Natasya sibuk memasukkan barang-barang miliknya ke dalam koper. Entah kenapa kopernya itu seperti mau meledak saat satu per satu barangnya ia masukkan. Padahal, sebelumnya koper itu masih memiliki banyak ruang kosong.
“Beresin yang bener. Jangan sampai ada barangmu yang tertinggal.”
“Iya, Kak Bayu yang cerewet.”
Natasya sudah lelah mendengar Bayu yang sejak siang tadi terus menceramahinya. Menyuruhnya memasukkan semua benda miliknya agar tidak ada yang tertinggal. Agar tidak membuat repot Bayu di kemudian hari. Agar Bayu tidak perlu bersusah payah mengirimkannya jika memang ada barang penting yang tertinggal.
“Kakak pasti bakalan kangen aku, deh. Besok kan aku sudah balik ke Bandung.”
“Nggak akan. Justru aku bahagia. Akhirnya besok aku akan mendapat kedamaian. Nggak ada lagi suara berisik yang mengganggu telingaku.”
“Kalau Kakak kangen, jangan ragu untuk menghubungiku, ya.”
&
Suara gamelan mengalun memenuhi setiap pelosok auditorium. Dari barisan kursi penonton, Tari tampak tidak dapat berhenti menggoyang-goyangkan tubuhnya. Gadis mungil berusia tujuh tahun tersebut terlihat berusaha mengikuti gerakan para penari yang bergerak dengan sangat lincah di atas pentas. Tidak ketinggalan, di sebelahnya kedua orang tuanya juga terlihat sibuk mengabadikan aksi para penari tersebut. Sang ayah sibuk merekam dan sang ibu membantu mengarahkan. Mereka seolah-olah tidak ingin sedikit pun melewatkan aksi dari sang penari.“Ayah, lebih ke kanan sedikit,” seru sang ibu.Sang ayah kemudian mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. “Seandainya kita ada di barisan paling depan, kita pasti bisa mengambil gambar yang lebih bagus,” gerutu sang ayah ketika beberapa kali menangkap kepala orang di depan yang menghalanginya mengambil video sang penari.
Cuaca akhir-akhir ini sangat tidak menentu. Mentari seolah tak ingin menampakkan dirinya, digantikan dengan awan mendung serta diiringi dengan tiupan angin yang cukup kencang. Siang ini, seperti biasa Tari menunggu kedatangan kakaknya. Kali ini, ia menunggu sendirian karena teman-temannya bergegas untuk pulang, takut hujan terlebih dahulu mengguyur mereka. Untungnya Bayu tidak membuatnya terlalu lama menunggu. Tari menyambut kedatangan kakaknya dengan sangat gembira. Ia sangat ingin segera sampai di rumah. Sudah tidak tahan diterpa dengan tiupan angin. “Kenapa, Kak?” tanya Tari ketika melihat Bayu sedikit mengguncang sepedanya. Bayu merasa ada yang tidak beres dan langsung mengecek keadaan sepedanya itu. “Sepertinya kita harus berjalan sampai menuju bengkel di seberang,” kata Bayu sambil menunjuk ban sepedanya yang sedikit
Seminggu berlalu. Bayu sudah berhasil menenangkan diri. Selama seminggu belakangan, walau dengan sangat terpaksa, ia berusaha untuk menerima kenyataan. Ia berusaha untuk menerima kenyataan bahwa dunianya sudah tidak akan sama lagi seperti dulu. Ia harus menerima kenyataan bahwa mimpinya sudah pupus. Kenyataan bahwa bumi yang dipijaknya kini akan berbeda. “Bayu, saatnya pemeriksaan, Nak.” Bayu hanya mengangguk mengikuti ayahnya. Selama ini, ayahnya berusaha dengan sangat keras untuk menenangkan hati Bayu yang terpukul atas kenyataan pahit bahwa ia sudah tidak dapat berdiri seperti dulu lagi. Kecelakaan itu telah ‘membunuh’ sosok Bayu yang piawai menari. Bayu sadar bahwa meskipun ia melakukan pemeriksaan dan menerima perawatan, ia tidak akan dapat berdiri di panggung lagi. Ia sudah cukup dewasa untuk mengerti hal tersebut. Namun, ia masih menuruti perkataan a
Sepuluh tahun kemudian… “Hei! Ngapain sendirian di sini?” suara Natasya yang cempreng hampir membuat jantung Tari copot. “Ngagetin orang aja, deh. Ada apa?” tanya Tari. “Yaelah… pake nanya ada apa. Yuk, buruan. Pertandingan basketnya udah mau mulai, tuh.” Natasya menyeret Tari menuju lapangan basket. Sahabatnya yang satu ini memang sangat berbakat dalam memaksa Tari untuk melakukan segala hal. Mau tidak mau, Tari terpaksa ikut melangkah menuju lapangan basket. Pertandingan basket antara kelas XII IPA 1 melawan XII IPA 3 telah dimulai. Tampak pemain-pemain jangkung dari kedua tim berusaha untuk merebut bola dan memasukkannya ke dalam ring lawan. “Kok diem aja, sih! Kasi semangat dong buat Ryan,” kata Natasya dengan keras di tengah gegap gempita teriakan 
