Share

Di Tempat Tukang Urut

Sepanjang perjalanan Mazaya hanya diam sambil memperhatikan pemandangan di jalanan. Bu Maimunah yang banyak berbicara mencairkan suasana yang terasa kaku.

"Nak Rafa kerja di mana?" Bu Maimunah membuka percakapan.

"Di kantor pengembangan software, Bu." Rafa tidak menyebutkan identitas yang sesungguhnya. Ia memang memegang komitmennya untuk menyembunyikan identitasnya kepada siapa pun. Ia benar-benar tidak ingin dikenal, padahal selalu membicarakan perusahaannya.

"Oh, sama dengan Zaya kalo begitu. Dia juga kerja di tempat begitu, apa ya nama kantornya? apa, Zay?" Bu Maimunah berpaling pada putrinya yang acuh pada percakapan mereka.

"Emak, kenapa sih cerita pekerjaan segala," ketus Mazaya merengut.

"Ih, lo itu ya. Ah, namanya ada Garuda-Garudanya gitu, cuma gue nggak tahu pasti juga." Bu Maimunah mencolek lengan Mazaya yang tidak mau bekerjasama dengannya.

"Oh, Garuda Mediatama bukan?" Rafa mencoba menebak.

"Iya, iya, itu namanya, Garuda Mediatama, lo tau juga?" Bu Maimunah makin bersemangat.

"Iya, itu kan perusahaan besar, semua orang juga mengenalnya. Tentu gue tau." Rafa mulai menebak-nebak kalau benar gadis itu bekerja di perusahaannya, kira-kira di bagian mana?

"Di depan belok di rumah yang di ujung itu, Raf." Jari telunjuk Bu Maimunah dengan lincah menunjuk tempat yang mereka tuju.

Mobil memasuki halaman sebuah rumah dengan model bangunan tua, ada dua buah motor terparkir di halaman rumah itu. Ketika mereka masuk, seorang pria paruh baya keluar dari dalam rumah itu. Bu Maimunah dan Mazaya masuk ke dalam, Rafa duduk di teras menunggu mereka berdua. Dia memandang sekeliling, sebuah kompleks perumahan yang kumuh dan terkesan tidak terawat. Banyak rumah yang masih menggunakan papan, drainase yang dipenuhi sampah, anak-anak berkeliaran di lorong-lorong dengan penampilan yang kusut dan acak-acakan. Pemandangan yang seketika membuatnya kehilangan selera makannya.

Bu Maimunah keluar seorang diri. Ia duduk di samping Rafa.

"Di sini memang kompleks perumahan kumuh, tempat paling murah buat yang tidak punya duit buat nyewa tempat yang nyaman." Bu Maimunah membuka pembicaraan seolah mengerti perasaan Rafa.

Rafa hanya mengangguk menanggapi. Ia berpikir itu adalah kesalahan mereka sendiri tidak mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga bisa tinggal di tempat yang lebih baik. Bagi Rafa, tidak boleh menyerah keadaan, harus bangkit dan membuat sesuatu yang bisa membuat hidupnya menjadi lebih baik dari pada bertahan pada kondisi yang tidak nyaman.

"Lo laper? biar gue beliin kue di depan lorong."

"Ah, nggak, Bu, gue udah makan tadi di rumah." Dengan cepat Rafa menolak tawaran Bu Maimunah, ia bakalan tidak bisa menelan makanan di tempat itu. Aroma selokan yang tersumbat sudah cukup membuat perutnya terasa diaduk.

Waktu terasa begitu lama bagi Rafa. Meskipun Bu Maimunah mengajaknya bercerita, ia tidak tertarik sama sekali. Jika bukan rasa bersalahnya pada Mazaya, ingin rasanya ia pergi terlebih dahulu. Ada sedikit penyesalan ia mau mengantarkan mereka sehingga terjebak pada situasi yang tidak menyenangkan ini.

Tiga puluh menit kemudian Mazaya keluar bersama Mbah Iyem. Mbah Iyem tersenyum pada mereka berdua yang sedang menunggu. Melihat kondisi Mbah Iyem yang sudah renta, di mulutnya mengunyah sesuatu berwarna merah seperti darah, perut Rafa tiba-tiba bergejolak, mulutnya terasa masam, dan wajahnya menjadi pucat.

"Lo kenapa, Raf? muka lo jadi pucet," tegur Bu Maimunah.

