Cahaya pagi merambat pelan dari celah tirai kamar, menari lembut di dinding dan menghangatkan udara dalam ruangan. Nio terbangun dengan napas yang sedikit terengah, dadanya naik-turun cepat, terkejut karena ia tak menyangka telah tertidur. Lengan Ruby masih melingkar di tubuhnya, wajahnya terbenam di dada Nio, napasnya teratur dan damai.
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang dulu begitu akrab baginya. Segalanya terasa seperti mimpi, seolah waktu dua tahun tak pernah benar-benar memisahkan mereka.Dengan hati-hati, Nio menyentuh pipi Ruby dan menyibakkan helai rambut yang menutupi dahinya. Ia memandangi wajah perempuan itu dalam diam. Lalu, perlahan, ia menunduk dan mengecup kening Ruby lembut.Namun saat ia hendak bangkit, bergerak perlahan turun dari kasur, sebuah genggaman kecil menahan pergelangan tangannya.“Nio…” suara Ruby terdengar parau, baru saja bangun. Matanya masih setengah tertutup, namun genggamannya erat. “Kau mau ke ma“Kau akan mengatur semuanya,” jawab Sarah datar. “Mulai dari logistik, pengamanan jalur, hingga legalitas semu. Kau sudah pernah melakukannya dulu, Ethan. Ini hanya versi yang lebih besar. Lebih menguntungkan.” Nio memutar gelas anggurnya, lalu mengangkatnya tanpa meminumnya. Ia bisa merasakan napasnya mulai menebal, tapi ekspresi wajahnya tetap terkontrol. “Kenapa aku?” tanyanya. Sarah menatapnya, ada kilatan tajam di matanya. “Karena kau tahu cara kerja dunia ini. Karena kau pernah berdiri di atas sistem, dan karena kau adalah satu-satunya orang yang bisa mengendalikan kekacauan sebelum meledak.” Nio ingin menolak. Setiap bagian dari dirinya menolak. Ia memikirkan Ruby, senyumnya pagi tadi, sentuhan tangannya saat mereka sarapan. Ia memikirkan hidup yang ingin ia bangun kembali, bukan kehidupan yang dipenuhi darah, kesepakatan gelap, dan bayang-bayang masa lalu. Namun, ia tahu. Sarah tidak akan melepaskanny
Mereka mulai menyantap sarapan dengan obrolan ringan, mengingat masa-masa dulu. “Waktu kamu pertama kali tidur di sofa itu,” ujar Ruby sambil menunjuk arah ruang tamu, “kamu diam-diam bangun malam-malam dan ambil selimut dari lemariku.” Nio mengangkat alis, berpura-pura terkejut. “Kamu tahu?” “Tentu saja. Aku melihatmu dari celah pintu.” Mereka tertawa lagi, kali ini lebih lepas. Udara pagi yang masuk dari jendela membuat ruangan terasa hidup. Waktu seakan melambat, memberi ruang bagi keduanya untuk bernapas, untuk saling mengisi kembali ruang yang lama kosong. Selesai sarapan, Ruby menatap Nio lama. “Terima kasih, sudah kembali. Terima kasih sudah… memilih untuk bertahan.” Nio menjangkau tangannya dan menggenggamnya erat. “Aku belum selesai membuktikan cintaku. Tapi kalau kamu izinkan… aku akan terus mencoba. Setiap hari.” Ruby mengangguk dengan mata berkaca. “Kamu tidak perlu
Cahaya pagi merambat pelan dari celah tirai kamar, menari lembut di dinding dan menghangatkan udara dalam ruangan. Nio terbangun dengan napas yang sedikit terengah, dadanya naik-turun cepat, terkejut karena ia tak menyangka telah tertidur. Lengan Ruby masih melingkar di tubuhnya, wajahnya terbenam di dada Nio, napasnya teratur dan damai.Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang dulu begitu akrab baginya. Segalanya terasa seperti mimpi, seolah waktu dua tahun tak pernah benar-benar memisahkan mereka.Dengan hati-hati, Nio menyentuh pipi Ruby dan menyibakkan helai rambut yang menutupi dahinya. Ia memandangi wajah perempuan itu dalam diam. Lalu, perlahan, ia menunduk dan mengecup kening Ruby lembut. Namun saat ia hendak bangkit, bergerak perlahan turun dari kasur, sebuah genggaman kecil menahan pergelangan tangannya.“Nio…” suara Ruby terdengar parau, baru saja bangun. Matanya masih setengah tertutup, namun genggamannya erat. “Kau mau ke ma
