Share

Ada Apa Dengan Celine?

Waktu terus melangkah maju. Sejak hari itu aku sering ikut Celine mengajar anak-anak kurang mampu. Bersama mereka perlahan aku bisa melupakan kesedihan karena kepergian anak dan istri.

Kini, aktifitas pagi selalu disibukkan dengan mengantar Celine, terkadang juga mengantar Pak Dirgantara untuk segala macam urusan kantornya. Di sela-sela itu aku selalu menyempatkan diri berziarah ke makam ibu, Rengganis dan Arka.

Sering bersama membuatku semakin dekat dengan Celine. Meski hanya sebagai sopir dan majikan, tetapi komunikasi kami sangat baik, gadis itu juga sudah tak sering menghina dan lebih memanusiakanku. Bahkan, dia sering meminta bantuanku untuk urusan kuliahnya.

***

Tiga bulan berlalu, hari ini aku tengah menunggu Celine pulang dari kampus.

Tring.

Sebuah notifikasi transfer masuk ke akun mobile banking, aku tersenyum penuh syukur melihat nominal yang tertera. Meski tidak sebesar gajiku dulu sewaktu masih kerja di kantor, tetapi aku senang sebab masih bisa mendapatkan pekerjaan. Namun, mendapatkan gaji tanpa memiliki keluarga membuat semuanya tidak istimewa, tak ada lagi wanita yang semringah dengan gajiku seperti Rengganis dulu. Ah, astaga, lagi-lagi aku selalu ingat dia, maafkan aku Tuhan, sungguh aku telah ikhlas, aku hanya sekedar rindu.

[Terima kasih, Pak]

Aku mengirim pesan pada Pak Dirgantara, tetapi tak ada balasan karena beliau adalah orang yang sangat sibuk.

"Hai, hello...."

Celine mengetuk pintu mobil, lantaran kepikiran Rengganis aku sampai tak memerhatikan kedatangannya.

"Iya Non, maaf."

Aku segera turun dan membuka pintu mobil untuknya. Kini, gadis itu mulai rajin ke kampus, tetapi jika sedang kumat kemalasannya, atau bahkan sedang ribut dengan Pak Dirgantara dia pun tak peduli dengan kewajibannya. Tak mengapa, bagiku ini sudah sebuah bentuk perubahan positif.

"Setelah sampai rumah lo jangan pulang dulu bisa nggak?" tanyanya saat aku baru saja menstarter mobil.

"Tumben, ada apa, Non?" tanyaku.

"Biasa, gue ada tugas, tapi nggak begitu faham, siapa tahu lo bisa bantu, nanti gue kasih tip deh," ujarnya.

"InsyaAllah kalau nggak terlalu sulit saya bisa bantu Non, tapi nggak perlu kasih tip, saya malah senang kalau bisa bantu Non Celine," kataku.

"Oke." Gadis itu menyenderkan punggung dengan senyuman dan sesekali memainkan ponselnya.

"Oh ya Non, gimana kuliah hari ini?" Aku berusaha memulai obrolan.

"Seru, di kelas teman-teman pada kocak," jawabnya dengan antusias dibarengi tawa kecil, mungkin dia ingat hal yang lucu.

"Iya Non, kadang setelah lulus justru hal-hal konyol di kelas yang buat kita kangen," sahutku lagi.

Di sepanjang perjalanan kami saling bercerita. Aku senang sebab Celine mau berbagi cerita meski aku hanya sekadar sopir. Namun, di tengah-tengah obrolan yang seru tiba-tiba saja ponselku berdenting oleh notifikasi pesan, di sana terpampang jelas wallpaper pernikahanku dengan Rengganis. Celine melihatnya sekilas kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain, tak lama kemudian ponsel kembali berdering, rupanya paman menelpon.

"Non, izin angkat sebentar boleh?" tanyaku.

"Silakan."

Aku lantas menepi, kemudian meraih ponsel.

"Assalamu'alaikum, Paman, ada apa?" tanyaku.

"Gama, paman sebelumya minta maaf, tapi paman bingung mau minta tolong sama siapa lagi," katanya, suara saudara ibuku itu terdengar parau.

"Kenapa memangnya?"

"Mmm ini, kamu sudah gajian belum, kalau sudah paman mau pinjam satu juta untuk bayar sekolah Rama," jawabnya dengan nada sungkan.

"Oh, kebetulan baru saja aku gajian, paman kirim saja no rekeningnya, nanti aku transfer ya."

"Alhamdulillah, terima kasih Gama, maaf ya paman merepotkan."

"Nggak apa-apa Paman, justru aku senang bisa membantu keluarga," jawabku tulus.

"Sekali lagi terima kasih ya, nanti kalau sudah ada uangnya akan segera paman ganti."

"Iya, nggak perlu buru-buru paman, kalau begitu sudah dulu ya, ini lagi antar pulang anak majikan, nggak enak."

"Oh iya, kalau begitu paman tutup, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

"Maaf ya, Non," ujarku sungkan setelah panggilan terputus.

