Share

Kecelakaan

Mazaya masih lurus menatap monitor. Bola matanya yang kecokelatan menari-nari seiring ketikan program yang terus memanjang memenuhi screen komputer. Tugasnya hari ini membuat efek yang dinamis pada software New World. Ia semakin berhati-hati dalam bekerja, sebab semua perangkat sudah dipasang alat pengintai.

Ia melirik jam tangan merk Expedition yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 16.00, waktunya untuk pulang. Ia teringat sore ini rapat di markas, meskipun dia tidak diundang, tetapi dia sangat penasaran untuk mengetahui hasilnya.

"Yog, Ger, gue duluan, ya. See you tomorrow (sampai ketemu besok)," pamit Mazaya alias Hexel.

"Bye, be careful (hati-hati di jalan)," ucap Yoga dan Gery hampir bersamaan.

"Udah mau pulang, Hex?" Meta memperhatikannya dari tempat duduknya.

"Iya, duluan, ya." Hexel melambai sambil berlalu. Meta mengerucutkan bibirnya tidak mendapat perhatian dari Hexel.

Mazaya mengendarai motornya menyusuri jalan raya yang ramai dan padat. Waktu ini adalah waktu macet. Ia perkirakan bakalan satu jam sampai di markas. Sebelum pulang, ia sering singgah membeli gorengan atau es buah pada penjual pinggir jalan. Ia tidak tega melihat mereka mengais rezeki dengan berpanas-panasan seharian menjajakan produk makanan itu yang hasilnya tidak seberapa.

"Satu porsi, Mas!" teriak Mazaya pada penjual pisang goreng dan es buah yang bersebelahan.

"Baik, Neng!" seru penjual dengan senyuman.

Mazaya turun dari motornya dan meletakkan helm d atas spion motor. Ia ingin makan es buahnya di tempat itu, sepertinya segar sekali.

"Esnya nggak usah dibungkus, Mas, gue makan di sini aja." Mazaya mengambil tempat duduk di sebelah penjual es buah.

Tidak menunggu waktu lama es buah pesanannya sudah tersedia di hadapannya. Dengan penuh intensi, Mazaya melahap es buah pinggir jalan dalam sekejap. Ia melihat seorang anak berusia sekitar 6 tahun melintas di depannya dan mulai melambaikan tangan hendak menyeberang jalan. Di seberang seorang ibu tengah berdiri menunggu, mungkin dia ibunya anak itu.

Mazaya membayar es buah dan pisang goreng pesanannya, lalu menghampiri kuda besinya untuk segera bergegas menuju markas. Sebelum ia naik ke atas motor, sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang mendekati anak yang menyeberang tadi. Orang-orang sepertinya tidak menyadari jarak antara anak itu dan mobil semakin dekat, namun mobil itu tidak berhenti. Mazaya sudah memperkirakan, jika anak itu tidak segera sampai di seberang, mobil itu akan menabraknya.

Dengan tergesa Mazaya berlari sekencang-kencangnya dan mendorong anak itu ke arah ibunya, sementara ia sendiri terpelanting di atas aspal hingga wig di kepalanya terlepas dan kakinya terkena pelat mobil itu.

Rambutnya yang panjang kini terurai. Rasa nyeri di kepala, telapak tangan, dan kaki mulai menjalar.

Mobil itu berhenti secara mendadak. Lalu dari dalam mobil keluar seorang pria yang ternyata adalah Rafa dan ibunya, dengan tergesa menghampiri Mazaya yang masih terbaring di atas aspal.

Orang-orang mulai berkerumun.

Rafa membantu Mazaya duduk. Pandangan terasa berputar, berkali-kali Mazaya mengerjapkan matanya agar pandangan segera normal kembali.

"Dahi lo berdarah, biar gue angkat ke pinggir, ya." Tanpa menunggu persetujuan Mazaya, Rafa mengangkat tubuh gadis itu ke atas trotoar.

"Kamu tidak apa-apa?" Ibunya anak yang menyeberang tadi menghampiri Mazaya dengan wajah khawatir.

"Iya, tidak apa-apa." Mazaya tersenyum kecut, rasa perih makin menjadi.

"Terima kasih sudah menolong anak saya," ucap ibu itu lagi.

