로그인Alexander berbalik pada Elena. "Namanya Ethan. Dia adalah orang yang membantuku lima tahun lalu."Elena merasakan dadanya menegang. "Membantumu dalam hal apa?"Ethan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Membantunya menghilang."Elena terkejut. "Apa?"Ethan mengabaikan keterkejutannya dan melanjutkan, "Lima tahun lalu, seseorang menginginkan Alexander pergi. Mereka tidak hanya mengancammu, Elena, tapi mereka juga menginginkan dia mati."Mata Elena membelalak. "Apa maksudmu?"Alexander mengepalkan tangannya. "Elena aku tidak hanya pergi, karena ancaman padamu. Aku pergi karena ada seseorang yang ingin menyingkirkanku juga."Elena merasa kepalanya berputar tiba-tiba semuanya menjadi semakin rumit."Siapa mereka?" tanyanya pelan.Ethan menghela napas panjang. "Aku belum tahu pasti, tapi aku bisa memberitahumu satu hal."Elena menelan ludah dan menunggu. Ethan menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara rendah, "Orang yang mengancammu adalah Lucedra."Elena merasakan tubuhnya menegan
Alexander berdiri dan ekspresinya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu."Elena mengangkat wajahnya dan menatap mata pria itu yang penuh dengan tekad.Dulu Alexander memilih untuk pergi, tapi kali ini, ia memilih untuk bertahan.Elena hanya berharap bahwa itu bukan sebuah kesalahan. Ia masih menatap foto di layar ponsel Alexander dan tubuhnya masih membeku. Seseorang benar-benar mengawasinya.Ia merasakan tengkuknya meremang. Tadi malam ia pikir itu hanya paranoia, tapi sekarang bukti nyata ada di hadapannya."Elena," suara Alexander lebih lembut dari sebelumnya, "Kenapa kamu tidak meneleponku?"Elena menelan ludah. "Aku aku tidak ingin merepotkanmu."Alexander mengepalkan rahangnya. "Merepotkanku?"Nada suaranya meninggi dan berbahaya membuat Elena sedikit mundur, karena pria itu terdengar benar-benar marah."Ada seseorang yang mungkin mengincarmu, mengirimiku foto ini sebagai peringatan, dan kamu berpikir itu bukan sesuatu yang perlu kamu khawatirkan?"Elena menggi
Itu adalah dirinya lima tahun yang lalu yang sedang berjalan sendirian di depan apartemennya dan tanpa sadar bahwa seseorang sedang mengamatinya dari kejauhan. Elena menahan napas saat mengambil foto lain. Ia sedang duduk di kafe dan membaca buku.Foto berikutnya lebih buruk. Itu adalah dirinya yang tertidur di kamar dan diambil dari luar jendelanya."Ya Tuhan!" bisiknya."Sekarang kamu mengerti?" suara Alexander terdengar berat.Elena merasa mual. Seseorang telah mengawasinya selama ini dengan cukup dekat untuk bisa mengambil foto-foto ini tanpa ia sadari."Siapa yang memberimu ini?" suaranya hampir tidak keluar.Alexander menggeleng. "Aku tidak tahu. Foto-foto ini dikirim kepadaku bersama pesan anonim."Elena menatap pria itu dengan nanar. "Dan kamu tidak berpikir untuk memberi tahuku?"Alexander mengepalkan tangannya. "Aku tidak bisa, Elena! Aku takut jika aku mencoba menghubungimu, mereka akan tahu dan benar-benar menyakitimu!"Elena menggeleng masih tidak percaya. "Kenapa sekaran
Elena berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat. Udara sore terasa sedikit menusuk, tetapi tidak sebanding dengan perasaan yang mendidih di dadanya.Kata-kata Alexander tadi terus terngiang di kepalanya. Elena berhenti di tepi jalan dan mengepalkan jemarinya. Ingin rasanya ia berbalik, menuntut jawaban, dan menanyakan semua hal yang selama ini menggerogoti pikirannya, bahkan setelah lima tahun, Alexander selalu merasa benar dan selalu percaya bahwa dunia harus mengerti dirinya tanpa perlu menjelaskan apa pun dan Elena tidak akan jatuh ke dalam perangkap itu lagi.Sebuah mobil hitam berhenti di depan restoran. Elena tahu itu adalah mobil Alexander. Jendela belakang terbuka dan suara dingin pria itu terdengar."Masuk, Elena!"Elena menghela napas panjang. Ia bisa saja menolak dan pulang dengan taksi, tetapi mereka masih dalam jam kerja, jadi tanpa berkata apa-apa, ia masuk ke dalam mobil.Perjalanan kembali ke kantor dipenuhi dengan keheningan yang nyaris menyiksa.Alexander du
Elena berdiri di depan cermin di apartemennya, menatap cukup lama bayangan dirinya dengan ekspresi kosong. Rambutnya masih sedikit berantakan setelah terburu-buru pulang dan ia bisa melihat sorot kelelahan di matanya. Hari pertama bekerja di bawah Alexander sudah cukup melelahkan bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Elena menghela napas, lalu melepas jas kerjanya dan menggantinya dengan kaus longgar serta celana pendek. Ia berjalan ke dapur, menuangkan segelas air, lalu meneguknya perlahan. Pikirannya masih penuh dengan pria itu. Jari-jari Elena mengenggam erat gelasnya, karena Alexander telah memberi kesan seolah-olah bahwa ia sudah meninggalkan Alexander dan seakan-akan ia yang bersalah padahal dia-lah yang pergi tanpa penjelasan satu kata pun. Elena masih ingat hari itu dengan sangat jelas, hari di mana ia menunggu, berharap Alexander akan kembali, dan berharap semuanya hanya kesalahpahaman, tapi tidak pernah ada pesan atau pun telepon. Setelah lima tahun, ia kembali s
Napasnya masih tersengal meski ia mencoba mengendalikan dirinya. Semuanya terlalu mendadak dan terlalu tuba-tiba bagi hatinya yang selama ini ia coba lupakan.Ia bersandar di dinding lorong eksekutif dan kembali mencoba menenangkan detak jantung yang masih berdegup kencang. Lima tahun berlalu sejak perpisahan mereka, tapi pertemuan ini langsung merobek luka lama yang belum benar-benar sembuh."Elena."Sebuah suara lembut menariknya kembali ke kenyataan. Elena menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depannya."Oh! Maaf!" Elena buru-buru menegakkan tubuhnya.Wanita itu tersenyum ramah. "Saya Erika, kepala sekretaris di sini. Maaf, saya belum memperkenalkan diri tadi."Elena berusaha tersenyum meskipun emosinya masih kacau. "Senang bertemu dengan Anda, Bu Erika."Erika mengangguk, lalu menurunkan suaranya sedikit. "Kamu baik-baik saja?"Elena terdiam. "Apakah wajahnya terlihat begitu kacau sampai-sampai Erika bisa menyadarinya?" pikir Elena."Ah aku hanya sedikit terkeju







