Seminggu berlalu setelah pertemuannya dengan Rose, namun Arsen tetap tak bisa melupakan gadis itu. Hampir setiap malam ia rajin mengunjungi bar langganannya atau tempat-tempat yang pernah dikunjunginya bersama Rose, namun tak kunjung mendapati keberadaannya.
Leo belum juga memberikan kabar padanya sampai saat ini, dan itu membuatnya gelisah. Gadis itu seakan-akan adalah hantu yang datang dan pergi sesuka hati. Ia sempat berdoa dalam hati, semoga dipertemukan dengan Rose dimana saja gadis itu berada. Namun doanya tak terkabulkan. Mungkin ia memiliki banyak dosa, sehingga Tuhan pun enggan untuk mengabulkan doanya. Semua orang yang mengenal Arsen terkejut dan heran dengan penampilannya yang berubah kacau dan putus asa. Padahal sebelumnya pria itu selalu tampil rapi dan menarik. "Ternyata kau ada di sini. Sudah dari tadi aku mencarimu di tempat-tempat biasa, tapi kau malah mendekam di apartemenmu dengan kondisi yang menyedihkan," ucap Leo begitu menemukan Arsen yang tengah memandang kosong televisi layar datar di depannya yang menyala. "Apa kau sudah menemukannya?" tanya Arsen tanpa mempedulikan perkataan Leo sebelumnya. "Susah sekali melacak keberadaannya, bahkan meskipun dengan bantuan orang yang paling hebat sekalipun. Sudah kubilang dia itu misterius, Sobat. Lebih baik kau lupakan saja dia," saran Leo sambil duduk di sebelah pria itu. Arsen menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tak akan pernah bisa melupakannya.” “Kau ini sebenarnya tak bisa melupakannya karena apa? Karena mencintainya? Tak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama, Sobat. Yang kau rasakan hanyalah nafsu karena kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya. Atau jangan-jangan kau hanya terobsesi dengannya saja?” tanya Leo dengan pandangan heran. Leo merasa kasihan dengan Arsen yang hanya diam saja. Seumur-umur belum pernah dilihatnya Arsen begitu kacau dan menyedihkan hanya karena seorang gadis, apalagi gadis misterius dan kejam seperti Rose. "Arsen, percayalah padaku. Jika kalian berjodoh, pasti nanti akan bertemu lagi. Sekarang ayo kita keluar mencari hiburan. Terserah kau mau kemana, yang penting kau bisa mengalihkan pikiranmu dari Rose sebentar," tawar Leo. "Tidak Leo, aku tak ingin cepat tersulut emosiku dengan suasana hati seperti ini. Lain kali saja," tolak Arsen tanpa memandang Leo. "Baiklah. Jaga kesehatanmu, Sobat." Leo tak ingin berbicara banyak dengan Arsen kalau tak ingin menjadi sasaran kemarahan sahabatnya itu. Jika sudah marah, pria itu seperti berubah menjadi orang lain.Leo memutuskan untuk keluar dari apartemen Arsen dan menemui seseorang yang sudah menginap di apartemennya selama dua hari terakhir. Ia melihat sosok gadis yang menyebabkan sahabatnya begitu kacau itu tengah merebahkan diri di kursi malas dengan masker yang menutupi wajah dan dua irisan mentimun di atas kedua kelopak matanya."Arsen benar-benar kacau dan terlihat begitu menyedihkan," ujarnya sambil berlalu menuju ke kulkas dan mengambil sekaleng soda.Gadis itu, Rose, hanya diam saja. Leo pikir gadis itu tengah terlelap, namun sebelah tangan yang terulur ke arahnya membuatnya mendengus. Setelah bertahun-tahun berlalu, pria itu masih saja belum terbiasa dengan tingkah Rose yang sering tak bisa diprediksi."Biarkan saja," jawabnya setelah meneguk soda yang diberikan oleh Leo, tanpa sekalipun melepaskan irisan mentimun itu dari matanya.Leo menghela nafas panjang. "Aku tidak tahu apa yang sudah kau lakukan padanya hingga membuat dia begitu tergila-gila padamu."Gadis itu terkikik geli, membuang dua iris mentimun itu ke sembarang tempat, lalu bangkit dari kursi. Langkah kakinya yang anggun membawanya menuju ke westafel di kamar mandi untuk mencuci muka."Aku mulai khawatir dengan kondisi Arsen, Rose. Kau jangan terlalu mengusik hidupnya.""Dia hanyalah pria yang kesepian dan butuh kasih sayang," balas