Share

Kejanggalan

"Sudah Kom, lebih baik kita pergi," ajakku.

"Iya Mas," angguk Kokom.

"Oh ya, kalau begitu saya pulang duluan ya, terima kasih browniesnya."

"Sama-sama, Mas."

Di tengah perseteruan majikan aku pun pulang, tak juga izin sebab suasana sedang panas.

"Pulang Mas," sapa Pak Eko yang merupakan satpam di tempat Pak Dirgantara.

"Iya Pak, yuk duluan," jawabku.

Setelah keluar dari gerbang, aku pun menaiki angkot yang melintas. Namun, saat di tengah perjalanan aku baru sadar kalau ponsel tak ada di saku.

"Astaga, hapeku ke mana ya?" Aku berbisik seraya berpikir.

Aku ingat, saat makan kue yang dibuatkan Kokom tadi aku mentransfer uang, setelah itu langsung pergi begitu mendengar keributan. Ah, ya ampun Gama, kenapa kamu teledor banget, sih?

"Pak, kiri!"

Aku menyetop angkot, padahal lima menit lagi sampai di pemakaman Rengganis. Ya, aku senang Celine membatalkan agar aku membantu menyelesaikan tugas, sebab sebenarnya hari ini adalah ulang tahun istriku. Jadi, aku tak perlu menunda berziarah ke makamnya. Namun, perkara ponsel benar-benar membuat waktuku kembali tersita.

"Makasih!"

Aku membayar ongkos dengan uang pas. Tentu saja harus kembali lagi ke rumah majikan untuk mengambil ponsel. Tak ingin menyiakan waktu, akupun kembali menyetop angkot ke arah rumah Pak Dirgantara.

"Loh, balik lagi Mas?" sapa Pak Eko yang tengah menikmati secangkir kopi saat aku kembali.

"Iya, ada yang ketinggalan," jawabku.

"Ooh, ngopi dulu Mas," tawarnya.

"Iya Pak Eko, tadi sudah," jawabku ramah.

Merasa tak enak sebab majikan ada di rumah, aku pun masuk melalui pintu belakang. Lagi pula sangat yakin ponselku ketinggalan di sana. Namun, saat kembali rupanya benda pipih milikku itu tak ada di sana.

"Loh, perasaan aku taruh hape di sini," gerutuku.

Semakin mengingat-ingat aku kian yakin kalau ponsel memang ditaruh di dekat kompor.

"Oh, mungkin sudah diamankan sama Kokom," pikirku.

Aku mencari asisten rumah tangga itu ke taman belakang, setiap sore biasanya dia menyiram tanaman di sana.

"Kom, lihat hapeku nggak?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Ih ... Mas Gama ngagetin aja deh," jawabnya yang tengah memegang selang untuk menyiram tanaman.

"Lihat nggak?" ulangku lagi.

"Ngga Mas, memang ketinggalan?" tanyanya memastikan.

"Iya, tadi di dekat kompor, tapi sekarang dicari nggak ada, kirain kamu simpan."

"Nggak Mas, Kokom nggak lihat hape dari tadi," jawabnya.

"Oh, ya sudah kalau gitu, nanti aku coba cari lagi."

Aku lantas kembali ke dapur, mencoba mencari sekali lagi, siapa tahu tadi kurang teliti mencari.

"Ke mana, ya?"

Aku bergumam sembari mengingat-ingat. Bukan ponselnya yang membuatku takut kehilangan, tetapi isi di dalamnya yang sangat berharga. Di sana banyak sekali foto Rengganis dan momen berharga yang sempat kami abadikan. Jika hilang sungguh aku akan menjadi gila.

"Kamu cari apa, Gama?"

Suara seorang wanita menghentikan aktifitas. Aku menoleh dan rupanya dia adalah Bu Diana.

"Mmm, saya cari ...."

"Kamu cari ini?" tanyanya seraya menunjukkan ponselku yang berada dalam genggamannya.

