Share

Bertemu Masa Lalu

Wanita itu terdiam tanpa melawan sedikit pun. Dia hanya menyunggingkan senyumannya.

"Untuk apa aku mengganggumu? Aku hanya mengatakan apa yang terjadi di masa lalu. Aku hanya mengatakan apa yang kau dan Indira lakukan di masa silam. Hanya itu, Hendra."

Pratiwi terpancing emosi. Wanita yang memiliki bekas luka bakar di keningnya itu mencengkeram kerah baju Hendra. Air matanya mengalir, isak tangisnya mulai tertahan.

"Aku tak perduli. Kisah masa lalu sudah berakhir. Kita semua sudah hidup di jalan masing-masing. Kalau kau ingin memperbaikinya, mulailah dengan melupakan semuanya Pratiwi. Mulailah untuk sadar dari dunia khayalmu!"

"Simpan omong kosongmu, pengecut! Aku hanya butuh kau datang saat pemakaman, apa kalian sadar dengan keadaan waktu itu? Kau tertawa riang di atas penderitaanku. Kalian kejam!"

Pratiwi mendorong Hendra menjauhi rumahnya. Dia terus menangis saat melakukan itu. Sementara pria kekar tersebut tak melawan sama sekali. Dia membiarkan lawan bicaranya menangis sesunggukan, histeris. Berharap setelah tangisannya reda, ada kata maaf yang membuat masalah ini segera berakhir. Namun, sepertinya jalan keluar masih buntu. 

Dia tidak mau memperpanjang masalah. Hendra mengehela napas lelah. Semua orang yang rumahnya berdekatan dengan Pratiwi juga mulai mendekat untuk melihat keributan ini. Hendra tak mau urusan ini diketahui banyak orang. Dia memutuskan untuk pamit dan meninggalkan tempat ini.

Langkahnya terasa berat ketika mendengar perkataan terakhir Pratiwi.

"Aku tidak akan memaafkan kalian. Sabian berhak bahagia, tidak hanya Alea. Kalian mengerti!"

***

Hendra memukul kemudi dengan kencang. Sesekali mulutnya mengeluarkan umpatan kasar terhadap sikap Pratiwi tadi. Dia benar-benar tak habis pikir, kalau wanita itu bisa bersikap keterlalan seperti tadi.

Pratiwi adalah orang baik. Sejak dulu dia begitu pendiam. Menjadi pendukung di belakang Mas Athif, suaminya. Tidak pernah marah kepadanya sebagai teman, tetapi semenjak suaminya meninggal, sikapnya langsung berubah dratis. 

Memang salahnya waktu itu tidak datang kepemakan untuk berduka cita. Memang salahnya yang terlalu menuruti kemauan Indira yang ingin jalan-jalan ke Amerika. 

Mengingat masa lalu, membuat Hendra kacau. Dia menepikan kembali mobilnya pinggir jalan. Kemudian duduk bersandar dan memegang kepalanya. 

Setelah lama berpikir dan merenung, Hendra akhirnya mencoba jalan lain. Dia segera tancap gas menuju kantor pengacaranya. Ada hal yang harus diputuskan sekarang juga.

Setibanya di kantor pengacara pribadinya, Hendra segera menuju ruangan milik Pak Tyo, sang pengacara.

Pak Tyo terlihat memakai baju santai; kaus oblong dan celana bahan. Dia menyambut Hendra dengan senyuman yang khas sama seperti  dua puluh tahun yang lalu.

Pak Tyo mengambil langkah lebih dekat dan menyalami tangan Hendra yang berkeringat. Lelaki paruh baya itu mempersilakan client-nya itu untuk duduk.

"Apa yang membawamu ke sini? Aku pikir kau sudah melupakanku, Hend. Waktu berlalu dengan cepat, tapi kau masih saja menemuiku bila terkena masalah dengan Pratiwi dan Athif yang sudah tenang di alam kubur."

Pak Tyo menyalakan cerutunya dan menghisapnya dengan perlahan. Kepulan asap bulat-bulat terlihat, aroma tembakau kuat tercium. Sementara Hendra masih membeku di sofa. Dia merasa lidahnya kelu untukenjelaskan duduk permasalahan yang baru saja menimpanya.

Masalah ini bertubi-tubi datangnya. Terlalu berat untuk Hendra. 

"Pak, Pratiwi datang dan ingin balas dendam. Anaknya mengganggu anakku, Alea. Dia menghamilinya."

"Aku turut bersedih untuk Alea. Sekarang apa langkah yang ingin kau buat untuk memblok jalan Pratiwi dan juga anaknya. Kali ini tuntaskan saja sesuai apa yang kau mau."

Pak Tyo mengeluarkan beberapa dokumen dan menjelaskan semuanya kepada Hendra. Keduanya tampak terlibat perdebatan singkat. 

Sekitar pukul sepuluh malam Pak Tyo merampungkan apa yang mereka putuskan. Sebuah kertas satu lembar dia masukan ke dalam map. Kemudian mengantar Hendra menuju pintu.

"Hati-hati di jalan."

Hendra memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Dia berjalan menuju kamar Juli. Bukan tidak perduli dengan keadaan Alea. Namun, dia yakin Indira pasti ada di sana.

Hendra terlebih dahulu pergi ke toilet. Dia membasuh wajahnya yang tampak kusut. Setelah itu berkaca sebentar. Dia tidak mau Juli bertanya macam-macam kala melihat penampilannya.

Setelah merasa lebih baik, lelaki itu hendak keluar, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara seseorang yang begitu dia kenal. Suara itu berasal dari bilik toilet yang tertutup di ujung dekat pintu. 

"Aku melakukannya, Mah. Aku merenggut satu-satunya kebahagiaan Alea. Dia sudah bilang sebelumnya untuk mempertahankan j*nin itu, tapi aku menolak dan bersikeras meninggalkannya. Akhirnya sekarang semuanya berjalan sesuai rencana kita, Mah."

Tangan Hendra mengepal. Napasnya sesak. Dadanya berdegup cepat. Dengan langkah lebar, lelaki itu berdiri tepat di depan bilik toilet dan mendobraknya.

Orang yang ada di dalamnya terkejut. Namun, segera menetralkan mimik wajahnya ketika mengetahui siapa yang membuat keributan ini. Di tatapnya lelaki paruh baya yang katanya jahat. Pratiwi menanamkan itu sejak kecil. Sabian dilatih untuk membenci Hendra dan keluarga.

"Jadi kau sengaja membuat anakku menggugurkan k*ndungannya?"

Bian tersenyum licik.

"Aku masih muda. Aku belum siap punya anak."

Mata Hendra meredup mendengar penuturan Bian. Dia tahu apa yang anak itu katakan adalah pengulangan dari perkataannya di masa lalu terhadap Pratiwi.

"Dengar, aku bukan orang yang bertanggungjawab atas kehidupanmu, Bian. Aku hanya dijebak oleh ibumu." 

Kali ini Hendra berusaha untuk lebih lembut menjelaskan masalah yang sudah mengakar ini. Dia tidak mau Bian semakin jahat dan mengabdikan hidupnya untuk membalas dendam atas kesalahan yang bukan sepenuhnya milik dia.

Akan tetapi, pemuda ini tampaknya keras kepala. Dia tidak bisa diajak bicara baik-baik. Bian memilih meninggalkan Hendra yang masih dilingkupi emosi.

"Pratiwi, kau menabuhkan genderang perang sekali lagi. Namun, sebelum perang yang kau inginkan terjadi, kali ini aku akan menghentikannya. Sejarah masa lalu tidak boleh terulang."

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status