Share

Bab 5

Seminggu berlalu setelah pertemuannya dengan Rose, namun Arsen tetap tak bisa melupakan gadis itu. Hampir setiap malam ia rajin mengunjungi bar langganannya atau tempat-tempat yang pernah dikunjunginya bersama Rose, namun tak kunjung mendapati keberadaannya.

Leo belum juga memberikan kabar padanya sampai saat ini, dan itu membuatnya gelisah. Gadis itu seakan-akan adalah hantu yang datang dan pergi sesuka hati. Ia sempat berdoa dalam hati, semoga dipertemukan dengan Rose dimana saja gadis itu berada. Namun doanya tak terkabulkan.

Mungkin ia memiliki banyak dosa, sehingga Tuhan pun enggan untuk mengabulkan doanya. Semua orang yang mengenal Arsen terkejut dan heran dengan penampilannya yang berubah kacau dan putus asa. Padahal sebelumnya pria itu selalu tampil rapi dan menarik.

"Ternyata kau ada di sini. Sudah dari tadi aku mencarimu di tempat-tempat biasa, tapi kau malah mendekam di apartemenmu dengan kondisi yang menyedihkan," ucap Leo begitu menemukan Arsen yang tengah memandang kosong televisi layar datar di depannya yang menyala.

"Apa kau sudah menemukannya?" tanya Arsen tanpa mempedulikan perkataan Leo sebelumnya.

"Susah sekali melacak keberadaannya, bahkan meskipun dengan bantuan orang yang paling hebat sekalipun. Sudah kubilang dia itu misterius, Sobat. Lebih baik kau lupakan saja dia," saran Leo sambil duduk di sebelah pria itu.

Arsen menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tak akan pernah bisa melupakannya.”

“Kau ini sebenarnya tak bisa melupakannya karena apa? Karena mencintainya? Tak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama, Sobat. Yang kau rasakan hanyalah nafsu karena kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya. Atau jangan-jangan kau hanya terobsesi dengannya saja?” tanya Leo dengan pandangan heran.

Leo merasa kasihan dengan Arsen yang hanya diam saja. Seumur-umur belum pernah dilihatnya Arsen begitu kacau dan menyedihkan hanya karena seorang gadis, apalagi gadis misterius dan kejam seperti Rose.

"Arsen, percayalah padaku. Jika kalian berjodoh, pasti nanti akan bertemu lagi. Sekarang ayo kita keluar mencari hiburan. Terserah kau mau kemana, yang penting kau bisa mengalihkan pikiranmu dari Rose sebentar," tawar Leo.

"Tidak Leo, aku tak ingin cepat tersulut emosiku dengan suasana hati seperti ini. Lain kali saja," tolak Arsen tanpa memandang Leo.

"Baiklah. Jaga kesehatanmu, Sobat." Leo tak ingin berbicara banyak dengan Arsen kalau tak ingin menjadi sasaran kemarahan sahabatnya itu. Jika sudah marah, pria itu seperti berubah menjadi orang lain.

Leo memutuskan untuk keluar dari apartemen Arsen dan menemui seseorang yang sudah menginap di apartemennya selama dua hari terakhir. Ia melihat sosok gadis yang menyebabkan sahabatnya begitu kacau itu tengah merebahkan diri di kursi malas dengan masker yang menutupi wajah dan dua irisan mentimun di atas kedua kelopak matanya.

"Arsen benar-benar kacau dan terlihat begitu menyedihkan," ujarnya sambil berlalu menuju ke kulkas dan mengambil sekaleng soda.

Gadis itu, Rose, hanya diam saja. Leo pikir gadis itu tengah terlelap, namun sebelah tangan yang terulur ke arahnya membuatnya mendengus. Setelah bertahun-tahun berlalu, pria itu masih saja belum terbiasa dengan tingkah Rose yang sering tak bisa diprediksi.

"Biarkan saja," jawabnya setelah meneguk soda yang diberikan oleh Leo, tanpa sekalipun melepaskan irisan mentimun itu dari matanya.

Leo menghela nafas panjang. "Aku tidak tahu apa yang sudah kau lakukan padanya hingga membuat dia begitu tergila-gila padamu."

Gadis itu terkikik geli, membuang dua iris mentimun itu ke sembarang tempat, lalu bangkit dari kursi. Langkah kakinya yang anggun membawanya menuju ke westafel di kamar mandi untuk mencuci muka.

"Aku mulai khawatir dengan kondisi Arsen, Rose. Kau jangan terlalu mengusik hidupnya."

