Share

Bab 9

Sepuluh tahun yang lalu…

Sudah lebih dari seminggu Shinta tidak melihat kehadiran Bayu di sekolah. Ia sangat merindukan sosok Bayu yang mampu menyejukkan relung hatinya. Membuat hatinya berdesir. Karena tidak tahan lagi, ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada teman satu kelas Bayu.

“Bayu kecelakaan…” kata Indra, ketua kelas Bayu. Shinta terkejut mendengarnya. Dada Shinta terasa sangat sesak mendengar kabar tentang kecelakaan yang menimpa Bayu tersebut.

“Kakinya cedera…” kata-kata Indra tersebut terdengar bagai petir di siang bolong.

Shinta menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirinya ingin menolak apa yang baru saja didengarnya itu.

“Aa.. aappaa maksudmu?” tanya Shinta, tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya.

“Aku dengar kabar dari wali kelas kalau sekarang Bayu perlu bantuan tongkat untuk menyangga tubuhnya.”

‘Kakinya cedera. …tongkat untuk menyangga tubuhnya. BAGAIMANA BISA?’ batin Shinta. Tubuhnya mulai bergetar saat memikirkan keadaan Bayu kini.

‘TIDAAAKKK!’ pekik Shinta dalam hati. ‘Bayu seorang penari, apa jadinya jika kakinya cedera?’

Shinta berusaha untuk menenangkan diri. Pada saat seperti ini, ia perlu untuk berpikir jernih.

“Lalu, di mana dia sekarang?” tanya Shinta pada Indra.

“Seharusnya sekarang dia sudah keluar dari rumah sakit. Mungkin sekarang dia sedang beristirahat di rumah,” sahut Indra.

Setelah mendengar hal itu, tanpa menunggu lebih lama lagi, Shinta langsung bergegas pergi meninggalkan Indra. Ia langsung berlari menuju kelasnya untuk mengambil tas. Tanpa peduli dengan satu mata pelajaran lagi yang harus diikutinya hari itu, ia bergegas menuju rumah Bayu.

Napasnya tersengal-sengal ketika sampai di rumah dengan gerbang berwarna putih tersebut. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba mengendalikan emosinya.

“Aku datang untuk menjenguk Bayu. Untuk menghiburnya. Memberikan semangat padanya,” ujar Shinta pada diri sendiri. Untuk menenangkan perasaan Bayu yang kini sedang bersedih hati, tentu saja Shinta merasa perlu untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu.

Ketika hendak melangkah mendekati pintu rumah di hadapannya, tanpa sengaja Shinta mendengar suara gaduh dari dalam rumah tersebut. Shinta berusaha mempertajam pendengarannya. Mencoba untuk mengetahui situasi di dalam rumah tersebut.

“… sebaiknya kamu pergi dari sini!” ucap seseorang dari dalam rumah. Terdengar jelas bahwa suara orang itu penuh dengan rasa amarah.

Selanjutnya, Shinta masih bisa mendengar suara teriakan dari dalam rumah. Ia bahkan mendengar tangisan seorang anak kecil. Perlahan ia melangkah menjauh. Berusaha menyembunyikan diri.

Pemandangan yang tampak di hadapannya sangat memilukan. Dari persembunyiannya, Shinta dapat melihat dengan jelas ibu Bayu yang membawa tas besar. Ibu itu juga terlihat setengah menarik anak perempuannya yang terus menangis dengan keras. Melangkah menuju gerbang. Meninggalkan rumah.

Shinta diam tak berkutik. Seakan membeku melihat kepergian ibu dan anak tersebut. Air mata perlahan mengalir di pipinya. Ia merasa pilu melihat kejadian tersebut.

Tak mau terlarut dalam buncahan emosi yang terlalu dalam, ia pun segera menghapus air matanya. Mengedipkan matanya berulang kali. Berusaha agar tidak terlihat seperti orang yang baru saja selesai menangis.

Shinta membalikkan badannya. Alangkah terkesiapnya ia mendapati Bayu yang sedang menatap kepergian ibu dan adik perempuannya tersebut dari balik jendela. Pandangan mata Bayu sarat akan kesedihan. Hal yang membuat Shinta lebih terkesiap yaitu kala matanya tanpa sengaja tiba-tiba bertemu dengan mata Bayu. Keduanya hanya bisa terdiam. Lama. Tidak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulut Shinta.

Bayu kemudian memalingkan wajah. Perlahan, ia bergerak menjauh dari jendela. Saat itulah, Shinta akhirnya melihat dengan jelas menggunakan mata kepalanya sendiri. Sosok Bayu yang saat itu tampak kesulitan bergerak dengan bantuan tongkat di tangannya.

Tenggorokan Shinta langsung tercekat begitu menyaksikan pemandangan di hadapannya.

Terlihat jelas bahwa Bayu masih belum terbiasa menggunakan tongkat tersebut.

Bruk! Bayu terjatuh.

Shinta ingin sekali menolongnya, namun langkahnya terhenti. Tubuhnya tak bisa ia gerakkan. Ia membeku di tempat!

Bayu tampak berusaha bangun dengan susah payah. Satu. Dua. Tiga. Berulang kali mencoba, namun Bayu tak berhasil untuk bangun.

Mata Shinta memanas melihat pemandangan di hadapannya tersebut. Ia merasa tak sanggup lagi menyaksikannya. Perlahan, kakinya melangkah mundur. Selanjutnya, ia lantas berlari kencang meninggalkan rumah Bayu.

***

Shinta menarik napas panjang. Mengenang kejadian sepuluh tahun lalu membuatnya merasa pedih. Meski demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa kecelakaan yang menimpa Bayu merupakan peristiwa yang lantas berhasil membuat dirinya dekat dengan Bayu. Dulu, saat Bayu masih bisa menari dengan lincahnya, ada banyak gadis yang mengincar Bayu. Shinta adalah salah satu di antaranya. Berkali-kali ia berusaha mendekati Bayu, namun selalu saja penolakan yang ia terima.

Sejujurnya, jauh di lubuk hatinya, Shinta merasa terbantu dengan adanya kecelakaan tersebut. Pasalnya, kecelakaan itulah yang pada akhirnya berhasil membuat Shinta dekat dengan Bayu.

‘Betapa jahatnya aku karena bersyukur atas kemalangan yang menimpamu dan memanfaatkan momen itu untuk mendekatimu,’ batin Shinta.

Setelah berhasil dekat dengan Bayu, Shinta menjadi sosok yang serakah. Ia tidak ingin orang lain dekat dengan Bayu. Oleh karenanya, Shinta telah melakukan hal bodoh. Satu hal yang hingga kini tetap dirahasiakannya. Demi Bayu dan demi dirinya sendiri…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status