Share

Anak Gadis Majikan

Lift terus merangkak naik, hingga di lantai tujuh tiba-tiba saja alat pengangkut itu berhenti, lampu seketika padam membuat Bu Diana ketakutan.

"Aaaaaa," teriaknya sambil memelukku.

Meskipun sangat gelap dan aku tak bisa melihat wajahnya, tetapi aku yakin dia benar-benar ketakutan, hal itu sangat jelas dari cengkraman tangannya.

"Tidak apa-apa, Bu," kataku berusaha melepaskan tangannya di dada.

Bukan karena tak ingin melindungi, tetapi aku rasa bersentuhan dengannya sangat tidak pantas, sebagai lelaki normal aku 'pun tak ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan, terlebih dia adalah calon istri bos ku. Beruntung, lift hanya mati beberapa detik saja dan kembali normal, sehingga kami tidak perlu tertahan lama di sana.

"Terima kasih, Gama," katanya setelah keluar dari lift, wanita itu pun berlalu sembari memberi tahu karyawan lain bahwa lift itu tengah rusak.

"Gama!" seruan Pak Dirgantara membuatku tersentak.

"Eh iya, Pak, ini berkasnya, maaf tadi agak lama karena kebetulan di jalan macet," jelasku.

"Iya tidak apa-apa, masih ada waktu, terima kasih, ya," katanya seraya menepuk pundak.

Setelah semua urusan selesai, aku pun kembali ke kampus Celine untuk memastikan anak itu tidak bolos. Namun, di perjalanan menuju kampus aku melihat seorang wanita dan anak kecil berlari, tetapi aku merasa sangat tidak asing dengannya.

"Celine?" batinku seraya membulatkan mata.

Benar-benar anak itu, pasti dia sengaja berpura-pura masuk kelas padahal memerhatikanku, setelah tahu aku pergi dia lantas mencari kesempatan untuk bolos, dasar anak nakal!

"Non Celine, Non!"

Aku berteriak, tetapi dia tidak mendengar, gadis itu terus berlari seakan-akan dia tengah dikejar oleh seseorang. Rupanya benar saja, pria berbaju hitam tak lama melintas dengan tatapan yang fokus pada Celine.

"Astaga, anak itu dalam bahaya," gerutuku panik.

Beep ... beeep ....

Baru saja hendak lari, mobil di belakang terus membunyikan klakson, salahnya aku memang parkir sembarangan.

"Iya, sebentar!" kataku sembari melambaikan tangan.

Setelah parkir di tempat aman, aku berlari mengejar anak majikan, sialnya tak kutemukan lagi gadis itu di sana.

"Kamu cuma harus kuliah aja kenapa ribet banget, sih? Astagaaaaa!" gumamku.

Khawatir terjadi sesuatu padanya, aku pun terus mencari hingga kawasan padat penduduk, tetapi baik Celine maupun pria berjaket hitam itu tak lagi nampak di mata. Aku semakin gusar dibuatnya, takut terjadi sesuatu padanya.

Benar saja, mataku kini menangkap sosok Celine tengah berseteru dengan seorang pria berwajah garang, aku tak tahu apa yang terjadi, tetapi sepertinya dia tengah melindungi anak kecil yang bersamanya.

"Hey, lepaskan dia!" teriakku pada pria berbaju hitam, geram rasanya melihat laki-laki yang berbuat semena-mena pada wanita.

Sontak tiga orang itu menoleh ke arahku, Celine mengernyitkan dahi begitu melihatku mendekatinya.

"Siapa kamu?" tanya pria itu dengan wajah sombongnya.

"Kamu siapa berani mencengkram tangan dia seperti itu?" tanyaku dengan melirik tangan Celine yang dicengkram dengan kuat.

Mendengar perkataanku, pria itu lantas melepaskan tangan Celine dan berjalan ke arahku, seakan-akan dia tengah menantang.

"Urusan saya hanya dengan anak itu, tapi kalian berdua melibatkan diri dengan urusanku!"

Pria itu mengecam kemudian melayangkan pukulan tepat ke arah wajah, beruntung aku bisa menghalau dengan cara menghindar. Namun, aksiku justru membuatnya semakin marah hingga mengeluarkan kekuatannya untuk menumbangkan ku. Beruntung, sejak masih SMA aku sudah berlatih bela diri, sehingga aku bisa mengimbanginya dan pria itu terkalahkan.

"Celine, ke mana lagi anak itu?"

Saat pria itu baru saja pergi karena babak belur, aku sadar jika Celine dan anak itu sudah tak ada. Entah bagaimana jalan pikirannya, sudah ditolong malah pergi begitu saja alih-alih berterima kasih.

"Non Celine!"

Aku berteriak sembari menyusuri jalan setapak, tetapi tak kutemukan lagi anak nakal itu.

"Hee ... heee ... Kak Celine hebat, Om tadi juga hebat!"

Samar-samar kudengar suara anak kecil dan seorang wanita dewasa tertawa, setelah dipastikan rupanya itu adalah Celine dengan anak tadi. Mereka dengan tanpa berdosanya menikmati es krim sembari berjalan.

"Sial, masih bisanya mereka tertawa, padahal aku capek cari-cari dia." Aku menggerutu seraya menghampirinya.