"Dia hanyalah pria yang kesepian dan butuh kasih sayang," balas gadis itu sambil mengeringkan wajahnya dengan handuk, lalu mengamati wajah itu di pantulan cermin dengan senyum puas. "Aku benar-benar sangat cantik, bukan?"

"Rose."

"Ssstt, jangan membangunkan 'dia'. Kau tidak mau sahabat seksimu itu berlari ketakutan dan mengacaukan semua rencanamu, kan?"

Leo terdiam, mengamati gadis itu yang dengan santainya melewatinya dan merebahkan diri di atas ranjang miliknya.

"Kau hanya perlu diam dan mengamati apa yang akan kulakukan. Dia memang cocok untuk Claire."

"Tapi dia sudah terlanjur terobsesi denganmu. Bagaimana bisa dia mau melirik Claire setelah ini?" protes Leo.

Rose tertawa. Bahkan suaranya terdengar begitu merdu bagi siapapun yang mendengarnya. Tanpa tahu bahwa di balik kemerduan itu, ada sisi rubah betina licik dan cerdik yang bisa mengacaukan siapa saja yang diinginkannya.

"Kau meragukanku, Tuan Abraham?" tanya Rose dengan sebelah alis terangkat dan senyum yang tak lepas dari bibirnya. "Kau masih belum lupa kan, siapa pengendali di sini?"

Leo meneguk ludahnya. Tentu saja dia tidak akan pernah lupa. Gadis di depannya memang terlihat seperti gadis-gadis centil pencari perhatian pria yang lemah dan hanya bisa menjerit jika ada yang melukainya. Namun percayalah, Leo tidak akan pernah mengatakan hal itu untuk gadis seperti Rose.

Gadis yang diam-diam mematikan dan bekerja di balik layar untuk semua kesuksesan atas misinya dan Brad dengan otak jeniusnya, juga sifat manipulatif yang selalu berhasil memperdaya lawan-lawannya.

***

Claire Estefania, seorang gadis berkulit putih kecoklatan berusia 21 tahun, baru saja keluar dari gedung College of Urban and Public Affairs di Portland State University. Perutnya benar-benar kelaparan setelah selesai berdiskusi di kelas Tuan Thompson.

Pembahasan mengenai hal-hal berbau kriminal membuatnya pusing, dan ia menyesal kenapa dulu justru memilih jurusan Criminal Justice. Tidak, yang benar bukan dia yang memilih jurusan itu atas kemauannya sendiri. Tiba-tiba saja ia sudah terjebak di jurusan itu tanpa tahu bagaimana awal mulanya, dan itu benar-benar membuatnya bingung sampai detik ini.

Demi apapun, Claire sangat suka memasak. Ia sudah menyiapkan semuanya untuk memasuki jurusan tata boga dan bekerja sebagai chef di salah satu restoran bintang lima setelah lulus nanti. Namun begitu ia membuka mata, tiba-tiba semuanya terasa asing di telinganya. Bahkan ia tidak mengenal sebagian besar mahasiswa di kelasnya. Dan ia selalu gagal untuk keluar dari jurusan itu tanpa tahu apa sebabnya.

Saat ini ia tengah kebingungan untuk memilih tempat makan siang. Apalagi gedung-gedung di sekitarnya kesemuanya memiliki bentuk yang hampir sama, bertingkat empat atau lima yang didominasi oleh kaca.

Ia menoleh ke kiri, terdapat sebuah gedung tinggi yang lagi-lagi didominasi kaca bertuliskan Portland State Bookstore. Banyak sepeda yang terparkir di sisi gedung itu, dan empat buah kursi panjang dari besi berwarna hijau terletak di sebelahnya.

Sebuah streetcar berwarna hijau tua melintas di samping kanan gedung fakultasnya dan berhenti di sana. Para mahasiswa yang tadinya duduk-duduk di undakan tangga dari batu-bata di seberang rel, beramai-ramai mendekati streetcar itu dan menaikinya.

Setelah streetcar yang bentuknya seperti bus itu melanjutkan perjalanannya di atas rel khusus, ia memutuskan untuk mendekati Memorial Clock Tower yang letaknya cukup jauh dari rel. Ia teringat dengan cafe kesukaan Josh--satu-satunya teman yang akrab dengannya--yang terletak di gedung yang sama dengan Campus Recreation Center.

Saat hampir mencapai cafe, tiba-tiba bahunya menabrak seseorang dengan cukup keras karena ia tidak fokus melihat jalan. Ia langsung berhenti untuk meminta maaf pada orang yang ditabraknya, namun cepat-cepat diurungkan niatnya.