"Maafkan saya, Bu. Ini semua kesalahan saya, biar saya yang bertanggung jawab. Ibu silahkan melanjutkan perjalanan Ibu." Rafa berkata dengan penuh sopan santun.

Ibu itu mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Mazaya, dia juga menyerahkan kartu namanya jika sewaktu-waktu Mazaya membutuhkan bantuannya.

"Ucapkan terima kasih sama Kakak yang sudah menyelamatkan Riri, Nak." Ibu itu menempatkan putrinya di depannya agar bisa lebih dekat pada Mazaya.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku, Kak," ucap gadis kecil itu, Mazaya mengangguk sambil tersenyum.

Gadis kecil itu melangkah pergi bersama ibunya, ia melambaikan tangan perpisahan. Mazaya membalas lambaian tangannya.

Bu Indri ---ibunya Rafa--- ikut duduk di hadapan Mazaya. Ia memeriksa dahi dan telapak tangan Mazaya yang terluka.

"Raf, ini harus dibawa ke rumah sakit, banyak darahnya." Bu Indri panik melihat darah masih mengalir dari dahi Mazaya. Sedangkan luka di telapak tangannya membentuk baret dan mengeluarkan darah.

"Tidak usah, Bu, ini tidak apa-apa. Saya juga masih bisa kok pulang sendiri." Mazaya berusaha bersikap kuat. Baginya, hal-hal seperti ini sudah biasa dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

"Biar kami antar, ya? di mana rumahmu?" tanya Bu Indri menawarkan lagi.

"Nggak, nggak usah, Bu, nggak usah. Saya tidak apa-apa, kok." Mazaya berusaha bangkit meskipun terasa sangat sakit dan bersusah payah. Rafa berusaha untuk membantunya.

Mazaya berjalan tertatih, masih jauh jangkauan motornya yang ada di seberang jalan. Kalau saja bisa terbang, ingin rasanya ia terbang agar cepat sampai. Rafa segera menyusul dan memapah Mazaya.

Rafa melirik ke arah gadis yang ada di sampingnya, penampilannya seperti bukan seorang gadis. Ia berpikir mungkin pekerjaannya yang mengharuskan dia berpenampilan demikian. Dan dia lebih kaget lagi tatkala melihat kendaraannya adalah motor besar Kawasaki Ninja.

"Lo yakin bisa pulang sendiri?" Rafa menatap gadis itu dengan ragu. Mazaya hanya mengangguk perlahan.

Mazaya naik ke atas motornya. Baru saja ia menegakkan motornya, kakinya tidak bisa menahan beban motor yang sangat berat itu sehingga oleng. Beruntung Rafa segera menahan motor itu sehingga tidak jatuh.

"Udah, deh, gue antar ya, hari juga udah mulai malam. Ntar lo sama ibu di mobil, motor biar gue yang bawa." Akhirnya Mazaya menurut. Ia  berjalan tertatih dan dipapah Rafa hingga ke mobilnya.

"Mama bawa mobil, ya? Rafa bawa motornya," ucap Rafa, ibunya mengangguk.

Rafa membukakan pintu mobil untuk Mazaya, lalu membantunya hingga duduk dengan nyaman di dalam. Ia juga memasangkan safety belt yang membuat secara tidak sengaja wajahnya dan wajah gadis itu saling berdekatan. Mazaya menahan napas sesaat, pandangan mata mereka beradu.


Bu Indri pura-pura terbatuk-batuk agar Rafa segera beranjak dari tempatnya. Dengan wajah tersipu Rafa segera beranjak dari hadapan Mazaya dan menutup pintu mobil.

Ketika berjalan menuju motor, Rafa melihat wig milik Mazaya yang terlepas, ia memungut dan membawanya.


Mobil melaju ke alamat yang disebutkan Mazaya. Rafa mengikuti mereka dari belakang mengendarai motor milik Mazaya. Perjalanan yang macet itu memakan waktu hingga 1 jam untuk sampai ke rumah Mazaya.


Sesampainya di rumah, Bu Maimunah menatap mobil yang berhenti di depan rumahnya dengan pandangan heran. Ia lebih heran lagi melihat motor besar anaknya dikendarai oleh seorang pria.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status