Jonas dibuat hampir frustasi dengan syarat-syarat yang diajukan Alesha. Semuanya ia keberatan.
Syarat pertama yang dikatakan Alesha sudah membuatnya tak berdaya. "Tidur di kamar berbeda", sungguh itu hal yang sangat tidak ingin Jonas penuhi. Bukan ingin berniat macam-macam dengan istrinya saat tidur, namun Jonas ingin orang terakhir yang ia pandang sebelum dan sesudah bangun tidur adalah Alesha. "Ale, syarat kedua, ketiga, keempat dan kelima yang kamu minta masih bisa aku kabulkan. Tapi yang pertama...?" "Emang kenapa dengan syarat yang pertama?" protes Alesha memotong. Jonas mengusap kasar wajahnya. Tampak frustasi. Susah menjelaskan dengan kata-kata. "Enggak bisa penuhi syarat yang pertama, ya udah enggak usah ada aturan menikah kontrak. Kita cerai saja!" "No!" "Ya tapi syarat pertama saja kamu enggak mau!" Alesha merengut sebal. "Bukan enggak mau, Ale. Tapi di rumah aku banyak ART, kalau mereka tahu kita tidur di kamar berbeda, nanti mereka bisa laporan sama orang tua kita, atau ke oma-opa ... bisa kacau!" "Huh, tinggal kamu ancam saja mereka biar enggak cerita atau lapor ke siapa-siapa. Kamu bos-nya, kalau mereka enggak nurut, tinggal pecat, beres!" Jonas kehabisan akal harus memberi alasan apa lagi. Menggunakan keberadaan para pekerja, sama sekali tak memberi hasil yang sesuai. Beruntung ide lain muncul dengan cepat. Jonas menggeser duduknya, mendekati Alesha. "Aku khawatir kalau oma atau mami tiba-tiba datang ke rumah, lalu mereka lihat kita tidur di kamar terpisah, pasti akan menimbulkan kecurigaan mereka. Bukannya kita tadi sudah sepakat kalau rencana menikah kontrak ini rahasia kita berdua saja?" Alesha menatap curiga pada Jonas. "Jangan bilang, ini cuma akal-akalan kamu aja. Kalau iya, awas aja--" "Enggak kok!" Tuduhan Alesha harus segera dibantah, kalau tak ingin ketahuan. "Em kita tidur di kamar yang sama, aku janji enggak akan macam-macam sama kamu. Em kamar aku besar, hampir dua kali lipat dari kamar tamu, aku bisa tidur di sofa dan kamu tidur di ranjang tidur. Bagaimana?" Alesha berpikir sejenak, "oke, aku mau! Tapi awas kalau bohong!" Jonas mengangguk setuju. Senyumnya merekah sempurna. Ia bantu memindahkan koper Alesha ke kamarnya yang ada di lantai atas. Alesha takjub dengan ruangan pribadi Jonas. Besar dengan nuansa warna biru muda yang menyegarkan mata. Salah satu warna kesukaannya. Pemandangan dari balkon ruangan tersebut langsung menghadap ke hamparan tanaman bunga lily. "Ah, aku kayaknya suka tempat ini!" Alesha menggumam sendiri. "Ale, koper kamu aku letakkan di walk in closet ya?" Kemunculan tiba-tiba Jonas mengejutkan Alesha yang sedang menikmati pemandangan. "Jantung aku bisa lepas kalau sering kamu bikin kaget!" Jonas terkekeh sendiri. "Kenapa hobi sekali melamun?" "Suka-suka aku lah!" Alesha membalikkan tubuhnya, kembali menghadap ke taman. "Gimana menurut kamu taman bunga itu? Bagus enggak?" Jonas sudah berdiri di samping Alesha dan ikut melayangkan pandangan ke bawah balkon. "Biasa saja. Seperti di taman bunga pada umumnya." "Ah begitu ya? Oke, nanti aku bilang tukang kebun untuk mengganti bunganya!" "Kenapa harus diganti?" Alesha melotot tak terima. "Bukannya kamu bilang, tanaman-tanaman ini biasa saja? Kalau diganti mawar atau bunga lain mungkin akan lebih bagus." "Enggak! Enggak ada yang lebih bagus dari bunga lily! Awas saja kalau kamu berani ganti!" Alesha melenggang