"Oh, iya itu ponsel saya, Bu. Kebetulan tadi tertinggal, alhamdulillah ternyata nggak hilang," kataku penuh rasa syukur.

Bu Diana mendekat, wanginya sangat harum. Tentu saja, dia adalah calon istri dari bos sebuah perusahaan yang lumayan besar.

"Ini," katanya.

"Terima kasih, Bu."

Aku hendak menerima ponsel dari tangannya, akan tetapi mata ini menangkap sesuatu yang tak asing di sana. Ya, di tangan sebelah kiri dan tepat di bawah kelingking terdapat bekas luka, persis seperti bekas luka yang dimiliki Rengganis.

"Kamu lihat apa, Gama?" tanyanya heran sebab aku tak kunjung mengambil ponsel di tangannya lantaran terpaku dengan bekas luka itu.

"Oh enggak, terima kasih, Bu," ucapku kemudian meraih ponsel, tetapi mata ini masih tak bisa lepas dari bekas luka di tangannya.

"Oh ya, foto di hape itu istri kamu?" tanyanya kemudian.

"Eh, kenapa Bu?" tanyaku lagi.

Sungguh, hanya karena bekas luka saja aku sampai tak fokus berbicara dengannya. Baru sadar dengan pertanyaan, aku pun lantas mengangguk.

"Oh iya, ini foto pernikahanku, tapi sayang istri dan anakku sudah meninggal," jawabku dengan memaksakan senyum.

"Saya turut berdukacita, ya," katanya dengan tatapan yang tak bisa ku artikan. Sorot mata Bu Diana seakan-akan menunjukkan empati, tetapi aku merasa terselip sebuah kesedihan di sana. Mungkin dia pernah kehilangan orang tersayang juga, sehingga dia sangat mengerti dengan perasaanku.

"Terima kasih, Bu."

"Ehem, lo belum balik?"

Suara Celine tiba-tiba saja terdengar, aku menoleh ke arahnya yang tengah berjalan bersama Pak Dirgantara, kemudian aku mengangguk pelan sebagai bentuk penghormatan pada majikan.

"Ini saya mau pulang Non, apa Non Celine sudah baikan?" tanyaku.

"Lumayan," jawabnya singkat.

"Gama, pulang malam saja, ikut makan malam dengan kami, bagaimana?" tawar pak Dirgantara.

"Terima kasih Pak, bukan tidak menghargai tawaran bapak, tetapi saya harus segera pergi, kebetulan hari ini ulang tahun istriku, jadi aku mau ziarah ke makamnya," kataku dengan mata berbinar.

Meski Rengganis sudah terbaring di bawah tanah, tetapi cintaku padanya tak pernah pudar walau sedikitpun. Sehingga, mengunjungi makamnya saja sudah membuatku sangat senang untuk melepaskan rindu.

Namun, aku tak sengaja melihat wajah Bu Diana, raut wanita berhidung mancung itu nampak sendu dan kulihat dia menoleh ke atas seraya menghembuskan napas pelan. Namun, aku tak begitu menghiraukannya.

"Pa, aku ke kamar dulu," ujar Celine kemudian dijawab anggukan oleh ayahnya, dia pergi tanpa menghiraukanku sama sekali.

"Ya sudah, kalau begitu hati-hati ya," kata Pak Dirgantara.

"Iya, saya permisi, Pak."

Aku lantas bergegas pulang. Di perjalanan tak lupa membeli bunga mawar untuk Rengganis. Saat masih hidup, istriku itu sangat menyukainya.

"Masih jam lima sore, keburu buat ziarah," bisikku sambil melirik jam tangan.

Sesampainya di makam Rengganis, aku pun menunduk dan mengelus pusaranya penuh cinta.

"Rengganis, maaf ya aku telat, selamat ulang tahun sayang," ucapku dengan mata berkaca-kaca.