“Takut bangun dan kau sudah tidak ada,” ucap Ruby dengan kepala yang tenggelam di dada Nio.Nio memejamkan mata. Pelukan Ruby terasa seperti pecahan luka yang diam-diam ingin disembuhkan.“Aku di sini,” ucapnya. “Aku tak akan kemana-mana malam ini. Tidurlah, Ruby.”Ruby mengangguk pelan, lalu mengeratkan pelukannya. Malam itu, di tengah keheningan yang terasa begitu personal, mereka berdua tertidur dalam dekapan yang seolah ingin menghapus semua jarak, semua waktu, dan semua luka yang sempat tercipta di antara mereka.*** Gerry berdiri di balik jendela besar apartemennya yang menghadap ke gemerlap kota. Kilau lampu menari di kaca anggur merah yang ia genggam, tapi pikirannya tak pernah tenang. Di baliknya, Sarah duduk santai di sofa berlapis beludru hitam, memutar perlahan gelas wine di tangannya, seolah tak ada yang perlu disembunyikan malam ini.“Kau akan terus berpura-pura?” Gerry akhirnya membuka suara, nadanya tenang tapi p
Nio menatap Ruby, sedikit terkejut. “Aku tak tahu kau menolak perjodohan itu untukku.”Ruby tersenyum getir. “Tentu saja. Tapi sayangnya, setelah kabar bahwa pernikahan kita hanya kontrak tersebar, Ayah mulai ragu. Dia pikir aku telah gagal membuat pilihan yang benar. Dan saat rumor tentang keretakan kita menyebar, dia… mulai mempertimbangkan perjodohan dengan Gerry kembali.”Dada Nio mengeras. “Jadi… ayahmu berpikir untuk menikahkanmu lagi? Seolah semua ini tak pernah ada?”“Dia mengalami syok,” ucap Ruby cepat, mencoba menjelaskan. “Tekanan dari para pemegang saham dan petinggi perusahaan membuatnya limbung. Semua mempertanyakan diriku, mempertanyakan kesanggupanku sebagai pemimpin, apalagi sebagai istri.”Nio mengepalkan tangan di pangkuannya. “Aku tidak menyangka ayahmu bisa memikirkan itu.”“Dia hanya ingin melindungi apa yang sudah dia bangun,” ujar Ruby lembut. “Dan aku… aku juga ingin melindungi semuanya. Termasuk kita.”
Mobil berhenti perlahan di depan rumah mereka, rumah yang dulu terasa kosong, namun malam ini tampak seperti rumah yang sesungguhnya. Lampu-lampu taman menyala temaram, dan suara jangkrik samar terdengar dari kejauhan. Ruby menoleh ke arah Nio yang masih menggenggam kemudi, lalu mengulas senyum kecil.“Terima kasih sudah mengantarku,” ucap Ruby lembut, jemarinya menyentuh lengan Nio.Nio menoleh padanya, mata mereka bertemu dalam keheningan yang mengandung seribu makna. “Tentu saja. Malam ini terlalu indah untuk tidak kuantar sampai pintu,” jawab Nio dengan senyum miring yang khas.Ruby mengangguk pelan. Ia sempat ragu, tapi akhirnya memberanikan diri. “Nio… kau tidak ingin masuk sebentar? Menginap mungkin?”Suara Ruby terdengar ragu, seolah ia sendiri takut dengan jawabannya. Tapi matanya penuh harap. Rumah itu memang milik mereka, tapi malam ini terasa lebih personal lebih seperti rumah dua orang yang saling mencintai, bukan sekadar tempat tinggal.Nio terdiam sebentar. Ia menatap r