pergi begitu saja keluar kamar. Jonas tersenyum puas. "Aku akan buat kamu nyaman di rumah ini, Ale. Sampai kamu enggan meninggalkan rumah ini dan aku. Alesha Wicaksana hanya milik Jonas Pramudya!" *** Alesha membaringkan tubuhnya di ranjang tidur Jonas yang nyaman dan besar, seraya memainkan ponselnya. Pandangannya sempat teralih sebentar, saat pintu terbuka dari luar dan masuklah si pemilik ruangan. "Ale, besok malam ada undangan makan malam di rumah mami." "Hm!" "Buat memperkenalkan kamu ke keluarga besar aku sekaligus menyambut kepulangan Kiara." Mendengar nama Kiara, tangan Alesha yang sedang menggulir layar ponselnya terhenti, Alesha menghela napas kasar. "Aku enggak ikut!" Jonas menoleh heran ke arah istrinya. "Kenapa?" Alesha mengedikkan bahunya ringan. "Malas saja. Lagian, kita menikah juga cuma kontrak satu tahun, kayaknya enggak perlu aku kenal semua keluarga besar kamu." Jonas menggeram tertahan dan Alesha sama sekali tak peduli. Ia dengan santai meletakkan ponselnya di atas nakas kemudian menata badannya untuk posisi tidur yang nyaman. Tak ingin ribut, Jonas pun ikut berbaring di sofa panjang yang berhadapan langsung dengan Alesha yang membelakanginya. Bisa sedikit meredam emosinya yang terpantik karena penolakan Alesha. "Aku enggak akan bisa marah sama kamu, Ale," ucap Jonas sangat pelan agar Alesha tak mendengarnya. Pria itu bergerak bangun, ketika melihat Alesha membalikkan tubuhnya dengan mata sudah terpejam rapat. Yang artinya gadis cantik itu sudah tidur. Jonas mendekat dan berdiri tepat di depan Alesha. Tubuhnya membungkuk kemudian melesatkan satu ciuman di pipi istrinya. "Selamat tidur, Sayangku ... mulai sekarang, akan aku pastikan kamu selalu dikelilingi kebahagiaan!" Pagi harinya Alesha terbangun dengan tubuh yang sangat segar. "Huh tumben banget mimpi buruk itu enggak datang lagi? Syukur deh!" Alesha sudah menurunkan kedua kakinya dari ranjang, sudah akan beranjak pergi. Namun dibatalkan dan ia menoleh ke belakangnya. "Ya ampun, pantesan enggak mimpi buruk, orang penjahatnya yang ngejar-ngejar aku di mimpi lagi tidur." Alesha terkekeh sendiri, kemudian beranjak bangkit. Alesha sedang kebingungan mencari sesuatu di dapur saat Jonas tiba-tiba datang dan berdiri di sampingnya. "Cari apa?" "Pisau. Aku mau masak tapi dari tadi aku cari pisau buat motong-motong kok enggak ada ya?" "Jangan cari pisau lagi, enggak akan ada pisau di sini!" Alesha menghentikan pergerakannya lalu menatap heran pada Jonas. "Hah, kenapa?" "Karena bisa kamu buat senjata untuk mengancam aku seperti kemarin." "Ck ya ampun, itu kan--" "Udah tinggalkan sayuran dan daging-daging ini, sekarang ikut aku saja!" Jonas sudah meraih tangan Alesha, namun gadis itu menahannya. "Kemana?" "Ke rumah mami." Alesha berdecak sebal. "Kan aku enggak mau!" "Kita diundang sarapan di sana, Ale. Acara nanti malam dibatalkan karena kamu enggak mau datang. Lagi pun, aku udah penuhi kelima syarat dari kamu di perjanjian kita." "Ck aku aja belum lihat surat kontraknya. Bisa aja kamu bohong!" "Sedang dibuat. Nanti siang baru diantar ke kita. Udah, ayo!" Jonas menarik lembut Alesha. "Eh aku mau ganti baju!" "Enggak perlu. Kita cuma mau makan bareng orang tua aku. Ayo!" Alesha menurut saja dengan kata-kata Jonas. Ia tetap mengenakan celana pendek selutut dengan kaos oblong kesukaannya yang sudah dipakainya sejak tadi. Kedatangan