diboncengnya tersebut?!

Wanita berkerudung ungu itu mengalihkan pandangannya ke dalam pabrik. Mungkin ia tidak tahu siapa wanita itu tapi mustahil jika teman-teman Santoso tidak tahu bukan?! Fatma mengangguk mantap, ia berniat untuk masuk dan menanyakannya pada satpam yang berjaga. "Aku harus tetap maju dan menanyakan perihal wanita itu. Mereka pasti tahu siapa wanita cantik itu?!"

Dengan segala tekat yang ia punya, Fatma mengayuh sepedanya mendekat area satpam yang berjaga siang itu.

"Siang Pak Satpam, apa boleh saya bertemu dengan Pak Santoso?" Fatma berbasa-basi pada satpam yang berjaga di post tersebut setelah ia berhasil mendekat ke area pabrik.

Satpam muda berwajah manis itu mendekati Fatma, ia pasti tidak tahu jika Fatma ini adalah istri Santoso. "Pak Santoso yang manager baru itu ya?!"

Fatma hanya mengangguk, melukis senyum di wajahnya dengan penuh keterpaksaan.

"Pak Santoso baru saja keluar bersama Bu Wati, Bu. Ibu ini siapanya ya? Mungkin ada pesan yang bisa saya sampaikan kalau beliau kembali?"

"Ah, tidak usah Pak. Saya ini-saya ini...." Fatma tertatih, bingung harus menjawab apa hingga akhirnya ia mendapat ide. "Saya ini adiknya, kebetulan tadi cuma lewat saja dan ingin bertemu dengan beliau."

"Oh begitu ya?! Beliau lagi keluar Bu."

"Ya udah Pak, gak papa. Tapi Pak, boleh saya tahu siapa Bu Wati itu?" Fatma menyipitkan mata, mencoba mengorek siapa Wati sebenarnya. Telanjur basah ya sudah mandi sekali, bukankah begitu?!

"Bu Wati itu atasan Pak Santoso Bu, tangan kanan pemilik pabrik kayu ini. Sebagai adik, masa Pak Santoso nggak cerita apapun sih sama ibu?!" Pak Satpam tersenyum kecut, merasa curiga karena wanita di depannya ini terlihat begitu polos dan tak tahu apa-apa. Si satpam mendekatkan wajah sambil sesekali celingukan. "Ssst... Saya dengar mereka akan menikah loh Bu, apa iya kabar sebesar ini sebagai keluarga ibu juga tidak tahu?"

Wajah Fatma langsung memerah, matanya terbelalak tak percaya. Mas Santoso, ternyata kamu—

"Bu, kok diam sih?! Bu...."

"I-iya Pak, maaf. Tentu saja Mas Santoso belum cerita, saya kaget dengernya." Fatma segera menguasai keadaan. Ia menggigit bibir dengan wajah ingin menangis, sejenak ia menatap pak satpam dengan wajah memohon. "Pak, jangan bilang saya ke sini ya?! Jujur, Pak Santoso itu tidak suka jika ada anggota keluarganya yang datang ke pabrik jadi... Tolong bantu saya ya?! Saya tidak ingin dimarahi kakak saya."

Pak satpam menatap Fatma dengan curiga namun melihat lawan jenisnya hendak menangis, Pak Satpam berwajah manis dan masih muda itu merasa kasihan. "Iya Bu, saya tidak akan bicara tapi Ibu jangan menangis ya. Saya tahu ibu pasti terharu punya kakak kandung yang begitu hebat, udah jadi manajer eh sekarang malah mau nikah sama orang kaya tujuh turunan lagi. Bener-bener hebat Pak Santoso itu."

"Kalo begitu saya balik dulu ya Pak. Terima kasih untuk infonya," ucap Fatma lalu berpamitan.

Wanita itu menahan tangis, ia menghampiri sepeda onthel yang ia parkir sedikit jauh dari pos satpam lalu mengendarainya pergi.

Tak terasa air mata Fatma menitik, ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Kini ia tahu jika cincin itu mungkin adalah cincin pemberian Wati untuk suaminya.

Tak sanggup mengayuh sepeda lebih jauh lagi, Fatma menghentikan sepedanya di pinggir jembatan. Turun dari sepeda, ia memandang aliran sungai yang mengalir dengan tenang.

Menghapus air mata yang membasahi pipi mulusnya, Fatma mulai menyadari sesuatu.

"Ternyata kesetiaanku selama ini hanya dibalas seperti ini olehmu Mas, aku tak percaya tapi ini adalah fakta. Mas, kamu tega!" Fatma bergumam lirih, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Cukup! Cukup aku menangisimu hari ini Mas, cukup. Akan kubuktikan padamu Mas, bahwa aku layak jadi istri terbaik dan terpilih. Kamu akan menyesal Mas, menyesal karena sudah menelantarkanku. Kamu akan menyesal, Mas. Menyesal!"

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status