gadis itu sambil mengeringkan wajahnya dengan handuk, lalu mengamati wajah itu di pantulan cermin dengan senyum puas. "Aku benar-benar sangat cantik, bukan?""Rose.""Ssstt, jangan membangunkan 'dia'. Kau tidak mau sahabat seksimu itu berlari ketakutan dan mengacaukan semua rencanamu, kan?"Leo terdiam, mengamati gadis itu yang dengan santainya melewatinya dan merebahkan diri di atas ranjang miliknya."Kau hanya perlu diam dan mengamati apa yang akan kulakukan. Dia memang cocok untuk Claire.""Tapi dia sudah terlanjur terobsesi denganmu. Bagaimana bisa dia mau melirik Claire setelah ini?" protes Leo.Rose tertawa. Bahkan suaranya terdengar begitu merdu bagi siapapun yang mendengarnya. Tanpa tahu bahwa di balik kemerduan itu, ada sisi rubah betina licik dan cerdik yang bisa mengacaukan siapa saja yang diinginkannya."Kau meragukanku, Tuan Abraham?" tanya Rose dengan sebelah alis terangkat dan senyum yang tak lepas dari bibirnya. "Kau masih belum lupa kan, siapa pengendali di sini?"Leo meneguk ludahnya. Tentu saja dia tidak akan pernah lupa. Gadis di depannya memang terlihat seperti gadis-gadis centil pencari perhatian pria yang lemah dan hanya bisa menjerit jika ada yang melukainya. Namun percayalah, Leo tidak akan pernah mengatakan hal itu untuk gadis seperti Rose.Gadis yang diam-diam mematikan dan bekerja di balik layar untuk semua kesuksesan atas misinya dan Brad dengan otak jeniusnya, juga sifat manipulatif yang selalu berhasil memperdaya lawan-lawannya.*** Claire Estefania, seorang gadis berkulit putih kecoklatan berusia 21 tahun, baru saja keluar dari gedung College of Urban and Public Affairs di Portland State University. Perutnya benar-benar kelaparan setelah selesai berdiskusi di kelas Tuan Thompson.Pembahasan mengenai hal-hal berbau kriminal membuatnya pusing, dan ia menyesal kenapa dulu justru memilih jurusan Criminal Justice. Tidak, yang benar bukan dia yang memilih jurusan itu atas kemauannya sendiri. Tiba-tiba saja ia sudah terjebak di jurusan itu tanpa tahu bagaimana awal mulanya, dan itu benar-benar membuatnya bingung sampai detik ini.Demi apapun, Claire sangat suka memasak. Ia sudah menyiapkan semuanya untuk memasuki jurusan tata boga dan bekerja sebagai chef di salah satu restoran bintang lima setelah lulus nanti. Namun begitu ia membuka mata, tiba-tiba semuanya terasa asing di telinganya. Bahkan ia tidak mengenal sebagian besar mahasiswa di kelasnya. Dan ia selalu gagal untuk keluar dari jurusan itu tanpa tahu apa sebabnya.Saat ini ia tengah kebingungan untuk memilih tempat makan siang. Apalagi gedung-gedung di sekitarnya kesemuanya memiliki bentuk yang hampir sama, bertingkat empat atau lima yang didominasi oleh kaca.Ia menoleh ke kiri, terdapat sebuah gedung tinggi yang lagi-lagi didominasi kaca bertuliskan Portland State Bookstore. Banyak sepeda yang terparkir di sisi gedung itu, dan empat buah kursi panjang dari besi berwarna hijau terletak di sebelahnya. Sebuah streetcar berwarna hijau tua melintas di samping kanan gedung fakultasnya dan berhenti di sana. Para mahasiswa yang tadinya duduk-duduk di undakan tangga dari batu-bata di seberang rel, beramai-ramai mendekati streetcar itu dan menaikinya.Setelah streetcar yang bentuknya seperti bus itu melanjutkan perjalanannya di atas rel khusus, ia memutuskan untuk mendekati Memorial Clock Tower yang letaknya cukup jauh dari rel. Ia teringat dengan cafe kesukaan Josh--satu-satunya teman yang akrab dengannya--yang terletak di gedung yang sama dengan Campus Recreation Center. Saat hampir mencapai cafe, tiba-tiba bahunya menabrak seseorang dengan cukup keras karena ia tidak fokus melihat jalan. Ia langsung berhenti untuk meminta maaf pada orang yang ditabraknya, namun cepat-cepat diurungkan niatnya.Ia melihat orang itu sepertinya marah, dilihat dari rahangnya yang mengeras. Orang yang ditabraknya adalah seorang pria berkulit