Jonas bersamaan dengan kedatangan dua orang perempuan. Yang satu berusia sekitar 50 tahunan yang satunya masih seumur Alesha. "Oh jadi ini istri kamu, Jo?" Wanita paruh baya itu memandang Alesha dari atas ke bawah seolah sedang menilai Alesha. "Iya, Tante ... ini Alesha." "Enggak ada seujung kukunya Shabrina!" cibir perempuan satunya. "Iyalah, jauh sekali! Beda kelas. Shabrina itu sempurna. Dia cantik, kaya raya, modis, tidak seperti dia, seperti gem-bel!" Alih-alih tersinggung, Alesha tak menanggapi julid-nya dua manusia berbeda generasi tersebut. "Jaga mulut kalian!" Jonas menggeram tertahan. "Tante cuma mengeluarkan unek-unek."" "Saya tidak butuh pendapat kalian! Pergi sekarang atau saya suruh penjaga untuk menyeret kalian keluar dari rumah saya!"Jonas dibuat hampir frustasi dengan syarat-syarat yang diajukan Alesha. Semuanya ia keberatan. Syarat pertama yang dikatakan Alesha sudah membuatnya tak berdaya. "Tidur di kamar berbeda", sungguh itu hal yang sangat tidak ingin Jonas penuhi. Bukan ingin berniat macam-macam dengan istrinya saat tidur, namun Jonas ingin orang terakhir yang ia pandang sebelum dan sesudah bangun tidur adalah Alesha. "Ale, syarat kedua, ketiga, keempat dan kelima yang kamu minta masih bisa aku kabulkan. Tapi yang pertama...?" "Emang kenapa dengan syarat yang pertama?" protes Alesha memotong. Jonas mengusap kasar wajahnya. Tampak frustasi. Susah menjelaskan dengan kata-kata. "Enggak bisa penuhi syarat yang pertama, ya udah enggak usah ada aturan menikah kontrak. Kita cerai saja!" "No!" "Ya tapi syarat pertama saja kamu enggak mau!" Alesha merengut sebal. "Bukan enggak mau, Ale. Tapi di rumah aku banyak ART, kalau mereka tahu kita tidur di kamar berbeda, nanti mereka bisa laporan sama orang tua
Alesha mencerna apa yang Jonas tawarkan, memikirkan baik dan buruk untuknya jika ia setuju, hingga ia lengah dan Jonas berhasil merebut pisau yang terulur di depan lehernya. Belum sadar dari terkejutnya, pisau sudah terlempar ke lantai yang jaraknya agak jauh darinya. Alesha berdecak, "pisauku!" Jonas melotot garang, kemudian mendesis penuh peringatan. "Jangan main-main lagi dengan benda berbahaya itu, Alesha!" Bibir Alesha mengerucut sebal. Tak suka teguran dari pria itu. Jonas berjalan mendekat, sementara Alesha mundur sesuai langkah suaminya. "M-Mau apa kamu?" Jonas menjeda langkahnya, menghela napas panjangnya. "Kamu pikir aku mau berbuat apa disaat leher kamu terluka gara-gara pisau sialan itu?" Alesha tersadar. Lehernya terasa sedikit perih. Tangannya terulur untuk mengecek sendiri lukanya, namun Jonas menghentikannya. "Stop! Jangan sembarangan disentuh. Tangan kamu tidak steril, bisa infeksi!" "Ck apa sih, lebay!" Alesha mencibir tak suka. Tak ingin buang-buang
Alesha masih berharap jika acara pernikahan yang baru terjadi beberapa saat lalu hanya mimpi buruk, nyatanya cubitan di lengannya sendiri masih terasa sakit. Alesha meringis kesakitan sekaligus ingin menangis untuk kehidupannya setelah ini. Ya, Alesha dan Jonas baru saja menyelesaikan prosesi akad nikah di hadapan penghulu, kedua orang tua, saksi dan beberapa kerabat yang hadir di kediaman sang mama. Acara berlangsung sederhana, mengingat dilakukan mendadak sehingga persiapan waktu satu hari tak cukup untuk menggelar pesta meriah. Perihal tak ada pesta meriah, Alesha sama sekali tak masalah. Ia justru senang karena tak perlu memberikan senyum palsu di depan para tamu undangan, keluarga besarnya maupun keluarga Jonas. Ia ingin segera semuanya berakhir. Ia lelah. "Mulai sekarang, kamu tinggal di sini sama aku," kata Jonas setelah memasuki rumah pribadinya. Alesha tak menyahut. Ia malas berbicara pada pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu. "Ayo, aku tunjukkan kamar kita." Jo