"Non Celine!" panggilku.

Mata gadis itu menatap tajam, aku memang hanya seorang sopir, pantas jika dia tak gentar dan bahkan melihatku dengan pandangan merendahkan.

"Apaan?"

Sambil menjilati kembali es krim di tangan dia bertanya, seolah-olah tak pernah terjadi apapun sebelumnya, padahal pipiku memar lantaran kena tonjokan. Sementara anak kecil yang bersamanya hanya diam dengan pandangan polos.

"Pak Dirgantara menyuruh Non Celine untuk belajar, kenapa Non Celine justru berkeliaran di jalan saat jam kuliah?" tanyaku menahan geram, bagiku anak ini tak tahu rasa bersyukur.

Bukannya merenung atas kesalahan, Celine justru tersenyum sinis. Bahkan dengan santainya menjilat es krim kembali.

"Lo cuma sopir, ntar waktunya balik gue ke kampus kok, lo jemput gue di sana aja, ya!" pintanya enteng kemudian beranjak.

"Tapi Non Celine!" Aku menyanggah.

"Sudahlah, yuk, Dek!"

Gadis itu berlalu begitu saja sambil mengayunkan tangan anak kecil yang bersamanya. Sejenak aku tertegun melihat keakraban mereka.

Tak ingin lepas pengawasan, aku pun diam-diam mengikuti langkah mereka. Rupanya Celine menghampiri beberapa anak kurang mampu di sebuah tempat terbuka, di sana ada papan tulis dan beberapa lemari berisi buku. Tempatnya sangat memprihatinkan jika disebut sebagai sekolah.

"Selamat pagi Kak Celine," sapa beberapa anak yang sudah menunggu, mereka nampak sangat ceria dan senang melihat gadis sombong itu.

"Pagi juga adik-adik manis," jawab Celine, gadis itu pun tersenyum lebar, sesekali mencubit gemas pipi beberapa anak. Sungguh, sebuah sikap yang sangat berbeda dengan yang dia tunjukan padaku dan temannya.

"Sekarang kita belajar IPA, ya," kata Celine, gadis itu berdiri di depan anak-anak seakan dia adalah guru.

"Iya Kakak cantik," celetuk seorang anak laki-laki, sementara Celine hanya membalasnya dengan senyuman.

"Ada yang tahu apa yang membuat tumbuhan berwarna hijau?" tanya Celine pada anak-anak itu.

"Saya Kak!" Salah seorang anak mengacungkan tangan.

"Iya, Mila?"

"Karena mengandung klorofil," jawab anak itu singkat.

"Pintar!" puji Celine dengan senyuman.

Tanpa disadari, aku yang sedari tadi memerhatikan pun ikut tersenyum melihat bibir nan indah itu melengkung.

"Ngga nyangka, ternyata anak manja itu punya jiwa sosial tinggi juga," bisikku dengan penuh kekaguman.

"Kak lagi apa? Ciyeeee perhatiin Kak Celine!"

Aku terkejut saat seorang anak laki-laki tiba-tiba mendorongku sambil berlari, sontak saja Celine dan semua anak yang sedang belajar di sekolah darurat itu menoleh ke arahku.

Tatapan Celine sangat berbeda kala mata kami bertemu, senyum manisnya seakan-akan sangat mahal untukku.

"Kak Celine, itu siapa?" tanya seorang anak perempuan berambut sebahu.

"Oh, Kakak juga nggak tahu, mungkin itu orang gila," jawabnya enteng.

Kekaguman yang sebelumnya tertanam, sontak hilang begitu saja. Terlanjur ketahuan, aku pun melangkah dan mendekati mereka, lagi pula berkegiatan sosial seperti ini adalah aktifitasku sewaktu masih mahasiswa dulu.

"Halo anak-anak, perkenalkan nama saya Gama, kalian bisa panggil Kak Gama," ucapku memperkenalkan diri.

"Selamat siang Kak Gama," sapa anak-anak serentak.

Wajah kecil nan manis itu tersenyum ramah padaku, hanya Celine saja yang sesekali melirik sinis, tetapi aku tak peduli, melihat aktifitasnya sungguh membuatku teringat akan masa muda.

"Ayo anak-anak kita lanjut lagi belajarnya," ajak Celine.

Sementara gadis itu mengajar, aku berusaha mendekatkan diri dengan anak-anak, sesekali melihat cara mereka menulis, membaca dan menghafal. Sungguh, anak-anak itu sangat cerdas, hanya saja faktor ekonomi menghalanginya untuk mengenyam pendidikan dengan layak.

***

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Celine saat kami di perjalanan pulang.

"Nggak, cuma nggak nyangka aja orang sejudes non Celine ternyata punya jiwa sosial tinggi juga," jawabku apa adanya.

"Makanya jangan suka sembarang nilai orang, bisa jadi orang yang lo anggap buruk ternyata baik. Sebaliknya, orang yang lo anggap malaikat ternyata iblis nyamar," balas Celine.

Aku hanya menganggukkan kepala mendengarnya. Benar kata gadis itu, aku tidak boleh menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Bahkan, di dunia yang kejam ini, orang terdekat bisa saja menjadi orang yang paling berbahaya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status