putih dengan rambut berwarna hitam, memakai kacamata hitam, dan model rambut berantakan. Pria yang tampan menurutnya. Baru saja Claire hendak pergi dari sana, tiba-tiba pria itu membuka kacamata hitamnya. Pancaran mata birunya terlihat dingin dan menusuk. Namun anehnya, saat mata itu bertemu dengan mata coklat miliknya, tak ada lagi tatapan dingin dan menusuk. Yang ada hanyalah tatapan yang menyiratkan kerinduan yang mendalam, namun juga terdapat luka di sana."Rose," gumam pria itu, terdengar begitu sarat akan kerinduan. "Kemana saja kau selama ini? Aku sudah mencarimu kemanapun, tapi kau menghilang begitu saja."Claire mengerjapkan matanya, bingung dengan ucapan pria itu."Maafkan aku. Aku tadi tidak sengaja dan tergesa-gesa ingin segera ke cafe," ucap Claire setelah sadar dari keheranannya. Ia bahkan tidak mengenal pria di hadapannya ini, namun kenapa pria itu bersikap seolah-olah begitu mengenalnya? "Oh, namaku bukan Rose." Pria itu tidak menjawab, tapi justru berlalu begitu saja dari hadapan Claire yang masih kebingungan di posisinya. Suara perutnya yang semakin kelaparan menyadarkannya, membuatnya bergegas menuju ke cafe dan tak mengacuhkan kejadian tadi. "Claire, kau tadi baru saja menabrak Arsen? Kudengar orang-orang langsung heboh saat melihat kalian seperti ingin berkelahi," tanya Josh saat Claire baru saja duduk di hadapannya sambil membawa nampan berisi makanan. "Mereka terlalu melebih-lebihkan. Aku mana berani berkelahi dengan seorang pria bertubuh kekar seperti dia?" jawab Claire tak acuh lalu menikmati Chicken Bento di piringnya. “Ngomong-ngomong, siapa itu Arsen? Kenapa kau bisa mengenalnya? Apa dia dari divisi Criminal Justice seperti kita?” "Bukan, dia kuliah di jurusan Marketing dan Logistics. Sebenarnya aku tidak mengenalnya, hanya tahu saja karena dia sering dibicarakan oleh para gadis. Kalau menurutku sih, dia terkena ADHD," jawab Josh dengan sedikit lirih, karena di sekitar mereka para gadis sibuk bergosip. Claire langsung memutar matanya mendengar tuduhan itu. "Sudahlah, Josh. Kau ini jangan suka membicarakan orang lain. Aku sudah pusing kuliah soal kriminal dan hukum-hukumnya setiap hari, jadi jangan menambah pusing dengan prasangka mengenai orang lain," tegurnya. "Yeah, terserahlah. Kau nanti ada acara?" balas Josh tak acuh. "Hei, kau lupa kalau nanti aku harus bekerja?" jawab Claire mengingatkan. "Ck. Ayolah Claire, kau ini sudah memiliki saham di perusahaan terkenal milik Juan Forbes. Kau tak perlu lagi bersusah payah bekerja sebagai pelayan restoran." Josh meletakkan pisau dan garpunya di atas piring sambil mendengus. "Tidak bisa, Josh. Aku ingin mengumpulkan banyak uang untuk masa depanku. Siapa lagi yang akan menghidupiku selain diriku sendiri? Lagipula aku menikmati pekerjaan itu.” Claire tersenyum sekilas, kemudian melanjutkan kembali makan siangnya yang sempat tertunda. Josh terdiam jika Claire sudah berkata seperti itu. Yang ia tahu orang tua Claire sudah meninggal, sedangkan ia masih sangat penasaran dengan latar belakang dan kehidupan gadis itu yang sebenarnya.Selama ini Claire selalu bungkam jika ditanya mengenai masalah pribadi, kecuali asal-usulnya yang berasal dari Jerez, Spanyol. "Baiklah, terserah kau saja. Kalau kau ada waktu luang, segera hubungi aku," kata Josh sambil menatap Claire yang masih fokus pada makanannya.Gadis itu mengangguk, sama sekali tak menyadari tatapan aneh dari pria di hadapannya. Di otaknya kini justru terbayang wajah pria bernama Arsen yang tadi ia tabrak. Membuatnya tersenyum tanpa sadar."Pria yang menarik," batinnya.Claire baru saja keluar dari ruang ganti dan menaruh bajunya di loker khusus karyawan. Sudah enam bulan ia bekerja di restoran yang terletak tak jauh dari kampusnya ini, dan selama itu pula ia merasa betah bekerja di sini. Rekan-rekan kerjanya sangat ramah, begitu pula dengan manajernya. Apalagi suasana restoran begitu nyaman, dengan interior yang mayoritas terbuat dari kayu keras berkualitas tinggi. Setelah berdoa sejenak, ia bergegas menuju ke depan untuk melayani pengunjung restoran yang terus berdatangan."Claire," panggil Tuan Peterson, manajer di restoran ini."Ya, Tuan Peterson? Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya sambil mendekati pria berusia kira-kira 25 tahunan itu di samping ruang khusus staf."Layani pria yang ada di sana. Dia adalah pemilik restoran ini, jadi bersikaplah yang sopan padanya," perintah Tuan Peterson sambil menunjuk meja di bawah televisi layar datar, tepatnya di dekat jendela kaca yang menampilkan pepohonan yang daunnya sudah mulai memerah.Claire men
“Nona! Nona, hei jangan takut! Aku tak berniat jahat padamu, aku hanya ingin mengembalikan barangmu yang jatuh,” seru pria itu sambil menahan serangan tangan Claire.Suara pintu mobil dibanting dan langkah kaki berlari mendekati mereka tak didengar oleh Claire sama sekali, karena ia sibuk dengan ketakutannya sendiri.“Ada apa ini?” tanya pengemudi mobil itu.“Aku hanya ingin mengembalikan ponsel ini padanya, tapi gadis ini tiba-tiba saja lari ketakutan. Aku mengejarnya, dan dia justru semakin cepat berlari sampai aku kewalahan,” jawab pria berambut panjang itu sambil menyerahkan ponsel milik Claire.“Terima kasih. Lain kali potonglah rambutmu agar tidak membuat orang lain ketakutan ketika melihatmu. Kau boleh pergi.” Pengemudi itu menerima ponsel itu dan memegangi kedua lengan Claire.“Claire, hei! Ini aku, Arsen. Kau tak apa-apa? Jangan takut, kau aman,” kata pengemudi mobil yang ternyata adalah Arsen, setelah pria berambut panjang tadi benar-benar sudah menjauhi mereka.Claire
“Hah? Tidak, aku tidak punya saudara kembar. Aku punya adik, tapi wajahnya tidak mirip denganku. Kenapa?” tanya Claire sambil mengelap tangannya dan berbalik menghadap Arsen.“Eh? Umm...tidak, hanya saja...” Arsen berhenti sejenak, bingung harus mengatakan apa. “Aku...aku pernah melihat ada seseorang yang hampir mirip denganmu. Tidak. Bukan hampir, melainkan sangat mirip. Namanya Rose. Dia berasal dari Belanda. Apa kau benar-benar berasal dari Spanyol?” Claire mengangkat kedua alisnya. “Ya, aku memang berasal dari negara itu. Kau yakin Rose memiliki wajah yang sangat mirip denganku? Orang Belanda dan orang Spanyol jelas memiliki ciri fisik yang jauh berbeda. Dia seharusnya berwajah seperti orang-orang Amerika berkulit putih pada umumnya, kan?"Arsen terdiam, membenarkan perkataan gadis itu. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang? Oh, tentu saja. Dia terlalu fokus pada pesona Rose yang memabukkan. Sekarang Arsen bingung harus bertanya apa lagi, karena kebingungannya semakin bertamba
"Kau suka?" tanya Arsen begitu mereka sampai di tempat tujuan. "Suka sekali, Arsen. Tak kusangka ada tempat yang seindah ini," jawab Claire setengah berteriak saking kagumnya dengan tempat itu, Portland Japanese Garden. Claire langsung berlari ke tengah-tengah taman bernuansa Jepang itu dengan senyum merekah. Berbagai jenis tanaman bonsai dan pohon-pohon perdu membuat nuansa Jepangnya begitu terasa. Apalagi daun-daun dari setiap tanaman sudah mulai berubah ke dalam warna yang tak disangkanya begitu indah. Beberapa pohon masih berwarna hijau, namun banyak yang daunnya sudah berubah warna. Ada pohon yang keseluruhan daunnya berwarna merah marun, kuning, oranye, biru, bahkan ada bonsai yang hanya tinggal rantingnya saja dan berwarna ungu. "Ya Tuhan, tempat ini benar-benar seperti surga!" Claire menuju ke sebuah kolam yang dikelilingi oleh pohon dengan daun berwarna-warni. “Arsen, lihat ada air terjun mini! Hei, ada ikannnya juga! Astaga, tempat ini benar-benar membuatku merasa bah