Pagi-pagi sekali, sebelum banyak orang beraktifitas, Alesha sudah meninggalkan rumahnya. Bukan untuk datang ke cafe, ini masih terlalu pagi, melainkan ia melarikan diri dari Jonas. Ia kabur ke luar kota. Beruntung semalam ia bisa lolos dari Jonas dan para penjaga berkat pisau buah yang ia ambil secara diam-diam dan ia tempelkan di lehernya. Sebagai ancaman. Awalnya ia ragu jika akan berhasil, mengingat sifat Jonas yang tidak mau kalah. Namun melihat reaksi panik luar biasa pria itu, berhasil membuat Alesha keheranan. Alesha terpaksa nekat, sungguh ia muak berhadapan dengan pria pemaksa dan tidak punya hati seperti pria itu. Ia tak ingin mengorbankan hidupnya untuk menikah dengan seorang Jonas Pramudya. Persetan dengan ketampanan serta kekayaan melimpah ruah yang dimiliki, Alesha tak tertarik. Keluarganya juga kaya raya. Mobil yang dikendarai melaju cepat di jalan raya yang masih sangat lengang, karena masih pukul 4 pagi. Dingin, namun Alesha menyukai sejuk dan segarnya udara p
"Apa? Gila! Gila kamu, Jonas Pramudya!" Suara nyaring Alesha menggema di lantai dua cafe miliknya. Yang seketika menarik perhatian pengunjung dan juga beberapa pelayan yang sedang mengantar pesanan. Wajar jika Alesha bereaksi keras seperti itu. Sungguh Alesha sangat membenci sosok yang sekarang tengah berdiri di depannya dan yang baru saja mengajaknya menikah itu. Enteng sekali mulutnya! Sementara reaksi pria berbadan tegap itu tak tampak terkejut dengan umpatan Alesha. Pergerakan pria itu selanjutnya adalah mengeluarkan kotak kecil berisi cincin berlian bermata satu di depan Alesha. Mulut Alesha ternganga lebar. Ingin tak percaya tapi ini nyata. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja ia dilamar seseorang. Apalagi oleh orang yang sangat dibenci mati-matian. "Alesha ayo kita menikah!" Ajakan ini meluncur dengan mulus sekali lagi dan terdengar sangat memaksa di telinga Alesha, jujur ia jijik mendengarnya. Tak peduli sekarang ia jadi bahan tontonan beberapa pengunjung dan
Ada untungnya juga Alesha mengenakan masker kesehatan, hingga ia yakin tak akan dikenali oleh orang yang dipanggil "tuan" tersebut. Sungguh ia tak ingin lagi berjumpa dengan orang ini."Ya Tuhan, kenapa dia...?" Alesha berbisik pelan seraya menatap punggung lebar kedua pria berbadan tegap yang sedang berjalan ke arah dalam untuk memilih kursi yang akan ditempati.Seketika ingatan Alesha kembali pada mimpi buruk yang mengusik tidurnya pagi tadi. Pria itu pria yang sama yang ada di mimpinya. Jonas Pramudya. "Enggak. Dia enggak boleh tau kalau aku ada di sini. Aku enggak mau berurusan lagi sama manusia jahat itu!"Buru-buru Alesha meninggalkan meja kasir dan menyuruh karyawan yang lain untuk bertugas menggantikannya. Alesha bergegas pergi."Huh Jonas Pramudya, mau apa kamu datang ke cafe aku? Belum puas kamu bikin hidup aku menderita selama ini?" Alesha mengomel sendiri setelah duduk di belakang kemudi mobilnya.Satu tangannya ia letakkan di atas dada, merasakan degup jantungnya yang be