"Ah, nggak apa-apa, kayaknya gue sakit perut. Ayo, kita pulang," ajak Rafa agar bisa segera berlalu dari semua hal tidak menyenangkan itu.

"Makasih, Mbah," ucap Bu Maimunah, sementara Mazaya hanya diam. Langkah kakinya sudah tidak terlalu tertatih.

"Rajin diurut sendiri, pake minyak atau obat lain biar cepet pulih," pesan Mbah Iyem.

Mereka lalu masuk ke dalam mobil. Dengan tergesa Rafa membawa mobilnya meninggalkan lorong kumuh itu.

Dalam perjalanan pulang mereka hanya diam. Kepala Rafa sangat pening, baru kali ini ia mendatangi tempat seperti itu. Rasanya ia tidak akan kembali lagi ke sana.

Sesampainya di rumah Mazaya, Rafa tidak turun lagi. Ia beralasan sakit perut sehingga langsung pulang. Bu Maimunah mengantar kepergiannya hingga di halaman rumahnya.

Mazaya masuk ke dalam kamarnya, berbaring di atas kasurnya. Ia menghubungi Zeta.

"Zet, tolong izinkan gue 3 hari, gue habis ditabrak orang, sekalian uruskan plat motor gue ganti baru."

"Ok. Tapi lo nggak apa-apa, kan?" Bagi para mafia kecelakaan, cedera, terluka, dan sejenisnya bukan hal yang serius. Mereka saling membantu dan melindungi, namun tidak saling mengeluh.

"Iya, nggak apa-apa, udah dari tukang urut tadi." Mazaya mematikan ponselnya.

Ia mengirim pesan singkat pada Yoga untuk memintakan izin pada Meta bahwa 3 hari tidak masuk kerja karen demam. Ia tidak mengatakan kecelakaan karena akan membuat teman-teman kantornya heboh, apalagi Yoga dan Gery.

***

Hari itu Rafa terlambat masuk kantor. Ia harus menstabilkan moodnya terlebih dahulu yang menjadi tidak stabil gara-gara lingkungan kumuh itu.

Sesampainya di kantor ia di sambut oleh Elena. Ia mengisyaratkan agar Elena mengikutinya di ruang kerjanya.

"Ada apa, Pak?"

"Lo tau nggak nama Zaya di perusahaan kita ada di bagian apa?"

"Zaya? nama lengkapnya?"

"Nggak tau, lo cari aja yang ada Zaya-nya, terus laporkan segera!" Rafa yang sedang tidak baik moodnya meninggikan suaranya. Elena cepat-cepat mengiyakan dan segera keluar dari ruangan bosnya itu. Ia sangat tahu, jika Rafa sedang marah akan berdampak buruk pada pekerjaan dan orang-orang di sekitarnya.

Pernah sekali terjadi. Ketika sedang merilis situs bersejarah Indonesia, tiba-tiba salah seorang anggotanya menghilangkan program itu, spontan Rafa naik pitam dan menghajar pria itu hingga di bawa ke rumah sakit. Elena bergidik ngeri mengingat hal itu. Ia tidak membayangkan jika itu terjadi padanya.

Elena mulai mencari-cari nama Zaya dengan berbagai kata kunci.

Zaya

Nazaya

Razaya

Ezaya

Lazaya

Mazaya

Semuanya "Data yang Anda cari tidak ditemukan".

"Terus gue mesti cari pake kata kunci apa lagi? semuanya tidak ada. Emangnya dia dapet nama itu dari mana sih?" gerutu Elena. Ia segera menghubungi divisi HRD dan Personalia untuk mencarikan nama itu secara manual.

Rafa termenung di kursinya, kembali lagi memikirkan gadis yang menurutnya unik itu. Ia menatap kontak ponsel yang dia berikan.

"Kalau dia bener kerja di sini, apa yang mesti gue lakuin?" Ia mengurut keningnya. "Ah, kenapa juga gue pusing sama dia?" Rafa meletakkan ponselnya, lalu mulai sibuk memeriksa dokumen yang tersusun rapi dia atas meja. Namun, semua dokumen itu tidak menarik baginya. Pikirannya terus melayang kepada gadis itu.

"Gue kenapa? apa karena dia menyimpan begitu banyak misteri?" Rafa menggeleng-gelengkan kepalanya agar bisa fokus bekerja. Ia lelah sendiri dengan pikirannya dan memilih untuk berbaring sejenak di kamar kerjanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status