Sudah sebulan Arsen dan Claire semakin dekat, hingga akhirnya mereka menyadari perasaan masing-masing. Mereka menyadari bahwa mereka saling mencintai. Arsen berubah menjadi pribadi yang ceria dan selalu tersenyum, sehingga membuat orang-orang di sekitarnya keheranan. Banyak yang menerka-nerka apa yang terjadi pada pria itu sehingga bisa berubah drastis, karena sebelumnya Arsen suka marah-marah tak jelas atau murung sepanjang hari. Pria itu tak mempedulikan pendapat mereka karena baginya perasaannya terhadap Claire lebih penting. Tak akan dibiarkannya siapapun menyakiti Claire, karena gadis itu begitu penting baginya. Berkat gadis itu, ia bisa menjalani hidup dengan lebih berwarna. Rasa bencinya pada sang ayah pun mulai berkurang, meskipun terkadang masih ada rasa tak terima dengan perbuatan pria itu di masa lalu.Satu jam yang lalu, ia menyatakan cintanya pada Claire dan memintanya untuk menjadi kekasihnya. Claire dengan senang hati menerimanya, karena ternyata gadis itu juga memil
Jantung Arsen berdegup dua kali lebih cepat dan tubuhnya terasa panas dingin. Rasa rindu yang membuncah karena sudah sebulan lebih tak bertemu, membuatnya ingin segera menarik gadis di hadapannya itu ke dalam pelukannya. Dia ingin melampiaskan segala kerinduannya yang membuat pikirannya kacau.Mendadak ia lupa bahwa beberapa jam yang lalu baru saja meminta Claire untuk menjadi kekasihnya. Pikirannya langsung teralihkan begitu Rose berdiri di hadapannya dengan tatapan mata yang mampu membuat darahnya berdesir. "Boleh aku masuk?" tanya Rose dengan senyum yang terlihat mencemooh.Tanpa menunggu jawaban dari Arsen, gadis itu langsung menerobos masuk dan melihat-lihat desain interior apartemen. “Masih sama seperti sebulan yang lalu. Nyaman, terasa hangat, dan mengingatkan siapapun pada rumah,” ucapnya sambil berkacak pinggang, kemudian mendekati Arsen dan menelusuri dada pria itu dengan ujung jari jemarinya."Aku tadi melihatmu hendak membunuh pria berambut panjang itu," kata Arsen de
Claire membelalakkan matanya saat melihat siapa orang itu. Emily. Kenapa ia tidak mengingat gadis itu sebelumnya? Gadis yang sempat bertahan cukup lama dengan Arsen, sebelum pria itu meminta Claire untuk menjadi kekasihnya. Setidaknya itulah yang ia dengar dari teman-temannya dan juga Josh. Seharusnya ia memastikan terlebih dulu hubungan Arsen dengan kekasihnya, bukan malah menerima permintaan pria itu hanya karena juga merasakan hal yang sama."Emily....lepaskan....aku." Claire hampir kehabisan nafas. Tangannya berusaha melepaskan cengkeraman tangan Emily dari lehernya, namun tak bisa. Dia terlalu lemah untuk melawan gadis itu, atau mungkin Emily yang terlalu kuat."Jauhi Arsen atau kau akan merasakan akibatnya," desis Emily sambil mempererat cengkeraman tangannya.Wajah Claire memerah dan hampir tak sadarkan diri, kalau saja tak ada orang lain yang menjauhkan gadis itu darinya. Claire langsung terbatuk-batuk dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, sambil memegangi lehernya yan
Arsen mengetuk pintu apartemen Claire, namun tak ada yang merespon. Berkali-kali ia mengetuk pintu dan memanggil nama Claire, namun hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba Arsen merasa cemas. Segera ia merogoh saku celana jeansnya dan meraih ponselnya. Ditelponnya nomor ponsel Claire, namun tak juga diangkat. Saat hendak beranjak dari depan pintu apartemen Claire, tiba-tiba saja ia mendengar suara teriakan seseorang yang berasal dari dalam.Jantung Arsen langsung berdegup tak karuan. Dia tahu betul suara milik siapa itu. Suara seseorang yang sangat dicintainya. Dengan panik dia mencoba membuka pintu itu dan ternyata tidak dikunci. Bergegas ia berlari menuju ke kamar Claire dan seketika itu juga matanya membelalak ngeri. Di depannya, Claire tengah tergeletak tak berdaya di atas lantai yang dingin dengan beberapa luka di tubuhnya. Kesadaran gadis itu mulai menipis. Arsen merasa jantungnya seperti diremas dengan kuat saat itu juga. Ia berteriak dan berlari menghampiri tubuh Claire. Namun seb