Ia melihat orang itu sepertinya marah, dilihat dari rahangnya yang mengeras. Orang yang ditabraknya adalah seorang pria berkulit putih dengan rambut berwarna hitam, memakai kacamata hitam, dan model rambut berantakan. Pria yang tampan menurutnya.

Baru saja Claire hendak pergi dari sana, tiba-tiba pria itu membuka kacamata hitamnya. Pancaran mata birunya terlihat dingin dan menusuk. Namun anehnya, saat mata itu bertemu dengan mata coklat miliknya, tak ada lagi tatapan dingin dan menusuk. Yang ada hanyalah tatapan yang menyiratkan kerinduan yang mendalam, namun juga terdapat luka di sana.

"Rose," gumam pria itu, terdengar begitu sarat akan kerinduan. "Kemana saja kau selama ini? Aku sudah mencarimu kemanapun, tapi kau menghilang begitu saja."

Claire mengerjapkan matanya, bingung dengan ucapan pria itu.

"Maafkan aku. Aku tadi tidak sengaja dan tergesa-gesa ingin segera ke cafe," ucap Claire setelah sadar dari keheranannya. Ia bahkan tidak mengenal pria di hadapannya ini, namun kenapa pria itu bersikap seolah-olah begitu mengenalnya? "Oh, namaku bukan Rose."

Pria itu tidak menjawab, tapi justru berlalu begitu saja dari hadapan Claire yang masih kebingungan di posisinya. Suara perutnya yang semakin kelaparan menyadarkannya, membuatnya bergegas menuju ke cafe dan tak mengacuhkan kejadian tadi.

"Claire, kau tadi baru saja menabrak Arsen? Kudengar orang-orang langsung heboh saat melihat kalian seperti ingin berkelahi," tanya Josh saat Claire baru saja duduk di hadapannya sambil membawa nampan berisi makanan.

"Mereka terlalu melebih-lebihkan. Aku mana berani berkelahi dengan seorang pria bertubuh kekar seperti dia?" jawab Claire tak acuh lalu menikmati Chicken Bento di piringnya. “Ngomong-ngomong, siapa itu Arsen? Kenapa kau bisa mengenalnya? Apa dia dari divisi Criminal Justice seperti kita?”

"Bukan, dia kuliah di jurusan Marketing dan Logistics. Sebenarnya aku tidak mengenalnya, hanya tahu saja karena dia sering dibicarakan oleh para gadis. Kalau menurutku sih, dia terkena ADHD," jawab Josh dengan sedikit lirih, karena di sekitar mereka para gadis sibuk bergosip.

Claire langsung memutar matanya mendengar tuduhan itu. "Sudahlah, Josh. Kau ini jangan suka membicarakan orang lain. Aku sudah pusing kuliah soal kriminal dan hukum-hukumnya setiap hari, jadi jangan menambah pusing dengan prasangka mengenai orang lain," tegurnya.

"Yeah, terserahlah. Kau nanti ada acara?" balas Josh tak acuh.

"Hei, kau lupa kalau nanti aku harus bekerja?" jawab Claire mengingatkan.

"Ck. Ayolah Claire, kau ini sudah memiliki saham di perusahaan terkenal milik Juan Forbes. Kau tak perlu lagi bersusah payah bekerja sebagai pelayan restoran." Josh meletakkan pisau dan garpunya di atas piring sambil mendengus.

"Tidak bisa, Josh. Aku ingin mengumpulkan banyak uang untuk masa depanku. Siapa lagi yang akan menghidupiku selain diriku sendiri? Lagipula aku menikmati pekerjaan itu.” Claire tersenyum sekilas, kemudian melanjutkan kembali makan siangnya yang sempat tertunda.

Josh terdiam jika Claire sudah berkata seperti itu. Yang ia tahu orang tua Claire sudah meninggal, sedangkan ia masih sangat penasaran dengan latar belakang dan kehidupan gadis itu yang sebenarnya.

Selama ini Claire selalu bungkam jika ditanya mengenai masalah pribadi, kecuali asal-usulnya yang berasal dari Jerez, Spanyol.

"Baiklah, terserah kau saja. Kalau kau ada waktu luang, segera hubungi aku," kata Josh sambil menatap Claire yang masih fokus pada makanannya.

Gadis itu mengangguk, sama sekali tak menyadari tatapan aneh dari pria di hadapannya. Di otaknya kini justru terbayang wajah pria bernama Arsen yang tadi ia tabrak. Membuatnya tersenyum tanpa sadar.

"Pria yang menarik," batinnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status