Tari sibuk memandangi deretan buku yang berjajar di perpustakaan sekolahnya. Ia sedang mencari buku penunjang untuk mengerjakan tugas dari guru yang harus dikumpulkan dua hari lagi. Tari memang terkenal sebagai anak yang rajin. Ia mendapat peringkat tiga besar di kelasnya. Perpustakaan sekolah adalah salah satu tempat yang paling sering dikunjunginya selama jam istirahat. Ia biasa menghabiskan waktu sendirian di perpustakaan karena tahu benar bahwa pada jam istirahat seperti saat ini, perpustakaan merupakan tempat yang tidak akan pernah dikunjungi Natasya, teman sebangkunya di kelas XII IPA 2. Bayangkan saja, mana mungkin gadis yang tidak pernah kehabisan bahan obrolan dan bersuara nyaring seperti Natasya bisa ditahan lama-lama di perpustakaan yang sunyi senyap ini. Tari pernah mengajaknya mengerjakan tugas biologi di perpustakaan agar dapat dengan mudah mencari buku referensi. Bukannya mencari buku, Natasya malah mengacak-acak rambut sambil berkali-kali mendengus ke
Begitu jam pelajaran berakhir, Natasya langsung merapikan buku-bukunya. Ia bersiap mengikuti Bu Margareth ke ruang guru. “Doakan semoga aku selamat,” bisik Natasya ke arah Tari sebelum akhirnya pergi. Tari mengangguk sambil mengangkat tangan kanannya yang terkepal, tanda memberikan dukungan. Tari kemudian bergegas menuju kelas XII IPA 1. Mencari Ryan. Tari merasa tidak enak hati karena akhir-akhir ini ia secara tidak sengaja telah asyik dengan dirinya sendiri, tanpa memedulikan Ryan. Tari menunggu di depan kelas XII IPA 1, memerhatikan satu per satu siswa yang keluar dari ruangan tersebut. Ruang kelas tersebut pun akhirnya kosong. Namun, Tari tidak menemukan sosok Ryan. “Apa dia sudah pulang?” tanyanya pada diri sendiri. Tidak mungkin. Mana mungkin Ryan pulang tanpa memberikan kabar sedikit pun padanya. Tari lantas melangkah menuju lapangan basket. Mungkin ia dapat menemukan sosok Ryan di sana. Benar saja. Dari kejauhan Tari da
Seminggu telah berlalu semenjak Tari melihat kejadian tidak menyenangkan itu. Selama seminggu belakangan pula, ia tidak bertemu dengan Ryan. Sebentar lagi mereka akan dihadapkan dengan ulangan semester ganjil. Belum lagi para guru yang seakan berlomba untuk memberikan tugas. Mungkin itu sebabnya Tari bisa sejenak melupakan Ryan. Ia terlalu sibuk berkutat dengan tugasnya. Perpustakaan masih menjadi tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu istirahat.Ketika kembali ke kelasnya setelah menghabiskan waktu di perpustakaan, Tari mendapati sebuah kotak makan kecil ada di atas mejanya. Terdapat kertas kecil yang diletakkan di bawah kotak tersebut.‘ASYIK BELAJAR SIH BOLEH SAJA. TAPI JANGAN LUPA MAKAN, YA.’Tari tersenyum memandang tulisan di secarik kertas tersebut. Ia pun membuka kotak di atas meja dan mulai mengunyah sandwich yang ada di dalamnya.***Pak Budi baru saja keluar dari kelas XII IPA 2. Disusul kemudian oleh para murid
Bayu tengah duduk di salah satu sudut galeri. Ia tengah menyapu kanvas di depannya dengan berbagai warna. Kuasnya menari-nari di udara. Tangannya dengan lincah menggerak-gerakkan kuas tersebut. Ia pun berhenti ketika kanvas di hadapannya sudah penuh dengan warna. Ia tersenyum puas begitu melihat hasil lukisannya tersebut.“Apa yang sedang kamu lukis kali ini?” terdengar suara yang tak asing mendekatinya.Bayu pun memperlihatkan lukisannya. Terlihat gambar sembilan ekor ikan koi yang berenang dengan riang di dalam kolam. “Nggak terlalu spesial, ya?”“Hmm… sepertinya begitu. Lukisan sembilan ekor ikan koi emang bisa dibilang udah banyak di pasaran.”Bayu menatap sumber suara. Tidak percaya orang di sampingnya tersebut tega berkata seperti itu.“Hei, kenapa kamu jujur sekali sih kali ini? Bukannya di saat seperti ini kamu harusnya mencari kata-kata yang lebih bagus untuk memuji lukisanku?” ujar Ba