Masih terekam jelas diingatan, jika dia tengah berulang tahun, maka aku akan membuatkan kue tart khusus untuknya. Sebenarnya aku tak begitu jago, hanya saja demi menyenangkan hati Rengganis aku rela belajar hingga akhirnya bisa.

"Arka, hari ini Mama ulang tahun, mungkin kalian di surga lagi becanda, tunggu Papa di sana ya, Nak."

Aku melirik ke arah nama lain di pusara Rengganis. Menyadari kenyataan bahwa mereka telah tiada membuat hatiku tersayat nyeri. Padahal, dulu aku dan Rengganis selalu membayangkan kehadiran anak di tengah-tengah kami. Namun, saat dia terlahir tetapi hanya sebentar saja melihat dunia, bahkan aku pun tak sempat melihat wajahnya secara langsung.

"Sayang, hari ini aku gajian, tapi semuanya beda, nggak kayak waktu ada kamu. Kamu inget nggak, dulu waktu kita masih bersama, kamu selalu nunggu aku di depan pintu di hari gajian, habis itu kita ke minimarket beli semua kebutuhan, meskipun terkadang kurang tetapi kamu nggak pernah ngeluh, aku bangga banget punya istri kayak kamu," ucapku sembari tersenyum.

Setelah bercerita banyak mengenai aktifitas keseharian, aku pun berpamitan pada Rengganis. Lagi pula hari sudah hampir menjelang magrib.

"Sayang, aku pulang dulu ya, nanti aku pasti datang lagi. Arka, Papa pulang dulu ya, Nak, Papa sayang kalian."

Sebelum pergi tak lupa mengecup bunga mawar yang akan kutinggalkan di pusara istri. Meskipun masih terasa berat tetapi aku sudah biasa hidup dalam kesepian seperti ini.

"Gama, eh iya lo Gama, kan?"

Suara seseorang membuatku tersentak saat baru saja keluar dari gerbang makam.

"Iya, eh lo Aldi, gimana kabarnya, Di?" tanyaku antusias begitu menyadari siapa yang menyapa.

"Gue baik, lo gimana?"

"Gue juga baik, kok."

"Lo ngapain di sini?" tanyanya lagi.

"Ini, habis ziarah ke makam Rengganis sama anak gue," jawabku dengan memaksakan senyum.

Tidak menjawab, ekspresi wajah Aldi justru berubah, seakan-akan ia tengah bimbang sehingga membuatku keheranan.

"Lo sendiri habis ngapain, siapa yang dimakamin di sini?" tanyaku lagi.

"Ibu, sudah dua tahun beliau berpulang," balasnya.

"Gue turut berdukacita Di. Kalau gitu gue duluan, ya."

Aku menepuk pundaknya hendak pergi, tetapi teman sekolah Rengganis itu mencegahku pergi dengan nada bicara yang seolah-olah teringat sesuatu, ia juga terlihat menggaruk kepala, seakan-akan tengah ada hal yang dipikirkan.

"Makasih Gam. Oh ya, mmm ... gimana ya gue ngomongnya?"

"Kenapa?" tanyaku dengan mengernyitkan dahi.

"Mmmm, ini tentang kematian anak dan istri lo. Sorry, entah kenapa gue ngerasa kalau Rengganis sama Arka itu sebenarnya belum meninggal," katanya dengan nada berhati-hati.

"Hah?"

Tentu saja aku terkejut mendengar penuturan Aldi.

"Ada apa, kenapa lo bisa ngomong kalau anak dan istri gue sebenarnya belum meninggal?" tanyaku penasaran.

"Bukan cuma itu, gue sempat dengar dari istri, katanya ada desas desus ibu lo juga meninggal nggak wajar," tambahnya lagi.

Pernyataan Aldi sungguh membuatku semakin penasaran. Entah, aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi selama aku di penjara?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sherley T
di tunggu kelanjutan nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status