Nio mengernyit. “Tidak perlu. Rumah sakit ini cukup baik.”
“Tapi—”“Aku bilang cukup.” Suara Nio terdengar tenang, tapi penuh ketegasan. “Aku sudah nyaman di sini. Dan aku ingin fokus pulih, bukan berpindah-pindah.”Sarah menatapnya, kecewa. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”“Aku tahu,” ujar Nio, lalu perlahan menarik tangannya dari genggaman Sarah. “Dan yang terbaik untukku saat ini adalah istirahat, bukan pindah kamar atau terlibat dalam penyelidikan.”Sarah akhirnya bangkit, menyadari dirinya ditolak secara halus. Tapi ia menolak memperlihatkan luka egonya. Ia menarik napas, memperbaiki rambutnya dan menatap Nio dengan senyum yang dipaksakan.“Kalau begitu, aku akan meninggalkanmu sekarang. Tapi aku akan kembali nanti sore.”Nio tidak menanggapi. Ia hanya mengangguk singkat.Sarah berjalan menuju pintu, lalu sebelum benar-benar keluar, ia menoleh. “Kalau kau berubah pikiran soal rumah sakit… kau tahu akRuby menunduk, menahan emosi. Tangannya gemetar memegang ponsel. Ia sadar, ini bukan lagi hanya tentang perusahaan. Ini soal harga diri, komitmen, dan haknya untuk mempertahankan cinta yang telah ia perjuangkan dua tahun lalu.Gerry menoleh ke arahnya dengan senyum licik. “Tak perlu panik, Ruby. Aku di sini hanya untuk membantu. Kalau kau mau, kita bisa bicarakan masa depan dengan tenang. Seperti dulu.”Ruby mendongak, menatap tajam ke arah Gerry.“Jangan samakan hari ini dengan dulu, Gerry. Aku bukan perempuan yang bisa kau kendalikan seperti yang Ayahmu atau Ayahku inginkan.”Gerry mengangkat bahu seolah tak terpengaruh. “Tapi siapa pun akan menyerah saat tahu bahwa perusahaan yang dia cintai bisa hilang begitu saja... karena satu pria yang tak pernah benar-benar hadir.”Ruby menahan napas. Tidak. Dia tidak akan kalah. Lalu ia berdiri dan meninggalkan ruang rapat tanpa pamit. Matanya menatap lurus ke depan, tapi hatinya bergetar. Ia tah
Nio mengernyit. “Tidak perlu. Rumah sakit ini cukup baik.”“Tapi—”“Aku bilang cukup.” Suara Nio terdengar tenang, tapi penuh ketegasan. “Aku sudah nyaman di sini. Dan aku ingin fokus pulih, bukan berpindah-pindah.”Sarah menatapnya, kecewa. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”“Aku tahu,” ujar Nio, lalu perlahan menarik tangannya dari genggaman Sarah. “Dan yang terbaik untukku saat ini adalah istirahat, bukan pindah kamar atau terlibat dalam penyelidikan.”Sarah akhirnya bangkit, menyadari dirinya ditolak secara halus. Tapi ia menolak memperlihatkan luka egonya. Ia menarik napas, memperbaiki rambutnya dan menatap Nio dengan senyum yang dipaksakan.“Kalau begitu, aku akan meninggalkanmu sekarang. Tapi aku akan kembali nanti sore.”Nio tidak menanggapi. Ia hanya mengangguk singkat.Sarah berjalan menuju pintu, lalu sebelum benar-benar keluar, ia menoleh. “Kalau kau berubah pikiran soal rumah sakit… kau tahu ak
Pagi tiba dengan cepat, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk dari celah gorden kamar VIP rumah sakit. Nio perlahan membuka matanya, tubuhnya masih sedikit pegal namun terasa ringan, terlebih karena ia sadar Ruby ada di sisinya.Perlahan, ia menunduk dan menemukan kepala Ruby yang terlelap di lengannya, napasnya tenang dan wajahnya damai. Sesekali, rambut panjang Ruby menyapu pipinya yang terangkat karena posisi tidur miring.Dengan lembut, Nio menyibak helaian rambut Ruby dari wajahnya, membelainya perlahan. "Cantik sekali," gumamnya pelan, seolah tak ingin membangunkan wanita yang begitu ia rindukan selama ini.Namun, sentuhannya cukup untuk membuat Ruby mengerjap pelan dan membuka matanya.“Nio?” gumamnya dengan suara serak dan lelap. “Kau sudah bangun?”Nio tersenyum kecil. “Maaf… aku membangunkanmu ya?”Ruby menggeleng dan tersenyum sambil mengusap matanya. “Tidak apa-apa… aku juga sudah harus bangun.”Nio mendekat, menatap Ruby penuh cinta. “Boleh aku mencium istriku sekara
