Ruang rias itu dipenuhi aroma lembut bunga segar dan wangi bedak halus. Ruby duduk tenang di depan meja rias besar dengan cermin yang dikelilingi lampu-lampu kecil, membuat wajahnya tampak bersinar. Jemari perias bekerja luwes, menyapukan kuas tipis ke pipinya, memberi rona alami yang lembut. Rambutnya ditata sederhana dengan sanggul rendah, dihiasi hiasan kecil berbentuk bunga putih. Ruby menatap pantulan dirinya di cermin, hatinya bergetar. Hari ini ia mengenakan gaun pengantin lagi, tapi dengan rasa yang benar-benar berbeda.Gaun putih sederhana yang dipilihnya beberapa hari lalu kini membalut tubuhnya dengan sempurna. Tidak ada detail berlebihan, hanya potongan yang anggun dan elegan, seakan gaun itu memang dibuat khusus untuknya. Ruby meraba perlahan kain gaun itu, merasakan kehalusan teksturnya. Senyumnya muncul tipis, campuran gugup dan bahagia.Pintu ruang rias berderit pelan. Nyonya Ashaki masuk dengan langkah anggun, membawa kehangatan seorang ibu yang selalu menenangkan. Sa
Tuan Ashaki kembali mengangkat cangkir tehnya, kali ini dengan ekspresi lega. “Bagus. Jadi kita punya dua hal untuk dirayakan pesta ulang tahun pernikahan kalian, dan doa agar cucu pertama segera datang.”Nyonya Ashaki mengangguk setuju. “Kami akan mendukung kalian sepenuhnya. Apapun yang kalian butuhkan, katakan saja.”Ruby akhirnya menghela napas, pasrah pada alur pembicaraan. Meski masih ingin mengeluh, hatinya tak bisa mengabaikan tatapan bahagia orang tuanya. Ia pun menunduk, menghirup teh hangat itu perlahan, mencoba menenangkan hatinya. Sementara di sampingnya, Nio tetap duduk dengan wajah tenang, menatap ke depan dengan keyakinan bahwa apa yang ia lakukan barusan adalah langkah terbaik.Usai percakapan panjang itu, suasana di ruang tamu mulai mereda. Tuan Ashaki tampak puas dengan apa yang ia dengar, sementara Nyonya Ashaki dengan wajah lembut kembali menuangkan teh ke cangkir Nio dan Ruby. Malam semakin larut, dan meski hangatnya kebersamaan begit
Nio menatap langsung, tenang, “Syukurlah, berjalan cukup baik. Banyak tantangan, tapi saya menikmati setiap prosesnya. Ruby juga sangat membantu, meski ia tidak menyadarinya.”Ruby tersipu mendengar itu, membuat ibunya tersenyum bangga. Tuan Ashaki hanya mengangguk singkat, namun ada kilatan rasa puas di matanya.Seiring waktu, tawa mulai terdengar di meja makan. Suasana yang semula kaku berubah menjadi hangat. Nyonya Ashaki bahkan menceritakan sedikit kenangan masa kecil Ruby, membuat Ruby menutup wajahnya karena malu sementara Nio menahan tawa.Setelah makan malam selesai, mereka berpindah ke ruang tamu. Suasana jauh lebih santai, lampu hangat menerangi ruangan, dan aroma teh hijau yang baru diseduh menyebar lembut. Nyonya Ashaki menuangkan teh ke dalam cangkir keramik, lalu menyerahkannya pada masing-masing.Ruby duduk di sisi Nio, sementara Tuan Ashaki bersandar di kursinya, menatap mereka dengan mata yang teduh namun penuh wibawa. Ia mengangkat cangkirnya sejenak, menyeruput perl
Ruby duduk di seberang meja kerja Nio, ia menarik napas dalam-dalam lalu berkata pelan, “Nio… aku ingin mengajakmu menemui Papa.”Nio yang baru saja membuka dokumen di laptopnya langsung menghentikan gerakan jarinya. Ia mengangkat kepala, menatap Ruby dengan heran. “Papamu? Maksudmu… malam ini?”Ruby mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan keraguan yang sama. “Iya. Tadi siang Papa menelponku, katanya beliau ingin mengundang kita makan malam bersama. Sejujurnya aku juga kaget, mendadak sekali. Tapi… kurasa sebaiknya kita pergi. Aku tidak ingin mengecewakan Papa.”Nio bersandar di kursinya, mencoba mencerna perkataan Ruby. Undangan mendadak itu jelas mengejutkannya, apalagi mengingat hubungan yang selama ini agak kaku antara dirinya dan ayah mertuanya. “Makan malam bersama keluarga? Begitu saja tanpa ada alasan?” tanyanya hati-hati.Ruby menggeleng, meski keraguannya tampak jelas. “Aku juga tidak tahu apa tujuannya, mungkin hanya ingin bertemu. Lagipula… sudah lama kita tidak makan bersa
Nio bisa membayangkan betapa bahagianya Ruby di sini, di tempat terbuka dengan suasana hangat dan akrab.Destinasi ketiga adalah sebuah pantai pribadi yang cukup eksklusif. Jalan menuju ke sana agak jauh, namun ketika mobil berhenti dan Nio turun, semua lelah perjalanan terbayar lunas. Hamparan pasir putih membentang luas, ombak bergulung perlahan, dan suara laut menjadi musik alami yang menenangkan.Clara tersenyum, seolah tahu reaksi Nio. “Ini lokasi favorit untuk beach wedding. Bisa dilakukan sore menjelang senja, ketika matahari terbenam. Bayangkan, pelaminan kecil dengan latar belakang laut, kursi tamu berderet rapi di pasir, dan janji suci diucapkan dengan suara ombak sebagai saksi.”Nio berjalan pelan ke arah bibir pantai, membiarkan pasir menyentuh sepatunya. Ia memandang jauh ke cakrawala, membayangkan Ruby berdiri di sampingnya, gaunnya tertiup angin laut, cahaya keemasan senja memeluk wajahnya.“Indah sekali,” ucapnya lirih. Ia tersenyu
Setelah pertemuan selesai dan kliennya berpamitan, Nio tetap duduk sebentar di kursi, membiarkan pikirannya berkelana. Ia membayangkan senyumnya Ruby, tatapan matanya saat mencoba gaun pengantin di butik tadi siang. Ia ingin memberi Ruby sesuatu yang lebih dari sekadar perayaan. Ia ingin membuat momen yang hanya milik mereka, bukan sekadar formalitas hukum atau pesta besar yang penuh hiruk-pikuk.“Di mana, ya?” batinnya bertanya. “Pantai? Taman yang penuh bunga? Atau tempat yang dekat dengan hati Ruby?”***Nio kembali ke kantornya setelah pertemuan dengan klien. Sesampainya di ruangannya, ia melepas jas dan duduk di kursi kulit yang empuk, menatap sejenak keluar jendela. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya menerobos kaca gedung tinggi itu dengan lembut. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah lima sore, masih ada waktu sebelum jam kerja benar-benar usai.Nio meraih pena dan menunduk pada kalender meja yang tergeletak rapi di sudut meja ke