Share

Bab 8

Bayu tengah duduk di salah satu sudut galeri. Ia tengah menyapu kanvas di depannya dengan berbagai warna. Kuasnya menari-nari di udara. Tangannya dengan lincah menggerak-gerakkan kuas tersebut. Ia pun berhenti ketika kanvas di hadapannya sudah penuh dengan warna. Ia tersenyum puas begitu melihat hasil lukisannya tersebut.

“Apa yang sedang kamu lukis kali ini?” terdengar suara yang tak asing mendekatinya.

Bayu pun memperlihatkan lukisannya. Terlihat gambar sembilan ekor ikan koi yang berenang dengan riang di dalam kolam. “Nggak terlalu spesial, ya?”

“Hmm… sepertinya begitu. Lukisan sembilan ekor ikan koi emang bisa dibilang udah banyak di pasaran.”

Bayu menatap sumber suara. Tidak percaya orang di sampingnya tersebut tega berkata seperti itu.

“Hei, kenapa kamu jujur sekali sih kali ini? Bukannya di saat seperti ini kamu harusnya mencari kata-kata yang lebih bagus untuk memuji lukisanku?” ujar Bayu.

“Aku belum selesai bicara. Lukisan sembilan ikan koi itu emang udah biasa tapi aku baru pertama kali melihat lukisan yang seperti ini. Bagaimana ya bilangnya… Sangat sempurna, sampai-sampai membuatku kehabisan kata-kata karenanya.”

Bayu hanya bisa tersenyum kecil mendengar jawaban tersebut. “Pujianmu terlalu berlebihan. Seharusnya kamu cari kata-kata yang lebih sederhana.”

“Ya… ya… Aku emang selalu salah.”

Melihat gadis di dekatnya itu memasang wajah cemberut, dengan jahilnya Bayu mengarahkan kuas ke depan wajah si gadis. Si gadis kontan saja langsung berusaha menghindar, namun apa daya tangannya telah terkena tinta merah.

“Heeiii… lihatlah apa yang sudah kamu lakukan! Aku tahu kok kalau kulitku ini seputih kanvas, tapi itu bukan berarti kamu bisa melayangkan kuasmu seenaknya,” keluh si gadis. “Bukankah lebih baik kalau kamu menggambar sosokku di atas kanvas itu?” ujar gadis itu lagi.

Bayu langsung terdiam. Walaupun tahu betul bahwa gadis di hadapannya itu melontarkan kata-kata tersebut dengan nada bercanda, ia tahu bahwa kata-kata itu ditujukan padanya dengan serius.

Selama ini, selama sepuluh tahun belakangan, gadis itu, Shinta, selalu berada di sisinya. Kecelakaan yang menimpanya sepuluh tahun lalu, kenyataan bahwa ia tidak dapat berdiri seperti dulu lagi, perceraian kedua orang tuanya, hingga kematian sang ayah… semua kemalangan tersebut seakan berlomba-lomba untuk menghampiri Bayu. Tidak ada satu pun orang yang ada di sampingnya untuk menemaninya melewati masa-masa sulit tersebut. Hanya Shinta, satu orang yang hingga kini masih setia untuk tetap berada di sisinya.

“Kok kamu tiba-tiba bengong, sih? Nggak perlu ditanggapi serius. Aku cuma bercanda, kok,” ucap Shinta.

“Maaf, aku…” Bayu mulai bingung untuk berkata-kata. Ia tidak tahu bagaimana sebaiknya yang harus dilakukan untuk menanggapi perkataan Shinta tadi.

“Nggak perlu minta maaf. Sudah aku bilang, kan. Aku cuma bercanda, kok. Lagi pula, aku kan tahu kalau kamu hanya melukis pemandangan saja. Meskipun sebenarnya, aku yakin kalau aku akan jadi objek yang lebih menarik untuk dilukis,” kata Shinta diselingi tawa iseng. “Ups, maaf. Aku cuma bercanda, kok.”

Bayu masih tetap diam. Tidak bergeming. Perkataan Shinta tadi bukannya mencairkan suasana, justru malah membuat mereka menjadi semakin kikuk.

“Oh, ya. Ada beberapa lukisan di sana yang masih perlu aku atur penempatannya. Aku ke sana dulu, ya. Kamu lanjutin saja melukisnya,” ucap Shinta seraya buru-buru pergi.

***

Shinta bergegas pergi meninggalkan Bayu yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Suasana tadi terasa sedikit canggung.

“Apa yang baru aja aku lakukan? Dasar bodoh!” kata Shinta pada dirinya sendiri. Berulang kali ia menepuk keras kepalanya.

Shinta sadar bahwa ia baru saja melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya ia meminta Bayu untuk melukisnya. Selama sepuluh tahun belakangan, ia sudah berusaha mati-matian untuk menahan diri. Entah apa yang merasukinya tadi sehingga secara tidak sengaja kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya.

”Bukankah lebih baik kalau kamu menggambar sosokku di atas kanvas itu?”

Ucapannya tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. Sudah jelas bahwa hal itu sangat tidak mungkin terjadi. Bayu tidak pernah membiarkan seorang pun muncul di lukisannya. Bayu hanya melukis pemandangan alam, binatang, atau benda. Ya, lukisan-lukisan sejenis itu. Kepiawaian Bayu menarikan kuas di atas kanvas membuat lukisannya terasa begitu hidup. Namun, Shinta dapat merasakan kehampaan yang menghiasi lukisan-lukisan tersebut.

Shinta menebarkan pandangan ke seluruh penjuru galeri. Terlihat puluhan lukisan hasil karya Bayu serta benda-benda ukiran memenuhi setiap sudutnya. Bila dicermati dengan saksama, lukisan itu merupakan gambaran yang terlihat di lingkungan sekitar tempat mereka tinggal selama beberapa tahun terakhir. Walaupun Bayu tidak pernah mengatakan apa pun, Shinta tahu bahwa Bayu sangat ingin memperlihatkan lukisan-lukisan tersebut pada seseorang. Satu-satunya orang yang menjadi objek pada lukisan yang secara diam-diam Bayu kerjakan selama bertahun-tahun di ruang kerjanya. Lukisan yang bahkan tidak kunjung usai, meski tahun demi tahun telah berlalu.

Seketika Shinta merasa dadanya sangat sesak. Ingatannya pun kembali melayang pada peristiwa sepuluh tahun lalu. Meski tahun demi tahun telah berlalu, namun kejadian itu masih sangat melekat di ingatan Shinta.

Kala itu…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status