"Iya nggak apa-apa, santai aja lagi. Oh ya, memang lo nggak ada niatan buat nikah lagi, atau nggak cari cewek lain gitu?" tanya Celine tanpa basa-basi.

"Nikah lagi?" tanyaku heran.

Entah, padahal sebelumnya kami sedang membahas perihal kekonyolan dunia kampus, tetapi kenapa dia tiba-tiba menanyakan hal itu? Lagi pula sebelumnya Celine selalu cuek terhadap urusan pribadi. Oh, aku ingat, jangan-jangan dia melihat wallpaper ponselku tadi, makanya dia bertanya.

"Iya, kayaknya lo cinta banget sama istri," tambahnya lagi.

"Iya Non, bagi saya dia itu perempuan istimewa, perempuan yang penuh perhatian, pengertian, pokoknya dia itu perempuan terbaik di hidupku setelah ibu," jawabku sembari membayangkan wajah Rengganis yang membuatku selalu tergila-gila.

Hatiku selalu hangat saat menyebut namanya, bagiku Rengganis adalah wanita terbaik yang tak mungkin ada gantinya di dunia ini.

"Oooooooh."

Celine hanya membulatkan mulutnya sambil menganggukkan kepala, kemudian kembali memainkan ponsel. Anehnya, setelah percakapan itu dia tak lagi bicara apapun sehingga suasana diantara kami terasa kaku.

"Alhamdulillah sudah sampai," ujarku setelah mobil memasuki gerbang rumah mewah Pak Dirgantara.

"Oh ya, gue tiba-tiba nggak enak badan, ngerjain tugasnya besok aja, kalau mau pulang lo pulang aja."

Celine turun dari mobil dengan wajah murung, aku tak mengerti kenapa dia tiba-tiba bisa sakit, padahal sebelumnya gadis itu nampak ceria, terlebih saat menceritakan kegiatannya di kampus. Namun, aku ingat, biasanya perempuan akan selalu moodswing saat datang bulan, mungkin saja, kan?

"Selamat sore Non Celine," sapa Kokom pada majikannya, tetapi gadis itu tak menghiraukan.

"Loh, Non Celine kenapa Mas Gama?" tanya Kokom padaku saat baru saja turun dari mobil.

"Nggak tahu, katanya nggak enak badan, padahal tadi baik-baik aja," jawabku.

"Oh, bisa gitu ya," gumamnya heran.

"Kamu dari mana, Kom?" tanyaku.

"Habis buang sampah. Oh ya, Mas Gama jangan dulu pulang, Kokom bikin camilan enak khusus buat Mas Gama."

"Iya kah? Tapi saya buru-buru Kom," jawabku.

"Cobain sedikit aja, yaa ... ya ... please ...." pintanya dengan mengedip-ngedipkan mata.

Merasa iba, aku pun mengiyakan dan melangkah ke dapur, lagipula rezeki tidak boleh ditolak bukan?

"Gimana Mas, enak nggak?" tanyanya saat aku menyuap brownies buatan Kokom.

"Enak, kamu hebat Kom," pujiku.

"Aaah si Mas bisa aja, kan Kokom jadi malu."

Kokom mencolek pipiku dengan genit kemudian menyenggolku dengan pinggulnya seperti biasanya. Sejujurnya terkadang risih, tetapi aku bersikap biasa saja karena memang seperti itulah Kokom. Meskipun demikian, dia sangat baik dan sudah mengabdi lama Pak Dirgantara.

Sibuk dengan kue yang dibuatkan Kokom, hampir saja lupa mengirim uang pada paman. Aku lantas merogoh ponsel di saku dan mentransfernya. Namun, seketika saja aku mendengar suara keributan di ruangan lain.

"Kom, itu Non Celine lagi marah-marah, kenapa?" tanyaku pada Kokom.

"Nggak tahu Mas, coba kita lihat," ajaknya.

Aku dan Kokom lantas pergi ke ruang tamu. Benar saja, di sana Celine sedang bertengkar hebat dengan Pak Dirgantara yang pulang dengan Bu Diana. Hanya saja kali ini mereka tidak berdua, melainkan bertiga dengan seorang anak laki-laki.

"Pa, memangnya dia nggak punya rumah, lagian papa kan belum nikah, ngapain sih bawa dia ke rumah kita terus? Papa lupa sama janji kita? " tanya Celine dengan nada tinggi.

"Sayang, kalau begitu aku pulang saja, ya," sanggah Bu Diana dengan wajah seakan-akan merasa bersalah.

"Nggak sayang, lagian aku ajak kamu ke sini demi Kevin," balas Pak Dirgantara sembari memegang erat tangan kekasihnya. "Celine, Tante Diana itu calon ibu kamu, dan Kevin ini calon adik kamu, bisa nggak sih kamu lebih menghargai mereka!" pinta pak Dirgantara dengan suara tegas.

"Kak Celine, aku nggak akan ganggu Kakak, kok," kata anak kecil yang lucu itu dengan nada polos

Melihat anak Bu Diana, hatiku tiba-tiba saja menghangat. Entah mengapa aku teringat Arka. Jika masih hidup, anakku tepat seusia Kevin.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status