Share

Masalah bertubi-tubi

Sekian jam menunggu di depan UGD. Seorang dokter dan perawat keluar. Mereka meminta pihak keluarga; Indira dan Hendra untuk ikut ke ruangannya.

Dokter itu menjelaskan keadaan Alea. Mereka berhasil menstabilkan fisik Alea. Namun, dokter mengatakan kalau Alea sedang terguncang. Dia butuh  ke psikiater setelah pulih dari pendarahan ini. 

Setelah bersiskusi dengan dokter, Alea dipindahkan ke ruang rawat. Indira tak pernah lepas memantau putrinya. Hendra ijin keluar dan dia sudah menyeret Bian sampai basement.

"Om, saya berhak melihat keadaan Alea. Saya mau tanggung jawab dan menikahinya!" 

"Menikah katamu? Alea tidak akan menikah, dia hanya perlu mengakhiri hubungannya denganmu. Setelah dia sembuh, saya akan mengirimnya ke luar negeri." 

Hendra berbalik dan menjauh.

Bian berteriak, "Coba aja! Saya akan buat Alea dan keluarga kalian menderita! Pegang janji saya, Sabian Mahesya, anak dari Pratiwi Anindita!"

Deg!

Jantung Hendra seperti berhenti berdetak setelah mendengar nama Pratiwi Anindita. Wanita masa lalu yang susah payah dia singkirkan dari hidupnya. Jadi Bian adalah antek dari wanita itu.

Hendra terdiam dan menunduk. Kepalanya seperti berputar ketika mendengar nama itu. Semua masa lalu yang hendak dia kubur mendadak terbayang dengan jelas. Hendra menggigil, dia tak mau lagi berurusan dengan Pratiwi, dia ingin bebas.

"Kau ingat sekarang, Hendra Pradita? Aku tahu, kau sangat ingin pergi, tapi tidak dengan ijin dari kami berdua. Ingat itu! Jangan sentuh Alea atau menjauhinya dariku!" 

Hendra berjalan mendekat sambil mengepalkan tangan dan bersiap melayangkan bogem mentahnya ke wajah Bian. Namun, semuanya terhenti ketika dia menatap mata Bian. Bola  mata berwarna kebiruan  milik Pratiwi terpatri dengan jelas. Dia benar-benar jelmaan wanita itu. Bian pasti hanya mendengar setengah kebenaran dari Pratiwi, tanpa tahu setengahnya lagi darinya. 

Pratiwi pasti memperalat Bian untuk membalaskan dendam lamanya. tetapi kenapa mereka harus menggunakan putrinya dan Indira. Kenapa sejak kejadian itu, Pratiwi malah tak mendatanginya dan membalaskan dendamnya yang membekas sampai sekarang. Apa tujuan mereka sebenarnya?

Hendra tak mau lagi berurusan, dia menjauh dan berlari meninggalkan basement diiringi tawa Bian yang terdengar menyakitkan. Tawa itu tak seperti orang bahagia, tetapi penuh rasa sakit. 

Hendra terengah-engah ketika sampai di ruang rawat. Dia menghampiri Alea yang masih tertidur. Hendra mengusap kening putrinya dan mengecupnya lembut. Digenggamnya tangan Alea, dia merasa anaknya sudah jatuh ke lubang yang salah, jatuh ke tempat di mana dia tak bisa keluar.

"Kenapa kamu begitu sedih? Alea selamat." Indira berkata sambil mengusap bahu Hendra.

Hendra melepas pegangannya pada Alea. Dia beralih ke Indira dan hendak memeluk istrinya itu, tetapi saat sudah meraih bahu Indira, sebuah suara menghentikannya.

"Mas, kok, gak balik-balik? Aku takut sendirian. Ayo temanin aku." Juli menarik Hendra dari kamar dan .menjauhkannya dari Indira.

Hendra tampak serba salah dan akhirnya menuruti keinginginan Juli. Karena dia khawatir dengan janin di rahim pacar gelapnya itu. Dia butuh waktu untuk mengambil sikap. Dia tak bisa merelakan Alea untuk jadi tumbal dari masa lalunya. Namun, dia tak rela melepas kehidupan barunya yang sebentar lagi akan mendapatkan seorang anak. 

Indira menangis mendapati sikap keras hati Hendra. Di tengah rasa sedih akan keadaan Alea, dia malah memilih pelakor yang jelas-jelas punya niat jahat itu. Indira memilih untuk kembali duduk dan menemani Alea.

***

Di ruang rawat Juli, Hendra terus merenungkan masalahnya. Dia berpikir banyak cara untuk menghilangkan dendam Pratiwi. Namun, semua terasa buntu. Otaknya tak mampu mencerna apa pun. Dia sangat kalut dan tak bisa mencari jalan keluar.

"Mas, kok, bengong aja. Aku dicuekin." Juli berkata dengan nada yang manja dan dibuat-buat sedih. Dia tahu kalau bersikap manja adalah kesenangan Hendra.

"Mas gak apa-apa, kok, Sayang. Sekarang kamu tidur, ya. Istirahat, supaya si dedek gak sakit di sana." Hendra mengelus perut Juli dan mencoba tersenyum.

Juli mengangguk, dia memejamkan mata dan bersiap tidur. Setelah beberapa menit, Juli tampak pulas. Hendra memutuskan keluar ruangan. Dia bergegas menuju basement dan masuk ke dalam mobilnya.

Dia cepat-cepat mengendarai mobil dengan ugal-ugalan. Tujuan Hendra hanya satu, dia ingin menyelesaikan apa yang harus diselesaikan sejak dulu dengan wanita itu.

Roda mobil berhenti bergulir di depan sebuah bangunan berwarna putih. Rumah di hadapannya sangat sederhana, tetapi asri karena halamannya dikelilingi tumbuhan.

Hendra mematikan mesin mobil, lalu turun perlahan. Kakinya berpijak menapaki jalan yang tidak diaspal. Tanah merah menghiasi alas sepatunya. Hendra meringis ketika tahu kalai tanah itu sudah bercamour dengan kotoran hewan. 

"Tampaknya kamu sudah berubah, Hendra. Dulu, saat menginjak tah* ayam, kamu tertawa. Sekarang, kamu terlihat jijik, ya. Waktu berlalu dengan cepat." 

Hendra menengok ke asal suara yang terdengar dari samping rumah. Dia melihat sesosok wanita dengan rambut sebahu yang menggunakan baju daster selutut. Wanita yang berusia sama dengannya itu, masih saja terlihat segar. Hanya tubuhnya lebih berisi. 

Wanita dengan kulit seputih susu itu mendekat dan menatap Hendra dari ujung rambut sampai kaki. Terkadang dia berdecak dan menyunggingkan senyuman sinis.

"Tidak usah basa-basi! Aku minta kepadamu dan anak laki-lakimu untuk menjauhi kehidupan kami, terutama putri semata wayangku, Pratiwi! Aku sudah muak denganmu!"

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status