Ruby hanya menggeleng pelan, lalu menyentuh pipi Nio dengan lembut, mengelus luka kecil di pelipisnya. “Kau mungkin penuh luka, tapi kau adalah satu-satunya rumah yang selalu ingin aku pulang.”Nio menatap wajah Ruby yang kini begitu dekat. Cahaya hangat dari lampu samping tempat tidur menciptakan bayangan lembut di pipi perempuan itu, yang tetap menatapnya dengan penuh kasih meski air mata masih membekas di sudut matanya.Tanpa berkata apa-apa, Nio menarik Ruby ke dalam pelukannya. Lengan kirinya yang masih kuat melingkar erat di punggung Ruby, sementara tangan kanan yang masih terasa nyeri hanya bisa bertumpu ringan di lengannya. Tapi pelukannya hangat… sangat hangat. Seolah mencoba menebus waktu yang hilang, jarak yang sempat tercipta, dan semua luka yang belum sempat sembuh.Ruby pun membalas pelukan itu, menundukkan wajahnya ke dada Nio yang berdebar pelan. Ia bisa mendengar suara jantungnya. Lembut, tapi penuh perasaan. Di tempat itu, ia merasa aman. Ia merasa utuh kembali."Aku
Markus menatap Nio, bingung. “Apa?”“Jangan ke polisi. Bawa mereka ke markas. Aku ingin mereka bicara… tapi dengan cara kita.”Nada suara Nio sangat tenang, tapi ada bara di balik matanya. Markus mengenal tatapan itu, tatapan pria yang baru saja lolos dari kematian dan menuntut balas.Markus menunduk kecil. “Baik. Akan kami interogasi dengan prosedur internal. Tapi kau harus ke rumah sakit. Luka di kepalamu serius, Nio.”Nio sempat terdiam. Ia ingin langsung ke markas, ingin mendengar sendiri pengakuan mereka. Tapi tubuhnya mulai terasa berat. Luka di punggungnya nyeri, dan pandangannya sempat kabur beberapa detik.Markus melangkah lebih dekat. “Izinkan aku membawamu ke rumah sakit dulu. Setelah itu kita lanjutkan dengan kepala dingin.”Akhirnya, Nio mengangguk lemah. “Hanya sebentar. Jangan biarkan mereka disentuh sebelum aku datang.”“Kau punya jaminanku,” ujar Markus tegas.Salah satu anak buah Markus membuka pintu mobil van hitam dan membantu Nio masuk. Di dalamnya, seorang parame
Udara malam terasa dingin menusuk kulit saat Nio melangkah keluar dari mobilnya yang ringsek. Asap masih mengepul dari kap mesin, dan bau bensin menguar tipis di udara. Luka di pelipisnya mengucurkan darah, menetes di sepanjang garis rahangnya, tapi matanya tetap tajam, awas, dan penuh perhitungan.Jalanan itu tampak kosong. Lampu jalan berkedip-kedip, menciptakan bayangan kelam yang meliuk di antara puing dan reruntuhan kecil akibat tabrakan. Namun tak lama, suara knalpot meraung kembali. Dua motor yang sebelumnya mengikutinya kini berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Dua orang pria turun, lalu disusul dua lainnya dari arah berlawanan, mereka datang dengan berjalan kaki, seolah sudah menunggu.Empat orang, semua berpakaian serba hitam, wajah tertutup helm dan masker kain. Mereka memegang tongkat besi panjang, berat, dan mematikan.Nio berdiri tegak, tubuhnya sedikit miring karena bahu kanannya memar akibat sabuk pengaman. Tapi langkahnya tetap mantap. Ia mengatur napas. Detak ja